© 2002 Nunu
Heryanto Posted:
2 March 2002
Makalah Falsafah Sains (PPs
702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Maret 2002
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung
Jawab)
PENTINGNYA
LANDASAN FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN
BAGI
PENDIDIKAN
(Suatu Tinjauan Filsafat Sains)
Oleh
Nunu Heryanto
NRP. P016010051
Pengantar
Terdapat
cukup alasan yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila ada pertanyaan-pertanyaan
rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak dijawab oleh ilmu atau cabang
ilmu-ilmu. Misalnya: apakah yang dimaksud dengan pengetahuan, dan/atau ilmu?
Dapatkah kita bergerak ke kiri dan kanan di dalam ruang tetapi tidak terikat oleh
waktu? Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sekitar pendidikan dan
ilmu pendidikan. Kiranya kegiatan pendidikan bukanlah sekedar gejala sosial
yang bersifat rasional semata mengingat kita mengharapkan pendidikan yang
terbaik untuk bangsa Indonesia, lebih-lebih untuk anak-anak kita masing-masing;
ilmu pendidikan secara umum tidak begitu maju ketimbang ilmu-ilmu sosial dan
biologi tetapi tidak berarti bahwa ilmu pendidikan itu sekedar ilmu atau suatu
studi terapan berdasarkan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan
atau ilmu perilaku.
Pertanyaan yang timbul yaitu: apakah
teori-teori pendidikan dapat atau telah tumbuh sebagai ilmu ataukah hanya
sebagian dari cabang filsafat dalam arti filsafat sosial ataupun filsafat
kemanusiaan?
Masalah
pendidikan mikro yang menjadi focus disini khususnya ialah dasar dan landasan
pendidikan serta landasan ilmu pendidikan yaitu manusia atau sekelompok kecil
manusia dalam fenomena pendidikan.
1.
Pendidikan dalam Praktek Memerlukan teori
Alangkah
pentingnya kita berteori dalam praktek di lapangan pendidikan karena pendidikan
dalam praktek harus dipertanggungjawabkan. Tanpa teori dalam arti seperangkat
alasan dan rasional yang konsisten dan saling berhubungan maka tindakan-tindakan
dalam pendidikan hanya didasarkan atas alasan-alasan yang kebetulan, seketika
dan aji mumpung. Hal itu tidak boleh terjadi karena setiap tindakan pendidikan
bertujuan menunaikan nilai yang terbaik bagi peserta didik dan pendidik. Bahkan
pengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain memerlukan proses
dan alasan rasional serta intelektual juga terjalin oleh alasan yang bersifat
moral. Sebabnya ialah karena unsur manusia yang dididik dan memerlukan
pendidikan adalah makhluk manusia yang harus menghayati nilai-nilai agar mampu
mendalami nilai-nilai dan menata perilaku serta pribadi sesuai dengan harkat
nilai-nilai yang dihayati itu.
Kita baru
saja menyaksikan pendidikan di Indonesia gagal dalam praktek berskala makro dan
mikro yaitu dalam upaya bersama mendalami, mengamalkan dan menghayati
Pancasila. Lihatlah bagaimana usaha nasional besar-besaran selama 20 tahun
(1978-1998) dalam P-7 (Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila) berakhir kita nilai gagal menyatukan bangsa untuk
memecahkan masalah nasional suksesi kepresidenan secara damai tahun 1998,
setelah krisis multidimensional melanda dan memporakporandakan hukum dan
perekonomian negara mulai pertengahan tahun 1997, bahkan sejak 27 Juli 1996 sebelum
kampanye Pemilu berdarah tahun 1997. itu adalah contoh pendidikan dalam skala
makro yang dalam teorinya tidak pas dengan Pancasila dalam praktek diluar ruang
penataran. Mungkin penatar dan petatar
dalam teorinya ber-Pancasila tetapi didalam praktek, sebagian besar telah
cenderung menerapkan Pancasila Plus atau Pancasila Minus atau kedua-duanya. Itu
sebabnya harus kita putuskan bahwa P-7 dan P-4 tidak dapat
dipertanggungjawabkan, setidak-tidaknya secara moral dan sosial. Mari kita
kembali berprihatin sesuai ucapan Dr. Gunning yang dikutip Langeveld (1955).
“Praktek
tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila, sedangkan teori praktek hanya
untuk orang-orang jenius”.
Ini
berarti bahwa sebaiknya pendidikan tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang
yang mampu bertanggung jawab secara rasional, sosial dan moral. Sebaliknya
apabila pendidikan dalam praktek dipaksakan tanpa teori dan alasan yang memadai
maka hasilnya adalah bahwa semua pendidik dan peserta didik akan merugi. Kita merugi karena tidak mampu bertanggung jawab atas
esensi perbutan masing-masing dan bersama-sama dalam pengamalan Pancasila.
Pancasila yang baik dan memadai, konsisten antara pengamalan (lahiriah) dan
penghayatan (psikologis) dan penataan nilai secara internal. Dalam hal ini kita
bukan menyaksikan kegiatan (praktek) pendidikan tanpa dasar teorinya tetapi
suatu praktek pendidikan nasional tanpa suatu teori yang baik.
2.
