©
2001 Parwinia Posted: 16 Nov. 2001 [rudyct]
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
November
2001
Dosen:
Prof
Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
EVALUASI KEBIJAKAN PERIKANAN MENGENAI
Oleh :
Parwinia
P.31600013/SPL
E-mail : Parwinia@indoway.net
PENDAHULUAN
Pembangunaan
perikanan sebagai bagian dari pembangunan pertanian dan pembangunan nasional, diarahkan untuk
mendukung tercapainya tujuan dan cita-cita luhur bangsa Indonesia dalam
mewujudkan suatu masyarakat adil dan merata, materil dan spiritual, berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Perikanan mempunyai peranan yang cukup penting, terutama dikaitkan
dengan upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi perikanan yang
diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup nelayan, menghasilkan
protein hewani dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dan gizi, meningkatkan
ekspor, menyediakan bahan baku industri, memperluas lapangan kerja dan
kesempatan berusaha, serta mendukung pembangungn wilayah dengan tetap
memperhatikan kelestarian dan fungsi
lingkungan hidup.
Dari
keempat subsektor dalam sektor
pertanian maka subsektor perikanan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru
perekonomian mengingat prospek pasar, baik dalam negeri maupun internasional cukup cerah. Permintaan dalam negeri komoditas perikanan
semakin meningkat disebabkan oleh karena semakin meningkatnya penduduk,
perekonomian semakin membaik dan semakin tingginya kesadaran akan gizi.
Perikanan modern
pada dasarnya merupakan suatu pembangunan perikanan yang berorientasi
agribisnis. Sasaran akhir dari
pembangunan perikanan keseluruhan adalah meningkatkan pendapatan sekaligus
kesejahteraan bagi para petani/nelayan.
Untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan langkah-langkah atau
strategi pembangunan perikanan yang mengutamakan keterpaduan baik dalam
lingkup lintas sektor, antar sektor maupun wilayah. Dengan pendekatan tersebut, diharapkan dapat terwujud suatu
pembangunan perikanan yang mantap dan efisien
didalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan perikanan semacam itu tidak lain
adalah usaha pengentasan kemiskinan dan pengembangan wilayah pesisir dengan
pemanfaatan berbagai sumberdaya yang tersedia, melalui peningkatan
produktivitas perikanan serta nilai tambah, dengan orientasi agribisnis.
Sifat
keterpaduan dalam pembangunan perikanan tersebut menghendaki koordinasi yang
mantap, mulai tahapan perencanaan sampai kepada pelaksanaan dan pemantauan
serta pengendaliannya. Untuk itu , dibutuhkan visi, misi,
strategi, kebijakan dan perencanaan program yang mantap dan dinamis. Melalui koordinasi dan sinkronisasi dengan
berbagai pihak baik lintas sektor maupun subsektor, tentu dengan memperhatikan
sasaran, tahapan dan keserasian antara rencanan pembangunan nasional dengan
regional, diharapkan diperolah keserasian dan keterpaduan perencanaan dari bawah
(bottom up) yang bersifat mendasar
dengan perencanaan dari atas ( top down)
yang bersifat policy, sebagai suatu kombinasi dan sinkronisasi yang lebih
mantap.
Oleh karena sistem agribisnis merupakan
suatu runtut kegiatan yang berkesinambungan mulai dari hulu sampai hilir, maka
keberhasilan pengembangan agribisnis perikanan ini sangat tergantung kepada
kemajuan-kemajuan yang dapat dicapai pada setiap simpul yang menjadi
sub-sistemnya.
Tujuan
Penulisan
Adapun penyusunan tulisan ini adalah
mengevaluasi Kebijakan Perikanan mengenai Pengembangan Agribisnis Terpadu,
dimana tulisan ini merupakan tugas dari mata kuliah “Falsafah Sains”.
Dalam Pelita VI strategi yang ditempuh untuk
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani nelayan adalah penerapan
sistem agribisnis terpadu berkelanjutan di bidang perikanan. Untuk mewujudkan penerapan sistem agribisnis
di bidang perikanan tersebut, kebijakan yang ditempuh adalah :
1. Meningkatkan keterkaitan antara
subsistem sehingga setiap kegiatan pada masing-masing subsistem dapat berjalan
secara berkelanjutan dengan tingkat efisiensi yang tinggi.
2. Pengembangan agribisnis harus mampu
meningkatkan aktivitas pedesaan.
3. Pengembangan agribisnis diarahkan pada pengembangan mitra usaha antara skala
besar dan skala kecil secara serasi, sehingga nilai tambah dari kegiatan
agribisnis dapat dinikmati secara adil oleh seluruh pelakunya.
4.
Pengembangan agribisnis dilakukan melalui pengembangan sentra produksi
perikanan dalam suatu skala ekonomi yang efisien.
Untuk mewujudkan usaha perikanan yang berwawasan
agribisnis, telah dikembangkan sentra-sentra produksi di 13 propinsi
berdasarkan pemilihan komoditas unggulan yang berorientasi pasar dan disesuaikan
dengan potensi sumberdaya ikan. Dalam
kaitan ini telah dilaksanakan Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan
(SPAKU) perikanan di 13 propinsi, yaitu Riau (budidaya kakap putih), Bengkulu
(penangkapan tuna/cakalang), Jawa Tengah (penangkapan pelagis kecil), DI
Yogyakarta (penangkapan lobster), NTB (budidaya rumput laut), Sulawesi Utara
(penangkapan tuna/cakalng), Sulawesi Tenggara (penangkapan tuna/cakalang),
Kalimantan Barat (penangkapan kakap merah/udang), Maluku ( penangkapan
tuna/cakalang), Irian Jaya (penangkapan tuna/cakalang), Jawa Timur (budidaya
kodok lembu), Jawa Barat (budidaya Lele), dan Sulawesi Selatan (budidaya
udang). Khusus untuk SPAKU budidaya
(kakap putih, lele, udang dan kodok lembu), penyediaan benih yang diperlukan
telah diupayakan untuk didukung penyediaannya melalui pengembangan usaha
pembenihan rakyat yang dananya bersumber dari Inpres Dati II Bantuan Penangkar
Benih.
