© 2001
Noor Aidawati Posted: 26
Nov. 2001 [rudyct]
Makalah Falsafah Sains (PPs
702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
November 2001
Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
(Penanggung Jawab)
PENULARAN VIRUS
KRUPUK TEMBAKAU
DENGAN Bemisia
tabaci Gennadius (HEMIPTERA: ALEYRODIDAE)
Oleh:
E-mail: nooraidawati@yahoo.com
Bemisia tabaci (Gennadius) merupakan hama penting di dunia yang
dapat menyerang lebih dari 500 spesies tanaman sayuran, tanaman budidaya,
tanaman hias dan gulma (Greathead
1986). Kerusakan yang disebabkan
oleh serangga ini dapat terjadi secara langsung melalui aktifitas makannya dan
secara tidak langsung sebagaivektor virus tanaman,
seperti virus gemini.
Kerugian yang sangat
besar akibat aktifitas makan dan
vektor virus tanaman telah membuat serangga ini sebagai salah satu dari
hama-hama yang paling merusak terhadap produksi pertanian.
Virus gemini merupakan golongan
virus tumbuhan dengan morfologi partikel yang berbeda dengan golongan virus
tumbuhan lainnya yang telah umum dikenal.
Partikel virus berbentuk isometrik dan senantiasa terdapat dalam keadaan
berpasangan. Kelompok virus ini
merupakan golongan virus yang mempunyai asam nukleat deoksiribonukleat (DNA)
dalam bentuk utas tunggal (single stranded (ss) DNA) (Bock, 1982).
Di Indonesia, virus gemini
pertama kali dilaporkan oleh Thung (1932) dalam Trisusilowati
(1989) yaitu virus krupuk yang
menyerang tanaman tembakau . Pada tahun
1984 virus krupuk tembakau yang menyebabkan penyakit krupuk menjadi sangat
penting, karena kerusakan mencapai 30% dari seluruh areal pertanaman tembakau
di Bojonegoro dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang hanya 2-3%
( Poerbokoesoemo 1984 dalam Trisusilowati 1989). Akibat penyakit tersebut daun
tanaman mengalami perubahan
bentuk yaitu tepi daun menggulung ke atas, tulang daun menebal dan
berkelok-kelok, permukaan daun tidak rata, daun menjadi lebih kaku dan
rapuh. Penyakit ini sangat mempengaruhi
kualitas hasil, terutama untuk jenis
tembakau cerutu.
Pada
1989, Trisusilowati melaporkan bahwa gejala virus krupuk tembakau pada tanaman
tembakau di Jember (Jawa Timur) sangat bervariasi. Dari hasil inokulasi dengan penyambungan dibedakan dua tipe virus
krupuk tembakau yaitu isolat 1 dan isolat 2.
Isolat 1 menyebabkan perubahan bentuk daun dengan tepi helaian daun yang sebagian besar menggulung
ke arah permukaan atas dan ada juga yang melengkung ke bawah, tulang daun tengah dan tulang daun lateral berkelok-kelok,
sehingga permukaan helaian daun berkerut tidak beraturan, dan terjadi penebalan
tulang daun yang kadang-kadang disertai enasi.
Isolat 2 menyebabkan gejala yang hampir menyerupai gejala isolat 1,
tetapi disertai dengan terbentuknya penebalan urat-urat daun yang tampak dari
permukaan bawah daun seperti kerutan dengan warna lebih hijau daripada yang
tidak mengalami penebalan. Bentuk
penebalan ini merupakan salah satu bentuk dari enasi dan merupakan ciri gejala
yang membedakan dengan gejala krupuk yang lain. Kisaran inang virus krupuk tembakau meliputi tomat, Solanum khasianum, Nicotiana glutinosa dan A.
Conyzoides.
Untuk mencegah terjadinya
epidemi virus gemini khususnya virus krupuk, maka perlu diketahui cara penularan
virus krupuk tembakau dari tanaman yang terinfeksi ke tanaman tembakau sehat
melalui serangga vektor B. tabaci dan diperlukan suatu prosedur yang
cepat, akurat dan memiliki kepekaan yang tinggi untuk mendeteksi virus. Salah satu yang banyak digunakan untuk
mendeteksi virus adalah metode
serologi. Sayangnya metode ini kurang
efektif untuk mendeteksi virus gemini,
karena keragaman virus gemini yang cukup tinggi dan kesulitan untuk
menghasilkan antisera. Sekarang ini,
metode deteksi yang didasarkan pada analisa asam nukleat virus telah banyak
digunakan untuk mendeteksi virus gemini , misalnya teknik hibridisasi asam
nukleat (Czosnek et al., 1988 ; Polston et al. 1989 ; Gilbertson et al. 1991 ; Hidayat et al. 1993 ; Bendahmane et al.
