@2001. Trizelia Posted: 26 October 2001
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pascasarjana/S3
Institut
Pertanian Bogor
Oktober
2001
Dosen:
Prof.
Dr Rudy C. Tarumingkeng
PEMANFAATAN Bacillus thuringiensis UNTUK PENGENDALIAN HAMA
Crocidolomia binotalis
Oleh:
Trizelia
ENT-A426010011
E-mail:
trizelia@yahoo.com
PENDAHULUAN
Crocidolomia binotalis Zeller
merupakan salah satu jenis hama yang menimbulkan masalah penting pada
pertanaman kubis. Serangga ini
dikenal juga sebagai hama yang sangat rakusdan larva terutama memakan daun-daun
yang masih muda, tetapi juga dapat menyerang daun yang agak tua dan kemudian
menuju kebagian titik tumbuh sehingga bagian titik tumbuh habis, akibatnya
pembentukan krop akan terhambat atau terhenti. Kerusakan yang ditimbulkannya dapat menurunkan hasil
sampai 100%.
Untuk
mengendalikan hama C. binotalis, pada
umumnya petani kubis di Indonesia melakukannya dengan cara kimia. Petani melakukan penyemprotan dengan
insektisida kimia sintetik satu kali dalam 2-3 hari. Kadang-kadang petani masih melakukan
penyemprotan pada kubis yang siap dipanen, tanpa memperhatikan dampaknya
terhadap konsumen dan lingkungan.
Untuk
menghidari dampak negatif penggunaan insektisida kimia sintetik tersebut, maka
alternatif pengendalian perlu terus dicari dan dikembangkan diantaranya
pengendalian dengan menggunakan musuh alami hama (pengendalian secara hayati)
seperti penggunaan bakteri Bacillus
thuringiensis Berliner. Dalam
hubungannya sebagai agen pengendali hayati, bakteri ini merupakan mikroorganisme
yang paling banyak mendapat perhatian selama ini.
Makalah
ini mencoba menguraikan tentang Bacillus
thuringiensis secara mendalam dan peranannya sebagai sarana pengendalian
hama C. binotalis.
Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen pada serangga. Bakteri ini tergolong ke dalam kelas Schizomycetes, ordo Eubacteriales, famili Bacillaceae (Steinhaus, 1949). B. thuringiesis adalah bakteri yang mempunyai sel vegetatif berbentuk batang dengan ukuran panjang 3 – 5 mm dan lebar 1,0 – 1,2 mm, mempunyai flagella dan membentuk spora. Sel-sel vegetatif dapat membentuk suatu rantai yang terdiri dari lima sampai enam sel. Sifat-sifat bakteri ini adalah gram positif, aerob tetapi umumnya anaerob fakultatif, dapat tumbuh pada media buatan dan suhu untuk pertumbuhan berkisar antara 15°-40°C.
Spora B. thuringiensis berbentuk oval, letaknya subterminal, berwarna hijau kebiruan dan berukuran 1,0 – 1,3 m. Pembentukan spora terjadi dengan cepat pada suhu 35° - 37°C. Spora tersebut relatif tahan terhadap pengaruh fisik dan kimia. Spora ini mengandung asam dipikolinik (DPA), merupakan 10-15% dari berat kering spora. Asam ini biasa terdapat dalam bentuk kombinasi dengan unsur kalsium.
Ciri khas yang terdapat pada B. thuringiesis adalah kemampuannya membentuk kristal (tubuh paraspora) bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu pada waktu sel mengalami sporulasi. Kristal tersebut merupakan komplek protein yang mengandung toksin ( d - endotoksin ) yang terbentuk di dalam sel 2-3 jam setelah akhir fase eksponesial dan baru keluar dari sel pada waktu sel mengalami autolisis setelah sporulasi sempurna. Sembilan puluh lima persen kristal terdiri dari protein dengan asam amino terbanyak terdiri dari asam glutamat, asam aspartat dan arginin, sedangkan lima persen terdiri dari karbohidrat yaitu mannosa dan glukosa (Bulla, Kramer dan Davidson, 1977).