Beberapa sentra produksi yang telah berkembang di
daerah telah diupayakan lagi untuk dikembangkan lebih lanjut dalam
suatu lokalita. Dalam kaitan ini telah dilakukan
pengembangan lokalita budidaya tambak di kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan,
budidaya rumput laut di Kabupaten Minahasa, sulawesi Utara, budidaya ikan
karang di Sumatera Utara; penangkapan tuna/cakalang di Maluku dan budidaya rumput laut di NTB. Dalam pelaksanaannya petani tambak dilokasi
Lokalita budidaya tambak Pinrang telah bermitra dengan Asosiasi Pengusaha Cold
Storage di Sulawesi Selatan dan bahkan telah memperoleh bantuan permodalan. Demikian pula petani budidaya rumput laut di
Sulawesi Utara yang telah menjalin kerjasama dengan PT Sumber Rejeki Pengusaha
Pengumpul Rumput laut yang bertindak pula sebagai eksportir. Hasil evaluasi menunjukkan telah adanya
dampak positif pengembangan lokalita rumput laut di Sulawesi Utara berupa
meningkatnya areal budidaya, produksi dan pendapatan petani rumput laut.
Upaya pengembangan agribisnis terpadu telah dilakukan pula
melalui penyelenggaraan temu usaha dan temu kemitraan yang diikuti oleh kontak
tani nelayan, petugas perikanan, pengusaha perikanan, serta pejabat pemerintah
daerah. Pada acara tersebut telah
ditandatangani beberapa `kemitraan
usaha di bidang penangkapan, budidaya, pemasaran dan pengolahan hasil
perikanan.
KERANGKA PIKIR
Evaluasi Kebijakan
Menurut W. Dunn, istilah evaluasi mempunyai arti yang berhubungan,
masing-masing menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil
kebijakan dan program. Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan
penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating) dan penilaian (assessment),
kata-kata yang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam arti
satuan nilainya. Dalam arti yang lebih
spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau
manfaat hasil kebijakan. Ketika hasil
kebijakan pada kenyataannya mempunyai nilai, hal ini karena hasil tersebut
memberi sumbangan pada tujuan atau sasaran.
Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa kebijakan atau program telah
mencapai tingkat kinerja yang bermakna, yang berarti bahwa masalah-masalah
kebijakan dibuat jelas atau diatasi.
Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama
dalam analisis kebijakan. Pertama, dan
yang paling penting, evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya
mengenai kinerja kebijakan, yaitu, seberapa jauh kebutuhan, nilai dan
kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini, evaluasi mengungkapkan
seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu (misalnya, perbaikan kesehatan) dan target
tertentu.
Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada
klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan
target. Nilai diperjelas dengan
mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target. Nilai juga dikritik dengan menanyakan secara sistematis kepantasan
tujuan dan target dalam hubungan dengan masalah yang dituju. Dalam menanyakan kepantasan tujuan dan
sasaran, analis dapat menguji alternatif.sumber nilai maupun landasan mereka
dalam berbagai bentuk rasionalitas (teknis, ekonomis, legal, sosial, substantif).
Ketiga, evaluasi memberi sumbangan pada
aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah
dan rekomendasi. Informasi tentang
tidak memadainya kinerja kebijakan dapat memberi sumbangan pada perumusan ulang
masalah kebijakan, sebagai contoh, dengan menunjukkan bahwa tujuan dan target
perlu didefinisikan ulang. Evaluasi
dapat pula menyumbang pada definisi alternatif kebijakan yang baru atau revisi
kebijakan dengan menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang diunggulkan
sebelumnya perlu dihapus dan diganti dengan yang lain.
Dalam menghasilkan informasi mengenai
kinerja kebijakan, digunakan tipe kriteria yang berbeda untuk mengevaluasi
hasil kebijakan. Perbedaan utama
antara kriteria untuk evaluasi dan kriteria untuk rekomendasi adalah pada waktu
ketika kriteria diterapkan atau diaplikasikan.
Kriteria untuk evaluasi diterapkan secara restrospektif (ex post), sedangkan kriteria untuk
rekomendasi diterapkan secara prospektif (ex
ante).
Mengingat kurang jelasnya arti evaluasi
di dalam analisis kebijakan, menjadi sangat penting untuk membedakan beberapa
pendekatan dalam evaluasi kebijakan, yaitu evaluasi semu, evaluasi formal, dan
evaluasi teoritis keputusan.
Evaluasi
Semu
Evaluasi semu (Pseudo Evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan
metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat
dipercaya mengenai hasil kebijakan, tanpa berusaha untuk menanyakan tentang
manfaat atau nilai dari hasil-hasil tersebut terhadap individu, kelompok, atau
masyarakat secara keseluruhan. Asumsi
utama dari evaluasi semu adalah bahwa ukuran tentang manfaat atau nilai
merupakan sesuatu yang dapat terbukti sendiri (self evident) atau tidak kontroversial.