1995) dan Polymerase chain
reaction (PCR) (Rojas et al. 1993 ; Wyatt & Brown 1996 ; Chiemsombat et al. 1990; Roye
et al. 1997; Pacheco et
al. 1996).
Karakteristik
hubungan B. tabaci dan virus krupuk
tembakau dalam proses penularan virus pada tanaman tembakau masih belum banyak
diketahui dan aplikasi teknik PCR untuk
mendeteksi virus krupuk tembakau pada serangga vektor B. tabaci masih
belum banyak digunakan. Karena itu
perlu dilakukan penelitian.
Penelitian
ini
bertujuan untuk mempelajari karakteristik
hubungan antara serangga vektor B.
tabaci dengan virus dalam menularkan virus krupuk tembakau yang mencakup
periode akuisisi, periode inokulasi, jumlah serangga yang diperlukan untuk
penularan, serta lamanya virus bertahan dalam tubuh vektor. Mengembangkan deteksi virus krupuk tembakau dalam serangga vektor dengan
menggunakan metode Polymerase Chain
Reaction (PCR).
Perbanyakan Sumber Inokulum dan Serangga Vektor B.
tabaci
Virus krupuk isolat 2
diperoleh dari pertanaman tembakau di desa Arjasa dan Tegal Gede, Jember, Jawa
Timur. Sumber inokulum dari lapang
tersebut dimurnikan pada tanaman tembakau (H382) sehat melalui penularan dengan
B. tabaci. B. tabaci
didapat dari pertanaman brokoli di
Jurusan HPT IPB, Bogor dan di identifikasi pupanya dengan kunci identifikasi
Martin (1987), kemudian diperbanyak pada tanaman brokoli dan tembakau dalam
kurungan kedap serangga.
Untuk mengetahui karakteristik hubungan virus krupuk
tembakau dengan serangga vektor B. tabaci
dilakukan beberapa percobaan terhadap periode akuisisi, periode inokulasi,
jumlah serangga, akuisisi oleh nimfa, persistensi dan penularan
transovarial. Setiap unit percobaan
terdiri atas sepuluh tanaman uji dan
lima tanaman kontrol. Serangga
vektor yang digunakan untuk setiap unit percobaan adalah sepuluh ekor per
tanaman, kecuali pada percobaan jumlah
serangga dan persistensi.
Untuk mengetahui periode
minimum akuisisi B. tabaci dalam
menularkan virus krupuk tembakau, imago B.
tabaci diberi perlakuan periode makan pada tanaman tembakau yang terinfeksi
virus krupuk selama ½ , 1 , 3 , 6 , 12
dan 24 jam, kemudian diberi perlakuan
periode inokulasi selama 48 jam pada tanaman uji.
Untuk mengetahui periode minimum inokulasi B. tabaci dalam menularkan virus krupuk,
serangga vektor diberi perlakuan periode
inokulasi selama 1 , 3 , 6, 12 , 18 dan 24 jam pada tanaman tembakau
yang sehat setelah melalui perlakuan periode akuisisi selama 24 jam pada
tanaman tembakau yang terinfeksi.
Untuk mengetahui jumlah
minimum serangga vektor yang mampu menularkan virus krupuk dilakukan penularan
dengan menggunakan jumlah serangga yang berbeda yaitu 1 , 3 , 5 , 10 , 15 dan 20 ekor per tanaman dengan diberi perlakuan periode akuisisi 24
jam dan periode inokulasi 48 jam.
Uji akuisisi oleh nimfa dilakukan dengan memasukkan
beberapa pasang imago B. tabaci ke
kurungan serangga yang berisi tanaman tembakau
terinfeksi virus krupuk.
Serangga tersebut diberi kesempatan untuk meletakkan telur. Setelah B.
tabaci meletakkan telur, tanaman dipindahkan ke kurungan serangga lain
tanpa mengikutsertakan imago B. tabaci. Telur yang menetas menjadi nimfa instar
pertama akan menghisap cairan tanaman sakit.
