© 2001 Sitti Marwah
Posted: 16
November 2001 [rudyct]
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
November 2001
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) SEBAGAI
SATUAN UNIT PERENCANAAN PEMBANGUNAN
PERTANIAN LAHAN KERING
BERKELANJUTAN
Oleh :
A 236010011
E-mail: marwah_dj@yahoo.com
PENDAHULUAN
Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan
sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi
(punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara
serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik
(outlet). Oleh karena itu, pengelolaan
DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai
suatu unit pengelolaan yang pada dasarnya merupakan usaha-usaha penggunaan
sumberdaya alam disuatu DAS secara rasional untuk mencapai tujuan produksi
pertanian yang optimum dalam waktu yang tidak terbatas (lestari), disertai
dengan upaya untuk menekan kerusakan seminimum mungkin sehingga distribusi
aliran merata sepanjang tahun.
Dari
definisi di atas, maka dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana
unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara
dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material
dan energi. Ekosistem DAS, terutama DAS bagian hulu merupakan bagian yang
penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian
DAS. Perlindungan ini antara lain dari
segi fungsi tata air, oleh karenanya perencanaan
DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian
hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Aktivitas perubahan tataguna lahan dan atau
pembuatan bangunan konservasi yang dilaksanakan di daerah hulu dapat memberikan
dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air dan transport
sedimen serta material terlarut lainnnya atau non-point pollution. Adanya
bentuk keterkaitan daerah hulu – hilir seperti tersebut di atas maka kondisi
suatu DAS dapat digunakan sebagai satuan unit perencanaan sumberdaya alam termasuk
pembangunan pertanian berkelanjutan.
Pentingnya
posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk
menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah, dan air. Dalam dekade terakhir ini permintaan akan
sumberdaya tersebut meningkat sangat tajam yang pada kondisi tertentu
menimbulkan dampak negatif bagi pembangunan pertanian berkelanjutan. Meningkatnya kebutuhan terutama dalam
konteks kepentingan pemenuhan kebutuhan penduduk yang sangat besar (+
216 juta pada tahun 2000), sangat berdampak kepada pola tekanan terhadap
sumberdaya hutan, tanah, dan air yang berbeda dari satu tempat ke tempat yang
lain (Pasaribu, 1999).
DAS
SEBAGAI SATUAN UNIT PERENCANAAN DAN
PENGELOLAAN SUMBERDAYA
Keberadaan
DAS secara yuridis formal tertuang dalam peraturan pemerintah No. 33 tahun 1970
tentang perencanaan hutan. Dalam
peraturan pemerintah ini DAS dibatasi sebagai suatu daerah tertentu yang bentuk
dan sifat alamnya sedemikian rupa
sehingga merupakan suatu kesatuan dengan sungai dan anak sungainya yang melalui
daerah tersebut dalam fungsi untuk menampung air yang berasal dari curah hujan
dan sumber air lainnya, penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata
berdasarkan hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut.
Pengelolaan
DAS tidak selalu memberikan penyelesaian yang menyeluruh atas konflik-konflik
yang timbul sebagai konsekuensi percepatan pertumbuhan ekonomi dengan
usaha-usaha perlindungan lingkungan.
Akan tetapi dapat memberikan suatu kerangka kerja yang praktis dan logis
serta menunjukkan mekanisme kerja yang jelas untuk penyelesaian
permasalahan-permasalahan kompleks yang timbul oleh adanya kegiatan pembangunan
yang menggunakan sumberdaya alam sebagai input. Dalam pelaksanaannya, pengelolaan DAS akan bertumpu pada
aktivitas-aktivitas yang berdimensi biofisik seperti pengendalian erosi,
penghutanan kembali lahan-lahan kritis, pengelolaan lahan pertanian
konservatif, serta berdimensi kelembagaan seperti insentif dan
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang ekonomi. Dimensi sosial dalam pengelolaan DAS lebih
diarahkan pada pemahaman kondisi sosial-budaya setempat dan menggunakan kondisi
tersebut sebagai petimbangan untuk merencanakan strategi aktivitas pengelolaan
DAS yang berdaya guna tinggi serta efektif.