Dalam evaluasi semu secara khusus
diterapkan macam-macam metode (rancangan eksperimental-semu, kuesioner, random
sampling, teknik statistik ) untuk menjelaskan variasi hasil kebijakan sebagai
produk dari variabel masukan dan proses.
Namun setiap kebijakan yang ada diterima begitu saja sebagai tujuan yang
tepat.
Evaluasi
Formal
Evaluasi Formal (Formal Evaluation) merupakan pendekatan yang menggunakan metode
deskriptif untuk menghasilkan informasi
yang valid dan cepat dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan tetapi
mengevaluasi hasil tersebut atas dasar tujuan program kebijakan yang telah
diumumkan secara formal oleh pembuat kebijakan dan administrator program. Asumsi utama dari evaluasi formal adalah
bahwa tujuan dan target diumumkan secara formal adalah merupakan ukuran yang
tepat untuk manfaat atau nilai kebijakan program.
Dalam evaluasi formal digunakan berbagai
macam metode yang sama seperti yang dipakai dalam evaluasi semu dan tujuannya
adalah identik yaitu untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat
dipercaya mengenai variasi-variasi hasil kebijakan dan dampak yang dapat
dilacak dari masukan dan proses kebijakan.
Meskipun demikiam perbedaanya adalah bahwa evaluasi formal menggunakan
undang-undang, dokumen-dokumen program, dan wawancara dengan pembuat kebijakan dan
administrator untuk mengidentifikasikan, mendefinisikan dan menspesifikasikan
tujuan dan target kebijakan. Kelayakan
dari tujuan dan target yang diumumkan secara formal tersebut tidak
ditanyakan. Dalam evaluasi formal
tipe-tipe kriteria evaluatif yang paling sering digunakan adalah efektifitas
dan efisiensi.
Evaluasi
Keputusan Teoritis
Evaluasi Keputusan Teoritis
(Decision-Theoretic Evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan
metode-metode diskriptif untuk menghasilkan informasi yang dapat dipertanggung-jawabkan
dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh
berbagai macam pelaku kebijakan.
Perbedaan pokok antara evaluasi teoritis keputusan di satu sisi, dan
evaluasi semu dan evaluasi formal di sisi lainnya, adalah bahwa evaluasi
keputusan teoritis berusaha untuk memunculkan dan membuat eksplisit tujuan dan
target dari pelaku kebijakan baik yang tersembunyi atau dinyatakan. Ini berarti bahwa tujuan dan target dari
para pembuat kebijakan dan administrator merupakan salah satu sumber nilai,
karena semua pihak yang mempunyai andil dalam memformulasikan dan
mengimplementasikan kebijakan
dilibatkan dalam merumuskan tujuan
dan target di mana kinerja nantinya akan di ukur.
Adapun kriteria lain dalam rangka
mengevaluasi suatu kebijakan adalah 1) efisiensi; 2) keadilan; 3) insentif
untuk perbaikan; 4) kemudahan untuk penegakan hukum (enforceability) dan 5) pertimbangan moral.
1) Efisiensi : Suatu kebijakan dikatakan
efisien, jika hasil (output atau outcomes) lebih besar (berarti) dari pada
biaya untuk implementasi serta penegakan hukuk kebijakan tersebut. Acapkali, kita tidak dapat menghitung nilai
rupiah dari keuntungan yang diperoleh akibat pulihnya suatu lingkungan dari
pencemaran. Jika demikian, maka yang
digunakan adalah kriteria “cost-effectiveness”,
dengan kata lain, suatu kebijakan bersifat efisien, maka pasti “cost-effectiveness”, tetapi tidak
sebaliknya..
2) Keadilan : Dalam hal ini yang dimaksud dengan keadilan adalah pembagian
(penyebaran) keuntungan, yang diperoleh dari suatu kebijakan, diantara kelompok
masyarakat (stakeholders).
3) Insentif untuk perbaikan : Kebijakan
yang baik adalah kebijakan yang mendorong para “stakeholders” untuk mencari dan menerapkan pendekatan atau
teknologi untuk perbaikan.
4) Enforceability : dapat atau tidaknya
suatu kebijakan diimplementasikan serta ditegakkan.
Pengertian
Sistem Agribisnis
Istilah agribisnis yang terungkap sejauh
ini memberikan kesan kepada kita bahwa agribisnis adalah suatu corak pertanian
tertentu dengan jati diri yang berbeda dengan pertanian tradisional (yang
dilakoni mengikuti budidaya yang berakar pada adat istiadat dari komunitas
tradisional) maupun dari pertanian hobi yang tidak mendambakan nilai tambah
komersial. Agribisnis adalah pertanian
yang organisasi dan manajemennya secara rasional dirancang untuk mendapatkan
nilai tambah komersial yang maksimal dengan menghasilkan barang dan/atau jasa
yang diminta pasar. Oleh karena itu
dalam agribisnis proses transformasi material yang diselenggarakan tidak
terbatas kepada budidaya proses biologik dari biota (tanaman, ternak, ikan)
tetapi juga proses pra usahatani, pasca panen, pengolahan dan niaga yang secara
struktural diperlukan untuk memperkuat posisi adu tawar (bargaining)
dalam interaksi dengan mitra transaksi di pasar. Ikatan keterkaitan fungsional dari kegiatan pra usahatani,
budidaya, pasca panen, pengolahan, pengawetan dan pengendalian mutu serta niaga
perlu terwadahi secara terpadu dalam suatu sistem agribisnis yang secara
sinkron menjamin kinerja dari masing-masing satuan sub proses itu menjadi
pemberi nilai tambah yang menguntungkan, baik bagi dirinya maupun secara
keseluruhan.