Nimfa dipelihara sampai menjadi pupa. Pupa B. tabaci yang terlihat di permukaan bawah daun tembakau di
kumpulkan dengan cara mengambil pupa tersebut dengan jarum serangga dan
diletakkan dipermukaan daun sehat dalam cawan petri kemudian dibiarkan sampai menjadi imago. Imago
B. tabaci dipindahkan ke
tanaman tembakau yang sehat dan diberi periode inokulasi 24 jam. Sebagai kontrol digunakan imago yang berasal
dari pupa yang diambil dari tanaman tembakau yang sehat.
Untuk mengetahui lama persistensi virus krupuk tembakau
dalam tubuh imago B. tabaci dilakukan
penularan berseri dengan menggunakan satu ekor serangga yang diberi makan
tanaman tembakau terinfeksi selama 24 jam. Penularan berseri dilakukan ke
tanaman tembakau sehat dengan interval 24 jam.
Penularan dilakukan hingga serangga mati.
Uji transovarial dilakukan dengan memelihara serangga B. tabaci yang viruliferous dalam kurungan serangga. Serangga tersebut diberi
kesempatan meletakkan telur pada
tanaman yang bukan inang virus krupuk tembakau (brokoli) selama tujuh
hari, kemudian serangga tersebut dimatikan dan tanaman dipelihara hingga telur B. tabaci yang ada menetas. Imago yang berasal dari telur B. tabaci viruliferous diinokulasikan ke
tanaman tembakau sehat selama 24 jam.
Sebagai kontrol digunakan imago
berasal dari telur B. tabaci
nonviruliferous.
Deteksi virus pada
serangga dengan teknik PCR dilakukan terhadap nimfa yang viruliferous dan imago yang viruliferous
dengan periode akuisisi 24 jam. Ekstraksi DNA serangga B. tabaci dilakukan dengan menggunakan metode Goodwin et al. (1994)
DNA hasil ekstraksi diamplifikasi dengan teknik PCR
berdasarkan metode Rojas et al. (1993) menggunakan primer universal virus gemini yaitu PAL1v
1978 dan PAR1c 715. Primer yang sama
digunakan untuk mengamplifikasi virus krupuk tembakau dari jaringan tanaman
yang terinfeksi sebagai kontrol positif.
Persiapan DNA dari tanaman dilakukan menurut metode Dellaporta (
Dellaporta et al. 1983).
Reaksi PCR (25 µl)
terdiri atas 5 µl DNA templet, 0,5 µl masing-masing primer, 1,5 unit Taq DNA
polymerase, 10mM Tris-HCl (pH 9,0), 50 mM KCl, 1,5 mM MgCl2, 200µM
setiap dNTP (Amersham Pharmacia Biotech).
Setiap campuran ditutup dengan minyak mineral untuk melindungi
penguapan. Amplifikasi DNA dilakukan
sebanyak 30 siklus yang melalui tiga tahapan yaitu pemisahan utas DNA pada 940C
selama 1 menit, penempelan primer pada DNA 550C selama 2 menit dan
sintesis DNA pada 720C selama 2 menit (Rojas et al.
1993). Khusus untuk siklus terakhir
ditambah tahapan sintesis selama 10
menit, kemudian siklus berakhir dengan suhu 40C.
Fragmen DNA hasil
amplifikasi PCR dielektroforesis pada gel agarose 1% dalam 0,5 X TBE buffer (Tris-borate EDTA) dengan voltase
75 volt dan diamati dengan UV transiluminator setelah diberi warna dengan
ethidium bromide.
Hasil
Sepuluh
ekor B. tabaci yang telah melalui
periode akuisisi selama 30 menit telah mampu menularkan virus krupuk dengan
jumlah tanaman terinfeksi mencapai 70%.
Penularan semakin meningkat dengan
meningkatnya periode akuisisi dan periode akuisisi maksimum tercapai
pada 24 jam dengan jumlah tanaman terinfeksi 100% (Gambar 1). Gejala yang berkembang pada tanaman yang
diinokulasi berupa tepi helaian daun sebagian besar menggulung ke arah
permukaan atas daun dan ada juga yang menggulung ke bawah. Pada permukaan bawah daun terjadi penebalan
urat-urat daun yang tampak seperti kerutan-kerutan dengan warna lebih hijau
daripada bagian yang tidak mengalami penebalan.
