© 2001
Neneng Laela Nurida Posted
29 Desember 2001
Makalah Falsafah Sains (PPs
702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Desember 2001
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
(Penanggung Jawab)
PEMBUKAAN LAHAN SECARA
TEBAS BAKAR HUBUNGANNYA DENGAN
TINGKAT POPULASI DAN AKTIVITAS ORGANISME TANAH
Oleh:
Neneng Laela Nurida
Nrp
P 026 00006
E-mail: nenurida@yahoo.com
Abstrak
Sistem
tebas-bakar (slash and burn)
merupakan metode pembukaan lahan yang banyak dilakukan oleh petani di daerah
tropis. Secara agronomis, dalam jangka pendek sistem tebas-bakar memberikan
keuntungan namun efeknya dalam jangka panjang sangat mengkhawatirkan terutama
dengan adanya peningkatan intnnsitas tanam dan pendeknya pepiode bera.. Pembakaran biomasa hutan akan menciptakan
lingkungan mikro tanah yang baru. dimana sifat fisik, kimia dan biologi tanah
akan berubah. Perubahan ini akan sangat
berpengaruh terhadap kehidupan organisme tanah sehingga dapat menggangu
fungsinya dalam ekologi tanah. Organisme tanah (bakteri, fungi, actinomysetes,
algae, cacing tanah, collembola dll.) memperoleh energi dan hara dari tanah
untuk kelangsungan hidupnya. Perubahan
sifat fisik tanah yang nyata adalah terjadinya pemadatan yaitu terlihat dengan
meningkatnya berat isi tanah dan menurunnya porositas makro .pada kedalaman
0-10 cm. Penurunan kadar air terjadi
segera setelah pembukaan lahan terutama pada kedalaman 0-15 cm. Pembakaran menyebabkan peningkatan pH,
basa-basa dapat ditukar, KTK efektif dan ketersediaan P di permukaan
tanah. Pengkayaan oleh abu hasil
pembakaran dipengaruhi oleh lamanya tanah yang diusahakan, pencucian dan
pengangkutan waktu panen. Bahan organik tanah mengalami penurunan sehingga suplai makanan organisme
berkurang. Pola distribusi dan
perkembangan populasi mikroorgasinme setelah pembakaran cukup bervariasi dan
sebagian besar terjadi pada kedalaman 0-15 cm.. Variasi ini sangat tergantung seberapa besar perubahan lingkungan
mikro yang terjadi. Bakteri dan
actinomycetes lebih tanah terhadap suhu panas dibandingkan fungi. Fungi membutuhkan waktu 30 hari untuk pulih
kembali, sedangkan bakteri dan actinomycetes hanya perlu 20 hari. Azotobacter
memerlukan waktu 14 hari untuk pulih kembali.
Pengaruh pasca pembakaran lebih penting terhadap invertrebrata
dibandingkan efek langsung pembakaran.
Cacing tanah masih cukup toleran terhadap intensitas pemanasan rendah sehingga bisa mempertahankan populasi
dan aktivitasnya. Resistensi collembola
terhadap pengaruh pembakaran tergantung speciesnya, beberapa species collembola
dapat berasosiasi pada suhu tinggi,
sehingga pengaruhnya relatif kecil.
Kata kunci : tebas-bakar,
lingkungan mikro tanah, populasi, organisme
PENDAHULUAN
Sistem tebas–bakar (slash and burn) merupakan metode
pembubaan lahan yang banyak dilakukan oleh petani di daerah tropis. Sampai saat ini dalam perladangan berpindah
di Sumatera, metode ini masih digunakan dalam berbagai penggunaan lahan baik
penduduk asli, petani transmigran maupun perkebunan besar (ASB-Indonesia,
1998). Metode ini dilakukan dengan cara
menebang dan membakar sebagian hutan kemudian menanam tanaman pangan dan
tanaman tahunan tanpa ada penambahan input.
Oleh karena itu produktivitas tanah dan tanaman dalam sistem ini sangat
tergantung pada kesuburan tanahnya.