Secara konsepsional sistem agribisnis
dapat diartikan sebagai semua aktivitas mulai dari pengadaan dan penyaluran
sarana produksi sampai kepada pemasaran produk-produk yang dihasilkan oleh
usahatani dan agroindustri, yang saling terkait satu sama lain. Dengan demikian sistem agribisnis merupakan
suatu sistem yang terdiri dari berbagai subsistem, yaitu (a) subsistem
pengadaan dan penyaluran sarana produksi, teknologi dan pengembangan sumberdaya
pertanian; (b) subsistem budidaya atau usahatani; (c ) subsistem pengolahan
hasil atau agroindustri, dan (d) subsistem pemasaran hasil; (e) subsistem
prasarana dan (f) subsistem pembinaan.
EVALUASI KEBIJAKAN PERIKANAN
“PENGEMBANGAN AGRIBISNIS
TERPADU”
Berdasarkan kerangka pikir diatas, penyusun mencoba melakukan evaluasi melalui pendekatan evaluasi formal, tetapi
tidak sepenuhnya metode dalam pendekatan tersebut dapat dilakukan mengingat keterbatasan
waktu. Pada dasarnya, langkah awal dalam menyusun suatu kebijakan adalah
mengetahui akar permasalahan, yaitu dengan melihat formulasi strategi yang
dibentuk oleh penentu kebijakan. Apabila kita perhatikan pada Gambar 1 mengenai
Model Manajemen Strategi terlihat bahwa awal dalam menentukan formulasi
strategi adalah mengetahui keadaan lingkungan baik internal maupun eksternal.
Sehingga langkah-langkah selanjutnya mengacu pada pokok permasalahan yang
ditemui pada keadaan awal.
Menurut Wheelen dan Hunger (1992),
formulasi strategi sering dikatakan sebagai perencanaan strategis atau
perencanaan jangka panjang. Langkah
pertama dalam melakukan formulasi strategis adalah menentukan misi, yaitu suatu
gambaran terhadap maksud atau alasan bagi keberadaan suatu perusahaan atau
suatu lembaga. Misi ini penting karena
berfungsi sebagai arah bagi suatu perusahaan/Badan Pemerintah/Lembaga
Pemerintah dalam merencanakan kegiatan usahanya.
Dalam melaksanakan misi tersebut, dibutuhkan
suatu strategi tertentu yang meliputi berbagai kegiatan yang saling
terkait. Keterkaitan kegiatan mulai
dari misi sampai aplikasi strategi dapat dipakai sebagai alat kontrol atau
pengendalian sampai sejauh mana misi suatu perusahaan/Badan Pemerintah telah
berhasil dicapai.
Sedangkan untuk mengetahui situasi dalam
rangka pembangunan perikanan dapat dilakukan melalui analisa situasi, yaitu
suatu cara untuk mendapatkan suatu kemampuan strategis antara peluang-peluang
eksternal dan kekuatan-kekuatan internal sementara bekerja dalam
tantangan-tantangan eksternal dan kelemahan-kelemahan internal. Analisa tersebut akan menghasilkan
identifikasi terhadap kemampuan khusus yang dimiliki oleh suatu
perusahaan/Lembaga dan cara yang lebih baik dalam penggunaannya.
Adapun metode yang sangat berguna dan
populer dalam melakukan analisa terhadap situasi lingkungan suatu
Lembaga/perusahaan pada saat ini adalah analisa SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) dan analisa portfolio
(Wheelen dan Hunger, 1992)
Berdasarkan beberapa penelitian
menyatakan bahwa kinerja perusahaan ditentukan oleh suatu kombinasi antara
faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal. Kumpulan faktor-faktor tersebut oleh karenanya harus dipertimbangkan
pada saat melakukan analisa situasi.
SWOT adalah suatu akronim daripada kekuatan-kekuatan dan
kelemahan-kelemahan internal serta peluang-peluang dan tantangan-tantangan yang
penting dalam suatu perusahaan.
Tantangan,
Peluang dan Prospek Pengembangan Agribisnis Perikanan.
Secara asasi
karena sifatnya sebagai industri yang bertumpu kepada proses biologis, dunia
perikanan adalah dunia pedesaan. Data
statistik menunjukkan lebih dari 54 persen dari angkatan kerja pedesaan bermata
pencaharian di bidang pertanian/perikanan dengan rata-rata pendapatan relatif
lebih rendah dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang bekerja di sektor lain
dan yang tinggal di perkotaan.
Rendahnya pendapatan penduduk pedesaan, terutama yang bekerja di sektor
perikanan ada hubungannya dengan struktur pedesaan yang kurang kondusif bagi
perkembangan agribisnis yang dinamik dan kompetitif, karena sosok usahatani
perikanan yang lemah prasarana, fisik dan non fisik yang masih belum memadai,
serta terbatasnya jangkauan pasar. Kita
semua mengetahui bahwa hampir sebagian besar produksi hasil perikanan adalah
hasil jerih payah nelayan yang bertumpu kepada usahatani keluarga , yang
didukung dengan sumberdaya manusia dan
iptek yang masih tertinggal. Kondisi
struktural demikian itu menyebabkan terbatasnya kemampuan nelayan untuk
menjangkau sarana produksi dan kesempatan memperoleh sinergi yang diperlukannya
untuk berkembang.