Landasan Sosial dan
Individual Pendidikan
Pendidikan sebagai gejala sosial dalm kehidupan mempunyai landasan
individual, sosial dan cultural. Pada skala mikro pendidikan bagi individu dan
kelompok kecil beralngsung dalam skala relatif tebatas seperti antara sesama
sahabat, antara seorang guru dengan satu atau sekelompok kecil siswanya, serta
dalam keluarga antara suami dan isteri, antara orang tua dan anak serta anak
lainnya. Pendidikan dalam skala mikro diperlukan agar manusia sebagai individu
berkembang semua potensinya dalam arti perangkat pembawaanya yang baik dengan
lengkap. Manusia berkembang sebagai individu menjadi pribadi yang
unik yang bukan duplikat pribadi lain. Tidak ada manusia yang diharap mempunyai
kepribadian yang sama sekalipun keterampilannya hampir serupa. Dengan adanya
individu dan kelompok yang berbeda-beda diharapkan akan mendorong terjadinya
perubahan masyarakat dengan kebudayaannya secara progresif. Pada tingkat dan
skala mikro pendidikan merupakan gejala sosial yang mengandalkan interaksi
manusia sebagai sesama (subyek) yang masing-masing bernilai setara. Tidak ada
perbedaan hakiki dalam nilai orang perorang karena interaksi antar pribadi
(interpersonal) itu merupakan perluasan dari interaksi internal dari seseorang
dengan dirinya sebagai orang lain, atau antara saya sebagai orang kesatu (yaitu
aku) dan saya sebagai orang kedua atau ketiga (yaitu daku atau-ku; harap
bandingkan dengan pandangan orang Inggris antara I dan me).
Pada skala
makro pendidikan berlangsung dalam ruang lingkup yang besar seperti dalam
masyarakat antar desa, antar sekolah, antar kecamatan, antar kota, masyarakat
antar suku dan masyarakat antar bangsa. Dalam skala makro masyarakat
melaksanakan pendidikan bagi regenerasi sosial yaitu pelimpahan harta budaya
dan pelestarian nilai-nilai luhur dari suatu generasi kepada generasi muda
dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan adanya pendidikan dalam arti luas
dan skala makro maka perubahan sosial dan kestabilan masyarakat berangsung
dengan baik dan bersama-sama. Pada skala makro ini pendidikan sebagai gejala
sosial sering terwujud dalam bentuk komunikasi terutama komunikasi dua arah.
Dilihat dari sisi makro, pendidikan meliputi kesamaan arah dalam pikiran dan
perasaan yang berakhir dengan tercapainya kemandirian oleh peserta didik. Maka
pendidikan dalam skala makro cenderung dinilai bersifat konservatif dan tradisional
karena sering terbatas pada penyampaian bahan ajar kepada peserta didik dan
bisa kehilangan ciri interaksi yang afektif.
3.
Teori Pendidikan Memadu
Jalinan Antara Ilmu dan Seni
Adanya aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah seperti disebut
tadi mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena (situasi) pendidikan adalah
paduan antara manusia sebagai sebagai fakta dan manusia sebaai nilai. Tiap
manusia bernilai tertentu yuang bersifat luhur sehingga situasi pendidikan
memiliki bobot nilai individual, sosial dan bobot moral. Itu sebabnya pendidikn
dalam praktek adalah fakta empiris yang syarat nilai berhubung interaksi
manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua
arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat maniusiawi seperti saya atau
siswa mendidik diri sendiri atas dasar hubungan pribadi dengan pribadi (higher
order interactions) antar individu dan hubungan intrapersonal secara afektif
antara saya (yaitu I) dan diriku (diri sendiri yaitu my self atau the self).
Adapun manusia sebagai fakta empriris tentu meliputi berbagai variabel
dan hubungan variabel yang terbatas jumlahnya dalam telaah deskriptif
ilmu-ilmu. Sedangkan jumlah variabelnya amat banyak dan hubungan-hubungan
antara variabel amat kompleks sifatnya apabila pendidik memelihara kualitas
interaksinya dengan peserta didik secra orang perorang (personal).
Sepeti
dikatakan tentang siswa belajar aktif oleh Phenix (1958:40), yaitu :
“It
possible to conceive of teacher and student as one and same person and the self
taught person as one who direct his own development through an internal
interaction between the self as I and the self as me on the other hand, it is
usual for one teacher to teach many students simultaneously. In that even the
quality oef the interaction may become generalized and impersonal, or it may, by appropriate means, retain its
person to person character.
Artinya
sift manusiawi dari pendidikan (manusia dalam pendidikan) harus terpelihara demi
kualitas proses dan hasil pendidikan. Pemeliharaan itulah yang menuntut agar
pendidik siap untuk bertindak sewaktu-waktu secara kreatif (berkiat menciptakan
situasi yang pas, apabila perlu. Misalnya atas dasar diagnostik klinis)
sekalipun tanpa prognosis yang lengkap namun utamanya berdasarkan sikap afektif
bersahabat terhadap terdidik. Kreativitas itu didasarkan kecintaan pendidik
terhadap tugas mendidik dan mengajar, itu sebabnya gejala atau fenomena
pendidikan tidak dapat direduksi sebagai gejala sosial atau gejala komunikasi
timbal balik belaka. Apabila ilmu-ilmu sosial atau behavioral mampu menerapkan
pendekatan dan metode ilmiah (Pearson, 1900) secara termodifikasi dalam telaah
manusia melalui gejala-gejala sosial, apakah ilmu pendidikan harus bertindak
serupa untuk mengatasi ketertinggalan- nya khususnya ditanah air kita ?
Atau
seperti dikatakan secara ilmiah oleh NL. Gage (1978:20),
“Scientific
method can contribute relationships between variaboles, taken two at a time and
even in the form of interactions, three or perhaps four or more at a time.
Beyond say four, the usefulness of what science can give the teacher begins to
weaken, because teacher cannot apply, at least not without help and not on the
run, the more complex interactions. At this point, the teacher as an artist
must step in and make clinical, or artistic, judgement about the best ways to
teach.”
Pendidik
memang harus bertindak pada latar mikro termasuk dalam kelas atau di sekolah
kecil, mempengaruhi peserta didik dan itu diapresiasi oleh telaah pendidikan
berskala mikro, yaitu oleh paedagogik (teoritis) dan andragogi (suatu pedagogic
praktis). Itu sebabnya ilmu pendidikan harus lebih inklusif daripada pengajaran
(yang makro) lebih utama daripada mengajar dan mendidik. Bahkan kegiatan pengajaran
disekolah memerlukan perencanaan dalam arti penyusunan persiapan mengajar.