Gambar 1 Pengaruh periode akuisisi serangga
vektor B. tabaci terhadap
penularan virus krupuk tembakau dan masa inkubasi virus pada tanaman tembakau
dengan periode inokulasi 48 jam dan jumlah serangga sepuluh ekor per tanaman
Sepuluh ekor B. tabaci yang diberi perlakuan periode
inokulasi 1 jam setelah periode akuisisi 24 jam mampu menularkan virus krupuk
tembakau dengan jumlah tanaman terinfeksi sebanyak 20%. Jumlah tanaman tembakau
yang terinfeksi cenderung meningkat dengan meningkatnya periode inokulasi (Gambar 2).
Gambar 2
Pengaruh periode inokulasi
serangga vektor B. tabaci
terhadap penularan virus krupuk tembakau dan masa inkubasi virus pada
tanaman tembakau dengan periode akuisisi
24 jam dan jumlah serangga sepuluh ekor per tanaman.
Jumlah Serangga B. tabaci
Satu
ekor B. tabaci yang telah diberi perlakuan
periode akuisisi 24 jam dan periode inokulasi 48 jam, ternyata mampu menularkan
virus krupuk tembakau dengan jumlah tanaman terinfeksi 50%. Efektifitas penularan semakin meningkat
dengan bertambahnya jumlah serangga per tanaman. Efektifitas penularan maksimum terjadi pada 20 ekor B. tabaci per tanaman dengan jumlah
tanaman terinfeksi 100%. Masa inkubasi
virus krupuk tembakau cenderung semakin cepat dengan bertambahnya jumlah
serangga (Gambar 3).
Gambar 3
Pengaruh jumlah serangga vektor B.
tabaci terhadap penularan virus
krupuk tembakau dan masa inkubasi virus pada tanaman tembakau dengan
periode akuisisi 24 jam dan periode inokulasi 48 jam
Akuisisi Virus Krupuk Tembakau Oleh Nimfa B. tabaci
Tanaman
yang diinokulasi menggunakan B. tabaci
yang berasal dari nimfa yang dipelihara pada tanaman tembakau terinfeksi virus
krupuk menunjukkan gejala. Tanaman
tembakau yang diinokulasi sebanyak
sepuluh tanaman, semuanya terinfeksi virus krupuk tembakau dengan masa inkubasi
berkisar 8 – 22 hari.
Hasil
penularan menggunakan B. tabaci yang
berasal dari telur B. tabaci viruliferous, ternyata negatif. Hasil ini menunjukkan bahwa virus krupuk tembakau tidak
ditransmisikan melalui telur ke generasi berikutnya.
Hasil
penularan berseri dengan satu ekor B.
tabaci yang telah diberi akuisisi 24 jam dan interval penularan 24 jam,
menunjukkan bahwa virus krupuk tembakau persisten dalam tubuh serangga selama
hidupnya. Hal ini didasarkan pada
perkembangan gejala virus krupuk tembakau pada tanaman tembakau sehat yang
diinokulasi dengan serangga tersebut (Tabel 1).
Tabel 1 Persistensi virus krupuk tembakau pada B. tabaci1)
Seri penularan Hari ke |
B.
tabaci2) |
||
1 |
2 |
3 |
|
1 |
+ |
- |
+ |
2 |
- |
+ |
- |
3 |
- |
+ |
+ |
4 |
- |
+ |
+ |
5 |
+ |
+ |
- |
6 |
+ |
+ |
- |
7 |
+ |
+ |
+ |
8 |
+ |
+ |
+ |
9 |
+ |
+ |
- |
10 |
+ |
+ |
+ |
11 |
+ |
- |
- |
12 |
M |
+ |
+ |
13 |
|
+ |
+ |
14 |
|
+ |
+ |
15 |
|
+ |
+ |
16 |
|
M |
+ |
17 |
|
|
+ |
18 |
|
|
M |
1) Periode akuisisi selama 24 jam
; periode inokulasi 24 jam ; jumlah serangga 1 ekor.
