© 2001  Rusyadi                                                                  Posted:  22 Nov. 2001   [rudyct] 

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

November 2001

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

 

 

 

 

ASPEK YURIDIS PENGAMATAN SELAT DI PERAIRAN INDONESIA

(Implementasi Wawasan Nusantara dari Aspek Hukum Laut)

 

 

Oleh:

RUSYADI

C 526010051/TKL

E-mail : rusyadi@hotmail.com

 

 

 

 

ABSTRAK

 

Salah satu perwujudan Wawasan Nusantara yang mutlak dan tidak bisa ditawar lagi kehadirannya adalah mengupayakan pengaturan dan pengamatan selat yang digunakan untuk pelajaran internasional di perairan Indonesia. Dengan disahkannya konvensiHukum Laut 1982, maka upaya pengaturan dan pengamatan selat telah mempunyai landasan hokum. Melalui aspek-aspek yuridis itulah merupakan alat yang bisa digunakan oleh negara kita untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

 

 

 

PENDAHULUAN

 

 

          Menurut Albert Teer Mahan, seorang ahli dalam sejarah Maritim, mengatakan suatu negara dapatlah mempertahankan dirinya bila ia mempunyai angkatan laut yang kuat. Kekuatan laut yang kuat memakai kekuatan yang vital  bagi negara tersebut, berarti ia mempunyai kekuatan yang vital untuk menjaga pertumbuhan, kemakmuaran dan Keamanan Nasional.

          Suatu kekuatan laut dapat dijamin apabila ke – 6 faktor pokok tersebut ialah

1.      Letak geografis

2.      Perwujudan corak pengawasan fisik bumi.

3.      Cara pembagian pengawasan luas wilayah.

4.      Jumlah penduduk yang memadai.

5.      Corak Kepribadian Nasional dan Bangsa yang bersangkutan.

6.      Sifat dan sistem pemerintahan yang mendukung  kekuatan laut.

 

Adalah Indonesia, denga luas yang 3,5 juta mil itu terbagi daratan dan perairan (i/3 daratan dan 2/3 lautan), kurang lebih ada 13.000 buah pulau menghiasi wilayah perairan ini. Pada dasarnya ada tiga garis pantai, yaitu :

1.      Garis pantai utara menghadap laut Tiongkok Selatan, sulu dan pulau Sulawesi.

2.      Garis Pantai Selatan, menghadap samudera Indonesia, Laut Timur dan Laut Arafuru.

3.      Garis Pantai Tengah merupakan lautan Nusantara.

Adapun  selat-selat yang menghubungkan garis pantai adalah : Selat Sumatera, Selat Singapura, Selat Berkala, Selat Bangka, Selat Gaspar, Selat Karimata, Selat Sunda dan Selat Makasar. Batas laut territorial dihitung 12 mil diukur dari garis dasar yang dibuat dengan menghubungkan  ujung-ujung terluar dari pulau-pulau kita (point to point sistem).

Pada umumnya negara-negara kepulauan relatif lebih menguntungkan dari pada negara yang dekat dengan daratan yang luas, karena :

1.      Pada umumnya mempunyai potensi perdagangan internasional.

2.      Secara politis dapat lebih memainkan peranannya dalam percaturan dunia.

3.       Lebih aman dan terlindung dari serangan-serangan invasional negara-negara kontinental (Hidayat, dkk : 1983).

 

Pengaturan Selat dalam Konvensi Hukum Laut 1982

          Perlu diketahui bahwa hubungan hukum antar negara masuk dalam lingkup Hukum Internasional. Pada akhir tahun 1982 masyarakat internasional telah berhasil menyelesaikan tugasnya yang sangat berat dala menyusun suatu perangkat hukum laut baru untuk mengatur segala bentuk penggunaan laut serta pemanfaatan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hasil-hasil yang telah dirumuskan oleh kurang lebih 159 negara anggota perserikatan bangsa-bangsa tersebut dituangkan dalam bentuk naskah  perjanjian antar negara yang dikenal sebagai Konvensi Hukum Laut 1982.

