© 2001 Rini
Hidayati Posted: 27
Nov. 2001 [rudyct]
Makalah Falsafah Sains (PPs
702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
November 2001
Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
(Penanggung Jawab)
MASALAH
PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
BEBERAPA
CONTOH KASUS
Oleh:
AGK
G226010021
E-mail: rinihid@yahoo.com
Studi tentang iklim mencakup kajian
tentang fenomena fisik atmosfer sebagai hasil interaksi proses-proses fisik dan
kimiafisik yang terjadi di udara (atmosfer) dengan permukaan bumi. Keduanya saling mempengaruhi, aktivitas
atmosfer dikendalikan oleh fisiografi bumi, dan fluktuasi iklim berpengaruh
terhadap aktivitas di muka bumi.
Iklim selalu berubah
menurut ruang dan waktu. Dalam skala
waktu perubahan iklim akan membentuk pola atau siklus tertentu, baik harian,
musiman, tahunan maupun siklus beberapa tahunan . Selain perubahan yang berpola
siklus, aktivitas manusia menyebabkan pola iklim berubah secara berkelanjutan,
baik dalam skala global maupun skala lokal.
Perubahan iklim merupakan issue
lama, tetapi baru memperoleh perhatian dunia secara serius pada akhir abad ke
XIX, dimulai pada saat diselenggarakannya Konverensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio
de Janeiro, Brasil tahun1992, dengan dibentuknya badan dunia yang dikenal
dengan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Pada periode inilah perubahan iklim,
penyebab, dampak yang akan ditimbulkan dan penanggulangan dampak , serta upaya
menekan laju perubahan iklim banyak dipelajari dan diupayakan pemecahannya
dalam skala Internasional.
Indonesia adalah negara berkembang
yang berbentuk kepulauan dengan jumlah dan laju perkembangan penduduk yang
tinggi. Total penduduk Indonesia pada tahun 1997
telah melebihi 200 juta. Pertumbuhan
teknologi dan sosial-ekonomi negara ini belum menunjukkan perbaikan secara
nyata,sehingga dapat digolongkan sebagai negara dengan tingkat kerentanan
tinggi terhadap akibat yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.
Tulisan
ini mencoba mencari kebenaran tentang issue perubahan iklim khususnya di
Indonesia, mencoba mengulas apakah kita perlu mengkaji dampak perubahan iklim
pada berbagai sektor serta melakukan upaya adaptasi terhadap dampak yang yang
ditimbulkan oleh perubahan iklim. Karena keterbatasan data yang tersedia, maka
akan diambil hanya beberapa contoh kasus untuk menggambarkan perubahan iklim
dan dampak yang akan ditimbulkan di Indonesia.
II. Perubahan dan
Keragaman Iklim
II.1. Perubahan Iklim
Dari sejarah terbentuknya iklim
dan kehidupan di bumi (paleoklimatologi), komposisi atmosfer secara alami
selalu berubah. Pada awalnya atmosfer
bumi penuh dengan bahan-bahan beracun seperti H2, Ch4, NH3,
dan Fe. Dengan adanya evolusi atmosfer
pada suatu ketika atmosfer baru dapat menunjang kehidupan setelah kandungan
Oksigen mencukupi dan radiasi matahari tidak terlalu panas (aktivitas matahari
optimum dan atmosfer memenuhi syarat sebagai penyangga radiasi). Dalam perjalanan usia bumi hingga saat ini terdapat sejarah zaman Jurassic. Makhluk-makhluk
zaman ini punah pada saat atmosfer bumi kehilangan CO2 secara
nyata. Ini menunjukkan bahwa perubahan
iklim secara alami terjadi terus menerus.
Perubahan
iklim secara alami terjadi secara gradual. Sejak zaman revolusi industri pembakaran
bakar fosil meningkat secara nyata. Meningkatnya laju pertambahan penduduk
dunia yang besar pada zaman modern, serta pemakaian dan eksplorasi bahan-bahan
di bumi untuk memenuhi kebutuhan hidup inilah yang merubah dan mempercepat
perubahan susunan atmosfer bumi. .
Secara
umum iklim didefinisikan sebagai keragaman keadaan fisik atmosfer. Sistem
iklim dalam hubungannya dengan perubahan iklim menurut United Nation Framework Convention on Climate Change adalah
“Totalitas atmosfer, hidrosfer, biosfer dan geosfer dengan interaksinya”.
Perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan pada iklim yang dipengaruhi
langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang merubah komposisi
atmosfer, yang akan memperbesar keragaman iklim teramati pada periode yang
cukup panjang (Trenberth, Houghton and Filho. 1995).
Secara Statistik Perubahan
iklim adalah perubahan unsur-unsurnya yang mempunyai kecenderungan naik atau
turun secara nyata yang menyertai keragaman harian, musiman maupun siklus. Fenomena iklim ini harus dipelajari dari data pada
periode pengamatan iklim yang panjang.
Kendala ketersediaan data iklim dalam periode yang panjang inilah yang
dihadapi oleh negara berkembang seperti di Indonesia. Akibatnya identifikasi perubahan
iklim sulit untuk dilakukan.
Perubahan iklim global
tidak terjadi seketika, walaupun laju perubahan lebih cepat dibandingkan dengan
perubahan iklim secara alami, tetapi perubahan terjadi dalam periode dekadal,
sehingga issue perubahan iklim masih menjadi hal yang menimbulkan pro dan
kontra. Perubahan konsentrasi GRK
global ini juga berpengaruh pada kenaikan suhu lokal, di Indonesia perubahan
terjadi secara perlahan-lahan lebih kurang 0,030C per tahun
(Hidayati 1990). Jika ditinjau dalam
periode puluhan tahun (dibandingkan dengan puluhan juta tahun usia bumi kita)
maka perubahan ini cukup besar. Apalagi
jika kenaikan suhu menyertai kejadian iklim ekstrim.