Keseluruhan rangkaian kegiatan tersebut masih dalam kerangka kerja yang
mengarah pada usaha-usaha tercapainya keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan
manusia dengan kemampuan sumberdaya alam untuk mendukung kebutuhan manusia
tersebut secara lestari. Peran daerah
hulu dalam menjamin kelangsungan ekonomi sumberdaya dan konservasi
keanekaragaman hayati (bio-diversity) secara telaahan sistem hidrologi dan
ekologi tidak dapat diabaikan. Dengan
pertimbangan tersebut, maka menurut Pasaribu (1999), DAS dapat dimanfaatkan
secara penuh dan pengembangan ekosistem daerah hulu dapat dilaksanakan sesuai
dengan kaidah-kaidah preservasi (preservation), reservasi (reservation), dan
konservasi (conservation). Dengan demikian
menunjukkan bahwa daerah hulu dan hilir suatu DAS mempunyai keterkaitan
biofisik yang direpresentasikan oleh daur hidrologi dan daur unsur hara. Adanya
keterkaitan biofisik tersebut, DAS dapat dimanfaatkan sebagai satuan
perencanaan dan evaluasi yang logis terhadap pelaksanaan program-pogram
pengelolaan DAS. Berdasarkan rumusan yang dihasilkan dari lokakarya Pengelolaan
DAS yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 1995, maka ada 3 hal yang
dianggap penting untuk diperhatikan dalam upaya pengelolaan DAS, yaitu :
1. Bahwa pengelolaan DAS merupakan bagian
penting dari kegiatan pembangunan di Indonesia, khususnya dalam rangka
pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah, dan air, sehubungan dengan perlindungan
lingkungan.
2. Pada dasarnya
pengelolaan DAS bersifat multidisiplin dan lintas sektoral sehingga keterpaduan
(integrated) mutlak diperlukan agar diperoleh hasil yang maksimal.
3. Dalam pelaksanaan
sistem perencanaan pengelolaan DAS terpadu, perlu diterapkan azas “Integrated Watershed Management Plan”. Untuk itu dalam setiap rencana pemanfaatan
DAS seharusnya diformulasikan dalam bentuk paket perencanaan terpadu dengan
memperhatikan kejelasan keterkaitan antar sektor pada tingkat regional/wilayah
dan nasional serta kesinambungannya.
IMPLIKASI PELAKSANAAN KONSEP PERENCANAAN DAS
Dalam
menjabarkan konseptual perencanaan dan pengelolaan DAS pada prinsipnya sama
aplikasinya untuk setiap unit DAS, namun demikian secara substansi dan
strateginya, bentuk-bentuk DAS harus dipelajari dengan seksama. Hal ini perlu dilakukan karena bentuk DAS
merupakan refleksi kondisi bio-fisik dan merupakan wujud dari proses alamiah
yang ada. Implikasi dari perencanaan
dan pengelolaan DAS sebagai suatu sistem hidrologi dan sistem produksi adalah
peluang terjadinya konflik kepentingan antar institusi terhadap pengelolaan
komponenen-komponen sistem DAS. Secara
umum masalah yang timbul dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan DAS
adalah pentingnya jaminan ketersediaan air baik kuantitas, kualitas dan
distribusi yang merata sepanjang tahun.
Secara institusional, kepentingan DAS digunakan sebagai unit perencanaan
berada pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan Menteri Negara Pekerjaan
Umum, namun orientasi kebijaksanaan terutama kebijakan operasionalnya masih
sangat berbeda. Oleh karena itu
operasionalisasi konsep DAS sebagai satuan unit perencanaan dihubungkan dengan
pembangunan pertanian dalam arti luas saat ini hanya terbatas pada upaya
rehabilitasi dan konservasi tanah dan air serta organisasi yang bersifat ad hoc
dan sampai saat ini, kelembagaan yang utuh tentang pengelolaan DAS belum
terpola.