          Dengan telah disahkannya konvensi hokum Laut 1982, tidaklah berarti bahwa konvensi  tersebut telah dapat menampung segala kepentingan negara-negara. Justru pada masa sekarang, masalah-masalah yang nyata mulai timbul. Salah satu penggunaan laut yang dapat menimbulkan sengketa adalah mengenai pengaturan dan pengamanan hak lintas bagi kapal-kapal asing  pada perairan yang berada dibawah yurisdiksi suatu negara. Masalah pengaturan dan pengamanan baik hak lintas bagi kapal asing melalui Perairan Indonesia khususnya pada selat yang digunakan untuk pelajaran internasional merupakan suatu masalah yang bersifat global. Hal ini dikarenakan pengaturan dan pengamanan hak lintas bagi kapal asing melaui selat yang digunakan untuk pelajaran internasional akan mempunyai dampak tidak hanya bagi negara-negara pemakai selat maupun negara-negara lain, baik secara langsung maupun tidak langsung akan merasakan akibatnya pada segi-segi kehidupan  politik, militer dan ekonominya. Selain dari itu pengaturan dan pengamanan hak lintas bagi kapal asing ini akan terasa  implikasinya apabila diterapkan  kepada kapal-kapal perang.

          Masalah hak lintas bagi kapal asing melalui selat yang digunakan untuk pelajaran internasional timbul terutama setelah munculnya usaha perluasan yurisdiksi negara atas laut dalam dalam bentuk perluasan lebar laut territorial dari 3 mil menjadi 12 mil. Sebagai akibatnya selat-selat strategis yang tadinya merupakan bagian dari laut lepas, sekarang menjadi bagian dari territorial atau laut lepas.

          Pada selat-selat yang merupakan bagian dari laut lepas, kapal-kapal negara manapun  bebas untuk melakukan pelajaran tanpa adanya pembatasan-pembatasan dari negara pantai. Berbeda halnya dengan selat-selat yang termasuk  bagian dari laut teritorial suatu negara. Kapal-kapal asing yang hendak berlayar  melalui selat demikian hanya dapat dilakukannya sepanjang kapal-kapal tersebut memenuhi ketentuan     tentang lintas damai, suatu hak yang sewaktu-waktu dapat ditangguhkan oleh negara pantai untuk menjaga keamanannya (pasal 16 ayat 4 konvensi jeneva, tentang laut territorial dan jalur tambahan 1958).

          Salah satu akibat yang sangat  menonjol dari tindakan perluasan ini  adalah bahwa  dalam hal lintasan melalui selat yang digunakan untuk pelajaran internasional timbul dua kepentingan yang saling bertolah belakang. Disatu pihak hampir semua negara  pantai ingin memperahankan konsep lintas  damai agar dapat  turut mengatur lintasan kapal-kapal asing melalui selat-selat yang merupakan  bagian dari wilayahnya. Alasannya, karena hal tersebut secara tidak langsung akan mempunyai dampak terhadap kepentingan-kepentingan keamanan, ekonomi dan lingkungannya.

          Si lain pihak, negara-negara maritime besar justru menganggap bahwa kepentingan-kepentingan akan dapat lebih terjamin seandainya negara-negara pantai tidak menghambat kelancaran pelayaran internasional, terlebih-lebih pelajaran yang dilakukan  oleh kapal-kapal perang. Negara-negara tersebut ingin mempertahankan kebebasan pelayaran terutama  melalui selat-selat yang strategis dan mempunyai nilai komersial yang sangat tinggi seperti : Dover, Gibraltar, Hormuz, Babel Mandeb dan Malaka (Churchill et.al : 1983).

          Dalam usaha untuk mengatasi masalah yang dapat ditimbulkan  oleh adanya dua pandangan yang berbeda tersebut, konverensi PBB tentang Hukum Laut ke III, telah berhasil mencapai kompromi dalam bentuk suatu  pangaturan baru yang disebut lintas transit  (tansit passage) yang berlaku pada selat yang digunakan  untuk pelayaran internasional yang terletak pada perairan kepulauan diciptakan dua kemungkinan dengan menggunakan hak lintas damai (innocent passage) – pasal 52) atau hak lintas alur laut kepulauan (archipelagic sealanes passage – pasal 53 konvensi Hukum Laut 1982).