Dilihat dari perspektif petani cara ini memang cara yang paling mudah
dan murah, dan memberikan beberapa manfaat seperti adanya suplai pupuk dari
abu, mengurangi timbulnya hama penyakit, pemberantasan gulma, dan meningkatkan
reproduksi benih (Wells et al., 1979 dalam Eivazi dan Bayan, 1996).
Secara agronomis sistem tebas-bakar
dalam jangka pendek menguntungkan, namun efeknya dalam jangka panjang sangat
mengkhawatirkan terutama disebabkan peningkatan intensitas tanam dan semakin
pendeknya periode bera (Palm et al.,
1996). Sebanyak 170 juta hektar dari
240 juta hektar hutan tertutup telah dibuka untuk digunakan dalam sistem
perladangan berpindah (FAO, 1985 dalam
Brady, 1996). Bila lahan ini digunakan
selama 2-3 tahun dan diberakan selama 10-20 tahun, maka regenerasi dan
akumulasi abu pembakaran dan bahan organik akan mengisi kembali pool yang sudah
terkuras, memperbaiki struktur tanah dan melindungi tanah dari bahaya erosi dan
aliran permukaan (Brady, 1996). Menurut Roder et al.
(1997) bila sistem tebas-bakar dilakukan secara tradisional, maka produktivitas
tanah yang lestari akan terjamin..
Konversi
lahan hutan alami menjadi lahan pertanian dengan cara tebas bakar membawa
konsekuensi antara lain perubahan iklim, peningkatan emisi CO2 dan
gas lain karena pembakaran hutan menimbulkan pemanasan global ( Tinker et al., 1996; Fujisaka. et al., 1995), perubahan terhadap siklus
C dan N di dalam tanah dan adanya penurunan keanekaragaman hayati (Cheryl et al., 1996). Pada akhir tahun 1997, asap tebal akibat kebakaran hutan telah
menggangu kesehatan dan transportasi udara di bebarapa negara seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina
dan Thailand).
Ditinjau
dari sudut ekologi, vegetasi hutan merupakan tempat hidup biota yang paling
baik, tapi akan lain kemungkinannya pada hutan yang telah terdegradasi oleh
kegiatan manusia. Lahan hutan yang
dibuka dengan sistem tebas-bakar akan terkena langsung terpaan air hujan dan
sinar matahari sehingga sejumlah bahan di atas dan beberapa sentimeter di bawah
permukaan tanah akan menguap dan terbakar serta sejumlah bahan berupa abu
terbentuk di permukaan tanah setelah pembakaran. Pembakaran biomasa hutan akan menciptakan lingkungan mikro tanah
yang baru, dimana sifat fisik, kimia dan biologi tanah akan berubah. Perubahan lingkungan mikro tanah akan sangat
berpengaruh terhadap kehidupan organisme tanah. Terganggunya organisme tanah berarti mengganggu fungsi ekologis
sistem tanah yaitu mata rantai makanan, aliran energi, siklus hara dan pola
keanekaragaman.
Mengingat
pentingnya peranan organisme tanah dalam proses-proses biologi sistem tanah
maka perlu mengetahui dampak dari pembukaan lahan melalui tebas-bakar terhadap
organisme tanah. Tulisan ini akan membahas pengaruh pembukaan lahan dengan
sistem tebas bakar terhadap perubahan lingkungan mikro tanah (sifat fisik dan
kimia tanah) dalam hubungannya dengan dampaknya terhadap organisme tanah, baik
populasi maupun aktivitasnya.
ORGANISME
TANAH DAN BEBERAPA FAKTOR LINGKUNGAN
YANG
MEMPENGARUHINYA
Organisme tanah
Menurut
Killham (1994) organisme tanah diklasifikasikan berdasarkan ukurannya menjadi
mikrobiota (bakteri, fungi, actinomycetes dan algae), mikrofauna (protozoa),
mesobiota (misalnya collembola) dan makrobiota (misalnya cacing tanah, nematoda
dan anthopoda). Di dalam tanah jumlah
organisme dan biomasanya sangat bervariasi.
