© 2001   Sofyan                                                                         Posted: 1 Nov. 2001   [rudyct]  

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

November 2001

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

 

 

DESENTRALISASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT

--SUATU PELUANG DAN TANTANGAN

 

 

 

Oleh

SOFYAN

SPL/ C226010031

 

E-mail: Sofyan_SPL@plasa.com

 

 

 

I. PENDAHULUAN

 

            Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki sumberdaya pesisir dan laut yang berlimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bahkan eksploitasi sumberdaya tersebut selama ini telah memperdalam kesenjangan antara golongan pelaku usaha, khususnya antara perikanan rakyat dan moderen.  Dalam kaitan dengan ketersediannya, potensi sumberdaya wilayah pesisir dan laut ini secara garis besar dapat dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu sumberdaya dapat pulih (renewable resources), sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable resources), dan jasa-jasa lingkungan (enviromental services).  Ketiga potensi inilah walaupun telah dimanfaatkan, tetapi masih belum optimal dan terkesan tidak terencana dan terpogram dengan baik.

            Pemerintah Indonesia pada tanggal 7 Mei 1999 menetapkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.   Dengan adanya UU ini membawa implikasi baru bagi pembangunan di wilayah pesisir.  Bila sebelumnya seluruh wilayah perairan laut Indonesia berada pada wewenang pemerintah pusat, maka dengan UU No. 22 tahun 1999, pemerintah daerah memiliki wewenang atas sebagian wilayah perairan laut.

            Pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999 ini minimal memiliki dua implikasi terhadap kegiatan sumberdaya pesisir dan laut, khususnya dalam hal perwilayahan daerah penagkapan ikan, yaitu : (1) Daerah propinsi harus dengan lebih pasti mengetahui potensi perikanan serta batas-batas wilayahnya sebagai dasar untuk menentukan jenis dan tipe kegiatan perikanan yang sesuai di daerahnya, (2) Daerah propinsi harus mampu mengalokasikan 4 mil laut dari 12 mil laut yang berada di bawah wewenangnya kepada  kota/kabupaten yang selanjutnya dikelola pemanfaatannya.

            Pembangunan sumberdaya pesisir dan laut pada saat ini menjadi andalan bagi bangsa Indonseia untuk melakukan pemulihan ekonomi akibat krisis yang berlangsung sejak tiga tahun lalu.  Sesuai dengan kebijakan politik untuk memacu desentralisasi, maka pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut akan lebih banyak didelegasikan kepada pemerintah daerah.  Hal ini tentu saja memberikan peluang yang lebih besar bagi daerah untuk mengelola dan memanfaatkan potensi pesisir dan kelautannya bagi kesejahteraan daerah.  Namun disisi lain juga menciptakan kemungkinan eksploitasi sumberdaya hanya untuk memacu pertumbuhan daerah.  Ditambah lagi degan kondisi umum sumberdaya manusia, ekosistem, dan kebijakan pembangunan pesisir dan laut selama ini menjadi tantangan tersendiri bagi semua pihak untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya tersebut yang lestari dan memihak pada kepentingan masyarakat dan lingkungan.

 

II. POTENSI SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT INDONESIA

 

Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir dan laut secara umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok , yaitu : (1) sumberdaya dapat pulih, (2) sumberdaya tak dapat pulih, dan (3) jasa-jasa lingkungan.

1.    Sumberdaya Dapat Pulih (Renewable Resources)

Potensi sumberdaya dapat pulih terdiri dari sumberdaya perikanan tangkap, budidaya pantai (tambak), budidaya laut, dan bioteknologi kelautan.    Perairan Indonesia memiliki potensi lestari ikan laut sebesar 6,2 juta ton.  Secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

 

 

Tabel 1.  Potensi Lestari ikan Laut Indonesia.

No.

Jenis Ikan

Potensi Lestari ( ribu ton )

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Ikan Pelagis Besar

Ikan Pelagis Kecil

Ikan Domersal

Ikan Karang Konsumsi

Udang Penaid

Lobster

Cumi-cumi

                 975,05

              3.235,50

              1,786,35

                   63,99

                   74,00

                     4,80

                   28,25

Sumber :  (Aziz, dkk. 1998)

 

        Dari potensi tersebut sampai pada tahun 1998 baru dimanfaatkan sekitar 58,8 %.  Dengan demikian masih terdapat 41 % potensi yang belum termanfaatkan atau sekitar 2,6 juta ton per tahun.