Ditinjau dari
aspek dukungan pendanaan dari perbankan, ternyata investasi perikanan juga
sangat kurang diminati dunia usaha..
Hal ini menjadi salah satu indikator dari adanya suku bunga perbankan
yang dirasakan terlalu tinggi untuk usahatani di pedesaan dan fakta bahwa
lembaga dan sistem perbankan belum sepenuhnya menjangkau nelayan, baik dari
segi kelembagaan maupun prosedurnya.
Andaikata jangkauan tersebut sampai kepada sasarannya, ternyata lembaga
perbankan justru telah menjadi sarana untuk mengalirnya dana dari pedesaan ke
perkotaan, karena pedesaan lebih banyak menyimpan daripada meminjam. Disini terlihat bahwa ketertinggalan dan
keterbatasan nelayan ternyata merupakan faktor kondisional yang berada dibalik
mengalirnya dana dari pedesaan ke perkotaan tersebut.
Kondisi lain
yang ikut memperlambat laju penanaman modal di sektor pertanian khususnya
perikanan adalah keharusan untuk sejak awal menerapkan pendekatan terpadu yang
utuh. Produk perikanan mempunyai karakteristik yang mudah
rusak dan bervolume dengan dibandingkan nilainya. Penanganan pasca panen, penyimpanan , pengolahan, pengangkutan
dan lancarnya pemasaran menjadi sangat penting. Apabila penanam modal tidak mampu menerapkan prinsip integrasi
vertikal dalam investasinya, maka ia terpaksa harus bergantung kepada adanya
investasi lain yang menjamin hadirnya semua mata rantai yang diperlukan agar
produknya dapat dipasarkan dengan baik.
Hal-hal lain yang juga memberikan peran
dalam memperlebar kesenjangan antar wilayah maupun diantara masyarakat pedesaan
sendiri, adalah apa yang kita sebut sebagai kegagalan pasar. Dari pengalaman selama ini dapat ditunjukkan
bahwa perkembangan ekonomi yang mengandalkan pada kekuatan pasar saja justru
hanya dinikmati oleh masyarakat kelas menengah keatas. Masyarakat ekonomi lemah termasuk didalamnya
nelayan di pedesaan tidak sepenuhnya mampu memanfaatkannya.
Berhadapan dengan berbagai tantangan
yang menggugah tekad untuk menghadapinya itu, terbuka luas peluang
berkembangnya agribisnis untuk memenuhi permintaan pasar dalam negeri maupun
luar negeri akan berbagai hasil perikanan, yang lokasi dan sumberdayanya berada
di Indonesia, serta didukung dengan sumberdaya manusia, ilmu dan teknologi,
organisasi dan manajemen, serta modal, kekayaan sosial ekonomi dan sosial
budaya bangsa Indonesia sebagai bangsa pejuang yang handal.
Peluang dari segi permintaan timbul
disamping karena dinamika pertumbuhan penduduk, juga karena dinamika
pertumbuhan ekonomi, sosial budaya dan arus globalisasi. Penduduk yang bertambah, pertumbuhan
perkotaan, industrialisasi, peningkatan pendapatan, peningkatan kecerdasan/pendidikan
dan lain-lainnya, merupakan perubahan lingkungan strategik dari sisi
permintaaan yang manakala diantisipasi dan diapresiasi secara tepat akan
menjadi peluang usaha agribisnis yang menjanjikan nilai tambah. Dari segi penawaran, peluang tersebut
terbuka karena kemampuan ekonomi pedesaan yang semakin besar dan semakin
terbuka sebagai hasil dari perubahan dan kemajuannya dalam transformasi
struktural perikanan terdisional menjadi perikanan dan pedesaan maju. Berkat pengalaman dan pelajaran yang diraih
dalam proses pembangunan dan modernisasi pertanian untuk mencapai swasembada
pangan, ekonomi pedesaan sudah menjadi bagian integral dari sistem ekonomi
nasional. Proses perubahan untuk
menjawab kebutuhan pangan nasional tersebut telah mengembangkan kelembagaan
sistem agribisnis di pedesaan yaitu perangkat yang menjadi penghantar masukan
iptek sarana, dana dan jasa, serta industri pengolahan hasil secara meluas di
seluruh pedesaan.
Tantangan dan peluang serta kondisi
sumberdaya pertanian termasuk perikanan yang merupakan kekayaan sumberdaya
potensial dalam menapak era pembangunan PJP II dan yang dilengkapi dengan
kebijaksanaan pembangunan yang berorientasi ke pedesaan, menempatkan
pembangunan pertanian pada posisi sebagai arena pembangunan ekonomi yang perlu
melakukan penyesuaian dalam pendekatan, yaitu dari orientasi usahatani untuk
mencukupi kebutuhan menjadi pendekatan agribisnis untuk meraih nilai tambah
bagi wilayah pedesaan melalui kemampuannya untuk bersaing guna mencapai
kesejahteraan yang adil dan merata.
Strategi pembangunan pertanian termasuk
perikanan yang berwawasan agribisnis merupakan upaya sistematik yang dipandang
ampuh dalam mencapai beberapa tujuan ganda antara lain 1) menarik dan mendorong
sektor perikanan, 2) menciptakan struktur perekonomian yang tangguh, efisien
dan fleksibel, 3) menciptakan nilai tambah, 4) meningkatkan penerimaan devisa,
5) menciptakan lapangan kerja dan 6) memperbaiki pembagian pendapatan.