Bakteri dan fungi merupakan organisme yang dominan di dalam tanah karena
ukurannya yang sangat kecil dan paling banyak biomasanya serta penting
peranannya dalam dekomposisi bahan organik (Metting, 1992). Cacing tanah, rayap dan semut merupakan organisme tanah yang berfungsi
sebagai ecosystem engineer, peranannya
sangat penting di dalam proses-proses yang terjadi di dalam tanah ( Fragoso et al., 1997). Cacing tanah maupun rayap sangat mempengaruhi siklus unsur hara,
ketersediaan air, dekomposisi dan proses –proses pedologi (Black dan Okwakol,
1997).
Ketergantungan organisme tanah
terhadap lingkungan tanah sangat berbeda-beda terutama dalam perolehan energi
dan hara (Killham, 1994).
Mikroorganisme heterotrof memperoleh sumber energinya dari senyawa
anorganik, sementara mikroorganisme autrotrof mendapatkan sumber energinya dari
sinar matahari. Keduanya memperoleh
sumber karbon secara langsung dari atmosfir berupa karbondioksida. Selain itu, sejumlah mikroorganisme tertentu
(seperti azotobacter) dan asosiasi mikroba (bintil akar) mampu menambat
nitrogen bebas yang terdapat di atmosfer.
Sedangkan mikroorganisme lain memperoleh energi dan hara secara langsung
dari tanah, baik dari mineral, bahan organik atau komponen lain dari biomassa
tanah.
Tabel
1. Perkiraan jumlah biomassa,
mikrobiota dan mikrofauna pada Mollisols
Organisma |
Jumlah |
Biomass |
|
|
Per m2 |
Per gram |
Wet kg/ha |
Bakteri Actinomycetes Fungi Mikroalga Protozoa Nematoda Cacing tanah Mikrofauna lainnya |
1013-1014 1012-1013 1010-1011 109-1010 109-1010 106-107 30-300 103-105 |
108-109 107-108 105-106 103-106 103-105 101-102 |
300-3000 300-3000 500-5000 10-1500 5-200 1-100 10-1000 1-200 |
Sumber : After Alexander(1977),
Brady (1974) dan Lynch (1988) dalam
Metting (1992)
Ketersediaan bahan makanan (sumber
C) baik dalam bentuk organik maupun
anorganik sangat menetukan tingkat populasi, keragaman dan aktivitas
mikroorganisme. Selain itu komposisi
dan aktivitas mikroorganisme tanah dipengaruhi oleh lingkungan mikro tanah yaitu
lingkungan fisik, kimia dan biologi dimana organisme tersebut berada pada waktu
tertentu. Tanah menyediakan lingkungan
yang relatif stabil, karena variabilitas iklim tanah tergolong kecil
dibandingkan kondisi diatas tanah.
Mikroorganisme tanah tumbuh paling banyak di permukaan partikel tanah
terutama di daerah rizosfer, sangat sedikit mikroorganisme yang berkoloni bebas
di larutan tanah. Lingkungan fisik dan kimia tanah dapat berpengaruh langsung
terhadap jenis dan jumlah mikroorganisme.
Sifat-sifat
fisik tanah yang dapat mempengaruhi kehidupan mikroorganisme adalah kepadatan
tanah (berat isi tanah), ketersediaan air, porositas, struktur tanah dan
lain-lain. Kondisi sifat fisik tanah
ini sangat tergantung kepada jenis
mineral dan koloidal tanah, sehingga variasinya cukup besar antara jenis tanah.
Ketersediaan
air tanah lebih penting artinya dari pada air total. Meskipun tidak semua mikroorganisme tahan terhadap stress air,
namun pada umumnya mikroorganisme lebih toleran dibandingkan tanaman. Tingkat toleransi antar miroorganisme
sendiri terhadap stress air cukup bervariasi, actinomycetes lebih tahan
terhadap stress air dibandingkan bakteri karena kemampuannya untuk mensintesis intra selular proline
(Killham, 1994).