Sementara itu, potensi pengembangan budidaya laut untuk berbagai jenis ikan (kerapu, kakap, beronang, dan lain-lain), kerang-kerangan, dan rumput laut, yaitu masing-masing 3,1 juta ha, 971.000 ha, dan 26.700 ha.  Sedangkan potensi produksi budidaya ikan dan kerang serta rumput laut adalah 46.00 ton per tahun, dan 482.400 ton per tahun.  Dari keseluruhan potensi produksi budidaya laut tersebut, sampai saat ini hanya sekitar 35 persen yang sudah direalisasikan.

 

2.    Sumberdaya Tidak Dapat Pulih (Non-Renewable Resources)

 

Selain sumberdaya kelautan dapat pulih seperti diuraikan di atas, potensi kelautan lainnya yang dapat dikembangkan secara optimal adalah sumberdaya  tidak dapat pulih.  Menurut Deputi Bidang Pengembangan Kekayaan Alam, BPPT dari 60 cekungan minyak yang terkandung dalam alam Indonesia, sekitar 70 persen atau 40 cekungan terdapat di laut.  Dari 40 cekungan itu 10 cekungan telah  diteliti secara intensif, 11 cekungan baru diteliti sebagian, sedangkan 29 cekungan belun terjamah.  Diperkirakan ke-40 cekungan itu berpotensi menghasilkan 106,2 milyar barel setara minyak, namun baru 16,7 milyar barel yang diketahui dengan pasti, 7,5 milyar barel diantarnya sudah dieksploitasi.  Sedangkan sisanya sebesar 89,5 milyar barel beruapa kekayaan yang belum terjamah.  Cadangan minyak yang belum terjamah itu diperkirakan 57,3 milyar barel terkandung di lepas pantai, yang lebih dari separuhnya atau sekitar 32,8 milyar barel terdapat di laut dalam.

 

3.    Jasa-Jasa Lingkungan (Enviriomental Services)

 

Pemanfaatan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan juga dapat dilakukan terhadap jasa-jasa lingkungan, terutama untuk pengembangan pariwisata, pelayaran, dan energi kelautan. 

Dewasa ini pariwisata berbasis kelautan (wisata bahari)  telah menjadi salah satu produk pariwisata yang menarik.  Pembangunan kepariwisataan bahari pada hakekatnya adalah upaya untuk mengembangkan dan memanfaatkan objek dan daya tarik wisata bahari yang terdapat di seluruh pesisir dan lautan Indonesia, yang terwujud dalam bentuk kekayaan alam yang indah (pantai), keragaman fauna dan flora seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias yang diperkirakan sekitar 263 jenis.

Potensi jasa lingkungan kelautan yang masih memerlukan sentuhan pendayagunaan secara profesional adalah jasa transportasi laut (perhubungan laut).  Sebagai negara bahari ternyata pangsa pasar angkutan laut baik antar pulau maupun antar negara masih dikuasai oleh armada niaga berbendara asing.  Menurut Catatan Dewan Kelautan Nasional, kemampuan daya angkut armada niaga nasional untuk muatan dalam negeri baru mencapi 54,4 persen, sedang ekspor baru mencapai 4 persen, sisanya masih dikuasai oleh armada niaga asing.

 

III. PERMASALAHAN PENGELOALAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT

 

       Disamping tantangan pengembangan potensi keluatan tersebut di atas, dalam rangka menetapkan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, Pemerintah Daerah dalam upaya pelaksanaan desentralisasi dihadapkan pula pada berbagai permasalahan yang meliputi berbagai aspek antara lain :

 

1.    Kualitas Sumberdaya Manusia Kelautan

 

Sampai dengan tahun 2000, laju pertumbuhan penduduk berkisar 1,6 persen dan menjelang tahun 2018 diperkirakan akan menurun menjadi 1,5 persen  per tahun, sehingga mendekati tahun 2018 Indonesia akan memiliki junlah sumberdaya manusia lebih kurang 256 juta jiwa.  Sebanyak 157 juta dari  256 juta diperkirakan tinggal di Pulau Jawa dan Bali, dan sebagian besar di wilayah pesisir (BPS, 2001).