2) +
menunjukkan bergejala ; - menunjukkan tidak
bergejala ; M menunjukkan serangga mati
Hasil
visualisasi elektroforesis pada gel agarose 1% menunjukkan bahwa metode PCR
berhasil mengamplifikasi virus krupuk tembakau dari imago B. tabaci viruliferous yang berjumlah 1, 5, 10, 30 ekor dan tidak
mengamplifikasi DNA dari B. tabaci yang nonviruliferous (Gambar
4). Fragmen DNA berukuran »1,6–kb sesuai dengan
ukuran yang diharapkan bila menggunakan pasangan primer PAL1v 1978 dan PAR1c
715 (Rojas et al. 1993). Hasil
amplifikasi DNA virus dengan metode PCR juga menunjukkan besarnya
konsentrasi virus krupuk tembakau yang
ada pada imago B. tabaci. Konsentrasi virus krupuk tembakau yang
diperoleh dari 1ekor dan 5 ekor serangga tidak berbeda, begitu juga dari 10 dan
30 ekor serangga, tetapi konsentrasi virus dari 1 dan 5 ekor sangat berbeda
dengan konsentrasi dari 10 dan 30 ekor serangga.
Metode
PCR juga berhasil mengamplifikasi virus
krupuk tembakau dari 50 ekor nimfa B. tabaci yang berasal dari tanaman
sakit dan hasilnya negatif bila nimfa B. tabaci berasal dari tanaman sehat (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa,
nimfa B. tabaci yang berasal dari tanaman
tembakau yang terinfeksi virus krupuk tembakau adalah viruliferous.
Gambar
4 Hasil amplifikasi DNA virus krupuk
tembakau dari serangga vektor B. tabaci
dengan teknik PCR
menggunakan
pasangan primer PAL 1v 1978 dan PAR 1c 715 pada gel agarose. Lajur:
1)
1 ekor B. tabaci
viruliferous
2)
5 ekor B.tabaci viruliferous
3)
10 ekor B. tabaci
viruliferous
4)
30 ekor B. tabaci
viruliferous
5)
10 ekor B.
tabaci nonviruliferous
6)
Jaringan tanaman
yang terinfeksi virus krupuk tembakau
7)
Klon DNA Bean Golden Mosaic Gemini Virus – Brazil
Gambar 5 Hasil amplifikasi DNA virus krupuk
tembakau dari nimfa vektor B. tabaci dengan teknik PCR
menggunakan pasangan primer PAL 1v
1978 dan PAR 1c 715 pada gel agarose.
Lajur
1) 50 ekor nimfa B. tabaci viruliferous
2) 20 ekor nimfa B. tabaci
nonviruliferous
3) Jaringan tanaman yang terinfeksi virus krupuk
tembakau
4) Klon DNA Bean Golden Mosaic Gemini Virus - Brazil
Pembahasan
Semakin lama periode
akuisisi serangga vektor B. tabaci pada
tanaman tembakau yang terinfeksi virus
krupuk, semakin meningkat kemampuan serangga vektor menularkan virus tersebut
(Gambar 1).
Menurut Swenson (1967) penularan virus
sirkulatif oleh serangga vektor umumnya meningkat dengan meningkatnya periode
akuisisi. Akuisisi virus tergantung
pada konsentrasi virus dalam jaringan tanaman terinfeksi, kemampuan serangga
memperoleh virus dan kemampuan virus melewati dinding usus tengah serangga dan
selanjutnya bertahan dalam hemolimfa serangga.
Hasil penelitian ini yang menunjukkan meningkatnya efektifitas penularan
virus krupuk tembakau setelah periode akuisisi diperpanjang menunjukkan cara
penularan virus sirkulatif.
Periode inokulasi sangat berpengaruh terhadap kemampuan serangga
vektor B. tabaci untuk menularkan virus krupuk tembakau. Semakin lama
periode inokulasi diberikan, semakin meningkat kemampuan serangga vektor
menularkan virus krupuk tembaku (Gambar 2). Periode inokulasi maksimum serangga
vektor dalam menularkan virus krupuk tembakau
yaitu 24 jam, periode inokulasi
serangga vektor ini lebih lama dibandingkan dengan periode inokulasi maksimum serangga vektor menularkan tomato yellow leaf curl virus (Mehta et
al. 1994b), dan chino del tomate
virus (Brown & Nelson 1988)
yaitu 12 jam. Perbedaan ini mungkin
terjadi karena lingkungan, suhu dan kelembaban. Hal ini menunjukkan adanya kekhasan hubungan antara serangga vektor dan virus.