Gambar 2 menunjukkan estimasi
kejadian dan resiko banjir di wilayah pesisir Eropa setelah periode perubahan
iklim dibandingkan periode sebelum
perubahan iklim. Peluang kejadian
banjir setelah perubahan iklim lebih besar (lebih sering) dibandingkan
sebelumnya. Sejalan dengan pemikiran
tersebut resiko kejadian iklim ekstrim (kekeringan dan banjir) di Indonesia
juga akan meningkat oleh fenomena perubahan iklim.
II.2. Keragaman Iklim
Iklim terdiri dari beberapa unsur
iklim, yaitu : radiasi, suhu, kelembaban, tekanan, angin, presipitasi (hujan)
dan sebagainya. Dalam tinjauan secara garis
besar iklim dapat diwakili oleh suhu (temperatur) dan hujan (presipitasi).
Unsur-unsur lain mengakibatkan atau terpengaruh oleh kedua unsur tersebut.
Keragaman iklim dapat dibagi
menjadi (a) keragaman menurut tempat dan (b)
keragaman menurut waktu. Keragaman menurut tempat ditentukan oleh letak lintang (jauh-dekat
dari peredaran matahari), ketinggian tempat, sebaran daratan dan lautan serta
arah angin utama. Keragaman menurut waktu terutama ditentukan oleh pedaran bumi
mengelilingi sumbunya dan bumi mengelilingi matahari.
Indonesia terletak di wilayah
kepulauan tropis, terpengaruh oleh sirkulasi antara benua Asia dan Australia
serta Samudra Pasifik dan Antlantik .
Walaupun berada di wilayah tropis, tetapi daratannya tersebar dari dataran
rendah hingga pegunungan. Suhu rata-rata tahunan berkurang dari
dataran rendah hingga dataran tinggi.
Jadi suhu rata-rata relatif tinggi di dataran rendah dan suhu rendah di
dataran tinggi. Karena letaknya di
daerah tropis, maka selisih suhu siang – malam lebih besar dari pada selisih
suhu musiman (musim kemarau – musim hujan). Di daerah subtropis hingga kutub
selisih suhu musim panas – musim dingin lebih besar dari suhu harian
kemarau.
Umumnya musim hujan terjadi antara bulan
Oktober hingga April dan musim kemarau terjadi pada bulan April hingga Oktober.
Penerimaan
curah hujan bulanan dapat dipisahkan menjadi tiga pola penerimaan hujan yang
berbeda.
A. Di sebagian besar
wilayah Indonesia penerimaan hujan musim penghujan dan musim kemarau berbeda
nyata. Pola demikian disebut pola monsunal.
B. Sebagian wilayah
sekitar equator musim kering tidak nyata.
Puncak musim hujan terjadi dua kali sekitar bulan Desember pada saat
matahari berada paling selatan dan pada bulan Juni saat matahari paling utara.
Tipe ini disebut tipe Equatorial.
C. Sebagian wilayah bagian
utara hujan terjadi pada saat wilayah A dan B mengalami musim kemarau. Tipe ini
disebut tipe lokal.
Ketiga ciri
penerimaan hujan dapat dilihat pada tabel 1. Sei Rantih dan Salida ( Sumbar)
mempunyai tipe equatorial, Banyuwangi dan Glagah (Jawa Timur) mewakili tipe
monsunal dan Ambon mewakili tipe lokal.
Tabel 1.
Data Suhu Udara dan Tiga Tipe Penerimaan Hujan bulanan di wilayah Indonesia. |
||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Stasiun |
Unsur |
Jan |
Feb |
Mar |
Apr |
Mei |
Jun |
Jul |
Ags |
Sep |
Okt |
Nop |
Des |
Thn |
Sei Rantih,B |
CH (mm) |
363 |
247 |
272 |
312 |
233 |
208 |
192 |
219 |
375 |
394 |
442 |
418 |
3675 |
Salida ( B ) |
CH (mm) |
339 |
285 |
338 |
306 |
280 |
222 |
155 |
251 |
339 |
374 |
325 |
391 |
3605 |
Banyuwangi |
CH (mm) |
224 |
246 |
142 |
85 |
80 |
41 |
37 |
21 |
28 |
33 |
75 |
187 |
1199 |
Banyuwangi |
T (oC) |
27 |
27 |
27 |
28 |
28 |
28 |
27 |
27 |
28 |
28 |
28 |
27 |
27.5 |
Glagah
(A) |
CH (mm) |
250 |
217 |
217 |
94 |
137 |
94 |
141 |
72 |
59 |
87 |
102 |
199 |
1669 |
Ambon
( C ) |
CH (mm) |
89 |
116 |
167 |
164 |
202 |
388 |
296 |
196 |
122 |
90 |
68 |
131 |
2029 |
Ambon |
T (oC) |
27 |
27 |
27 |
27 |
26 |
25 |
25 |
25 |
25 |
26 |
27 |
27 |
26.2 |
Selain
siklus harian dan musiman keragaman iklim di Indonesia juga ditandai dengan
siklus beberapa tahun antara lain siklus fenomena global ENSO (El Nino Southern
Oscillation), yang mempunyai siklus 3-7 tahun. Oleh pengaruh perubahan iklim,
diduga siklus Enso menjadi lebih pendek antar 2–5 tahun (Ratag, 2001). Antara tahun 1960 hingga 1990 terjadi 7 kali
El Nino, Yaitu 1963, 1965, 1968/1969, 1972, 1976, 1982/1983, 1986/1987 (Chen
and Wu, 2000) dan antara tahun 1988 hingga 1997 terjadi 3 kalli El Nino, yaitu
pada tahun 1991/1992, 1994 dan 1997/1998.