Dalam pandangan ilmu pendidikan yang otonom, ruang lingkup pengajaran tidak
dengan sendirinya mencakup kegiatan mendidik dan mengajar.
Atas dasar
pokok-pokok pikiran tentang aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah dari
manusia dalam fenomena pendidikan maka pendidikan dalam praktek haruslah secara
lengkap mencakup bimbingan, mendidik, mengajar dan pengajaran. Dalam fenomena yang normal peserta didik dapat
didorong aga belajar aktif melalui bimbingan dan mengajar. Tetapi adakalanya
dalam situasi kritis siswa perlu meniru cara guru yang aktif belajar sendiri.
Itu sebabnya perundang-undangan pendidikan kita sebenarnya perlu diluruskan,
pada satu sisi agar upaya mendidik terjadi dalam keluarga secara wajar, disisi
lain agar pengajaran disekolah meliputi dimensi mendidik dan mengajar. Lagi
pula bahwa diferensisasi dan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan perlu
ditentukan utamanya harus melakukan pengajaran dan mengelola kurikulum formal
sebagai aspek spesialisasinya agar beroperasi efisien. Sedangkan konsep
pendidikan yang juga mencakup program latihan (UU. No. 2/1989 Pasal 1 butir
ke-1) adalah suatu konstruk yang amat luas dilihat dari perspektif sekolah
sebagai lembaga pendidikan formal.
Maka konsep pendidikan yang memerlukan ilmu fdan seni ialah proses atau
upaya sadar antar manusia dengan sesama secara beradab, dimana pihak kesatu
secara terarah membimbing perkembangan kemampuan dan kepribadian pihak kedua
secara manusiawi yaitu orang perorang. Atau bisa diperluas menjadi makro
sebagai upaya sadar manusia dimana warga maysrakat yang lebih dewasa dan
berbudaya membantu pihak-pihak yangkurang mampu dan kurang dewasa agar
bersama-sama mencapai taraf kemampuan dan kedewasaan yang lebih baik (Phenix,
1958:13), Buller, 1968:10). Dalam arti ini juga sekolah laboratorium akan
memerlukan jalinan praktek ilmu dan praktek seni. Sebaliknya butir 1 pasal 1,
UU No. 2 /1989 kiranya kurang tepat sehingga tentu sulit menuntut siswa ber
CBSA padahal guru belum tentu aktif belajar, mengingat definisi pendidikan yang
makro, yaitu :
“Pendidikan
ialah usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan dating”.
Kiranya
konsep pendidikan yang demikian yang demikian kurang mampu memberi isi kepada
tujuan dan semangat Bab XIII UUD 1945 yang merujuk bidang pendidikan sebagai
amanah untuk mewujudkan keterkaitan erat antara sistem pengajaran nasional
dengan kebudayaan kebangsaan. Karena itu dalam lingkup pendidikan menurut skala
mikro dan abstark yang lebih makro, pendidik harus juga peduli dengan aspek
etis (moral) dan estetis dari pengalamannya berinteraksi dengan peserta didik
selain aspek pengetahuan, kebenaran dan perilaku yang disisyaratkan oleh konsep
pendidikan menurut undang-undang tadi. Hal ini sesuai dengan pandangan Ki Hajar Dewantara (1950) sebagai
berikut :
“Taman Siswa mengembangkan suatu cara pendidikan yang tersebut didalam
Among dan bersemboyan ‘Tut Wuri Handayani’ (mengikuti sambil mempengaruhi).
Arti Tut Wuri aialah mengikuti, namun maknanya ialah mengikuti perkembangan
sang anak dengan penuh perhatian berdasarkan cinta kasih dan tanpa pamrih,
tanpa keinginan menguasai dan memaksa, dan makna Handayani ialah mempengaruhi
dalam arti merangsang, memupuk, membimbing, memberi teladan gar sang anak
mengembngkan pribadi masing-masing melalui disiplin pribadi”.
Demikian bagi Ki Hajar Dewantara pendidikan pada skala mikro tidak
terlepas dari pendidikan dalam arti makro, bahkan disipilin pribadi adalah
tujuan dan cara dalam mencapai disiplin yang lebih luas. Ini berarti bahwa
landasan pendidikan terdapat dalam pendidikan itu sendiri, yaitu factor
manusianya. Dengan demikian landasan-landasan pendidikan tidak mesti dicari
diluar fenomena (gejala) pendidikan termasuk ilmu-ilmu lain dan atau filsafat
tertentu dari budaya barat. Oleh karena itu data ilmu pendidikan tidak
tergantung dari studi ilmu psikologi., fisiologi, sosiologi, antropologi
ataupun filsafat. Lagi pula konsep pengajaran (yang makro) berdasarkan
kurikulum formal tidak dengan sendirinya bersifat inklusif dan atau sama dengan
mengajar. Bahkan dalam banyak hal pengajaran itu tergantung hasilnya dari
kualitas guru mengajar dalam kelas masing-masing. Sudah barang tentu asas Tut
Wuri Handayani tidak akan menjadikan pengajaran identik dengan sekedar upaya
sadar menyampaikan bahan ajar dikelas kepada rombongan siswa mengingat guru
harus berhamba kepada kepentingan siswanya.
Uraian diatas mengisyaratkan terhadap dasar-dasar
pendidikan bahwa praktek pendidikan sebagai ilmu yang sekedar rangkaian fakta
empiris dan eksperimental akan tidak lengkap dan tidak memadai. Fakta
pendidikan sebagai gejala sosial tentu sebatas sosialisasi dan itu sering
beraspirasi daya serap kognitif dibawah 100 % (bahkan 60 %). Sedangkan
pendidikan nilai-nilai akan menuntut siswa menyerap dan meresapi penghayatan
100 % melampaui tujuan-tujuan sosialisasi, mencapai internaliasasi (mikro) dan
hendaknya juga enkulturasi (makro). Itulah perbedaan esensial antara pendidikan
(yang menjalin aspek kognitif dengan aspek afektif) dan kegiatan mengajar yang
paling-paling menjalin aspek kognitif dan psikomotor. Dalam praktek evaluasinya
kegiatan pengajaran sering terbatas targetnya pada aspek kognitif. Itu sebabnya
diperlukan perbedaan ruang lingkup dalam teori antara pengajaran dengan
mengajar dan mendidik.