Dari jumlah yang demikian besar, profil tenaga kerja yang ada pada saat ini diperkirakan 74% berpendidikan dasar termasuk 13% buta huruf, sebanyak 10,9% berpendidikan SLTP dan 13% SLTA, yang berpendidikan tinggi kurang lebih 2,3%.  Walaupun pada saat ini telah terjadi pergeseran latar belakang pendidikan ke arah yang semakin tinggi, namun masih timbul pertanyaan apakah kualifikasi pendidikan sumberdaya manusia tersebut dapat mendukung pengembangan dan penguasaan IPTEK kelautan seperti yang diharapkan.

Kenyataan diatas juga terjadi di dalam proporsi SDM setiap pemerintah daerah yang memiliki wilayah pesisir dan laut.  Hal ini tentu saja sangat ironis, mengingat beberapa propinsi/kabupaten/kota tersebut merupakan daerah dengan luasanan wilayah laut yang sangat besar (Aceh, Sulawesi, dll.)

 

2.    Kerusakan Fisik Lingkungan Pesisir

 

Tingkat intensitas pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan di sebagian besar wilayah pesisir tertentu telah menimbulkan sejumlah dampak negatif terhadap kondisi fisik lingkungan pesisir dan laut.  Secara ringkas kondisi saat ini kerusakan lingkungan pesisir tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

 

a.     Kerusakan Fisik Habitat Ekosistem Pesisir dan Lautan

 

Kerusakan fisik baitat ekosistem wilayah pesisir dan laut di ndonesia umumnya terjadi pada hutan mangrove dan terumbu karang.  Hutan mangrove merupakan ekosistem yang paling produktif dan merupakan sumber hara untuk perikanan pantai.  Hutan ini menyokong kehidupan sejumlah besar sepesies binatang dengan menyediakan tempat berbiak, berpijah, dan makan.  Spesies tersebut meliputi berbagai jenis burung, ikan, kerang dan krustasea seperti udang, kepiting.  Hutan bakau juga berfungsi sebagai pelindung pantai dan penstabilisasi serta berperan sebagai penyangga pencegah erosi yang disebabkan oleh arus, gelombang, dan angin.  Mereka juga memainkan peranan penting sebagai pengendali banjir dan pemelihara permukaan air di bawah tanah.

Luas hutan mangrove di Indonseia terus mengalami penurunan dari luas areal yang mencapai 5.209.543 hektar pada tahun 1982, menurun menjadi 3.235.700 hektar pada tahun 1987 dan menurun lagi hingga sekitar 2.496.185 pada tahun 1993 ( Dahuri, dkk, 2001) seperti terlihat pada gambar 1 berikut ini.

Penurunan luasan mangrove hampir merata terjadi di seluruh kawasan pesisir Indonesia.    Penyebab dari penurunan luasan mangrove tersebut adalah karena adanya peningkatan kegiatan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukan ikan seperti pembukaan tambak, pengembangan kawasan industri dan pemukiman di kawasan pesisir serta eksploitasi (penebangan) hutan mangrove secara besar-besaran.

Nasib yang sama juga terjadi pada ekosistem terumbu karang.  Berdasarkan Walters (1994) luas terumbu karang Indonesia lebih kurang 60.000 km2.  Sedangkan menurut Tomascik, dkk (1997) menyebutkan 85.707 km2 yang tersebar luas di perairan Indonesia.  Kondisi terumbu karang di Indonesia telah banyak yang rusak.  Berdasarkan hasil penelitian Coral Reef Rehabilition and Management Project (COREMAP) dari luasan seluruhnya hanya tinggal 6,48% kondisinya masih baik, 22,53% baik, dan 28,39% rusak serta 42,59% rusak berat (Gambar 2).  Dari kondisi terumbu karang tersebut, ternyata terumbu karang di kawasan barat indonesia memiliki kondisi yang lebih buruk dibandingkan dengan terumbu karang di kawasan tengah dan timur Indonesia.