Dengan sistem agribisnis sebagai
perangkat penggerak pembangunan perikanan, sektor perikanan akan dapat
memainkan pernan positip dalam pembangunan nasional, baik dalam pertumbuhan,
pemerataan maupun stabilisasi. Adalah
wajar apabila ternyata masyarakat pembangunan selalu dihadapkan dengan
kenyataan bahwa sasarannya selalu meningkat di satu pihak, sementara kendalanya
ternyata mengikat di pihak lainnya.. Pencapaian semua tujuan dan sasaran yang
menjadi harapan tersebut akan sangat tergantung kepada kehandalan dari sistem
agribisnis yang dikembangkan.
Beberapa faktor strategik yang terkait
dengan kehandalan tatanan agribisnis yang dikembangkan itu adalah 1) lingkungan
strategik;2) permintaan; 3) sumberdaya, serta 4) ilmu dan teknologi.
1) Lingkungan Strategik
Pengaruh globalisasi dengan sangat cepat
menyusup pada struktur dan strategi badan-badan usaha multinasional. Persaingan antar industri telah berubah
dengan munculnya kerjasama antara badan-badan usaha yang selama ini saling
bersaing, untuk mencapai tingkat keuntungan ekonomi yang tinggi. Dampak daripadanya seringkali sulit untuk
diantisipasi karena pengaruhnya dapat saja melanggar kaidah-kaidah ekonomi yang
fundamental. Gambaran tersebut
sesungguhnya menunjukkan betapa teori keunggulan komparatif tidak lagi sesuai
dengan perkembangan ekonomi dunia dewasa ini.
Jelas bahwa
cepatnya fenomena globalisasi ekonomi tersebut membawa dampak yang sulit, baik
untuk negara-negara industri maupun negara-negara berkembang seperti
Indonesia. Keadaan di atas seringkali
lebih dipersulit dengan semakin tampaknya sifat proteksionistis negara-negara
maju dalam perdagangan, persaingan tidak sehat antara sesama badan usaha
multinasional dalam upaya melestarikan kegiatan ekonominya dan lain
sebagainya. Di pihak lain, seringkali
tuntutan keseimbangan neraca perdagangan antar negara mengakibatkan bentuk
perdagangan menjadi semakin tidak dilandasi oleh prinsip-prinsip keunggulan
komparatifnya, karena hubungan bilateral menjadi prinsip utama dibandingkan
prinsip persaingan. Dengan demikian menjadi semakin penting
bagi kita untuk menanamkan wawasan “competitiveness”
sebagai landasan pembangunan perikanan.
2)
Permintaan
Bagi dunia perikanan, dampak globalisasi
ekonomi akan segera terlihat pada sektor-sektor produksi dari berbagai
komoditas perikanan. Jika ingin terus
meningkatkan kemampuan bersaing komoditas perikanan kita di pasar
Internasional, maka mau tidak mau kita harus menangkap setiap gejala ataupun
pergerakan yang terjadi pada pasar internasional tersebut. Jelas bahwa kecendrungan peningkatan
produksi komoditas primer di satu pihak, yang disertai lambannya pertumbuhan
permintaan, telah menimbulkan kelebihan penawaran yang pada gilirannya akan
semakin menajamkan persaingan antar sesama negara produsen. Sementara itu negara-negara konsumen menjadi
semakin sadar akan kepentingannya dalam menghadapi negara produsen, sehingga
sistim produksi perikanan harus senantiasa dikelola dengan berorientasi pada permintaan pasar.
Perubahan perilaku dan selera pasar yang
semakin cepat sangat sulit untuk diantisipasi dengan tepat oleh negara-negara
produsen. Teknologi industri yang
semakin canggih semakin menuntut keefisienan ekonomi, kehandalan kualitas,
disiplin serta profesionalisme dengan segala etika yang terkait dengannya.
3) Sumberdaya
Indonesia adalah negara yang sangat kaya
sumberdaya alam. Masalahnya adalah
bagaimana mengelola, memanfaatkan secara optimal dan sekaligus memperluas “resource base” dari sumberdaya alam
dimaksud, sebagaimana diisyaratkan oleh UUD 1945 pasal 33 ayat 3. Secara hakiki, upaya pembangunan yang sedang
ditempuh pada saat ini dapat dilakukan dengan mendayagunakan berbagai
sumberdaya potensial yang tersedia di setiap wilayah maupun yang dapat
diusahakan dari luar wilayah yang bersangkutan. Diantara sumberdaya potensial tersebut, ada yang berupa sumberdaya
alam (natural resources), sumberdaya
manusia (human resources) serta
sumberdaya buatan (man-made resources).
Potensi sumberdaya alam yang cukup besar
dan beragam dari tanah air Indonesia tersebut dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun demikian, perlu disadari bahwa pengelolaan sumberdaya potensial (“potential endowment resources”)
semacam itu mempunyai sifat khas, yaitu keterkaitan (interdependency) yang kompleks dan rumit, yang pada gilirannya
berpengaruh kepada kelestarian
(sustainability) sumberdaya tersebut.
Dengan demikian semakin jelas terlihat,
bahwa dalam pemanfaatan sumberdaya pembangunan selalu terkait pada
persoalan-persoalan spesifik dari sumberdaya.
Selain sifat langka dan uniknya, pertimbangan perlu diberikan kepada
adanya masalah eksternalitas, tidak
terbelahkan atau indivisibility,
public goods, property right, serta kelangkaan spasial yang merupakan
sumber dari monopoli alami atau natural
monopoly.