III. Mekanisme perubahan
Iklim
Perubahan
iklim disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) setelah
masa revolusi industri. Semakin tinggi
kebutuhan untuk meningkatkan kualitas hidup maka akan semakin besar aktivitas
industri, lalu lintas pembukaan hutan, usaha pertanian, rumah tangga dan
aktivitas-aktivitas lain yang melepaskan GRK.
Akibatnya konsentrasi GRK di atmosfer akan meningkat.
Tabel 2. Konsentrasi
GRK menurut skenario IPCC tahun 2000
Tahun |
Penduduk dunia |
O3
permukaan (ppm) |
Kons. CO2 (ppm) |
Perub. Suhu global (0C) |
Kenaikan muka air laut
(cm) |
1990 |
5.3 |
- |
354 |
0 |
0 |
2000 |
6.1-6.2 |
40 |
367 |
0.2 |
2 |
2050 |
8.4-11.3 |
~60 |
463-623 |
0.8-2.6 |
5-32 |
2100 |
7.0-15.1 |
>70 |
478-1099 |
1.4-5.8 |
9-88 |
Selain
terdapat sumber (source) yang beragam di alam ini juga tersedia rosot (sink),
yaitu lautan dan vegetasi (hutan).
Jumlah rosot ini relatif tetap sedangkan sumbernya selalu bertambah, sehingga
terjadi ketidak seimbangan. Ditambah dengan umur keberadaan GRK di atmosfer
yang panjang, maka tanpa upaya menekan emisi, konsentrasi GRK akan terus
bertambah.GRK meliputi gas-gas Carbon
Dioxida (CO2), golongan Chloro-Fluorocarbon (CFCs), Methana (CH4),
Ozon (O3), dan Nitrogen Oksida (NOx). Gas-gas tersebut berada di atmosfer berfungsi sebagai mana kaca,
yaitu melewatkan radiasi matahari ke permukaan bumi tetapi menahan radiasi bumi
agar tidak lepas ke angkasa. Dalam
jumlah tertentu GRK dibutuhkan untuk menjaga suhu ekstrim bumi agar tidak
terlalu tinggi atau terlalu rendah. Tetapi jika jumlah radiasi bumi yang
terperangkap di dalam atmosfer bumi berlebihan, maka atmosfer dan permukaan
bumi akan semakin panas (suhu meningkat).
Tabel
3. Ikhtisar Gas-gas Rumah Kaca di
Atmosfer (Sumber: Killeen. 1996)
Gas |
Sumber Antropogenik utama |
Emisi Antropogenik / total per thn 106 ton |
Waktu residu |
Umur (tahun) |
CO |
Pembakaran bahan bakar fosil dan
biomas |
700 / 2.000 |
bulanan |
0,4 |
CO2 |
Pembakaran bahan bakar fosil dan
Pembabatan hutan |
5.500 / -5.500 |
100 tahunan |
7 |
CH4 |
Pertanaman padi Peternakan, tanam Produksi bahan
bakar fosil |
300-400/550 |
10 tahunan |
11 |
NOx |
Pembakaran bahan bakar fosil dan
biomas |
20-30 / 30-50 |
harian |
*** |
NO2 |
Pemupukan Nitrogen Pembabatan hutan Pembakaran biomas |
6 / 25 |
170 tahunan |
150 |
SO2 |
Pembakaran bahan bakar fosil dan
emisi bahan bakar |
100-130 / 150-200 |
Harian - mingguan |
*** |
CFCs |
Semprotan
aerosol, Pendingin,
busa |
-1
/ 1 |
60-100
tahunan |
8
– 110 |
Gas CO2 memberi kontribusi
terbesar dalam pemanasan global, yaitu 50%.
Selanjutnya kontribusi hingga terkecil diberikan oleh gas-gas CFCs, CH4,
O3, dan NOx masing-masing lebih kurang 20%, 15%, 8% dan
7%. Uap air juga merupakan GRK, tetapi
karena air dianggap tetap (alami), maka air tidak dianggap sebagai penyebab
perubahan iklim oleh pemanasan global.
Perubahan iklim yang diperkirakan akan menyertai pemanasan global adalah
melelehnya permukaan es di kutub atau pegunungan tinggi, naiknya evaporasi yang
disertai meningkatnya hujan di suatu tempat / waktu dan menurunnya hujan di
tempat / waktu lain. Tinggi muka air laut akan terpengaruh baik oleh
mengembangnya volume air karena meningkatnya suhu maupun bertambahnya volume
oleh lelehan gletser di kutub.
Walaupun Indonesia mempunyai hutan, lahan pertanian, dan lautan
yang cukup luas tetapi menurut perhitungan yang dirangkum oleh Kementerian lingkungan
hidup, Indonesia merupakan Negara penghasil neto GRK (lihat tabel 4). abel tersebut belum memperhitungkan kemampuan laut di Indonesia
untuk menyerap GRK. Kemampuan laut
untuk menyerap CO2 relatif tetap sehingga kurang mendapat perhatian
dalam perhitungan. Menurut perhitungan
ALGAS (ALGAS, 1998 in State Ministry for Environment Republic of
Indonesia,1999) sampai dengan tahun 1990 hutan Indonesia masih merupakan nett sinker, setelah itu menjadi nett emitter.