 

Pada umumnya, kerusakan terumbu karang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan perikanan yang bersifat desktruktif, yaitu penggunaan bahan-bahan peledak, bahan beracun (cyanida), dan juga aktivitas penambangan karang untuk bahan bangunan, reklamasi pantai, kegiatan pariwisata yang kurang bertanggung jawab, dan sedimentasi akibat meningkatnya erosi dan lahan atas. 

 

b.    Pencemaran dan Sedimentasi

 

Dari sekian banyak penyebab kerusakan lingkungan laut dan pesisir, pencemaran merupakan faktor yang paling penting.  Hal ini disebabkan karena pencemaran tidak saja dapat merusak atau mematikan komponen biotik (hayati) perairan, tetapi dapat pula membahayakan kesehatan atau bahkan mematikan manusia yang memanfaatkan biota atau perairan yang tercemar.  Selain itu pencemaran juga dapat menurunkan nilai estetika perairan laut dan pesisir yang terkena pencemaran.

Tingkat pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan lautan di Indonesia pada saat ini telah berada pada kondisi yang sangat memperhatinkan.  Tingkat beban pencemaran (pollution load) di Indonesia dapat dibagi atas tigga kategori, yaitu tingkat pencemaran tinggi, tingkat pencemaran sedang, dan tingkat pencemaran rendah.  Kawasan yang termasuk kategori tingkat pencamaran yang tinggi adalah Propinsi Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Lampung dan Sulawesi Selatan.  Kawasan dengan kategori tingkat pencemaran sedang adalah Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, DI Aceh, Sumatera Barat, Jambi, DI Yogyakarta, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, Bali, dan Maluku.  Sedangkan kawasan dengan tingkat pencemaran rendah adalah Propinsi Irian Jaya, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Bengkulu, dan Nusatenggara Timur.

Sumber utama pencemaran pesisir dan lautan terdiri dari tiga jenis kegiatan, yaitu kegiatan industri, kegiatan rumah tangga, dan kegiatan pertanian.  Sementara itu bahan utama yang terkandung dalam buangan limbah dan ketiga sumber tersebut berupa sedimen, unsur hara, pestisida, organisme patogen, dan sampah.  Jika dianalisis secara mendalam, dapat disimpulkan bahwa kawasan-kawasan yang termasuk kategori tingkat pencemaran yang tinggi merupakan kawasan-kawasan pesisir yang padat penduduk, kawasan industri dan juga pertanian. 

Perairan Indonesia merupakan jalur transportasi yang strategis yang menghubungkan negara-negara dari benua Asia maupun Eropa yang akan menuju ke Asia Tenggara maupun Australia ataupun sebaliknya,  serta terletak diantara negara-negara produsen minyak dibagian barat dan negara-negara  konsumen di bagian Timur.

Dari seluruh perairan Indonesia, wilayah yang rentan terhadap pencemaran yang dikaibatkan oleh tumpahan minyak adalah Selat Malaka, Selat Makasar, Pelabuhan, dan jalur-jalur laut atau selat yang dilalui oleh tangker.  Posisi strategis tersebut disamping memberikan manfaat secara ekonomi, dilain pihak juga mengandung resiko terhadap bahaya kerugian dari segi ekologis.  Kerugian secara ekologis tersebut berdampak cukup luas baik secara ekonomis maupun kerusakan sumberdaya alam.   Tabel 2 di bawah ini menyajikan beberapa kasus tumpahan minyak besar yang terjadi di perairan Indonesia.

 

 

Tabel 2.  Kejadian Tumpahan Minyak di perairan Indonesia Dari

                                                                                        Tahun 1975 - 2001

 

No.

Tahun

Lokasi

Kejadian

1.

1975

Selat Malaka

Kandasnya Showa Maru dan Menumpahkan 1 juta barel solar minyak

2.

1975

Selat Malaka

Tabrakan Kapal Tanker Isugawa Maru dengan Kapal Siver Palace

3.

1979

Buleleng, Bali

Pecahnya Kapal Tanker Choya Maru dan Menumpahkan 300 ton Bensin.

4.