Hasil uji jumlah serangga
vektor B. tabaci terhadap penularan
virus krupuk tembakau menunjukkan bahwa, satu ekor serangga vektor B. tabaci mampu menularkan virus krupuk
tembakau isolat 2. Penularan semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah
serangga vektor per tanaman. Efektifitas penularan maksimum terjadi pada 20
ekor B. tabaci per tanaman dengan jumlah tanaman yang terinfeksi 100 %
(Gambar 3). Menurut laporan
Trisusilowati (1989), serangga vektor yang diberi makan pada tanaman tembakau
yang terinfeksi virus krupuk tembakau isolat 1 dan isolat 2, setelah diinokulasikan
ke tanaman tembakau sehat, ternyata lima tanaman menunjukkan gejala isolat 2
dan hanya dua tanaman yang menunjukkan gejala isolat 1 dan satu ekor serangga
vektor B. tabaci tidak mampu menularkan virus krupuk tembakau isolat 1.
Ini menunjukkan bahwa konsentrasi virus krupuk isolat 2 lebih tinggi dalam jaringan tanaman sakit.
Hasil
uji jumlah serangga vektor terhadap penularan virus tembakau ini dibuktikan
juga dengan hasil deteksi DNA virus krupuk tembakau isolat 2 dalam tubuh
serangga vektor dengan menggunakan metode PCR. DNA virus krupuk tembakau
terdeteksi dalam tubuh satu ekor serangga vektor B. tabaci viruliferous.
Semakin banyak serangga yang digunakan untuk deteksi, semakin tinggi
konsetrasi DNA virus krupuk tembakau yang terdeteksi (Gambar 4).
Nimfa B. tabaci yang terdapat pada tanaman
tembakau terinfeksi virus krupuk tembakau adalah viruliferous dan imago yang dihasilkannya juga masih viruliferous. Hasil tersebut didukung
dengan terdeteksinya DNA virus krupuk tembakau pada nimfa yang berasal dari
tamanan tembakau yang terinfeksi virus krupuk
dengan menggunakan teknik PCR (Gambar 5). Hal yang sama dihasilkan oleh Butter & Rataul (1977) terhadap
tomato leaf curl virus, Cohen & Nitzany (1966) serta Mehta
(1994b) terhadap tomato yellow leaf curl
virus.
Hasil penularan imago B. tabaci dari nimfa yang viruliferous ini menunjukkan bahwa
pergantian kulit dari nimfa ke pupa sampai imago tidak menghilangkan virus
krupuk tembakau yang ada di dalam tubuh nimfa tersebut, jadi penularan virus
krupuk tembakau oleh B. tabaci
bersifat transtadial dan virus terbawa hingga serangga mati (Tabel 1), maka
virus krupuk tembakau bersifat persisten.
Vektor yang menularkan virus persisten efektifitas penularannya tidak
hilang pada pergantian kulit dan adanya virus dalam hemolimfa dapat dideteksi
(Bos 1983).
Virus krupuk tembakau
tidak ditransmisikan melalui telur ke generasi berikutnya. Ini terlihat dari tidak adanya gejala virus
krupuk pada tanaman tembakau sehat yang telah diinokulasi dengan imago B. tabaci yang berasal dari telur serangga vektor viruliferous. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Butter
dan Rataul (1977), Mehta et al.
(1994b) dan Idris & Brown (1998) terhadap tomato leaf curl virus, tomato yellow leaf curl geminivirus dan sinaloa tomato leaf curl geminivirus.
Virus yang ditularkan oleh B. tabaci tidak
transovarial (Costa 1969).
Perkembangan gejala virus
krupuk pada tanaman tembakau sehat yang diinokulasi secara berseri dengan
serangga vektor B. tabaci viruliferous (Tabel
1) sesuai dengan pernyataan Varma
(1963) yaitu, bahwa tobacco leaf curl
virus berada dalam tubuh serangga vektor selama hidupnya. Persistensi virus
di dalam tubuh serangga diduga tergantung dari virus yang ditularkan, seperti tomato yellow leaf curl virus 10 – 15 hari (Cohen & Nitzany 1966), zinnia
yellow net disease selama hidup (Srivastava dkk. 1977), tomato leaf curl virus 8 – 55 hari
(Butter & Rataul 1977) dan sinaloa tomato leaf curl geminivirus 9
hari (Idris & Brown 1998). Penularan virus krupuk oleh B.
tabaci terlihat tidak kontinyu, karena ada beberapa tanaman tembakau dari
seri penularan yang dilakukan tidak menunjukkan gejala. Penyebab penularan B. tabaci yang tidak
kontinyu sampai saat ini belum
diketahui.