Adapun ketercapaian untuk daya serap internal mencapai
100 % diperlukn tolong menolong antara sesama manusia. Dalam hal ini tidak ada
orang yang selalu sempurna melainkan bisa terjadi kemerosotan yang harus
diimbangi dengan penyegaran dan kontrol sosial. Itulh segi interdependensi
manusia dalam fenomena pendidikan yang memerlukan kontrol sosial apabila hendak
mencegah penurunan pengamalan nlai dan norma dibawah 100%.
1.
Pedagogik sebagai ilmu murni
menelaah fenomena pendidikan
Jelaslah bahwa telaah lengkap atas tindakan manusia dalam fenomena
pendidikan melampaui kawasan ilmiah dan memerlukan analisis yang mandiri atas
data pedagogic (pendidikan anak) dan data andragogi (Pendidikan orang dewasa). Adapun
data itu mencakup fakta (das sein) dan nilai (das sollen) serta jalinan antara
keduanya. Data factual tidak berasal dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi
(fenomena) yang ditelaah Ilmuwan itu (pedagogi dan andragogi) secara empiris.
Begitu pula data nilai (yang normative) tidak berasal dari filsafat tertentu
melainkan dari pengalaman atas manusia secara hakiki. Itu sebabnya pedagogi dan
andragogi memerlukan jalinan antara telaah ilmiah dan telaah filsafah. Tetapi
tidak berarti bahwa filsafat menjadi ilmu dasar karena ilmu pendidikan tidak
menganut aliran atau suatu filsafat tertentu.
Sebaliknya ilmu pendidikan khususnya pedagogic (teoritis) adalah ilmu
yang menysusun teori dan konsep yang praktis serta positif sebab setiap
pendidik tidak boleh ragu-ragu atau menyerah kepada keragu-raguan prinsipil.
Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya yang mikro dan makro. Seperti
kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu pedagogic (dan telaah
pendidikan mikro) serta pedagogic praktis dan andragogi (dan telaah pendidikan
makro) bukanlah filsafat pendidikan yang terbatas menggunakan atau menerapkan
telaah aliran filsafat normative yang bersumber dari filsafat tertentu. Yang
lebih diperlukan ialah penerapan metode filsafah yang radikal dalam menelaah
hakikat peserta didik sebagai manusia seutuhnya.
Implikasinya jelas bahwa batang tubuh (body of knowledge) ilmu
pendidikan haruslah sekurang-kurangnya secara mikro mencakup :
-
Relasi sesama manusia sebagai pendidik dengan terdidik
(person to person relationship)
-
Pentingnya ilmu pendidikan
memepergunakan metode fenomenologi secara kualitatif.
-
Orang dewasa yang berpran sebagai pendidik (educator)
-
Keberadaan anak manusia sebagai terdidik (learner, student)
-
Tujaun pendidikan (educational aims and objectives)
-
Tindakan dan proses pendidikan (educative process), dan
-
Lingkungan dan lembaga pendidikan (educational institution)
Itulah
lingkup pendidikan yang mikroskopis sebagai hasil telaah ilmu murni ilmu
pendidikan dalam arti pedagogic (teoritis dan sistematis). Mengingat pendidikan
juga dilakukan dalam arti luas dan makroskopis di berbagai lembaga pendidikan
formal dan non-formal, tentu petugas tenaga pendidik di lapangan memerlukan
masukan yang berlaku umum berupa rencana pelajaran atau konsep program
kurikulum untuk lembaga yang sejenis. Oleh karena itu selain pedagogic praktis
yang menelaah ragam pendidikan diberbagai lingkungan dan lembaga formal, informal
dan non-formal (pendidikan luar sekolah dalam arti terbatas, dengan begitu,
batang tubuh diatas tadi diperlukn lingkupnnya sehingga meliputi:
-
Konteks sosial budaya (socio cultural contexs and education)
-
Filsafat pendidikan (preskriptif) dan sejarah pendidikan
(deskriptif)
-
Teori, pengembangan dan pembinaan kurikulum, serta cabang
ilmu pendidikan lainnya yang bersifat preskriptif.
-
Berbagai studi empirik
tentang fenomena pendidikan
-
Berbagai studi pendidikan
aplikatif (terapan) khususnya mengenai pengajaran termasuk pengembangan
specific content pedagogy.
Sedangkan telaah lingkup yang makro dan meso dari pendidikan, merupakan
bidang telaah utama yang memperbedakan antara objek formal dari pedagogic dari
ilmu pendidikan lainnya. Karena pedagogic tidak langsung membicarakan perbedaan
antara pendidikan informal dalam keluarga dan dalam kelompok kecil lainnya.,
dengan pendidikan formal (dan non formal) dalam masyarakt dan negara, maka hal
itu menjadi tugas dari andragogi dan cabang-cabang lain yang relevan dari ilmu
pendidikan. Itu sebabnya dalam pedagogic terdapat pembicaraan tentang factor
pendidikan yang meliputi : (a) tujuan hidup, (b) landasan falsafah dan yuridis
pendidikan, (c) pengelolaan pendidikan, (d) teori dan pengembangan kurikulum,
(e) pengajaran dalam arti pembelajaran (instruction) yaitu pelaksanaan
kurikulum dalam arti luas di lembaga formal dan non formal terkait.