Kristal
protein tersusun dari subunit-subunit protein yang berbentuk batang atau halter,
mempunyai berat molekul 130 – 140 kDa yang berupa protoksin. Protoksin akan menjadi toksin setelah
mengalami hidrolisis dalam kondisi alkalin di dalam saluran pencernaan
serangga. Hidrolisis ini melepaskan
protein kecil dengan berat molekul sekitar 60 kDa dan bersifat toksik.
Kristal
protein mempunyai beberapa bentuk.
Ada hubungan nyata antara bentuk kristal dengan kisaran daya
bunuhnya. Varietas yang memiliki
daya bunuh terhadap serangga ordo Lepidoptera, memiliki kristal toksin yang
berbentuk bipiramida dan jumlahnya hanya satu tiap sel, sedangkan yang berbentuk
kubus, oval dan amorf umumnya toksik terhadap serangga ordo Diptera dan
jumlahnya dapat lebih dari satu tiap sel.
Kristal yang mempunyai daya bunuh terhadap serangga ordo Coleoptera
berbentuk empat persegi panjang dan datar atau pipih.
Gambar
1. Sel
vegetatif Bacillus
thuringiensis (dibawah
mikroskop fase kontras) yang mempunyai endospora dan
kristal
protein.
Sebagian besar sel telah
lisis
dan melepaskan spora dan kristal (http://helios.bto.ed.ac.uk/bto/microbes/bt.htm,)
Proses Infeksi
(Mode of Action)
Seluruh kristal protein dari B. thuringiensis hanya bersifat toksik apabila termakan oleh larva serangga, yaitu setelah terurai oleh enzim protease menjadi molekul-molekul kecil yang toksik (English dan Slatin, 1992). Pada umumnya serangga yang peka terhadap B. thuringiensis memiliki cairan pencernaan yang bersifat basa dengan kisaran pH antara 10 – 12. Pada pH tersebut, kristal protein akan larut menjadi fraksi kecil dan bersifat toksik terhadap serangga.
Beberapa
menit setelah masuk ke dalam saluran pencernaan serangga, toksin melewati
membran tropik dan kemudian akan terikat pada reseptor khusus yang terdapat pada
mikrovili sel epitelium mesenteron.
Setelah berikatan, toksin akan membentuk pori-pori kecil beerukuran 0,5 –
1,0 nm. Akibatnya keseimbangan
osmotic dari sel menjadi terganggu, sehingga ion-ion dan air mudah masuk ke
dalam sel yang menyebabkan sel
mengembang dan pecah sehingga akhirnya menyebabkan lisis (hancur) (Hofte
dan Whiteley, 1989; English dan Slatin, 1992; Dai dan Gill, 1993). Sel-sel epitelium yang telah hancur
tersebut akan terpisah dari membran dasar dan terlepas ke dalam lumen. Sebagai akibat adanya kerusakan dan
kehancuran dari sel-sel epitelium menyebabkan membran dasar mudah dirusak oleh
B. thuringiensis (Faust, 1974; Trizelia, 1994). Toksin juga menghambat pembentukan ATP,
merusak transportasi ion dan glukosa dan menghambat gerakan kontraksi otot-otot
mesenteron.
Akibat terjadinya kerusakan pada struktur dan fungsi mesenteron, zat-zat metabolic seperti ion akan keluar dari lumen dan masuk ke dalam hemolimfa sehingga terjadi perubahan biokimia dalam saluran pencernaan dan hemolimfa yang menimbulkan paralysis dan akhirnya kematian pada larva. Kematian akan terjadi satu jam hingga 4 – 5 hari setelah intoksikasi, tergantung pada konsentrasi bakteri, ukuran dan jenis larva dan vaietas bakteri yang digunakan.