1979

Lhokseumawe, DI Aceh

Bocornya Kapal Tanker Golden Win yang Mengangkut 1500 Kilo Liter Minyak Tanah.

5.

1984

Delta Mahakam, Kaltim

Sumburan Liar Pemboran minyak Milik Total indonesia

6.

1992

Selat Malaka

Tabrakan Kapal MT. Ocean Blessing Dengan MT Nagasaki Spirit Menumpahkan 5000 barel Minyak

7.

1993

Selat Malaka

Tertabraknya Tanker Maersk

8.

1994

Cilacap

Tabrakan Antara Tanker MV. Bandar Ayu Dengan Kapal Ikan

9.

1996

Natuna

Tenggelamnnya KM. Batamas II yang memuat MFO

10.

1997

Kepulauan Riau

Tabrakan Tanker Orapin Global dengan Evoikos

11.

1997

Kepulauan Riau

Kebocoran Pioa Transfer Minyak Caltex

12.

1997

Selat Makasar

Tenggelamnya Tanker Mission Vikin

13.

1997

Selat Makasar

Amblasnya Platform E-20 UNOCAL

14.

1997

Selat Madura

Tenggelamnya Tanker SETDCO

15.

1998

Tanjungpriok

Kandasnya Kapal Pertamina Supply No. 27 Dengan Muatan Solar

16.

1999

Cilacap

Robeknya Tanker MT. King Fisher Dengan Menumpahkan 640 ribu liter Minyak dan Mencemari teluk Cilacap Sepanjang 38 Km.

17.

2000

Cilacap

Tenggelamnya KM. HHC Yang Memuat 9000 ton Asphalt Curah

18.

2000

Batam

Kandasnya MT. Natuna Sea Menumpahkan 4000 ton Minyak Mentah

19.

2001

Tegal - Cirebon

Tenggelamnnya Tanker Stedfast Yang Mengangkut 1.200 ton Limbah Minyak.

Sumber : Mass Media dan Berbagai Sumber.

          Sementara itu, laju sedimentasi yang masuk ke perairan pesisir juga terus meingkat.  Laju sedimentasi yang cukup tinggi terutama terjadi di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa.  Bebearapa muara sungai di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa mengalami pendangkalan yang sangat besar, akibat tingginya laju sedimentasi.  Sebagai contoh laju sedimentasi di Sungai Citandui sebesar 5 juta m3 per tahun, Sungai Cikonde sebesar 770 ribu m3 per tahun.  Setiap tahun sekitar 1 juta m3 endapan dari kedua sungai tersebut diendapkan di Segera Anakan (ECI, 1995).  Penyebab dari tingginya laju sedimentasi ini adalah karena sistem pengelolaan kegiatan di lahan atas tidak dilakukan dengan benar, seperti HPH, pertanian, dan lain-lain yang cenderung mengabaikan pembangunan yang berwawasan lingkungan, khusunya azas konservasi tanah.

 

c.     Over Eksploitasi Sumberdaya Hayati Laut

 

Banyak sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut telah mengalami overeksploitasi.  Sebagai contoh adalah sumberdaya perikanan laut, meskipun secara agregat (nasional) sumberdaya perikanan laut baru dimanfaatkan sekitar 58% dari total potensi lestarinya (MSY), (Aziz, et al, 1997), namun dibeberapa kawasan (perairan), beberapa stok sumberdaya ikan telah mengalami kondisi tangkap lebih (overfishing).

Kondisi overfishing ini bukan hanya disebabkan oleh tingkat penangkapan yang melampaui potensi sumberdaya perikanan, tetapi juga disebabkan karena kualitas lingkungan laut sebagai habitat hidup ikan mengalami penurunan atau kerusakan oleh pencemaran dan degradasi hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang yang merupakan tempat pemijahan, asuhan, dan mencari makan bagi sebgian besar biota laut tropis.