Hasil deteksi virus
krupuk tembakau pada serangga vektor B. tabaci dengan menggunakan teknik PCR,
menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah serangga vektor maka konsentrasi virus
krupuk tembakau semakin tinggi (Gambar 4).
Ini sesuai dengan uji penularan virus krupuk tembakau terhadap jumlah
serangga, yaitu semakin banyak jumlah serangga yang diinokulasikan ke tanaman
tembakau sehat, semakin besar persentase jumlah tanaman terinfeksi (Gambar 3).
Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah serangga, semakin tinggi
konsentrasi virus yang ditularkan ke tanaman tembakau dan masa inkubasi virus
dalam jaringan tanaman semakin pendek
(Gambar 3 & 4).
Metode PCR juga berhasil
mengamplifikasi DNA virus krupuk tembakau dari
nimfa B. tabaci berjumlah 50
ekor yang berasal dari tanaman tembakau yang terinfeksi virus krupuk (Gambar
5). Ini membuktikan bahwa nimfa yang
berada pada tanaman terinfeksi virus krupuk tembakau dapat mengakuisisi virus
sehingga menjadi viruliferous dan ini
juga terbukti dari uji penularan imago yang dihasilkannya mampu menularkan
virus krupuk tembakau.
Kemampuan metode PCR
untuk mendeteksi virus krupuk tembakau dari satu serangga vektor dan nimfa B. tabaci viruliferous menunjukkan bahwa
PCR merupakan metode yang peka dan spesifik untuk mendeteksi adanya virus
krupuk tembakau pada serangga vektornya.
Dengan demikian keberadaan virus di lapangan dapat dengan cepat
terdeteksi, sehingga pencegahan terhadap epidemi penyakit dapat segera
dilakukan.
Dari hasil
penelitian ini disimpulkan bahwa, kemampuan serangga vektor B. tabaci menularkan virus krupuk
tembakau berbanding lurus dengan
lamanya periode akuisisi virus dan periode inokulasi oleh vektor serta
banyaknya vektor pada waktu inokulasi.
Nimfa B. tabaci yang hidup di
tanaman tembakau terinfeksi adalah viruliferous
dan virus terbawa sampai serangga menjadi imago. Virus krupuk tembakau bersifat persisten di dalam tubuh serangga
vektor tersebut dan bertahan sampai akhir hidup serangga, tetapi tidak terjadi
transmisi transovarial. Metode PCR
dapat mengamplifikasi DNA virus krupuk tembakau yang berasal dari satu atau lebih imago B. tabaci viruliferous
dan lebih dari satu nimfa viruliferous (50 ekor).
Bendahmane, M., H. J. Schalk
& B. Gronenborn. 1995.
Identification and characterization of wheat dwarf virus from France
using a rapid method for geminivirus DNA preparation. Phytopathol. 85 (11) : 1449 – 1455.
Bock, K. R.
1982. Geminivirus diseases. Plant Dis.
66(3) : 266-270.
Bos, L. 1983. Introduction To Plant Virology. Longman, London and New York. 159p.
Brown, J. K. & R. Nelson.
1988. Transmission, host range,
and virus-vector relationships of Chinol del tomate virus, a
whitefly-transmitted geminivirus from Sinaloa, Mexico. Plant Dis. 72 : 866-869.
Butter, N. S. & H. S. Rataul.
1977. The virus-vector
relationship of the tomato leafcurl virus (TLCV) and its vector, Bemisia tabaci Gennadius (Homoptera ;
Aleyrodidae). Phytoparasitica 5(3) :
173-186.
Chiemsombat, P.,
W. Kositratana, S. Attathom, T.
Sutabutra & N. Sae-aung.
1990. DNA probe and nucleic acid
hybridization for plant virus detection.
Kasetsart J. (Nat. Sci. Suppl.) Vol. 24 : 12 – 16.
Cohen, S. &
F. E. Nitzany. 1966.
Transmission and host range of the tomato yellow leaf curl virus. Phytopathol. 56 : 1127-1131.
Costa, A.
S. 1969. Whiteflies as virus
vectors. pp: 95-119. Dalam. K. Marasmorosch (ed.). Viruses, Vectors, and Vegetation. John Wiley and Sons (Interscience), New York. 659p.