Secara
garis besar kisaran patogenisitas B.
thuringiensis terhadap serangga target terbagi ke dalam tiga pathotype,
yaitu pathotype I, mempunyai target serangan terhadap serangga dalam ordo
Lepidoptera; pathotype II, mempunyai target serangan terhadap serangga dalam
ordo Diptera; dan pathotype III, mempunyai target serangan terhadap serangga
dalam ordo Coleoptera.
Heimpel
dan Angus (1959) mengelompokkan serangga ke dalam tiga tipe berdasarkan
kerentanannya terhadap B.
thuringiensis. Tipe I adalah spesies yang mati karena toksin
dan serangga mengalami general paralysis dan ada kenaikan pH darah sebesar
1.0-1,5 unit, contohnya adalah Bombyx
mori, Manduca Sexta dan larva
nyamuk. Tipe II, serangga tidak
mengalami general paralysis dan serangga mati tanpa adanya perubahan pH
darah. Sebagian besar larva
Lepidoptera masuk ke dalam kelompok ini.
Tipe III, serangga tidak mengalami general paralysis dan serangga mati
tidak hanya disebabkan oleh kristal saja tetapi juga membutuhkan adanya spora,
contohnya Anagasta kuehniella dan Galleria mellonella.
Toksisitas
B. thuringiensis terhadap serangga
dipengaruhi oleh strain bakteri dan spesies serangga yang terinfeksi. Faktor pada bakteri yang mempengaruhi
toksisitasnya adalah struktur kristalnya, yang pada salah satu strain mungkin
mempunyai ikatan yang lebih mudah dipecah oleh enzim yang dihasilkan serangga
dan ukuran molekul protein yang menyusun kristal, serta susunan molekul asam
amino dan kandungan karbohidrat dalam kristal.
Faktor
yang ada pada serangga yang mempengaruhi toksisitas B. thuringiensis adalah perbedaan
keadaan pada saluran pencernaan serangga, seperti pH dalam mesenteron yang
mempengaruhi kelarutan kristal protein.
Faktor lainnya adalah kemampuan enzim protease yang ada dalam saluran
pencernaan serangga untuk melarutkan kristal protein menjadi molekul yang toksik
dan adanya reseptor khusus dalam saluran pencernaan serangga yang mengikat
toksin (Burgerjon dan martouret, 1971; Hofte dan Whiteley, 1989).
Pada
umumnya saluran makanan adalah organ tubuh yang pertama kali terserang oleh
bakteri. Tanda-tanda awal serangan
bakteri pada serangga berhubungan dengan aktivitas makan dan pengolahan bahan
makanan. Pada tahap awal aktivitas
makan serangga menurun, bahkan dapat terhenti. Gejala muntah (keluarnya cairan dari
mulut serangga) dan diare (faeces atau kotoran serangga tidak normal seperti
padatan) dapat diamati. Pada
saluran makanan dapat terjadi paralysis.
Serangga juga menunjukkan penurunan aktivitas gerakan, serangga menjadi
lemah dan kurang tanggap terhadap sentuhan. Pada infeksi lebih lanjut, paralysis
dapat terjadi pada seluruh tubuh dan diikuti oleh septisemi dan berakhir dengan
kematian serangga.
Setelah serangga mati, serangga kelihatan
berwarna coklat tua atau hitam dan perubahan warna biasanya dimulai dari bagian
anterior terus ke bagian posterior.
Tubuh serangga kemudian mengering dan mengkerut dengan integumen yang
masih utuh. Kadang-kadang infeksi
B. thuringiensis tidak mematikan
larva, dimana larva masih mampu bertahan hidup dan berhasil menjadi pupa dan
imago, tetapi imago yang terbentuk tersebut biasanya berukuran kecil, cacat,
lama hidupnya lebih pendek dan kemampuan meletakkan telurnya berkurang atau
mandul.