Tabel
4. Ikhtisar Inventarisasi Gas Rumah
kaca di Indonesia pada tahun 1994
(sumber : Indonesia Country Study
Team on Climate Change, 1998)
Rosot dan sumber |
Uptake (Gg) |
Emisi (Gg) |
||||
|
CO2 |
CO2 |
CH4 |
CO |
N2O |
NOX |
1. Energi keseluruhan |
- |
170.016,31 |
2.395,73 |
8.421,50 |
5,72 |
818,30 |
1a. Pembakaran bahan bakar |
- |
170.016,31 |
357,56 |
8.421,50 |
5,72 |
818,30 |
1b. Emisi bahan bakar |
- |
2.038,17 |
0,00 |
0,00 |
0,00 |
- |
2. Proses Industri |
- |
- |
19.120,0 |
0,51 |
- |
0,01 |
3. Pertanian |
- |
- |
3.243,84 |
330,73 |
52,86 |
18,77 |
4. Perubahan penggunaan lahan dan hutan |
403.846,00 |
559.471,00 |
367,00 |
3.214,00 |
2,52 |
91,26 |
5. Limbah dan pengolahan tanah |
- |
- |
- |
402,00 |
- |
- |
Indonesia |
403.846,00 |
748.607,31 |
6.409,08 |
11.966,23 |
61,11 |
928.33 |
IV.
Perubahan Iklim di Indonesia
IV.1. Data Historis
Hasil studi Hulme and Nicola (1999)
terhadap data historis rata-rata, suhu udara di Indonesia meningkat sebesar 0.30C
per tahun sejak tahun 1900. 1990an merupakan dekade
terhangat dan 1998 adalah tahun terhangat, 10C di atas rata-rata
tahun1961 – 1990. Peningkatan suhu
terjadi sepanjang musim. Curah hujan
berkurang 2 hingga 3 % terutama pada
bulan Desember – Februari. Di sebagian
besar wilayah Indonesia curah hujan dipengaruhi oleh El-Nino, kekeringan besar
terjadi pada tahun El -Nino 1982/1983,
1986/987 dan 1997/1998.
Berbagai
penelitian lain terhadap data historis juga mendapatkan hal yang sejalan dalam
peningkatan suhu udara, walaupun dengan laju peningkatan yang berbeda, tetapi
tidak untuk curah hujan. Menurut hasil
analisis Hidayati (1990); Rozari, Hidayati dan Manan (1992); Hidayati, Abdullah
dan Suharsono (1999) Suhu di sebagian besar wilayah Indonesia terutama siang
hari meningkat. Walaupun laju perubahan
yang terjadi kecil, tetapi nyata menurut uji statistik (peringkat Spearman). Curah hujan tidak menunjukkan pola yang sama
dan tidak seluruh stasiun menunjukkan adanya perubahan yang nyata. Pada tabel 5
ditampilkan laju perubahan suhu di Jakarta dan Bogor pada periode yang berbeda.
Pada titik-titik pengamatan yang menunjukkan perubahan curah hujan, umumnya
trend hujan bertambah pada musim hujan dan berkurang pada musim kemarau.
Tabel
5. Hasil analisis perubahan iklim di
Indonesia (sumber: Hidayati,1990 dan Hidayati, Abdullah, dan Suharsono,1999).
Lokasi |
Tahun |
Perubahan
unsur per tahun |
||
|
|
Suhu udara |
Hujan kemarau |
Hujan ms hujan |
Jakarta |
1916-1987 |
0.03** |
* |
* |
Jakarta |
1951-1987 |
* |
- 0.1% |
10%** |
Bogor |
1951-1987 |
* |
-1.1%** |
0.3% |
Bogor |
1976-1987 |
0.05** |
* |
* |
Bogor |
1980-1998 |
0.14** |
-2.0%** |
4.6%** |
Catatan : * tidak ada hasil analisis, ** nyata menurut uji statistik
Dari
hasil analisis yang pernah dilakukan tergambar
adanya perubahan unsur iklim yang tidak pasti dan yang pasti. Hal yang pasti adalah suhu berubah. Hal ini sangat logis
karena penduduk bertambah dan emisi GRK juga bertambah. Hal yang tidak pasti adalah pola perubahan
curah hujan dan kejadian serta pengaruh El-Nino pada iklim di Indonesia. Peningkatan suhu akan meningkatkan
penguapan, tapi karena adannya sirkulasi udara global yang kompleks, maka
peningkatan curah hujan tidak selalu terjadi pada lokasi yang sama dengan
kejadian penguapan.
IV.2.
Keadaan iklim Indonesia di masa yang akan datang.
Pendugaan
iklim yang akan datang tidak mungkin dilakukan di Laboratorium, sehingga
pendugaan hanya mungkin dilakukan dengan menggunakan model. Tersedia beberapa model sistem iklim untuk menduga iklim dunia
pada masa yang akan datang, yang merupakan model sirkulasi udara global GCMs (Global Circulation Models) yaitu :
CCCM (Canadian Climate Cetre Model), GISS ( NASA’s
Goddard Institute for Space Studies), GFDL (NOAA’s Geophysical Fluid Dynamics
Laboratory) dan UKMO (United Kingdom
Meteorological Office). Model-model tersebut memprediksi suhu global akan
naik sebesar 2,8 hingga 5,20C dan presipitasi global akan naik
sebesar 7 hingga 16 % jika konsentrasi CO2 menjadi 2 kali lipat
(Indonesia Country Study Team on Climate Change, 1998)
Model-model
sistem iklim yang tersedia adalah model yang diturunkan dari sirkulasi global,
sehingga kurang teliti untuk meramalkan keadaan lokal daerah-daerah di
Indonesia. Tetapi jika wilayah Indonesia dianggap satu titik, maka prediksi
dari model-model tersebut dianggap cukup baik. Walaupun demikian hasil prediksi
satu model dengan model lain berbeda .