 

IV.    DESENTRALISASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT

 

1.  Paradigma Desentralisasi Pembangunan Daerah

 

       Wacana tentang desentralisasi semakin berkembang sejalan dengan dasar-dasar hukum yang menyertainya.  Landasan utama politik desentralisasi adalah Pasal 18 UUD 1945.  Atas dasar itu dirumuskan sejumlah peraturan, sampai akhirnya lahir UU no 5 tahun 1974.  Akan tetapi karena wacana perdebatan tentang desentralisasi berlangsung di alam politik yang tidak kompetitif, baik pada masa Preseden Soekarno maupun Presiden Soeharto, maka dispersi kekuasan tidak terjadi.  Kekuasaan yang sebenarnya terkonsentrasikan di pusat, sementara tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat tinggi.  Akibatnya lingkup kekuasaan (space of power) atau lingkup kewenangan (space of authority) tetap tidak mengalami perubahan yang signifikan.

            Praktek-praktek desentralisasi inilah antara lain yang mendorong lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.  Inilah peraturan baru, baik dari segi struktur maupun isi, yang diharapkan membawa warna lain terhadap praktek desentralisasi.  Harapan ini tidak terlalu berlebihan, karena jika undang-undang ini dapat direalisasikan dalam pengertian yang sebenarnya, maka otonomi seluas-luasnya dapat berkembang. 

            Kondisi di atas memberikan pengaruh yang kuat dalam praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam.  Pendekatan sentralistik, alasan demi kepentingan ekonomi nasional, dan keserakahan segelintir pemilik modal telah merusak hampir keseluruhan sumberdaya alam yang ada di daerah dan hanya menyisakan kerusakan lingkungan dan kemiskinan serta marginalisasi masyarakat.  Keuntungan dan eksploitasi sumberdaya alam dinikmati oleh hanya sebagian masyarakat dan digunakan untuk membangun daerah-daerah yang sudah berkembang di Pulau Jawa, dan hanya sedikit yang dikembalikan ke daerah asal (Aceh, Irian, Riau dan lain-lain).  Hal tersebut berlangsung begitu lama dan sedikit-demi sedikit membentuk cara pandang yang keliru yang menganggap apa yang menguntungkan pusat pasti merugikan daerah dan demikian pula sebaliknya. 

           

 

 

2. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

 

            Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, Pemerintah Pusat telah memberikan otonomi yang lebih jelas dan nyata termasuk kewenangan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.  Kewenangan tersebut meliputi:

a.         Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas 12 mil laut.

b.        Pengaturan kepentingan administratif.

c.         Pengaturan tataruang.

d.        Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah Pusat.

e.         Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara khusunya di laut.

Kewenangan-kewenangan daerah atas wilayah laut tersebut akan membantu penyelesaian permasalahan di laut yang membutuhkan tindakan cepat dan strategis.  Permasalahan-permasalahan tersebut diantaranya menyangkut pengamanan laut dari jarahan nelayan-nelayan asing yang melakukan pencurian dengan cara pengeboman dan peracunan ikan, pengambilan biota dilindungi, serta masalah kerusakan ekosistem lainnya.

Selain kewenangan tersebut, daerah juga dapat membentuk dan atau mengembangkan lembaga teknis/dinas untuk menangani kewenangan-kewenangan di bidang eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumberdaya laut, administrasi, penataan ruang,  penegakan hukum, serta bantuan keamanan dan kedaultan negara.

 

3.    Implikasi Desentralisasi Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

 

Pelaksanaan otonomi daerah dalam hal ini desentralisasi pengelolaan sumberdaya  pesisir dan laut, akan memberikan implikasi dan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang berbeda “lebih baik atau lebih buruk” dibandingkan dengan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya dimasa lalu.  Terhadap sumberdaya pesisir laut, implikasi dan konsekuensi tersebut diantaranya adalah :

 

 

 

a.                   Kelembagaan

Dalam era desentralisasi , setiap daerah harus membenahi struktur dan peran serta integrasi fungsi kelembagaan yang ada.  Khusus untuk sumberdaya pesisir dan laut , hal ini menjadi sangat penting mengingat seluruh daerah propinsi dan sebagian besar daerah kabupaten memiliki wilayah laut yang luas.  Tanpa pendekatan kebijakan dan kelembagaan yang punya kewenangan yang jelas dan terpadu, maka masalah pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dimasa lalu akan terulang kembali di daerah.