PERANAN B. thuringiensis DALAM PENGENDALIAN HAMA
C. binotalis
Hasil pengujian
toksisitas B. thuringiensis terhadap
larva C. binotalis menunjukkan bahwa bakteri ini, baik dalam bentuk
formulasi maupun biakan murni dapat mematikan larva C. binotalis sebesar 76 – 96 % setelah
lima hari aplikasi. Pada Tabel 1 berikut
dapat dilihat persentase mortalitas larva C. binotalis pada uji toksisitas
bakteri.
Tabel 1. Persentase mortalitas larva C. binotalis pada uji toksisitas B. thuringiensis ____________________________________________________________________
Perlakuan Mortalitas larva hari ke- (%)
1 2 3 4 5
_____________________________________________________________________
Bactospeine WP 50,67 90,67 96,00 96,00 96,00
B. thuringiensis subsp. berliner 53,33 86,67 90,67 90,67 94,67
TUREX WP 48,00 96,00 96,00 96,00 96,00
B. thuringiensis subsp aizawai 23,33 62,67 66,67 74,67 76,00
Kontrol 4,00 4,00 5,33 5,33 5,33
_____________________________________________________________________
(Sumber : Sriganti, 2000)
Berdasarkan Tabel 1 di atas secara umum terlihat bahwa B. thuringiensis cukup efektif dalam
mematikan larva C. binotalis. Kematian larva sudah mulai terjadi satu
hari setelah aplikasi B.
thuringiensis dan persentase kematian meningkat sampai lima hari setelah
aplikasi, dimana hampir seluruh larva yang diuji menimbulkan kematian. Hasil penelitian Trizelia (1998) juga
menunjukkan bahwa infeksi B.
thuringiensis pada larva C.
binotalis dapat mematikan larva dan tingkat kematian larva berkisar antara
63,52 % – 90 %, tergantung pada konsentrasi bakteri yang digunakan.
Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa bakteri B. thuringiensis mempunyai peluang untuk
dikembangkan sebagai bioinsektisida untuk pengendalian hama C. binotalis pada tanaman kubis. Akan tetapi dalam penggunaannya di
lapang, sebaiknya aplikasi bakteri dilakukan pada sore hari agar kristal tidak
mengalami degradasi oleh radiasi UV sebelum termakan oleh hama, karena kristal
ini bersifat labil di bawah
pengaruh sinar matahari, baik melalui sinar UV atau suhu tinggi. Hal ini yang menyebabkan mengapa
persistensi dan stabilitas B.
thuringiensis di lapangan tidak lama.
Hasil penelitian Santoso et al. (1992) menunjukkan bahwa stabilitas
residu efektif hanya bertahan maksimum satu minggu.
Selain
adanya keragaman varietas dan stabilitas kristal protein di lapangan, beberapa
factor lain dalam batas-batas tertentu ikut menentukan keberhasilan pengendalian
hama dengan menggunakan B.
thuringiensis, seperti pH permukaan daun yang tinggi sehingga pada daun
sudah terjadi sebagian hidrolisis kristal, akibatnya daya racun B. thuringiensis menurun dan pada
beberapa tanaman tertentu mengandung senyawa anti bakteri.
Pencampuran B. thuringiensis
dengan pestisida lain juga dapat dilakukan, tetapi harus dilandasi dengan
penelitian yang teliti, karena data yang ada kadang-kadang tidak konsisten,
sebagai contoh pencampuran B.
thuringiensis dengan Nuclear Polyhedrosis Virus Spodoptera litura tidak memberikan
keuntungan (Santoso et al., 1992), tetapi pencampuran B. thuringiensis dengan Beauveria bassiana lebih menguntungkan
dan lebih efektif dibandingkan jika patogen tersebut digunakan sendiri-sendiri
(Trizelia, 1998).