Pemadatan
tanah akan mengurangi volume pori tanah terutama pori makro sehingga terjadi
hambatan mekanikal yang secara langsung akan menghambat pertumbuhan akar. Porositas tanah, stabilitas agregat sangat menentukan suplai air, oksigen dan
unsur hara yang dibutuhkan mikroorganisme.
Sifat fisik ini sangat penting dalam aktivitas organisme tanah, karena
pada umumnya organisma tanah menyukai kelembaban tetapi tetap beraerasi baik
(Killham, 1994). Selanjutnya dinyatakan
bahwa tekstur berlempung (antara liat dan pasir) dan struktur agregat yang
mantap akan lebih mendukung perkembangan populasi dari cacing tanah dan
organisme lainnya.
Mikroorganisme
umumnya tumbuh di permukaan partikel, sebagian tumbuh dan berkembang di dalam
larutan tanah. Senyawa organik dan
anorganik yang dilepaskan sel akar akan mempengaruhi lingkungan kimia di
dalam tanah dan secara tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan
mikroorganisme. Akar tanaman secara
selektif menyerap dan mentranport ion-ion sehingga merubah komposisi kimia
larutan tanah.
Pembakaran mempengaruhi sifat-sifat kimia
seperti pH, potensial redoks, konsentrasi hara dan C terlarut, komposisi
ion dan lain-lain. PH merupakan kriteria penting untuk memprediksi
kapabilitas tanah dalam mendukung reaksi mikroorganisme. Tingkat toleransi mikroorganisme terhadap pH
sangat bervariasi. Umumnya
mikroorganisme hidup dan berkembang pada pH normal seperti bakteri dan
actinomycetes, sedangkan fungi lebih toleran pada pH rendah (Killham,
1994). Perubahan pH akan mempengaruhi
dominansi dan aktivitas mikroorganisme tanah.
Konsentrasi unsur hara terutama kation basa baik langsung maupun tidak
langsung akan mempengaruhi aktivitas mikroorganisme (Bolton et al., 1992).
Faktor lingkungan lainnya yang berpengaruh
terhadap mikroorganisme tanah adalah temperatur dan cahaya. Temperatur bukan hanya berpengaruh terhadap
laju reaksi physiologi, tetapi juga berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia
dari lingkungan (Miller, 1992). Menurut
Killham (1994) kisaran suhu dimana mikroorganisme dapat hidup sangatlah
besar. Beberapa derajat di atas suhu
optimum aktivitas mikrobiologi akan menurun secara drastis dan menyebabkan
terjadinya thermal denaturation dari protein dan membram.
Cahaya merupakan faktor penentu primer dari
aktivitas biologi tanah. Penetrasi
cahaya ke dalam tanah (bagian bawah permukaan tanah) bervariasi antara tanah
satu dengan tanah lainnya dan sangat dipengaruhi oleh penutupan vegetasi. Cahaya menyediakan sumber energi bagi
komponen fotoautrotrof dan biota
tanah. Sekitar 5 % dari radiasi
matahari digunakan untuk reaksi fotosintesis oleh berbagai komponen biota tanah
termasuk tanaman, algae dan bakteri fotoautotrof.
Pembakaran
mengubah karakteristik fisik, kimia dan biologi tanah melalui pemanasan,
penggantian dan penghilangan substansi, dan pembukaan permukaan tanah. Sifat dan tingkat perubahan tergantung pada
sifat tanah, suhu dan lamanya pembakaran, topografi dan iklim. Pembakaran mempengaruhi sifat tanah secara
langsung melalui dekomposisi mineral liat dan secara tidak langsung melalui
perubahan struktur kompleks menjadi
residu anorganik sederhana kemudian bereaksi dengan mineral dalam tanah.