Sasaran
konservasi tanah dan air diarahkan pada kawasan budidaya (pertanian) karena
secara potensial proses degradasi lebih banyak terjadi pada kawasan ini. Untuk itu agar proses terpeliharanya
sumberdaya tanah (lahan) akan terjamin maka setiap kawasan pertanian atau
budidaya tersedia kelas-kelas kemampuan dan kelas kesesuaian lahan. Dengan tersedianya kelas kemampuan dan kelas
kesesuaian ini, pemanfaatan lahan yang melebihi kemampuannya dan tidak sesuai
jenis penggunaannya dapat dihindari.
PEMBANGUNAN
PERTANIAN LAHAN KERING BERKELANJUTAN
Usahatani
Lahan Kering
Indonesia mempunyai asset
nasional berupa pertanian lahan kering sekitar 111,4 juta ha atau 58,5% dari
luas seluruh daratan (Notohadiprawiro, 1989).
Pertanian lahan kering mempunyai kondisi fisik dan potensi lahan sangat
beragam dengan kondisi sosial ekonomi petani umumnya kurang mampu dengan
sumberdaya lahan pertanian terbatas. Selanjutnya Sudharto et al. (1995 dalam Syam et al. 1996) mengemukakan bahwa
lahan kering merupakan sumberdaya pertanian terbesar ditinjau dari segi
luasnya, namun profil usahatani pada agroekosistem ini sebahagian masih
diwarnai oleh rendahnya produksi yang berkaitan erat dengan rendahnya
produktivitas lahan. Di beberapa daerah
telah terjadi degradasi lahan karena kurang cermatnya pengelolaan konvensional
dan menyebabkan petani tidak mampu meningkatkan pendapatannya. Berdasarkan kendala-kendala tersebut, maka
untuk menjamin produksi pertanian yang cukup tinggi secara berkelanjutan
diperlukan suatu konsep yang aktual dan
perencanaan yang tepat untuk memanfaatkan sumberdaya lahan khususnya
lahan kering.
Pengembangan pertanian
lahan kering di daerah hulu DAS, saat ini mendapat perhatian yang cukup
serius. Besarnya perhatian ini tidak
hanya menyangkut keberlanjutan usahatani di daerah tersebut tetapi juga dampak
hidrologisnya di daerah hilir, terutama pula adanya ketidak seimbangan
pembangunan dan invenstasi antara lahan kering di daerah hulu dan di daerah
hilir.
Usahatani lahan kering,
dalam keadaan alamiah memiliki berbagai kondisi yang menghambat pengembangannya
antara lain; keterbatasan air, kesusburan tanah yang rendah, peka terhadap
erosi, topografi bergelombang sampai berbukit, produktivitas lahan rendah, dan
ketersediaan sarana yang kurang memadai serta sulit dalam memasarkan hasil
(Haridjaja, 1990). Oleh karena itu, Sinukaban (1995) menegaskan bahwa di dalam
pengelolaan lahan tersebut hendaknya mencakup lima unsur yaitu : (1)
perencanaan penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya, (2) tindakan-tindakan
khusus konservasi tanah dan air, (3) menyiapkan tanah dalam keadaan olah yang
baik, dan (5) menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang bagi
tumbuhan.
Pertanian
Berkelanjutan
Pertanian
berkelanjutan adalah pertanian yang dirancang secara sistematis menggunakan
akal sehat dan usaha keras yang berkesinambungan sehingga pertanian itu sangat
poduktif secara terus menerus, merupakan habitat tenaga kerja yang baik untuk
jumlah yang besar dan meupakan suatu usaha yang menguntungkan. Dengan demikian, pertanian semacam ini akan
menghasilkan produksi pertanian yang cukup tinggi dan memberikan penghasilan
yang layak bagi petani secara berkelanjutan, sehingga mereka dapat merancang
masa depannya sendiri. Disamping itu,
juga harus menghasilkan spektrum produksi yang luas sehingga dapat menyediakan
bahan baku berbagai agroindustri dan produk-produk eksport secara lestari. Selanjutnya akan mampu menyerap tenaga kerja
dalam jumlah besar dengan pendapatan yang cukup tinggi, dengan demikian daerah
pertanian ini akan menjadi penyerap hasil-hasil industri (Sinukaban, 1995).