          Bagi Indonesia ketentuan-ketentuan konvensi hokum Laut 1982 yang kali ini sudah barang tentu akan menimbulkan masalah, terlebih-lebih karena pada  perairan Indonesia  banyak terdapat  selat-selat yang selama ini digunakan untuk pelajaran  internasional  selama ini  digunakan untuk pelayaran internasional dan dianggap mempunyai nilai strategis  meupun ekonomis yang sangat penting seperti Selat Malaka, Selat Singapura, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makasar  Selat Ombai, Selat Wetan.

          Dalam pada itu peraturan perundang-undangan Indonesia belum memuat ketentuan-ketentuan tentang hak-hak yang baru tersebut. Sudah barang tentu keputusan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam meratifikasi konvensi Huikum Laut 1982 dan mengundangkannya dalam Undang-undang nomor 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United nations Convertion on The Law of the sea, harus segera diikuti dengan langkah lanjutan yang berupa implementasi ketentuan-ketentuan konvensi Hukum Laut 1982 ke dalam wilayah perairan yang berada dibawah yurisdiksi Indonesia.

          Konvensi Jenewa tentang laut territorial dan jalur tambahan  1958 memberikan definisi yuridis pada selat yang digunakan untuk pelayaran internasional sebagai wilayah perairan yang terletak diantara  satu bagian dari laut lepas, atau antara laut lepas dengan bagain lain dari  laut lepas, atau antara laut lepas dengan laut territorial  dari suatu negara (pasal   15 ayat  4)

          Sedangkan konvensi hukum laut 1982 memberikan rumusan baru tentang “Selat yang digunakan  untuk pelayaran internasional” dengan konsekuaensi pengaturan yang berbeda-beda. Pasal 37 mengartikan “Selat yang digunakan pelayaran internasional “(Straits Used For International Navigation) segbgai wilayah  perairan  yang menghubungkan satu bagian dari laut lepas  atau zona ekonomi  eksklusif. Pada selat-selat  lain yang tidak termasuk ke dalam  kategori  pasal 37 ini akan berlaku  rejim hokum innocent passage meupun archipelagic Sealames passage (pasal 45  dan 53)

          Dapat disimpulkan disini bahwa konvensi Hukum Laut 1982 dalam memberikan arti yuridis kepada “Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional” telah membaginya melalui suatu tinjauan fungsional geografis  akan menghasilkan empat macam selat, yaitu :

1.      Yang menghubungkan satu bagian dari laut lepas  atau zona ekonomi eksklusif dengan bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif (pasal 37).

2.      Sama dengan kategori pertama, akan tetapi berada antara satu pulau dan daratan utama  negara yang berbatasana dengan selat, dan pada sisi ke arah laut  pulau itu terdapat  suatu rute melalui  laut lepas atau melalui suatu zona ekonomi  eksklusif yang sama fungsinya bertalian dengan sifat-sifat naigasi dan hidrografis (pasal 38 ayat 1).

3.      Yang menghubungkan satu bagian dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan luas  teritorial   dari suatu negara (pasal 5 ayat 16)

4.      Yang merupakan  alur laut yang ditetapkan  oleh Negara kepulauan  yang terletak pada perairan kepulauan Negara tersebut (pasal 53 ayat 1 dan 4).

Menurut pengamatan Mochtar Kusumaatmaja, Indonesia dalam hal penerapan perjanjian internasional, menurut praktek  lebih condong kepada sistem yang dianut oleh negara-negara  Eropa Kontinental, yaitu  langsung menganggap  diri kita terikat  dalam kewajiban  melaksanakan  dan mentaati ketentuan-ketentuan  perjanjian dan konvensi  yang telah disahkan tanpa perlu mengadakan lagi peraturan pelaksanaannya (mochtar Kusumaatmadja : 1976).

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa dengan telah diundangkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United nations Convention on the law of the sea, maka Indonesia telah terikat oleh  kewajiban untuk  melaksanakan dan mentaati ketentuan-ketentuan  yang tercantum di dalamnya.