Pengaruh
nyata sistem tebang-bakar terlihat dari
perubahan permukaan tanah yaitu hilangnya penutupan permukaan tanah sehingga
tanah menjadi lebih terbuka dan mendapatkan pengaruh langsung dari curah hujan
dan radiasi. Saat pembukaan lahan
terjadi sedikit pemadatan akibat jatuhnya pepohonan dan injakan manusia
sehingga meningkatkan bobot isi, walaupun masih lebih rendah dibandingkan
pembukaan dengan buldozer (Alegre dan Cassel, 1996). Hasil penelitian Diaz dan Nortcliff (1985) di Oxisols, Brazillian
Amazon mendapatkan bahwa bobot isi pada tanah yang dibakar walaupun lebih
rendah dari pemakaian buldoser, tapi lebih tinggi dibandingkan hutan alami
terutama pada kedalam 0-10 cm (Tabel 2). Peningkatan bobot isi sejalan dengan
terjadinya penurunan porositas makro pada tanah yang dibakar untuk kedalaman 0-10
cm.
Alegre dan Cassel (1996) dalam penelitiannya di Typic
Paleudults, Yurimaguas, Peru memdapatkan bahwa sistem tebas-bakar meningkatkan
bobot isi terjadi pada kedalaman tanah
0-150 mm, sedangkan pada kedalaman 150-250 mm relatif stabil. Pengaruh Pemakaian
buldozer terlihat sampai kedalaman 250 mm. Pengaruh jangka panjang dari sistem
tebas bakar terutama pada kedalaman 0-150 mm terlihat tidak konsisten yaitu
menurun setelah 29 minggu, namun meningkat kembali setelah 89 minggu (Tabel 3).
Tabel 2. Beberapa
sifat fisik tanah pada penelitian pembukaan lahan Oxsisols di
Brazilian Amazon.
Kedalaman |
Bobot isi kering (g/cm3) |
Porositas makro (%) |
||
(cm) |
Hutan alami |
dibakar |
Hutan alami |
Dibakar |
0-5 5-10 10-15 15-20 |
0,79 1,04 1,12 1,11 |
0,84 1,06 1,13 1,12 |
20,5 12,3 8,7 8,1 |
17,8 11,0 8,0 8,3 |
Sumber :
disederhanakan dari Dias dan Nortcliff (1985
Penurunan porositas makro dan
meningkatnya bobot isi mengindikasikan bahwa proses pemadatan terjadi sampai
kedalaman 10 cm pada tanah yang dibakar.sehingga berimplikasi pada penurunan
infiltrasi tanah. Hasil penelitian di
Yurimaguas terjadi penurunan laju infiltrasi dari 22 cm/jam pada hutan alami
menjadi 10 cm/jam pada yang dibakar (Sanchez, 1981 dalam Dias dan Nortcliff, 1985).
Tabel 3.
Perubahan bobot isi (Mg/m3) setelah pembakaran pada
penelitian
pengaruh pembukaan lahan.
Sistem pembukaan lahan |
Kedalaman (mm) |
|
|
0 – 150 |
150 – 250 |
Sebelum pembukaan lahan Tebas-bakar
Buldoser
|
1,16 1,27 1,17 1,32 1,42 1,26 1,42 |
1,39 1,37 1,37 1,38 1,49 1,44 1,56 |
Sumber : disederhanakan dari Alegre dan Cassel (1996)
Penelitian
Alegre dan Cassel (1996) menunjukkan bahwa persentase agregat yang stabil pada
3 bulan setelah pembukaan lahan pada ukuran agregat > 0,25 mm tidak berbeda
nyata dengan sebelum dibakar (Gambar 1).
Perbedaan yang nyata terlihat apabila digunakan buldozer.terutama untuk
agregat berukuran besar. Persentase dari agregat berukuran 0,25-0,5 mm tidak
berubah dan cenderung stabil dengan pembukaan lahan secara tebas bakar. Kelas ukuran agregat tersebut sangat
berkaitan erat dengan pori terisi udara dan kemampuan memegang air. Dari
penelitian tersebut juga diperoleh
informasi terjadinya perubahan kandungan air tanah pada kedalaman 0-15 cm dan
15-25 cm akibar sistem tebas-bakar.