 

b.                  Sumberdaya Manusia

 

Sumberdaya manusia adalah merupakan bagian terpenting dalam pembangunan, sehingga peningkatan kemampuan sumberdaya manusia dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut mutlak diprioritaskan oleh setiap daerah yang menjadikan pesisir dan laut sebagai tumpuan pertumbuhan daerah. 

 

c.                   Praktek Pengelolaan

 

Sepanjang tiga dekade yang lalu, telah menjadikan beban yang berat bagi sumberdaya pesisir dan laut di Indonesia.  Seperti halnya hutan, sumberdaya ini telah mengalami kerusakan yang sangat parah akibat beban eksploitasi komersial yang hanya bertujuan untuk mengejar keuntungan jangka pendek semata.  Hal ini jelas menghancurkan dan merusak sistem tradisional pengelolaan berkelanjutan yang dilakukan oleh masyarakat dan menjadikan masyarakat nelayan sebagai golongan paling miskin diantara kelompok masyarakat miskin lainnya di Indonesia.

Dalam era desentralisasi ini, praktek-praktek pengelolaan tersebut di atas harus diatur sedemikian rupa sehingga tujuan ekonomi tidak akan mengorbankan aspek kelestarian lingkungan.  Pemerintah daerah dan masyarakat sebagai pemain utama di daerahnya harus saling mnedukung dan mengontrol pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir dan laut di wilayahnya.

 

 

 

d.                  Partisipasi Masyarakat

 

Pendekatan pembangunan selama ini yang bersifat masif dan seragam tidak membawa dampak postif terhadap masyarakat, karena umumnya disain pembangunan dibuat berdasarkan aspirasi kelompok dominan (minstream), dalam kekuasaan, modal, dan akses terhadap birokrasi.   Sebagai satu kesatuan sosial,  masyarakat khususnya masyarakat adat tidak diuntungkan. 

Masyarakat khususnya masyarakat adat yang berada di kawasan pesisir dan laut, seringkali tidak terwakili aspirasinya dalam proses pembangunan.  Padahal mereka harus diberi keleluasaan untuk melindungi dirinya dan budayanya serta menolak perubahan yang berdampak negatif bagi penghidupannya.  Konsep-konsep penentuan nasib sendiri (self determination) ini telah luas diterima dalam prinsip-prinsip international, namun di Indonesia pelaksanaannya masih relatif sangat jauh.

 

 

VI. KESIMPULAN

 

a)                     Sebagai sumberdaya yang sangat strategis bagi pembangunan nasional, maka dalam penetapan program dan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan laut, senantiasa harus memperhatikan efisiensi pemanfataan ruang dan sumberdaya pesisir, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir, pemberdayaan masyakarat pesisir, dan memperkaya serta meningkatkan mutu sumberdaya alam.

b)                    Desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut merupakan salah satu kebijakan pemerintah untuk mengefektifkan dan mendekatkan pengelolaan sumberdaya alam ke pemerintah daerah dan masyarakat.  Sehingga pemberian kewenangan kepada daerah harus dipandang sebagai hak dan kewajiban untuk melaksanakannya secara bertanggung jawab dan demi kepentingan masyarakat, bukan pemberian kedaulatan.

c)                     Implikasi dan  konsekuensi desentralisasi harus disadari dan diantisipasi oleh semua pihak baik pusat maupun daerah.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

1.         Biro Pusat Statistik. 2001. Indonesia Dalam Angka. BPS Pusat. Jakarta.

 

2.        Cicin-Sain,B. and R.W.Knecht. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management: Concepts and Practices. Island Press.

 

3.        Clark,J.R., 1996. Coastal Zone Management Hand Book. Lewis Publishers.

 

4.        Dahuri, R., J.Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.

 

5.        Departemen Kelautan dan Perikanan. 2001. Laporan Tahunan 1999 –2000.

 

6.        Presiden Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No. 22 Tentang Pemerintahan Daerah.

 

7.        Presiden Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No. 25 Tentang Peribangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

 

8.        Supriharyono, M.S. 2000. Pelestarian dan Penelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis.  PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

 

9.        Tomascik, T., A.J. Mah., A. Nontji, and K.M. Moosa. 1997. The Ecology of The Indonesian Seas – Part One and Two.  The Ecology of Indonesia Series Vol. 8. Peripcus, Singapore.