Pada
suatu ketika jika CO2 meningkat
menjadi 2 kali lipat prediksi peningkatan suhu di Indonesia dari model CCCM dan
UKMO adalah sebesar 1,6 – 3,0 0C, tetapi dengan model GFDL dan GISS
suhu akan meningkat sebesar 2,0 – 4,0 0C . Prediksi perubahan curah hujan tidak seragam antara satu dan lain
model. GISS dengan resolusi terkasar
(7.830x10.00) memprediksi akan terjadi peningkatan hujan
di seluruh wilayah indonesia antara 0-400 mm/tahun. GFDL dengan resolusi terbaik (2.240x3.750)
memprediksi hujan akan naik sebesar 0-800 mm/tahun penurunan terjadi di wilayah
Kalimantan bagian Tenggara, pulau Sulawesi dan Maluku, sangat berbeda dengan
hasil prediksi CCCM dan UKMO di mana peningkatan terbesar terjadi di Kalimantan
dengan peningkatan lebih dari 1200 mm/tahun (Indonesia Country Study Team on
Climate Change, 1998). Ini menunjukkan
bahwa perubahan hujan di Indonesia merupakan salah satu ketidakpastian dalam
kejadian perubahan iklim.
Gambar 1. (kiri) Prediksi suhu global menurut skenario SRES. (Kanan)
Perbandingan peluang kejadian iklim ekstrim sebelum dan
setelah terjadi perubahan iklim. (Sumber : Intergovern- mental Panel on Climate Change, 2001)
Hasil
kajian Kaimuddin (2000) terhadap lebih dari 300 stasiun hujan di Indonesia
dengan model CCCM mendapatkan bahwa jika terjadi peningkatan konsentrasi CO2
2 kali lipat, maka akan terjadi perubahan pola hujan di Indonesia, yaitu
terjadi peningkatan di sebagian besar wilayah Indonesia bagian selatan, relatif
tetap di sekitar equator dan terjadi penurunan hujan di bagian utara wilayah
Indonesia. Hasil prediksi ini
mempunyai kecenderungan yang hampir sama dengan data tahun 1930-1990. Dengan model CSIRO9 hujan diprediksikan meningkat
hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Menurut model GFDL wilayah Indonesia akan mengalami peningkatan
penerimaan hujan kecuali di Sulawesi Selatan, Tengah dan Tenggara serta Pantai
Utara Jawa.
IPCC
membuat skenario perubahan iklim berdasarkan perbandingan emisi CO2
terhadap emisi tahun 2000, yaitu dari yang terendah : konsentrasi CO2
berkurang 4% (dengan kebijakan implementasi iklim yang baik ; skenario B1)
hingga meningkat 320% (tidak ada kebijakan implementasi iklim ; skenario
A2). Gambar 1. Memperlihatkan keadaan
suhu data historis dan prediksi suhu pada masa yang akan datang menurut SRES (Special Report on Emmissions
Scenarios), dan peningkatan peluang kejadian iklim kering oleh pengaruh
perubahan iklim.
V. Dampak Perubahan
Iklim
Dampak yang ditimbulkan
oleh perubahan iklim dipengaruhi oleh kerentanan suatu sistem. Dampak
netto yang ditimbulkan merupakan selisih antara pengaruh awal dengan daya
adaptasi sistem tersebut. IPCC (2001)
menggolongkan resiko akibat perubahan iklim menjadi resiko ekstrim sederhana
dan resiko ekstrim komplek. Perubahan yang terjadi dapat bersifat menguntungkan
atau merugikan.
Akibat ekstrim sederhana antara lain :
A. Akibat yang bersifat menguntungkan :
· Bertambahnya produktifitas
tanaman di daerah beriklim dingin
· Menurunnya resiko kerusakan
tanaman pertanian oleh cekaman dingin
· Meningkatnya runoff yang
berarti meningkatnya debit aliran air pada daerah kekurangan air
· Berkurangnya tenaga listrik
untuk pemanasan
· Menurunnya angka kesakitan
dan angka kematian oleh cekaman dingin
B. Akibat yang bersifat merugikan :
· Meningkatnya tingkat
kematian dan penyakit serius pada manula dan golongan miskin perkotaan
· Meningkatnya cekaman panas pada binatang liar dan ternak
· Perubahan pada tujuan
wisata
· Meningkatnya resiko
kerusakan sejumlah tanaman pertanian
· Meningkatnya tenaga
listrik untuk pendinginan
· Memperluas kisaran dan
aktivitas beberapa hama dan vektor penyakit
· Meningkatnnya banjir,
erosi dan tanah longsor
· Meningkatnya runoff
yang berarti meningkatnya debit aliran air pada daerah basah
· Akibat
ekstrim kompleks (seluruhnya bersifat merugikan):
· Berkurangnya produksi
tanaman pertanian oleh kejadian kekeringan dan banjir
· Meningkatnya kerusakan
bangunan oleh pergeseran batuan
· Penurunan sumberdaya air
secara kualitatif maupun kuantitatif
· Meningkatnya resiko
kebakaran hutan
· Meningkatnya resiko
kehidupan manusia, epidemi penyakit infeksi
· Meningkatnya erosi pantai dan kerusakan bangunan dan infrastruktur
pantai.