Setelah 8-14 minggu pembukaan lahan,
terjadi penurunan kadar air tanah akibat tebas-bakar.. Penurunan kandungan air pada kedalaman 0-15
cm lebih besar dibandingkan kedalaman 15-25 cm
Penurunan
kualitas sifat-fisik tanah abibat pembukaan lahan dengan cara tebas bakar dan
hilangnya vegetasi di atas permukaan tanah akan menyebabkan terjadinya
degradasi lahan. Pengelolaan lahan
setelah lahan dibuka akan mempengaruhi besarnya tingkat degradasi lahan yang
terjadi. Hasil penelitian Alegre dan
Cassel (1996) dengan menguji 4 perlakuan pengelolaan lahan setelah pembukaan
lahan dengan cara tebas bakar terhadap besarnya aliran permukaan dan erosi
ditunjukkan pada Tabel 4. Sistem alley cropping dapat digunakan untuk
menanggulangi efek buruk dari sistem tebas bakar, terlihat dari rendahnya
aliran permukaan dan erosi yang terjadi.
Tanah yang hilang dari permukaan tanah akan mengangkut bahan organik dan
unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dan organisme tanah.
Gambar 1. Persentase stabilitas agregat sebelum dan
sesudah
pembukaan lahan (Alegre et al.,1986 dalam Alegre et al.,
1996)
Tabel
4. Pengaruh pengelolaan lahan
terhadap aliran permukaan dan erosi pada areal yang dibuka dengan sistem
tebas-bakar
(Desember 1988-Maret 1993)
|
Aliran permukaan |
Kehilangan tanah |
||
Perlakuan |
Total (mm) |
Rata-rata (mm/th) |
Total (Mg/ha) |
Rata-rata (Mg/ha/th) |
Tanaman
semusim (2x) Alley
cropping Hutan
sekunder Diberakan |
16 d 2 865 a |
249 b 31 c 4 c 662 a |
228 b 4 c 0,8 c 505 a |
53 b 0,9 c 0,2 c 1 17 a |
Sumber : Alegre dan Cassel (1996)
Pembakaran menyebabkan peningkatan
yang cepat pH tanah, basa-basa dapat ditukar, KTK efektif dan ketersediaan P di
permukaan tanah (Juo dan Manu ,1996; Juo et
al., 1995; Roder et al.,
1995). Adanya
abu pembakaran menyebabkan peningkatan pH, seperti yang ditemukan Khanna et al. (1994), penambahan 4-20 ton
abu/ha yang berasal dari serasah Eucalyptus
meningkatkan pH tanah 1-3 unit. Juo dan
Manu (1996) mengemukakan bahwa untuk tanah masam, adanya abu pembakaran akan
menetralisir tingkat kelarutan Aldd di dalam tanah. Perubahan
sifat kimia tanah dipengaruhi oleh komposisi kimia dalam abu dan jenis
mineralogi dan muatan tanah. Hal
tersebut sejalan dengan apa yang ditemukan oleh Juo dan Manu (1996) dari hasil
rangkuman penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti yang lain ( Tabel
4.).
Tabel 5. Perubahan pH (H2O), basa-basa
dapar ditukar (meq/100 g) pada permukaan
tanah sebelum dan setelah
pembukaan lahan hutan bera.