Produksi
pertanian yang cukup tinggi dapat dipertahankan secara terus menerus apabila
erosi lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan. Hal ini dapat dicapai, jika petani
menerapkan sistem pertanian dan pengelolaannya sesuai dengan kaidah-kaidah
konservasi tanah dan air. Dengan
demikian diperlukan penerapan teknologi berupa penerapan sistem usahatani
konservasi untuk membangun pertanian menjadi industri yang lestari berdasarkan
pengembangan sistem pengelolaan lahan dan tanaman yang ekonomis dalam jangka
pendek dan dapat mempertahankan produktivitas lahan yang cukup tinggi dalam
waktu yang tidak terbatas. Untuk itu
menurut Sinukaban (1995), dalam sistem usahatani konservasi akan diwujudkan
ciri-ciri sebagai berikut :
·
Produksi usahatani
cukup tinggi sehingga petani tetap bergairah melanjutkan usahanya
·
Pendapatan petani
yang cukup tinggi sehingga petani dapat mendisain masa depan keluarganya dari
pendapatan usahataninya.
·
Teknologi yang
diterapkan baik teknologi produksi maupun teknologi konservasi dapat diterima
dengan senang hati dan diterapkan sesuai kemampuan petani sendiri sehingga
sistem usahatani tersebut dapat diteruskan tanpa intervensi dari luar.
·
Komoditi yang
diusahakan cukup beragam, sesuai kondisi biofisik, sosial dan ekonomi
·
Erosi lebih kecil
dari erosi yang dapat ditoleransikan sehingga produksi yang tinggi tetap dapat
dipertahankan atau ditingkatkan dengan fungsi hidrologis tetap terpelihara
dengan baik.
·
Sistem
penguasaan/pemilikan lahan dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang dan
menggairahkan petani untuk tetap berusahatani.
Perencanaan
penggunaan lahan pada dasarnya adalah inventarisasi dan penilaian keadaan,
potensi sumberdaya dan faktor-faktor pembatas dari suatu daerah. Dengan permasalahan yang lebih kompleks di dalam sistem
usahatani lahan kering maka teknologi yang diperlukan tidak dapat diperlakukan
sama pada semua tempat, melainkan dibutuhkan pendekatan yang lebih terencana
sesuai kondisi biofisik dan sosial ekonomi setempat. Aspek teknologi yang perlu
dipertimbangkan adalah teknologi konservasi tanah dan air (ketersediaan
teknologi dan tingkat adopsi) serta teknologi pemantauan kegiatan pengelolaan
lahan termasuk pengawasan terhadap perubahan penggunaan lahan. Mengingat fungsi lahan yang demikian
penting, maka berbagai upaya dilakukan agar penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya. Kemampuan lahan untuk mendukung pertumbuhan
tanaman atau menghasilkan barang/jasa dapat menurun akibat kerusakan tanah oleh
berbagai proses antara lain : kehilangan unsur hara dan bahan organik dari
daerah perakaran, proses salinisasi, terakumulasi unsur atau senyawa yang
beracun bagi tanaman, penjenuhan tanah oleh air, dan erosi. Oleh karena itu dalam pengelolaan pertanian
lahan kering agar diperoleh produksi yang tinggi dan berkelanjutan maka perlu
dilakukan langkah-langkah perencanaan sebagai berikut : (1) Mengkaji kemampuan
lahan di wilayah DAS melalui studi klasifikasi kemampuan lahan; (2) Melakukan
prediksi erosi, (3) Melakukan analisis kelembagaan sosial ekonomi dan (4)
Melakukan evaluasi penggunaan lahan.
Klasifikasi Kemampuan Lahan
Klasifikasi
kemampuan lahan adalah suatu cara penilaian lahan (komponen-komponen lahan)
secara sistematik dan mengelompokkan ke dalam beberapa kategori berdasarkan
sifat-sifat potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari (Arsyad,
1989).
Sistem klasifikasi kemampuan lahan (land
capability) yang dikembangkan oleh USDA (Klingebiel & Montgomery, 1973)
sampai saat ini masih digunakan di banyak negara. Dalam sistem ini dikenal tiga kategori klasifikasi yaitu: kelas,
subkelas, dan unit pengelolaan.