Di dalam praktek Indonesia selama ini, ternyata pendapat tersebut tidak berlaku umum terhadap semua perjanjian  internasional. Dengan berdasarkan pada alas an  kepentingan politis dan untuk dapat segera melaksanakan  ketentuan-ketentuan perjanjian internasional, Indonesia telah menetapkan peraturan perundang-udangan untuk menerapkan ketentuan-ketentuan hokum internasional tertentu sebelum melakukan ratifikasi terhadap  perjanjian  yang memuat perjanjian tersebut. Contohnya penetapan undang-undang nomor  5 tahun 1983 tentang zona ekonomi Indonesia, dimana penetapan atau  pengundangan Undang-undang tersebut  di dilakukan dalam rangkamelaksanakan salah satu bagian dari ketentuan-ketentuan konvensi Hukum Laut 1982, sehingga penetapan Undang-undang  ini dianggap salah satu peraturan  pelaksanaan dari Undang-Undang nomor 17 Tahun 1985.

Sebaliknya ada juga perjanjian  internasional  yang telah diratifikasikan. Akan tetapi penerapannya masih  dianggap memerlukan peraturan  pelaksanaannya lebih lanjut. Contohnya ratifikasi  yang dilakukan oleh Indonesia  melalui Keppres Nomor 34 Tahun 1981 terhadap  Convertion on the Recognotion, 1958) oleh Mahkamah Agung dianggap  belum berlaku dan masih membutuhkan peraturan pelaksanaannya.

Mengenai konvensi Hukum Laut 1982, pada kenyataannya banyak negara-negara yang telah mulai menyesuaikan ketentuan-ketentuan hokum nasionalnya, atau paling tidak menetapkan kenijaksanaan dalam masalah pengamanan, pengelolaan dan pemanfaatan laut dengan berpedoman kepada  ketentuan-ketentuan konvensi  Hukum Laut 1982 serta berdasarkan pada pasal18 konvensi wina tentang Hukum Perjanjian  1969, yang menyatakan, bahwa setelah penandatanganan naskah konvensi, negara-negara mempunyai kewajiban  untuk tidak melakukan  tindakan-tindakan yang bertentangan dengan maksuda dan tujuan  diadakannya perjanjian  internasional itu. Ketentuan tersebut ianggap mengikat bagi negara-negara  penandatanganan meskipun konvensi belum mulai  berlak (Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969). Selain dari itu beberapa ketentuan  yang terdapat dalan konvensi  Hukum Laut 192, tanpa melalui proses ratifikasi  telah menjadi bagian dari Hukum yang berlaku di sebagian besar  negara-negara peserta konvensi.

Dalam pada itu bagi Indonesia sebagai suatu negara yang telah  meratifikasi  konvensi yang baru ini, maka sudah sepantasnya apabila  tindak lanjut yang harus dilakukan adalah  implementasi. Berbeda dengan konsep trasdisional tentang implementasi yaitu  hanya pemenuhan atas kewajiban-kewajiban  yang menurut Douglas  M Johnston dapat dibedakan ke dalam dua bentuk, yaitu ;

1.        Soft responsibilits atau merespectation, yaitu dalam bentuk  harapan-harapan  agar negara-negara melakukan suatu tindakan tertentu, dan

2.        Hard Law Obligations, yaitu berupa kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam konvensi itu sendiri.

 

Menurut Etty R. Agoes, ketentuan-ketentuan konvensi hukum Laut 1982 kalau dikaji melalui kedua bentuk kewajiban-kewajiban seperti tersebut  diatas, maka secara umum konvensi  telah menyediakan  metode praktis implementasinya, yaitu melalui cara-cara sebagai berikut :

1.      Melaksanakan hak-hak yang diberikan oleh konvensi.

2.      Mengeluarkan peraturan perundang-undangan baru

3.      Melaksanakan kewajiban-kewajiban yang bersifat teknis atau administrasi;

4.      Menetapkan ketentuan-ketentuan khusus yang harus diterapkan untuk kegiatan-kegiatan tertentu seperti misalnya penerapan batas terluar, garis pangkal dan lain-lain;

5.      Melaksanakan  kewajiban-kewajiban finansial yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan kegiata-kegiatan tertentu.