Gambar I. Hubungan Ilmu Pendidikan dan Ilmu-ilmu Bantu
2. Telaah ilmiah dan
kontribusi ilmu bantu
Bidang
masalah yang ditelaah oleh teori pendidikan sebagai ilmu ialah sekitarmanuasia
dan sesamanya yang memiliki kesamaan dan keragaman di dalam fenomena
pendidikan. Yang menjadi inti ilmu pendidikan teoritis ialah Pedagogik sebagai
ilmu mendidik yaitu mengenai tealaah (atau studi) pendidikan anak oleh orang
dewasa. Pedagogik teoritis selalu bersifat sistematis karena harus lengkap
problematic dan pembahasannya. Tetapi pendidikan (atau pedagogi) diperlukan juga
oleh semua orang termasuk orang dewasa danb lanjut usia. Karena itu selain
cabang pedagogic teoritis sistematis juga terdapat cabvang-cabang pedagogic
praktis, diantaranya pendidikan formal di sekolah, pendidikan informal dalam
keluarga, andragogi (pendidikan orang dewasa) dan gerogogi (pendidikan orang
lansia), serta pendidikan non-formal sebagai pelengkap pendidikan jenjang
sekolah dan pendidikan orang dewasa.
Di
dalam menelaah manusia yang berinteraksi di dalam fenomena pendidikan, ilmu
pendidikan khususnya pedagogic merupan satu-satunya bidang ilmu yang menelaah
interaksi itu secara utuh yang bersifat antar dan inter-pribadi. Untunglah ada
ilmu lain yang melakukan telaah atas perilaku manusia sebagai individu. Begitu
juga halnya atas telaah interaksi sosial, telaah perilaku kelompok dalam
masyarakat, telaah nilai dan norma sebagai isi kebudayaaan, dan seterusnya.
Ilmu-ilmu yang melakukan telaah demikian dijadikan berfungsi sebagai ilmu bantu
bagi ilmu pendidikan. Diantara ilmu bantu yang penting bagi pedagogic dan
androgogi ialah : biologi, psikologi, sosiologi, antropologi budaya, sejarah
dan fenomenologi (filsafah).
a.
Pendekatan fenomenologi dalam
menelaah gejala pendidikan
Pedagogik tidak menggunakan metode deduktif spekulatif
dalam investigasinya berdasrkan penjabaran pendirian dasar-dasar filosofis. Pedagogik
adalah ilmu pendidikan yang bersifat teoritis dan bukan pedagogic yang
filosofis. Pedagogik melakukan telaah fenomenologis aatas fenomen yang bersifat
empiris sekalipun bernuansa normative. Seperti dikatakan Langeveld (1955)
Pedagogik mempergunakan pendekatan fenomenologis secara kualitatif dalam metode
penelitiannya :
Pedagogik bersifat filosofis dan
empiris. Berfikir filosofis pada satu siti dan di pihak lain pengalaman dan
penyelidikan empiris berjalan bersama-sama. Hubungan-hubungan dan gejala yang
menunjukkan cirri-ciri pokok dari objeknya ada yang memaksa menunjuk ke
konsekunsi yang filosofis, adapula yang memaksakaan konsekunsi yang empiris
karena data yang factual. Pedagogik mewujudkan teori tindakan yang didahului
dan diikuti oleh berfikir filosofis. Dalam
berfikir filosofis tentang data normative pedagogic didahului dan diikuti oleh
oleh pengalaman dan penyelesaikan empiris atas fenomena pendidikan.
Itulah
fenomena atau gejala pendidikan secraa mikro yang menurut Langevald mengandung
keenam komponen yng menjadi inti daari batang tubuh pedagogic.
b.
Kontribusi ilmu-ilmu bantu
terhadap pedagogic
Ilmu pendidikan khususnya pedagogic dan androgogi tidak menggunakn metoda
deskriptif-eksperimental karena manfaatnya terbtas pada pemahaman atas
perubahan perilaku siswa. Sedangkan prediksi dan kontrol yang eksperimental
diterapakan dan itupun manfaatnya terbatas sekali.
Seperti
ditulis oleh Deese, 1963 :
“Prediction and
control, then are excellent criteria of understnding aang they also provide us
with some of the uses of understanding. They are not always easy to apply,
however, and I think little is gained by pretending that they are. It is futile
to issue promissory notes about the future applications of the scientific study
of education.”
Jadi
kurang bermanfaat apabila ilmu pendidikan mempergunakan metode
deskriptif-eksperimental terhadap perubahan-perubahan didalam pendidikan
secarakuntitatif. Sebaliknya pedagogic dan
androgogi harus menjadi ilmu otonom yang menerapkan metode fenomenologi secara
kualitatif. Maksudnya ialah agar dapat memperoleh data yang tidak normative
(data factual) dalam jumlah seperlunya dari ilmu biologi, psikologi dan
ilmu-ilmu sosial. Tetapi ilmu pendidikan harus sedapat mungkin melakukan
pengumpulan datanya sendiri langsung dari fenomena pendidikan, baik oleh
partisipan-pengamat (ilmuwan) ataupun oleh pendidik sendiri yang juga biasa
melakukan analisis apabila situasi itu memaksanya harus bertindak kreatif.
Tentu saja untuk itu diperlukan prasyarat penguasaan atas sekurang-kurangnya
satu ilmu Bantu dan/atau filsafat umum.
Baiklah sekarang kita lihat dasar-dasaar filsafah
keilmuan terkait dalam arti dasar ontologis, dasar epistemologis, dan
aksiologis, dan dasar antropolgis ilmu pendidikan.
1.
Dasar ontologis ilmu
pendidikan
Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu
pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan
melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris.
Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap
aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi
pendidikan atau diharapokan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat
sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship
atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).
Agar pendidikan dalam praktek
terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi pada
manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam situiasi
sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk
berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal
itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan
makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang
terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapipada latar mikro, sistem
nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat
mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu
kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak
pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta
didiknya secara terhormat sebagai pribai pula, terlpas dari factor umum, jenis
kelamin ataupun pembawaanya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian
makaa menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the
missing link) atas factor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru.
Dengan egitu pendidikan hanya akan terjadi secar kuantitatif sekalipun bersifat
optimal, misalnya hasil THB summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang
kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.
2.