Penggolongan ke dalam tiga kategori tersebut berdasarkan atas kemampuan
lahan untuk produksi pertanian secara umum tanpa menimbulkan kerusakan dalam
jangka panjang. Pada tingkat kelas
kemampuan lahan menunjukkan kesamaan besarnya faktor-faktor penghambat. Tanah dikelompokkan ke dalam kelas I - VIII, dimana semakin tinggi kelasnya
berarti resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat bertambah besar. Tanah kelas I - IV merupakan lahan yang
sesuai untuk usaha pertanian, dan kelas V – VIII tidak sesuai untuk usaha
pertanian atau diperlukan biaya yang sangat tinggi untuk pengelolaannya. Secara
skematik penggunaan lahan secara umum sesuai dengan kelas kemampuan lahan
ditunjukkan pada gambar berikut :
Faktor-faktor yang
digunakan dalam kriteria klasifikasi meliputi : tekstur (t), lereng permukaan
(l), drainase (d), kedalaman efektif (k), keadaan erosi (e), kerikil/batuan dan
bahaya banjir (b). Kriteria intensitas
faktor-faktor tersebut disajikan pada tabel berikut :
Tabel 1. Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan
No |
Faktor Penghambat |
Kelas Kemampauan |
|||||||
I |
II
|
III |
IV |
V |
VI |
VII |
VIII |
||
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 |
Lereng permukaan
(l) Kepekaan erosi
(KE) Tingkat erosi (e) Kedalaman tanah
(k) Tekstur lapisan
atas (t) Tekstur lap.bawah
(t) Permeabilitas (p) Drainase (d) Krikil/batuan (b) Ancaman banjir (o) Salinitas (g) (***) |
0 1-2 0 0 1-3 1-3 2-3 1 0 0 0 |
1 3 1 1 1-3 1-3 2-3 2 0 1 1
|
2 4-5 2 2 1-4 1-4 2-3 3 1 2 2 |
3 6 3 2 1-4 1-4 2-3 4 2 3 3 |
0 (*) (**) (*) (*) (*) 1 5 3 4 (**) |
4 (*) 4 3 1-4 1-4 (*) (**) (*) (**) 3 |
5 (*) 5 (*) 1-4 1-4 (*) (**) (*) (**) (*) |
6 (*) (*) (*) 5 5 5 0 4 (*) (*) |
Sumber : Arsyad I1989)
Keterangan :
(*) = Dapat mempunyai sebarang sifat faktor
penghambat
(**) = Tidak berlaku
(***) =
Umumnya terdapat di daerah miring beriklim panas
Prediksi
Erosi
Di daerah beriklim basah seperti Indonesia, kerusakan
lahan oleh erosi terutama disebabkan oleh hanyutnya tanah terbawa oleh air
hujan. Erosi oleh air sangat
membahayakan tanah-tanah pertanian, terutama di daerah yang berkemiringan
terjal. Selain iklim dan kemiringan
lahan (topografi), besarnya erosi dipengaruhi pula oleh faktor-faktor vegetasi,
pengolahan tanah dan manusia.
Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi tersebut dapat dinyatakan suatu
persamaan deskriptif (Arsyad, 1989) sebagai berikut :
E = f (C, T, V, S, H)
Dimana C = climate,
T = topografi, V = vegetation, S = soil, H = human
Di antara kelima faktor di atas, faktor manusia
paling menentukan apakah tanah yang diusahakan akan rusak dan tidak produktif
atau menjadi baik dan produktif secara lestari. Dalam kaitannya dengan kegiatan
pertanian yang berkelanjutan, maka erosi yang terjadi perlu dikendalikan sampai
suatu tingkat yang lebih rendah dari pada erosi yang dapat ditoleransikan (tolerable erosion). Dengan demikian akan tercipta suatu keadaan
tanah yang mampu memelihara pertumbuhan tanaman dengan produktivitas yang
tinggi secaa lestari (Wischmeier dan Smith, 1978). Secara umum ada 3 cara yang dapat digunakan untuk menetapkan
nilai tolerable erosion suatu lahan, yaitu : (1) Metode Hammer
(1981), yang menggunakan konsep kedalaman ekivalen (equivalent depth) dan umur guna tanah (resources life); (2) Metode Thompson (1957, dalam Arsyad, 1989) yang menggunakan nilai dari pengkajian berbagai
sifat dan stratum tanah; (3) Pedoman nilai tolerable
erosion yang dibuat oleh Arsyad khusus tanah-tanah di Indonesia yang
didasarkan pada kriteria sifat dan stratum tanah.