Bakteri Bacillus thuringiensis adalah salah satu
spesies entomopatogen yang telah digunakan sejak lama dalam pengendalian
hama. Sebagai insektisida mikroba,
B. thuringiensis lebih banyak menarik
perhatian para peneliti dalam bidang pengendalian hama dan hingga saat ini
eksploitasi B. thuringiensis telah
sampai pada tingkat gen yang menghasilkan toksin terhadap serangga. Berbagai variasi toksin yang dikandung
B. thuringiensis dapat berinteraksi
dengan berbagai cara, tergantung dari strain bakteri itu sendiri dan
inangnya. Hasil penlitian yang
telah dilaporkan menunjukkan bahwa B.
thuringiensis sebagai salah satu komponen pengendalian hama C. binotalis mempunyai peranan yang
cukup potensial, dan implementasi pengendalian secara terpadu perlu diperbanyak
agar komponen ini dapat kompatibel dengan komponen-komponen lain.
Aronson, A.I., W. Beckman dan P.
Dunn. 1986. Bacillus thuringiesis and related insect
pathogens.
Microbiol. Rev. 50(1) :
1-24.
Bulla, L.A., K.J. Kramer dan L.I.
Davidson. 1977. Characterization of the entomocidal
parasporal
crystal of Bacillus
thuringiensis. J.
Bacteriol. 130(1):375-383.
Burgerjon, A. dan D. Martouret. 1971. Determination of the host spectrum of Bacillus
thuringiensis, hal.
305-326. H.D. Burges dan N.W. Hussey. Microbial control of insect
and
mites. Academic Press, London, New
York.
Dai, Shu-Mei dan S.S.
Gill. 1993. In
vitro and in vivo proteolysis of the Bacillus thuringiensis subsp.
Israelensis cry IVD protein by Culex quinquefasciatus larval
midgut proteases.
Insect Biochem.
Molecul. Biol. 23(2):273-283.
English, L. and S. L. Slatin. 1992. Mode of action of delta-endotoxins from
Bacillus thuringiensis
a comparison
with other bacterial toxins.
Insect Biochem. Molecul ,. Biol. 22(1):1-7.
Faust, R.M. 1974. Bacterial diseases, hal. 87-113. Insect Diseases, Vol. 1. Marcel Dekker, Inc,
New York.
Heimpel, A.M. dan T.A. Angus. 1959. The site of action of crystalliferous
bacteria in Lepidoptera
larvae.
J.
Invertebr. Pathol. 1:152-170.
Hofte, H. dan Whiteley. 1989. Insecticidal crystal protein of Bacillus thuringiensis. Microbial Rev.
53(2):245-255.
Santoso, T., D.
Sartiami, Dadang, S. Widayanti dan K.H. Mutaqin. 1992.
Penggunaan Nuclear
Polyhedrosis Virus Spodoptera litura dan Bacillus
thuringiensis untuk pengendalian ulat
perusak daun
kedelai. Makalah seminar Hasil
Penelitian Pendukung Pengendalian Hama
Terpadu,
Bogor. 20 hal.
Santoso, T. 1993. Dasar-dasar patologi serangga. Prosiding Makalah Simposium Patologi
Serangga I, Yogyakarta, 12-13 Oktober. Hal. 1-15.
Sriganti, Evy. 2000. Toksisitas Bacillus thuringiensis subsp Berliner dan subsp aizawai terhadap
larva Crocidolomia binotalis
Zell. (Lepidoptera;Pyralidae) dan
Spodoptera litura Fab.
(Lepidoptera; Noctuidae).
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian IPB.
Bogor. 28 hal.
Trizelia. 1994. Infeksi Bacillus thuringiensis Berliner pada
larva Heliothis armigera Hubner
(Lepidoptera; Noctuidae) dan pengaruhnya terhadap konsumsi polong
kedelai.
Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor. 78 hal.
Trizelia. 1998. Efektivitas campuran Bacillus thuringiensis dan Beauveria bassiana terhadap
hama Crocidolomia binotalis Zell. pada tanaman kubis. Laporan Akhir Penelitian Dosen
Muda (BBI). Fakultas Pertanian Unand. Padang. 30 hal.