Dasar epistemologis ilmu pendidikan
Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau
pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan
bertanggung jawab. Sekalaipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat
dilakukan oleh tenaga pemula namuntelaah atas objek formil ilmu pendidikan
memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan
menjalin stui empirik dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan
fenomenologis itu bersifat kualitaatif, artinya melibatkan pribadi dan diri
peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu
penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai
pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak
hnya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan
unuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomen pendidikan
maka vaaliditas internal harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penlitian dan
penyelidikan seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan,
penelitian etnografis dan penelitian ex post facto. Inti dasar epistemologis
ini adalah agar dapat ditentukan bahaawa dalam menjelaskaan objek formaalnya,
telaah ilmu pendidikan tidaak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju
kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebgaai ilmu otonom yang mempunyi objek
formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hnya menggunkaan
pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963).
Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara
korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis
(Randall &Buchler,1942).
3.
Dasar aksiologis ilmu
pendidikan
Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai
ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang
sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara
beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic
sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu
untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek mmelalui kontrol
terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam
pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya
terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas
pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan
pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix
(1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan
bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh
pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku.
Lebih-lebih di Indonesia.
Implikasinya ialah bahwa
ilmupendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan
harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat
unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Kalr Perason,1990).
4.
Dasar antropologis ilmu
pendidikan
Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar ialah
pertemuan antara pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula
dimana terjadi pemberian bantuan kepada pihak yang belakangan dalaam upaayanya
belajr mencapai kemandirian dalam batas-batas yang diberikan oleh dunia
disekitarnya. Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini maka 3
dasar antropologis berlaku universal tidak hanya (1) sosialitas dan (2)
individualitas, melainkan juga (3) moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia
apabila dunia pendidikan nasional didasarkan atas kebudayaan nasional yang
menjadi konteks dari sistem pengajaran nasional disekolah, tentu akan
diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4) religiusitas, yaaitu
pendidik dalam situasi pendidikan sekurangkurangnya secara mikro berhamba
kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih besar kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Program Pendidikan Guru
Berdasarkan Kompetensi (PGBK) dikembangakan bertolak dari perangkat kompetensi
yang diperkirakan dipersyaratkan bagi pelaksanaan tugas-tugas keguruan dan
kependidikan yang telah ditetapkan dan bermuara pada pendemonstrasian perangkat
kompetensi tersebut oleh siswa calon guru setelah mengikuti sejumlah pengalaman
belajar.
Perangkat kompetensi
yang dimaksud, termasuk proses pencapaiannya, dilandasi oleh asumsi-asumsi filosofis,
yaitu pertanyaan-pertanyaan yang dianggap benar, baik atas dasar bukti-bukti
empirik, dugaan-dugaan maupun nilai-nilai masyarakat berdasarkan Pancasila.
Asumsi-asumsi tersebut merupakan batu ujian di dalam menilai perancangan dan
implementasi program dari penyimpangan-penyimpangan pragmatis ataupun dari
serangan-serangan konseptual.
Asumsi-asumsi yang
dimaksud mencakup 7 bidang yaitu yang berkenaan dengan hakekat-hakekat manusia,
masyarakat, pendidikan, subjek didik, guru, belajar-mengajar dan kelembagaan.
Tentu saja hasil kerja tersebut diatas perlu dimantapkan dan diverifikasi lebih
jauh melalui forum-forum yang sesuai seperti Komisi Kurikulum, Konsorsium Ilmu
Kependidikan, LPTK bahkan kalangan yang lebih luas lagi. Hasil
rumusan tim pembaharuan pendidikan (1984) dapat disimpulkan sebagai berikut :
a.
Manusia sebagai makhluk Tuhan mempunyai kebutuhan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b.
Manusia membutuhkan lingkungan hidup berkelompok untuk
mengembangkan dirinya.
c.
Manusia mempunyai potensi-potensi yang dapat dikembangkan
dan kebutuhan-kebutuhan materi serta spiritual yangharus dipenuhi.
d.
Manusia itu pada dasarnya
dapat dan harus dididik serta dapat mendidik diri sendiri.
2.
Hakekat
Masyarakat
a.
Kehidupan masyarakat
berlandaskan sistem nilai-nilai keagamaan, sosial dan budaya yang dianut warga
masyarakat ; sebagian daripada nilai-nilai tersebut bersifat lestari dan
sebagian lagi terus berubah sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
b. Masyarakat
merupakan sumber nilai-nilai yang memberikan arah normative kepada pendidikan.
c. Kehidupan
bermasyarakat ditingkatkan kualitasnya oleh insane-insan yang berhasil
mengembangkan dirinya melalui pendidikan.
3. Hakekat
Pendidikan
a.
Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai
keseimbangan antara kedaulatan subjek didik dengan kewibawaan pendidik.
b.
Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek didik menghadapi
lingkungan yang mengalami perubahan yang semakin pesat.
c.
Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupoan pribadi dan masyarakat.
d.
Pendidikan berlangsung seumur hidup.
e.
Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip
ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pembentukan manusia seutuhnya.
4. Hakekat
Subjek Didik
a.
Subjek didik betanggungjawab atas pendidikannya sendiri sesuai
dengan wawasan pendidikan seumur hidup.
b.
Subjek didik memiliki potensi, baik fisik maupun psikologis
yang berbeda-beda sehingga masing-masing subjek didik merupakan insane yang
unik.
c.
Subjek didik merupakan pembinaan individual serta perlakuan
yang manusiawi.
d.
Subjek didik pada dasarnya merupakan insane yang aktif
menghadapi lingkungan hidupnya.
5. Hakekat
Guru dan Tenadga Kependidikan
a.
Guru dan tenaga kependidikan merupakan agen pembaharuan.
b.
Guru dan tenaga kependidikan berperan sebagai pemimpin dan
pendukung nilai-nilai masyarakat.
c.