Kelembagaan
Sosial Ekonomi
Secara ringkas permasalahan utama dalam pengelolaan DAS
dan konservasi tanah berkaitan dengan masalah kelembagaan berupa : (1)
perbedaan sistem nilai (value) masyarakat berkenaan dengan kelangkaan
sumberdaya, sehingga penanganan persoalan di Jawa berbeda dengan di luar Jawa,
(2) orientasi ekonomi yang kuat tidak diimbangi komitmen terhadap perlindungan
fungsi lingkungan yang berimplikasi pada munculnya persoalan dalam implementasi
tata ruang, (3) persoalan laten berkaitan dengan masalah agraria dan (4)
kekosongan lembaga/instansi pengontrol pelaksanaan program. Menurut Asdak, (1999), dalam keterkaitan biofisik wilayah hulu-hilir suatu DAS,
hal-hal tersebut di bawah ini perlu menjadi perhatian :
- Kelembagaan yang
efektif seharusnya mampu merefleksikan keterkaitan lingkungan biofisik dan
sosek dimana lembaga tersebut beroperasi.
Apabila aktivitas pengelolaan di bagian hulu DAS akan menimbulkan dampak
yang nyata pada lingkungan biofisik dan/atau sosek di bagian hilir dari DAS
yang sama, maka perlu adanya desentralisasi pengelolaan DAS yang melibatkan
bagian hulu dan hilir sebagai satu kesatuan perencanaan dan pengelolaan.
- Externalities, adalah dampak
(positif/negatif) suatu aktivitas/program dan/atau kebijakan yang
dialami/dirasakan di luar daerah dimana program/kebijakan dilaksanakan. Dampak tersebut seringkali tidak terinternalisir
dalam perencanaan kegiatan. Dapat
dikemukakan bahwa negative externalities dapat mengganggu tercapainya
keberlanjutan pengelolaan DAS bagi : (1) mayarakat di luar wilayah kegiatan (spatial externalities), (2) masyarakat
yang tinggal pada periode waktu tertentu setelah kegiatan berakhir (temporal externalities ), dan (3)
kepentingan berbagai sektor ekonomi yang berada di luar lokasi kegiatan (sectoral externalities).
-
Menyadari adanya hal yang bersifat “externalities”
tersebut maka pengelolaan sumberdaya alam dapat dikatakan baik apabila
keseluruhan biaya dan keuntungan yang timbul oleh adanya kegiatan pengelolaan
tersebut dapat ditanggung secara proporsional oleh para aktor (organisasi
pemerintah, kelompok masyarakat atau perorangan) yang melaksanakan kegiatan
pengelolaan sumberdaya alam (DAS) dan para aktor yang akan mendapatkan
keuntungan dari adanya kegiatan tersebut.
Peran
strategis DAS sebagai unit perencanaan dan pengelolaan sumberdaya semakin nyata
pada saat DAS tidak dapat berfungsi optimal sebagai media pengatur tata air dan
penjamin kualitas air yang dicerminkan dengan terjadinya banjir, kekeringan dan
tingkat sedimentasi yang tinggi. Dalam
prosesnya, maka kejadian-kejaadian tersebut merupakan fenomena yang timbul
sebagai akibat dari terganggunya fungsi DAS sebagai satu kesatuan sistem
hidrologi yang melibatkan kompleksitas proses yang berlaku pada DAS. Salah satu indikator dominan yang
menyebabkan terganggunya fungsi hidrologi DAS adalah terbentuknya lahan
kritis. Dari hasil inventarisasi lahan
kritis menunjukkan bahwa terdapat + 14,4 juta Ha di luar kawasan hutan dan + 8,3 juta Ha di dalam
kawasan hutan (Pasaribu, 1999).