Kesemua gambaran tersebut pada dasarnya
menunjukkan bahwa potensi sumberdaya pertanian, khususnya perikanan memberikan
kesempatan yang sangat luas untuk mengembangkan prinsip-prinsip keunggulan
kompetitif tanpa meninggalkan dua prinsip penting yaitu (a) wawasan
agroekosistem dan (b) wawasan lokalita/wilayah/regional. Kedua wawasan tersebut pada dasarnya
memberikan arah agar kegiatan agribisnis selalu memperhatikan kondisi dan
potensi sumberdaya alam dan lingkungannya.
4) Ilmu dan Teknologi
Ilmu dan teknologi merupakan perangkat
instrumental hasil karya manusia untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi
karyanya, termasuk karya dalam menumbuhkembangkan agribisnis di pedesaan. Peningkatan produktivitas dan efisiensi
setiap simpul dalam rangkaian sistem agribisnis akan menghasilkan perbaikan
dalam perolehan nilai tambah secara proporsional bagi setiap pelaku di dalam
rangkaian sistem tersebut.
Sebagai hasil karya manusia, ilmu dan
teknologi merupakan sumberdaya dinamik yang universal dan mempunyai mobilitas
tinggi.. Pengembangan, penyebaran, penerapan dan alih teknologi tentunya perlu
diberi isi kearifan pertimbangan agar bersifat selektif dan tepat guna serta
sesuai dengan nilai budaya bangsa.
Penerapan iptek tersebut seyogyanya dilakukan sesuai keragaman dan
karakteristik wilayah baik dari segi lahan,agroklimat maupun sosial ekonomi,
sosial budaya serta tingkat kemampuan masyarakat setempat dalam
mengadopsinya. Iptek juga berarti
kemampuan rekayasa dan rancang bangun sebagai hasil daya cipta dan daya kreatif
manusia. Disinilah relevansi peranan
perguruan tinggi dan lembaga penelitian untuk menumbuhkan budaya iptek yang
bermuara pada tumbuhnya dinamika dalam menciptakan rakitan teknologi yang
kompatibel dengan keunikan dari masing-masing wilayah. Berkembangnya iptek yang spesifik lokasi
tersebut, pada gilirannya akan menghasilkan
suatu pola pengembangan agribisnis yang dilandaskan pada keunggulan
kompetitif wilayah, sebagai warna dan nuansa dari pengembangan agribisnis di
Indonesia. Sarana pengembangan dan
penyebaran serta adopsi iptek oleh sistem agribisnis tidak cukup hanya dengan
eksistensi lembaga perguruan tinggi dengan litbang saja, tapi juga memerlukan
hadirnya secara menyeluruh di pedesaan fasilitas belajar seperti adanya lembaga
penyuluhan perikanan, sekolah-sekolah kejuruan, berbagai kursus ketrampilan,
serta juga lembaga konsultasi yang tersebar dan bergerak melayani masyarakat
nelayan/pedesaan.
Berbagai tantangan, peluang, lingkungan
strategik, permintaan/penawaran, sumberdaya dan iptek, beserta iklim kondusif
yang diciptakan oleh perangkat kebijakan dan pengaturan adalah komponen
fungsional /struktural dari perangkat masyarakat ekonomi yang menjadi wadah
dari proses transformasi pembentukan barang
dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sebagai komponen tentunya dia hanya akan berarti manakala berada
dalam tatanan tertentu yang memberinya
posisi, aturan, daya, arah, takaran dan ukuran yang tepat, guna terwujudnya
transformasi masukan menjadi luaran secara efisien dan menghasilkan nilai
tambah yang optimal. Ini berarti
dibutuhkan suatu sistem yang tepat agar pembangunan perikanan dapat
menghantarkan perikanan kepada kondisi yang tangguh, maju dan efisien. Sistem inilah yang disebut sistem
agribisnis.
Kebijakan Perikanan yang disusun diatas telah memenuhi sistem agribisnis
yang diharapkan., yaitu salah satunya adalah berusaha meningkatkan keterkaitan
antara subsistem sehingga setiap kegiatan pada masing-masing subsistem dapat
berjalan secara berkelanjutan dengan tingkat efisiensi yang tinggi. Dalam rangka mewujudkan usaha perikanan
yang berwawasan agribisnis, telah dikembangkan sentra-sentra produksi antara lain di Jawa Barat,
dikembangkan budidaya Tuna/Cakalang.
Diharapkan di daerah ini telah dibangun pula prasarana dan sarana yang
memadai guna mendukung budidaya Tuna tersebut, antara lain tersedianya jalur
transportasi yang layak guna, adanya proses pengolahan walaupun dalam skala
rumah tangga, tersedianya pasar yang dapat menampung hasil produksi tersebut,
dan adanya pembinaan yang kontinu dari aparat pembuat kebijakan. Akan lebih terlihat keberhasilan suatu
kebijakan apabila pada salah satu programnya terdapat pilot proyek yang benar-benar mengikuti aturan yang ada pada
kebijakan tersebut.
Pada dasarnya, untuk terciptanya kondisi lingkungan strategik pengembangan agribisnis yang kondusif dalam rangka meningkatkan kemampuan aktivitas pedesaan perlu dikembangkan beberapa pilar penopang sistem agribisnis, antara lain :
·
Eksistensi Semua Komponen Sistem Agribisnis Secara
Lengkap di Pedesaan. : Sistem
agribisnis merupakan rakitan dari enam subsistem menjadi satu kesatuan
rangkaian proses transformasi tekno-ekonomi (budidaya, pengolahan, niaga) untuk
menghasilkan dan memasarkan barang/jasa yang bersumber kepada proses biologik
dari biota. Kelengkapan eksistensi
keenam subsistem di lokalita pedesaan adalah syarat yang perlu bagi
berlangsungnya kehidupan agribisnis.