· Meningkatnya kerusakan
ekosistem pantai seperti terumbu karang dan mangrove
· Menurunnya potensi
pembangkit listrik tenaga air di daerah rawan kekeringan
· Meningkatnya kejadian
kekeringan dan kebanjiran
· Meningkatnya kerusakan
infrastuktur
Indonesia
tergolong sebagai negara sedang berkembang, dengan jumlah penduduk besar dan
tingkat pendapatan rata-rata rendah, kemajuan ekonomi, pendidikan dan teknologi
rendah. Keadaan ini membuat Indonesia
menjadi negara dengan tingkat kerentanan besar terhadap dampak perubahan iklim.
Sebagai gambaran nyata, keragaman iklim besar seperti saat kejadian El-Nino dan
La-Nina yang sering membawa keadaan kering dan basah yang lebih besar dari
keadaan normal, membuat sistem produksi tanaman pangan di Indonesia terganggu
secara nyata (lihat tabel 6) Keadaan
anomali iklim pada tahun 1991 dan tahun 1994 menyebabkan Indonesia harus
mengimpor beras masing-masing sebesar 600.000 ton dan lebih dari sejuta ton
beras ( Indonesia Country Study on Climate Change 1998). Keadaan tersebut menggambarkan kerentanan
sistem produksi pertanian terhadap adanya perubahan iklim.
Peningkatan CO2 dan suhu
udara akan meningkatkan aktivitas fotosintesis pada tanaman. Tetapi peningkatan suhu terutama malam hari
akan memperbesar respirasi tanaman. Di
daerah Tropika peningkatan suhu ini menyebabkan hasil fotosintesis netto
berkurang. Inilah yang menyebabkan
menurunnya produksi tanaman di daerah tropis oleh akibat perubahan iklim.
Tabel 6. Luas tanaman padi terkena bencana banjir dan kekeringan dan puso
(ha) pada tahun 1988-1997 (Jasis dan Karama, 1999. Yusmin,
2000)
Tahun |
Keterangan |
Kebanjiran
|
Kekeringan
|
Puso |
1987 |
El-Nino |
*** |
430.170 |
*** |
1988 |
La-Nina |
130.375 |
87.373 |
44.049 |
1989 |
Normal |
96.540 |
36.143 |
15.290 |
1990 |
Normal |
66.901 |
54.125 |
19.163 |
1991 |
El-Nino |
38.006 |
867.997 |
198.054 |
1992 |
Normal |
50.360 |
42.409 |
16.882 |
1993 |
Normal |
78.480 |
66.992 |
47.259 |
1994 |
El-Nino |
132.975 |
544.422 |
194.025 |
1995 |
La-Nina |
218.144 |
28.580 |
51.571 |
1996 |
Normal |
107.385 |
59.560 |
50.649 |
1997 |
El-Nino |
58.974 |
504.021 |
102.254 |
Di bidang kehutanan di Indonesia
diperkirakan akan terjadi pergantian beberapa jenis spesies. Beberapa spesies bersamaan dengan biodiversity lain akan
tertekan atau punah dan beberapa jenis spesies akan lebih berkembang. Kurang cukup penelitian pada kerentanan
beberapa jenis spesies terhadap perubahan iklim di Indonesia, sehingga belum
didapatkan laporan mengenai spesies yang akan tertekan dan spesies yang akan
dominan. Kebakaran hutan bukan semata-mata diakibatkan oleh faktor iklim. Faktor iklim hanya menentukan keadaan
kekeringan di hutan. Kekeringan inilah
yang memperbesar resiko kebakaran hutan.
Kekeringan diperkirakan akan lebih sering terjadi karena peningkatan
suhu udara dan peningkatan peluang kejadian iklim ekstrim, sehingga pelluang
kebakaran hutan akan lebih tinggi.
Satwa liar mempunyai kemampuan untuk bermigrasi sehingga perubahan iklim
akan menyebabkan kejadian migrasi satwa liar.
Indonesia adalah negara kepulauan
dengan jumlah pulau sekitar 17.500 buah. Garis
pantai meliputi panjang 81.000 km.
Kenaikan air laut dapat terjadi secara alami oleh kegiatan pasang surut
air laut oleh gaya gravitasi bulan dan oleh pengaruh pemanasan global. IPCC memprediksi kenaikan muka air laut
akibat pemanasan global berdasarkan proyeksi bisnis tahun 1990 – 2100 sebesar 5
– 10 mm/tahun atau rata-rata 6 mm/tahun (Bappedal / KMNLH. 1999). Kenaikan air laut dapat menyebabkan abrasi
pantai, intrusi air asin ke dalam estuaria dan akuifer, meningkatkan resiko
banjir, hilangnya struktur pantai alami maupun buatan dan terganggunya ekologi
pantai. Kerusakan ekologi yang mungkin
terjadi adalah kerusakan batukarang, berkurangnya keanekaragaman hayati,
rusaknya hutan mangrove, serta perubahan sifat biofisik dan biokimia zona
pesisir. Contoh diambil dari hasil studi kasus yang dilakukan oleh Bappedal /
KMNLH 1999 di pantai Utara Semarang Jawa tengah Perkiraan luas lahan yang
rentan terhadap intrusi air laut dan kenaikan muka air laut dapat dilihat pada
tabel 7.