Guru dan tenaga kependidikan sebagai fasilitator
memungkinkan terciptanya kondisi yang baik bagi subjek didik untuk belajar.
d.
Guru dan tenga kependidikan bertanggungjawab atas
tercapainya hasil belajar subjek didik.
e.
Guru dan tenaga kependidikan dituntut untuk menjadi conoh
dalam pengelolaan proses belajar-mengajar bagi calon guru yang menjadi subjek
didiknya.
f.
Guru dan tenaga kependidikan bertanggungjawab secara
professional untuk terus-menerus meningkatkatkan kemampuannya.
g.
Guru dan tenaga kependidikan menjunjung tinggi kode etik
profesional.
6. Hakekat
Belajar Mengajar
a.
Peristiwa belajar mengajar terjadi apabila subjek didik
secara aktif berinteraksi dengan lingkungan belajar yang diatur oleh guru.
b.
Proses belajar mengajar yang efektif memerlukan strategi dan
media/teknologi pendidikan yang tepat.
c.
Program belajar mengajar
dirancang dan diimplikasikan sebagai suatu sistem.
d.
Proses dan produk belajar
perlu memperoleh perhatian seimbang didalam pelaksanaan kegiata
belajar-mengajar.
e.
Pembentukan kompetensi
profesional memerlukan pengintegrasian fungsional antara teori dan praktek
serta materi dan metodelogi penyampaian.
f.
Pembentukan kompetensi
professional memerlukan pengalaman lapangan yang bertahap, mulai dari
pengenalan medan, latihan keterampilan terbatas sampai dengan pelaksanaan
penghayatan tugas-tugas kependidikan secara lengkap aktual.
g.
Kriteria keberhasilan yang
utama dalam pendidikan profesional adalah pendemonstrasian penguasaan
kompetensi.
h.
Materi pengajaran dan sistem
penyampaiannya selalu berkembang.
7.
Hakekat
Kelembagaan
a.
LPTK merupakan lembaga
pendidikan profesional yang melaksanakan
pendidikan tenaga kependidikan dan pengembangan ilmu teknologi
kependidikan bagi peningkatan kualitas kehidupan.
b.
LPTK menyelenggarakan program-program yang relevan dengan
kebutuhan masyarakat baik kualitatif maupun kuantitatif.
c.
LPTK dikelola dalam suatu
sistem pembinaan yang terpadu dalam rangka pengadaan tenaga kependidikan.
d.
LPTK memiliki mekanisme
balikan yang efektif untuk meningkatkan kualitas layanannya kepada masyarakat
secara terus-menerus.
e.
Pendidikan pra-jabatan guru
merupakan tanggungjawab bersamaantara LPTK dan sekolah-sekolah pemakai (calon)
lulusan.
Catatan : Pendidikan berdasarkan kompetensi bagi tenaga kependidikan
lainnya memerlukan perangkat asumsi
yang berbeda.
Secara visual beberapa asumsi tersebut diatas
dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2. Perangkat Asumsi
Filosofis Pendidikan Guru
1. Implikasi
Bagi Guru
Apabila kita konsekuen terhadap upaya
memprofesionalkan pekerjaan guru maka filsafat pendidikan merupakan landasan
berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai pekerja professional, tidaklah cukup
bila seorang guru hanya menguasai apa yang harus dikerjakan dan bagaimana
mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru
tercermin kompetensi seorang tukang.
Disamping penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang
tugasnya, seorang guru juga harus menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian
serta tahap tugasnya itu dengan cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain.
Jawaban terhadap pertanyaan mengapa itu menunjuk kepada setiap tindakan seorang
guru didalam menunaikan tugasnya, yang pada gilirannya harus dapat dipulangkan
kepada tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik tujuan-tujuan yang lebih
operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak. Oleh karena itu maka semua
keputusan serta perbuatan instruksional serta non-instruksional dalam rangka
penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan harus selalu dapat dipertanggungjawabkan
secara pendidikan (tugas professional, pemanusiaan dan civic) yang dengan
sendirinya melihatnya dalm perspektif yang lebih luas dari pada sekedar
pencapaian tujuan-tujuan instruksional khusus, lebih-lebih yang dicekik dengan
batasan-batasan behavioral secara berlebihan.
Dimuka juga telah dikemukakan bahwa pendidik dan subjek didik
melakukan pemanusiaan diri ketika mereka terlihat di dalam masyarakat
profesional yang dinamakan pendidikan itu; hanyalah tahap proses pemanusiaan
itu yang berbeda, apabila diantara keduanya, yaitu pendidik dan subjek didik,
dilakukan perbandingan. Ini berarti kelebihan pengalaman, keterampilan dan
wawasan yang dimiliki guru semata-mata bersifat kebetulan dan sementara, bukan
hakiki. Oleh karena itu maka kedua belah pihak terutama harus melihat transaksi
personal itu sebagai kesempatan belajar dan khusus untuk guru dan tenaga
kependidikan, tertumpang juga tanggungjawab tambahan menyediakan serta mengatur
kondisi untuk membelajarkan subjek didik, mengoptimalkan kesempatamn bagi
subjek didik untuk menemukan dirinya sendiri, untuk menjadi dirinya sendiri (Learning
to Be, Faure dkk, 1982). Hanya individu-individu yang demikianlah yang
mampu membentuk masyarakat belajar, yaitu masyarakat yang siap menghadapi
perubahan-perubahan yang semakin lama semakin laju tanpa kehilangan dirinya.
Apabila demikianlah keadaannya maka sekolah sebagai lembaga pendidikan
formal hanya akan mampu menunaikan fungsinya serta tidak kehilangan hak
hidupnya didalam masyarakat, kalau ia dapat menjadikan dirinya sebagai pusat
pembudayaan, yaitu sebagai tempat bagi manusia untuk meningkatkan martabatnya. Dengan
perkataan lain, sekolah harus menjadi pusat pendidikan. Menghasilkan tenaga
kerja, melaksanakan sosialisasi, membentuk penguasaan ilmu dan teknologi,
mengasah otak dan mengerjakan tugas-tugas persekolahan, tetapi yang paling
hakiki adalah pembentukan kemampuan dan kemauan untuk meningkatkan martabat
kemanusiaan seperti telah diutarakan di muka dengan menggunakan cipta, rasa,
karsa dan karya yang dikembangkan dan dibina.