Keenam subsistem yang secara lengkap hadir di lokalita pedesaan tersebut
membuka peluang bagi tumbuh dan berkembangnya sistem agribisnis agar mampu
meraih adu tawar yang baik sehingga dapat meraih nilai tambah yang
maksimal. Kondisi tersebut membuat
pelaku sistem agribisnis terlengkapi perangkat fungsional untuk memanfaatkan
sumberdaya secara rasional, efektif dan efisien dan untuk menjadi pelaku niaga
yang berjati diri di pasar.
·
Wirausaha dan Kemitraan Usaha :
Keenam komponen subsistem lengkap ada di lokalita adalah syarat yang
perlu tapi belum cukup. Untuk mencukupi
persyaratan keberadaan sistem agribisnis di pedesaan diperlukan kehadiran
wirausaha (enterpreneur). Wirausahalah
yang menjadi pemrakarsa, perintis, perakit, perekayasa, penggerak dan pemandu
proses bekerjanya sistem agribisnis pada lokalita tertentu, sehingga sistem
agribisnis tersebut tampil sebagai pelaku ekonomi dalam lingkungannya. Di tangan wirausahawanlah berlangsungnya
proses perakitan dan perekayasaan untuk memanfaatkan keberadaan enam subsistem
tersebut menjadi satu satuan perangkat sistem agribisnis yang mempunyai jati diri
dan dinamika yang diperlukan dalam usahanya untuk meraih nilai tambah yang
maksimal dan memiliki daya saing yang tangguh.
Mengingat pada setiap subsistem
dalam sistem agribisnis juga ada wirausaha dan/atau wirakarya, maka pada setiap
sistem agribisnis akan bekerja sejumlah wirausaha dan/atau wirakarya, yang
tentunya harus mengembangkan mekanisme kerjasama melalui hubungan kemitraan dan
manajerial yang dirancang, dirakit dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
optimasi bekerjanya sistem agribisnis yang didukungnya bersama. Melalui hubungan kemitraan yang disepakati
bersama akan berkembang suatu sistem agribisnis yang mampu mendistribusikan
insentif dan nilai tambah yang didapatnya secara proporsional menurut asas
keadilan yang menjadi tolok ukur normatif perekonomian Indonesia. Dengan hubungan kemitraan dan hubungan
manajerial yang tepat akan terjamin dinamika dan keberlanjutan sistem
agribisnis.
.
Pembangunan pertanian berwawasan
agribisnis bukan lagi sekedar bertumpu pada persoalan produksi semata-mata, akan
tetapi lebih berwawasan kepada peningkatan pendapatan dan mutu kehidupan yang
lebih baik. Dengan demikian upaya
penting daripadanya adalah bagaimana sejauh mungkin menangkal ekses negatif
yang ditimbulkan oleh distorsi yang dapat ditimbulkan oleh ekonomi pasar.
Kebijakan Perikanan mengenai
Pengembangan Agribisnis Terpadu telah memenuhi kriteria efisiensi, keadilan
(adanya program kemitraan), insentif untuk perbaikan yaitu dengan adanya upaya
untuk meningkatkan aktivitas pedesaan.
Kebijakan Perikanan tersebut disusun
berdasarkan alur proses perencanaan pembangunan perikanan, yaitu telah
mengetahui situasi lingkungan dalam rangka pembangunan perikanan, misalnya
telah mengetahui permasalahan, dan peluang yang akan dihadapi dalam pembangunan
perikanan. Sehingga kebijakan yang
dibuat telah mengacu kepada hasil
analisa situasi lingkungan tersebut.
Sebagai dampak dari belum meratanya
hasil-hasil pembangunan dapat dilihat adanya ketimpangan yang terjadi di
masyarakat khususnya nelayan di pesisir baik ketimpangan secra fisik maupun
non-fisik. Oleh karenanya salah satu
upaya yang dianggap paling jitu untuk meredam ketimpangan antara pelaku ekonomi
tersebut adalah melalui kemitraan dimana pada dasarnya maksud dan tujuan
dari kemitraan tersebut adalah win-win solution partnership yang
ditekankan pada adanya kesetaraan dalam posisi tawar berdasarkan peran
masing-masing pihak yang bermitra. Peran pemerintah dalam mewujudkan kemitraan
adalah menciptakan lingkungan yang kondusif dan menyerap berbagai aspirasi yang
berkembang di masyarakat sebagai bahan untuk melahirkan kebijakan bottom-up
yang dapat dioperasionalkan.
Harapan penulis, dimasa mendatang arah
dan strategi pengembangan kemitraan harus diupayakan untuk tidak menerapkan pola
lama yang kurang operasional. Untuk itu
yang pertama dan utama yang harus dilakukan adalah mensosialisasikan kemitraan
secara transparan.
Dunn, WN. 1994.
Public Policy Analysis : An Introduction. Ed ke-2. Prentice-Hall,
Inc., A Simon & Schuster Company, Englewood Cliffs, New Jersey 07632. Terjemahan dari : Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta 55281, Indonesia.
Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Perikanan. 1998. Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan (PROTEKAN) 2003.
Wheelen, TL., J.D Hunger. 1992. Strategic Management and Busisness Policy. Ed ke-4. Addison-Wesley Publishing Company, Inc.