Tabel 7. Luas Lahan Yang
Rentan terhadap intrusi air laut dan kenaikan muka air laut
No |
Penutupan lahan |
Rentan intrusi (ha) |
Rentan kenaikan muka air laut (ha) |
1 |
Pemukiman |
1.627,0 |
702,2 |
2 |
Perkantoran |
1.265,8 |
301,8 |
3 |
Sawah |
304,5 |
1.751,0 |
4 |
Tambak |
240,6 |
184,0 |
|
Total |
3.437,9 |
2.940,8 |
Penanggulangan
dampak dapat dilakukan dengan berbagai alternatif yaitu: pembuatan dinding laut
dan tanggul, pemecah ombak, saluran penampung kenaikan air laut, regenerasi
mangrove, relokasi populasi pantai.
Pembuatan dinding laut , tanggul, pemecah ombak dan saluran pemampung
kenaikan air laut memerlukan biaya cukup banyak sehingga diperlukan pemilihan
lokasi yang benar-benar memerlukan.
Alternatif yang diperkirakan paling tepat guna adalah dengan regenerasi
mangrove. Dengan telah diratifikasi UU no.6 pada tahun 1994 tentang Konvensi
kerangka kerja PBB mengenai Perubahan Iklim , ada harapan bahwa proyek-proyek
adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dapat memanfaatkan dana Perubahan
iklim.
VI. Upaya Adaptasi dan
Mitigasi terhadap Dampak Perubahan Iklim
Adaptasi terhadap dampak perubahan
iklim adalah salah satu cara penyesuaian yang dilakukan secara spontan atau
terencana untuk memberikan reaksi terhadap perubahan iklim yang diprediksi atau
yang sudah terjadi. Mitigasi adalah kegiatan
jangka panjang yang dilakukan untuk menghadapi dampak dengan tujuan untuk
mengurangi resiko atau kemungkinan terjadi suatu bencana. Kegiatan lebih lanjut dari mitigasi dampak
adalah kesiapan dalam menghadapi bencana, tanggapan ketika bencana dan pemulihan
setelah bencana terjadi (Murdiyarso, 2001).
Berbagai sektor akan terpengaruh oleh adanya perubahan iklim. Garis besar dampak dan upaya adaptasi yang
dapat dilakukan disarikan oleh IPCC (IPCC, 2001) seperti dalam tabel 8.
Indonesia tidak termasuk dalam negara
katagori Annex I (negara-negara maju ) menurut penggolongan IPCC. Menurut UU no 6 tahun 1994, yaitu UU
pengesahan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan iklim, Indonesia tidak
wajib ikut menekan emisi GRK, tetapi hanya bersifat sukarela. Menurut UU
lingkungan hidup no 23 tahun 1997, menjaga kelestarian lingkungan hidup adalah
suatu yang harus dilakukan agar pembangunan dapat dilakukan secara
berkelanjutan. Jadi upaya mengurangi
laju emisi GRK menjadi keharusan dalam rangka melestarikan lingkungan.
Tabel 8. Sektor-sektor yang akan terkena dampak perubahan iklim dan upaya
adaptasi yang dapat dilakukan.
Sektor |
Dampak |
Adaptasi |
Pengairan |
· Kendala suplai irigasi dan air minum,
dan peningkatan salinitas · Intrusi air asin ke daratan dan aquifer pantai |
· Perencanaan, pembagian air, komersialisasi · Suplai air alternatif, mundur |
Ekosistem
Darat |
· Peningkatan salinitas
di lahan pertanian dan aliran air · Kepunahan Keanekaragaman Hayati · Peningkatan resiko kebakaran · Invasi Gulma |
· Perubahan praktek penggunaan lahan · Pengelolaan Pertamanan · Pengelolaan lahan, Perlindungan thd. Kebakaran · Pengelolaan Pertamanan |
Ekosistem
Air |
· Salinisasi lahan sawah di wil. Pantai · Perubahan ekosistem sungai dan sawah · Eutropikasi |
· Intervensi fisik · Perubahan alokasi air · Perubahan alokasi air, mengurangi aliran masuk hara |
Ekosystem
Pantai |
· Perusakan terumbukarang · Limbah beracun |
· Penyemaian terumbukarang (?) · - |
Pertanian
dan kehutanan |
· Penurunan produktivitas, resiko banjir dan kekeringan, resiko
kebakaran hutan · Perubahan pada pasar global · Peningkatan serangan hama dan penyakit · Peningkatan produksi oleh peningkatan CO2 diikuti dengan penurunan
produksi oleh perubahan iklim |
· Perubahan pengelolaan dan kebijakan, perlindungan terhadap
kebakaran dan peramalan musim · Pemasaran, perencanaan , dan perdaganngan Karbon. · Pengendalian terpadu, penyemprotan · Merubah teknik usaha tani dan industri |
Hortikultur |
· Dampak campuran + dan – tergantung spesies dan lokasi |
· Relokasi |
Perikanan |
· Perubahan tangkapan |
· Monitoring, pengelolaan |
Perumahan,
industri |
· Peningkatan dampak banjir, badai dan kenaikan muka air laut |
· Pewilayahan, perencanaan bencana |
Kesehatan |
· Ekspansi dan perluasan vektor penyakit · Peningkatan polusi fotokimia udara |
· Karantina, eradikasi atau pengendalian · Pengendalian emisi |
Dalam UU no 6 tahun 1994 jika
negara bukan anggota Annex I ikut dalam
upaya menekan emisi GRK ataupun melakukan upaya-upaya adaptasi terhadap dampak
perubahan iklim, maka dalam melakukan upaya tersebut berhak menggunakan dana Climate Change Fund yang disediakan oleh
UNFCC. Agar dapat memanfaatkan dana ini
Indonesia harus melakukan beberapa tahapan antara lain ( Murdiyarso, 2001 ;
Boer, 2001):
1. Penyusunan data base dan sistim informasi
2. Kajian ilmiah dan kemampuan prediksi serta
analisis dampak perubahan iklim
3. Menyusun Building
Capacity dalam rangka adaptasi terhadap dampak perubahan iklim
4. Menyiapkan kelembagaan
di tingkat pusat dan daerah
5. Menyiapkan perangkat
hukum dan perundangan
6.