Prosedure perencanaan pengelolaan/pembangunan pertanian secara teknis
dapat digambarkan sebagai berikut :
KESIMPULAN
1. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai adalah
suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit
pengelolaan, dimana daerah bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik
melalui daur hidrologi. Oleh karena itu
perubahan penggunaan lahan di daerah hulu
memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi debit air,
kualitas air dan transport sedimen serta bahan-bahan terlarut di dalamnya.
2. Perencanaan dan pengelolaan DAS merupakan aktivitas
yang berdimensi biofisik (seperti, pengendalian erosi, pencegahan dan
penanggulangan lahan-lahan kritis, dan pengelolaan pertanian konservatif);
berdimensi kelembagaan (seperti, insentif dan peraturan-peraturan yang
berkaitan dengan bidang ekonomi); dan berdimensi sosial yang lebih diarahkan
pada kondisi sosial budaya setempat untuk menjadi pertimbangan di dalam
perencanaan suatu aktivitas/teknologi pengelolaan Daerah Aliran Sungai sebagai
satuan unit perencanaan pembangunan pertanian yang berkelanjutan.
3. Operasionalisai konsep
DAS sebagai satuan unit perencanaan dalam pembangunan pertanian masih terbatas
pada upaya rehabilitasi dan konservasi tanah dan air, sedangkan organisasi
masih bersifat ad.hoc, dan kelembagaan yang utuh tentang pengelolaan DAS belum
terpola.
4. Pembangunan pertanian lahan kering melalui
pendekatan DAS, agar dapat menjamin keberlanjutan maka hendaknya perencanaan
penggunaan lahan harus sesuai dengan kemampuan lahannya, erosi yang dihasilkan
lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan, teknologi pengelolaan harus
dapat dilakukan oleh petani tanpa intervensi dari pihak luar, produksi yang
cukup tinggi, dan pendapatan petani yang layak.
5. Dalam perencanaan pembangunan pertanian
lahan kering yang berkelanjutan perlu dilakukan langkah-langkah perencanaan
sebagai berikut : mengkaji kelas kemampuan lahan melalui studi klasifikasi
kemampuan lahan, menelaah potensi erosi, melakukan analisis kelembagaan sosial
- ekonomi setempat dan evaluasi kesesuaian penggunaan lahan.
REFERENSI
Asdak, C. 1999. Das sebagai Satuan Monitoring dan Evaluasi
Lingkungan (air sebagai indikator sentral).
Seminar Sehari PERSAKI “Daerah Aliran Sungai sebagai Satuan Perencanaan
Terpadu Dalam Pengelolaan Sumberdaya Air”. 21 Desember 1999. Jakarta.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB (IPB Press). Bogor.
Haridjaja, O. 1990.
Pengembangan Pola Usahatani Campuran pada Lahan kering yang Berwawasan
Lingkungan di Kabupaten Sukabumi.
Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
Klingebiel, A. A. And P. M.
Montgomery. 1973. Land Capability Classivication Agric.
Handbook. No. 210, USDA-SES. 21h.
Notohadiprawiro. 1989.
Pertanian Lahan Kering di Indonesia : Potensi Prospek, Kendala dan
Pengembangannya. Makalah Lokakarya
Evaluasi Pelaksanaan Proyek Pengembangan Palawija SFCDP-USAID Bogor. 6-8 Desember 1989. 19 h.
Pasaribu, H. S. 1999.
DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu Dalam Kaitannya dengan
Pengembangan Wilayah dan Pengembangan Sektoral Berbasiskan Konservasi Tanah dan
Air. Seminar Sehari PERSAKI “DAS
sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Pengelolaan Sumberdaya Air”. 21 Desember 1999. Jakarta.
Sinukaban, N. 1995.
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Bahan Kuliah pada Program Pascasarjana, IPB, Bogor.
Syam, A., K. Kariyasa, E. Sujitno dan Z. Zaini. 1996.
Prosiding Lokakarya Evaluasi Hasil Penelitian Usahatani Lahan
Kering, 1997. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian, Bogor.
Wischmeier, W. H. and D. D. Smith. 1978. Predicting Rainfall
Erosion Losses. US. Dept. Agric. Handbook. No. 537.