Perlu
digarisbawahi di sini adalah tidak dikacaukannya antara bentu dan hakekat.
Segala ketentuan prasarana dan sarana sekolah pada hakekatnya adalah bentuk
yang diharapkan mewadahi hakekat proses pembudayaan subjek didik. Oleh karena
itu maka gerakan ini hanya berhenti pada “penerbitan” prasarana dan sarana
sedangkan transaksi personal antara subjek didik dan pendidik, antara subjek
didik yang satu dengan subjek didik yang lain dan antara warga sekolah dengan
masyarakat di luarnya masih belum
dilandasinya, maka tentu saja proses pembudayaan tidak terjadi. Seperti telah
diisyaratkan dimuka, pemberian bobot yang berlebihan kepada kedaulatan subjek
didikakan melahirkan anarki sedangkan pemberian bobot yang berlebihan kepada
otoritas pendidik akan melahirkan penjajahan dan penjinakan. Kedua orientasi
yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan pembudayaan manusia.
2.
Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan
Tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia kita
belum punya teori tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini
tidak mengherankan karena kita masih belum saja menyempatkan diri untuk
menyusunnya. Bahkan salahsatu prasaratnya yaitu teori tentang pendidikan
sebagimaana diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya, kita masih belum
berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam berbagi kegiatan pembaharuan
pendidikan selama ini maka yang diperbaharui adalah pearalatan luarnya bukan
bangunan dasarnya.
Hal diatas itu dikemukakan tanpa
samasekali didasari oleh anggapan bahwa belum ada diantara kita yang memikirkan
masalah pendidikan guru itu.
Pikiran-pikiran yang dimaksud memang ada diketengahkan orang tetapi praktis
tanpa kecuali dapat dinyatakan sebagi bersifat fragmentaris, tidak menyeluruh.
Misalnya, ada yang menyarankan masa belajar yang panjang (atau, lebih cepat,
menolak program-program pendidikan guru yang lebih pendek terutama yang
diperkenalkan didalam beberapa tahun terakhir ini) ; ada yang menyarankan
perlunya ditingkatkan mekanisme seleksi calon guru dan tenaga kependidikan; ada
yang menyoroti pentingnya prasarana dan sarana pendidikan guru; dan ada pula
yang memusatkan perhatian kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga
bisa bersaing dengan jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu saja semua
saran-saran tersebut diatas memiliki kesahihan, sekurang-kurangnya secara
partial, akan tetapi apabila di implementasikan, sebagian atau seluruhnya,
belum tentu dapat dihasilkan sistem pendidikan guru dan tenaga kependidikan
yang efektif.
Sebaiknya
teori pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang produktif adalah yang
memberi rambu-rambu yang memadai didalam merancang serta mengimplementasikan
program pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang lulusannya mampu melaksanakan tugas-tugas keguruan didalam
konteks pendidikan (tugas professional, kemanusiaan dan civic). Rambu-rambu
yang dimaksud disusun dengan mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tiga
sumber yaitu: pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh hasil penelitian
ilmiah, analisis tugas kelulusan serta pilihan nilai yang dianut masyarakat.
Rambu-rambu yang dimaksud yang mencerminkan hasil telaahan interpretif,
normative dan kritis itu, seperti telah diutarakan didalam bagian uraian
dimuka, dirumuskan kedalam perangkat asumsi filosofis yaitu asumsi-asumsi yang
memberi rambu-rambu bagi perancang serta implementasi program yang dimaksud.
Dengan demikian, perangkat rambu-rambu yang dimaksud merupakan batu ujian
didalam menilai perancang dan implementasi program, maupun didalam
“mempertahankan” program dari penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan ataupun dari
serangan-serangan konseptual.
Penutup
Landasan filsafat pendidikan memberi perspektif
filosofis yang seyogyanya merupakan “kacamata” yang dikenakan dalam memandang
menyikapi serta melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu maka ia harus dibentuk
bukan hanya mempelajari tentang filsafat, sejarah dan teori pendidikan,
psikologi, sosiologi, antropologi atau disiplin ilmu lainnya, akan tetapi
dengan memadukan konsep-konsep, prinsip-prinsip serta pendekatan-pendekatannya
kepada kerangka konseptual kependidikan.
Dengan demikian maka landasan
filsafat pendidikan harus tercermin didalam semua, keputusan serta perbuatan
pelaksanaan tugas- tugas keguruan, baik instruksional maupun non-instruksional,
atau dengan pendekatan lain, semua keputusan serta perbuatan guru yang dimaksud
harus bersifat pendidikan.
Akhirnya, sebagai pekerja
professional guru dfan tenaga kependidikan
harus memperoleh persiapan pra-jabatan guru dfan tenaga kependidikan
harus dilandasi oleh seperangkat asumsi filosofis yang pada hakekatnya
merupakan penjabaran dari konsep yang lebih tepat daripada landasan ilmiah
pendidikan dan ilmu pendidikan.
Bogdan & Biklen (1982)
Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley
(1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research. Chicago
: Rand McNelly
Deese, J (1978) The
Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia
University-Teachers College Press
Gordon, Thomas (1974) Teacher
Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub
Henderson, SVP (1954)
Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of Chicago Press
Hidayat Syarief (1997) Tantangan
PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah
pada Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997
Highet, G (l954), Seni
Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.Pembangunan
Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New
Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa,
DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem
Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,
Jakarta:Depdikbud
Kuhn,
Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago
Univ.
Langeveld,
MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars
Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat
Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP IKIP Bandung
RakaJoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan
dan Kemungkinan Pendekatan,
Jakarta, Depdikbud