Meningkatkan
kesadaran dan partisipasi masyarakat.
VII. Penutup
Perubahan iklim
adalah masalah lingkungan. Walaupun keberadaannya
masih diperdebatkan, tetapi dari data yang ada kecenderungan perubahan terutama
suhu udara ada secara nyata. Dalam
keadaan iklim normal perubahan iklim mungkin tidak menimbulkan akibat nyata,
tetapi pada keadaan ekstrim seperti pada periode La-Nina dan El-Nino skala
besar perubahan dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar. Jika tidak dipersiapkan upaya penekanan laju
perubahan dan adaptasi dalam menghadapi keadaan ini, maka Environment Cost yang ditanggung akan sangat besar. Di lain pihak
dengan ikut meratifikasi UU no 6 tahun 1994 Indonesia mempunyai kesempatan
untuk memanfaatkan dana Internasional untuk
Perubahan iklim. Untuk itu diperlukan kesadaran dan upaya bersama dalam menhadapi dan
mengantisipasi perubahan iklim.
Daftar Pustaka
Anonim. 1999. Laporan Akhir Pengkajian Dampak Kenaikan Muka Air Laut di Daerah
Jawa dan Bali, Studi Kasus Wilayah Pesisir Semarang. Bappedal / KMNLH. Jakarta.
Boer, R. 2001. Peraturan Pemerintah Tentang
Perubahan Iklim : Upaya Meningkatkan Kesiapan Indonesia dalam Implementasi Kebijakan Perubahan
Iklim. Makalah pada seminar sehari Peningkatan Kesiapan Indonesia dalam Implementasi Kebijakan Perubahan
Iklim. Bogor, 1 Nopember 2001.
Carter,T.R. 1996. Assessing
Climate Change Adaptation. The IPCC guidelines in Adapting to Climate
Change : Assessment ang Issues. Springer . pp:27-43.
Chen,
L. and Wu, R. 2000. The Role of the Asian / Australian Monsoons
and the Southern / Northern Oscillation in the ENSO Cycle. Theoretical and Applied Climatology. Springer-Verlag. Austria. Pp:37-47
Kaimuddin . 2000. Kajian
Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Keseimbangan Air Wilayah
Sul.Sel. Dissertasi program studi
AGK-FPS IPB.
Hidayati.R. 1990. Kajian Iklim Kota Jakarta, Perubahan dan
Perbedaan dengan daerah Sekitarnya.
Thesis Program Studi Agroklimatologi.
FPS-Institut Pertanian Bogor.
Hidayati.R, Abdullah, S.E.A. dan Suharsono, H. 1999.
Perubahan Iklim di Bogor (studi kasus 5 Kecamatan) hubungannya dengan
perubahan pemanfaatan lahan. Makalah pada Simposium Internasional PERHIMPI. Bogor
18-20 Oktober 1999.
Hulme,M. and N.Sheard.
1999. Climate Change Scenarios
for Indonesia. Leaflet CRU and WWF.
Climatic Research Unit. UEA, Norwich,UK. (http://www.cru.uea.ac.uk)
Indonesia Country Study on Climate Change. 1998.
Vulnerability and Adaptation Assessments of Climate Change in
Indonesia. The Ministry of Environment
the Republic of Indonesia. Jakarta
Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001.
Climate Change 2001 : Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Summary for Policymakers and Technical
Summary of the Working Group II Report. WMO-UNDP.
Jasis dan Karama A.S. 1999.
Kebijakan Departemen Pertanian dalam Mengantisipasi Penyimpangan
Iklim. Prosiding Diskusi Panel :
Strategi Antisipatif Menghadapi Gejala Alam La-Nina & El-Nino Untuk
Pembangunan Pertanian. Perhimpi. Bogor. ISBN 979-546-008-0
Killeen.
1996. Ozone and Greenhouse Gases in
Introduction to Climate change I.
Lecture Notes. University of
Michigan.
Murdiyarso,D. 2001. Pengembangan
Kelembagaan dan Peningkatan Kapasitas Dalam Mengimplementasikan Konvensi
Perubahan Iklim. Makalah pada seminar sehari Peningkatan Kesiapan Indonesia dalam Implementasi Kebijakan Perubahan
Iklim. Bogor, 1 Nopember 2001.
Rozari, M.B. Hidayati, R dan Manan, E. 1992.
Perubahan Iklim di Indonesia.
Jurnal Perhimpi Vol : VIII No:1, pp : 1-8
Trenberth,K.E; J.T. Houghton and L.G. M. Filho.
1995. The Climate System : an
Overview. In: Climate Change
1995. The Science of Climate Change. Contribution of Working group I to the
Second Assesment Report of The Intergovermental Panel on Climate Change. Cambridge University Press.
Yusmin. 2000.
Integrated Management of Flood and Drought in Food Crop Agriculture in
Land Use Change and Forest Management. Mitigation Strategy to Minimize The
Imoacts of Climate Change. Indonesian
Association of Agricultural Meteorology.
Bogor. Pp :172-184.