6.      Melaksanakan kewajiban-kewajiban untuk melaksanakan kerjasama internasional (Etty R. Agoes; 1988).

 

Dengan  mengingat berbagai kepentingan seperti, keamanan, ekonomi, politik dan lingkungannya maka konvensi Hukum Laut 1982 perlu segera diwujudkan  pelaksanaannya ke dalam wilayah  perairan yang berada di bawah yurisdiksi Indonesia. Hal ini dalam rangka  menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi atas tindakan  dari negara-negara  lain yang berkepentingan dengan penggunaan  pelajaran internasional ; sebab masalah ini merupakan masalah yang bersifat global.

Adapun salah satu sisi perwujudan  Wawasan Nusantara yang mutlak (tidak bisa ditawar lagi kehadirannya) adalah mengupayakan pengaturan  dan pengamanan selat  yang digunakan untuk pelayaran internasional di perairan Indonesia sesuai  dengan jiwa konvensi Hukum Laut 1982. hal ini mengingat, karena dengan melalui aspek yuridis itulah merupakan alat yang bisa digunakan oleh negara kita untuk menjaga kelangsungan hidupnya (dalam arti : pengamanan lingkungan, nilai ekonomis, sekaligus memperkokoh stabilitas nasional).

 

Kesimpulan

1.      Luas negara kita yang 2/3 terdiri dari lautan / perairan, haruslah selalu bisa mengantisipasi segala sepak terjang  yang berkaitan perairan ataupun pelajaran intrnasional khususnya dari segi yuridis tinjauan masalah perairan internasional dari aspek yuridis merupakan salah satu senjata bagi bangsa dan negara kita untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

2.      Pada akhir tahun 1982 masyarakat internasional telah berhasil menyelesaikan tugasnya yang sangat berat dalam menyusun suatu perangkat hukum laut baru untuk mengatur segala  bentuk penggunaan laut serta  pemanfaatan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya hasil-hasil yang telah dirumuskan oleh kurang lebih 159 negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa  tersebut dituangkan dalam bentuk naskah perjanjian antar negara dikenal sebagai konvensi Hukum Laut 1982.

3.      Oleh karena itu Konvensi Hukum Laut 1982 perlu segera di wujudkan  pelaksanaannya kedalam wilayah  perairan    yang berada dibawah yurisdiksi Indonesia. Hal ini dalam rangka menjaga kemungkinan yang akan terjadi atas tindakan dari negara-negara lain yang berkepentingan dengan penggunaan pelajaran Internasional, sebab masalah ini merupakan masalah yang bersifat global. Dengan demikian, kita harus sedini mungkin mencari alat sebagai bahan pelindung untuk untuk memberikan  arguman  yangbisa diterima  negara lain. Adapun alat yang dimaksud  adalah kajian dari aspek yuridisnya.

4.      Salah satu sisi perwujudan  Wawasan Nusantara yangmutlak (tidak bisa ditawar lagi kehadirannya) adalah mengupayakan pengaturan dan pengamanan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional di perairan Indonesia sesuai  dengan jiwa konvensi Hukum Laut 1982. hal ini mengingat, dengan melalui aspek yuridis itulah merupakan alat yang bisa digunakan  oleh negara kita untuk menjaga kelangsungan hidupnya (dalam arti : pengamana lingkungan nilai ekonomis sekaligus memperkokoh stabilitas nasional).

 

Daftar Pustaka

Agoes, Etty, R., 1988, masalah  sekitar Ratifikasi dan Implementasi konvensi hukum Laut 1982, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

 

Basril, Chaidir ., 1992, Pengetahuan tentang Penyelenggaraan Pertahanan Keamanan Negara, CV. Chitra Delima, Jakarta.

 

Djalal, Hasyim., 1979, Perjuangan Indonesia di bidang Hukujm Laut, Bina Cipta, Bandung.

 

Hidayat, Imam dan Mardiono., 1983, Geopolitik, Usaha Nasional, Surabaya.

 

Kusumaatmadja, Mochtar., 1976, Pengaturan Hukum Penjagaan Keamanan di Laut  dan di Pantai, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Univesitas Padjajaran, Bandung.

 

Muhadjir., 1987, Evaluasidan Strategi Kebudayaan, UI-press, Jakarta.