Czosnek, H., R. Ber, N. Navol, D. Zamir, Y. Antignus
& S. Cohen. 1988.
Detection of tomato leaf curl virus in lysates of plants and insects by
hybridization with a viral DNA probe.
Plant Dis. 72 : 949 – 951.
Dellaporta, S. L., J. Wood, & J. B. Hicks. 1983. A Plant DNA minipreparation : Version II.
Plant Mol. Biol. Rep. 1(4) : 19 – 21.
Gilbertson, R.L., S.H. Hidayat & R.T.
Martinez. 1991. Differentiation
of bean-infecting geminiviruses by nucleic acid hybridization probes and
aspects of bean golden mosaic in Brazil. Plant Dis. 75 : 336-342.
Goodwin, R. H., B. G. Xue, C. R.
Kuske & M. K. Sears. 1994.
Amplification of plasmid DNA to detect plant pathogenic mycoplasmalike
organisms. Ann. Appl. Biol. : 27 – 36.
Greathead, A. H. 1986. Host plants, pp. 17 – 25. Dalam M. J. W. Cock (ed.), Bemisia tabaci – A literature Survey
on the Cotton Whitefly with an annotated Bibliography. CAB. International.
Institute of Biological Control. Ascot,
Berks, U.K.
Hidayat, S. H., R. L. Gilbertson, S. F. Hanson, F.
J. Morales, P. Ahlquist, D. R. Russel
& D. P. Maxwell. 1993. Complete
nucleotide sequences of the infectious cloned DNAs of bean dwarf mosaic
geminivirus. Phytopathol. 83 : 181-187.
Idris, A.
M. & J. K. Brown.
1998. Sinaloa tomato leaf curl
geminivirus : Biological and molecular evidence for a new subgroup III
virus. Phytopathol 88: 648-657.
Martin, J. H. 1987. An Identification guide to common whitefly
pest species of the world (Homoptera :
Aleyrodidae). Trop. Pest Manag. 33(4) :
298 – 322.
Mehta, P. J., J. A. Wayman, M. K. Nakhla, & D. P. Maxwell.
1994. Transmission of tomato yellow leaf
curl geminivirus by Bemisia tabaci
(Homoptera : Aleyrodidae). J. Econ.
Entomol. 87(5) : 1291-1297.
Pacheco, I. T., J. A. G. Tiznodo, J. K. Brown, A. B. Flora, & R. F.
R. Bustamante. 1996. Detection and
distribution of geminiviruses in Mexico and the Southern United State. Phytopathol. 86(11) ; 1186 – 1192.
Polston, J. E., J.A. Dodds & T.M. Perring. 1989. Nucleic acid probes for detection and
strain discrimination of cucurbit geminiviruses. Phytopathol. 79:1123-1127.
Rojas, M. R., R. L. Gilbertson, D. R. Russell
& D. P. Maxwell. 1993.
Use of degenerate primers in the Polymerase Chain Reaction to detect
whitefly-transmitted geminiviruses.
Plant Dis. 77(4) : 340 – 347.
Roye, M. E., W. A. Mclaughlin, M. K. Nakhla &
D. P. Maxwell. 1997.
Genetic diversity among geminiviruses associated with the weed species
Sida spp., Macroptilium lathyroides, and Wissadula amplissima from
Jamaica. Plant Dis. 81 : 1251 – 1258.
Srivastava, K. M., B. P. Singh, V. C. Dwadash
Shreni & B. N. Srivastava. 1977.
Zinnia yellow net disease-transmission, host range, and agent-vector
relationship. Plant Dis. Reptr . 61(7)
: 550-554.
Swenson, K. G. 1967. Plant virus transmission by insect. pp. 267-307. Dalam. K. Maramorosch & H. Koprowski
(Eds.). Methods in Virology. Academic, New York.
Trisusilowati, E. B. 1989. Studi
Sifat Virus Penyebab Penyakit Krupuk Pada Tanaman Tembakau (Nicotiana
tabacum L.). Tesis S-3 Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. (Tidak dipublikasikan).
Varma, P. M. 1963. Transmission of plant viruses by
whiteflies. Nat. Inst. Sci. India Bull.
24: 11-33.
Wyatt, S. D. & J. K. Brown. 1996. Detection of
subgroup III geminiviruses isolates in leaf extracts by degenerate primer and
polymerase chain reaction. Phytopathol.
86 : 1288 – 1293.