Lokasi |
Waktu pengamatan |
pH |
P |
Ca |
Mg |
K |
Nam
Phrom, Thailand Kade, Ghana Yurimaguas, Peru Onne, Nigeria Ibadan, Nigeria |
Sebelum pembakaran Setelah
pembakaran Sebelum
pembakaran Setelah
pembakaran Sebelum
pembakaran Setelah
pembakaran Sebelum
pembakaran Setelah
pembakaran Sebelum
pembakaran Setelah
pembakaran |
6,2 7,2 5,2 7,9 4,0 4,7 4,3 5,0 6,0 6,3 |
7,7 9,8 30,0 12,0 23,7 - - 4,7 20,7 |
17,0 36,3 5,7 17,9 1,0 2,3 1,3 3,0 5,9 7,5 |
5,6 7,5 1,2 2,7 0,3 0,6 0,3 0,9 1,6 1,9 |
0,45 1,93 0,41 2,01 0,25 0,39 0,16 0,33 0,33 0,97 |
Sample
tanah pada kedalaman 0-5 cm atau 0-7,5 cm
Pengambilan
sample 1 bulan setelah pembakaran
Sumber
: Juo dan Manu (1996)
Secara umum basa-basa dapat ditukar
meningkat akibat adanya pembakaran, (Lessa et
al., 1996; Alegre et al., 1988;
Juo et al., 1995), namun terdapat
variasi yang cukup besar antara lokasi penelitian (Tabel 5). Pada tanah masam yang didominasi oleh
mineral bermuatan variable (oksida-oksida dan kaolinit) penambahan
kation-kation dari abu akan meningkatkan pH dan KTK tanah. Sementara itu, pencucian dan pengangkutan
waktu panen pada tanah yang ditanami tanaman pangan akan mengangkut basa-basa dan bahan organik tanah. Pengaruh pengkayaan oleh abu selama musim tanam sangat
tergantung pada lamanya tanah diusahakan.
Jou dan Manu (1996) mengemukakan bahwa permebilitas tanah yang cepat dan
topografi merupakan penyebab utama hilangnya hara dari tanah di Amazon selama 3
tahaun setelah pembakaran. Banyaknya unsur yang hilang mengikuti urutan sebagai
berikut K>Mg>Ca. Sebagian besar
nitrat hilang melalui pembakaran sedangkan kation-kation lainnya umumnya hilang
karena mineralisasi bahan organik dari ekosistem hutan alami.
Bahan
organik tanah mengalami penurunan dengan adanya pembakaran (Juo and Manu ,1996;
Hernandez et al., 1997 dalam Djunaedi, 1999). Hasil penelitian Juo et al. .(1995) di Ibadan, Nigeria memperlihatkan bahwa terjadi
penurunan kandungan C organik dari 17 mg C/kg menjadi 9 mg C/kg setelah 7 tahun
pembukaan lahan.(Gambar 4). Penurunan
ini sebagai hasil komulasi dari peningkatan dekomposisi, meningkatnya suhu
akibat tidak adanya vegetasi dan rendahnya input bahan organik. Setelah 7 tahun terdapat penambahan dari
vegetasi yang tumbuh sehingga kandungan C organik mulai meningkat. Peningkatan kandungan C organik ini
tergantung dari jenis vegetasi yang ditanam.
Pada umumnya mikroorganisme tanah
tumbuh ekstensif pada lapisan atas tanah, khususnya didaerah rizosfer. Pembukaan permukaan tanah dan terjadinya
perubahan karakteristik fisik, kimia, biologi tanah akan berpengaruh terhadap populasi dan aktivitas organisme tanah. Besarnya pengaruh pembakaran terhadap
organisme sangat bervariasi tergantung pada intensitas bakar, kedalaman tanah,
waktu pasca pembakaran, sifat tanah dan vegetasi setempat (Ahlgren, 1974 dalam Djunaedi, 1999)
Pembakaran meningkatkan suhu tanah di permukaan tanah menjadi 5000
C, sedangkan pada kedalaman tanah 0,5 cm dan 1,5 cm masing-masing diatas 2600
C dan 1500 C (Reuleur dan Janssen, 1993). Pola distribusi dan perkembangan populasi mikroorganisme setelah
pembakaran cukup bervariasi tergantung seberapa besar perubahan lingkungan yang
terjadi, daya adaptibilitas organisme terhadap lingkungan tersebut. Hasil penelitian Harris et al. (1994) selama 3
tahun di Typic Hapludults, Watkinsville menunjukkan tidak adanya pengaruh pembakaran
pada kedalaman 0-2 cm terhadap jumlah populasi bakteri dan nitrifier. Rata-rata jumlah bakteri 3,4x107, 4,4x107
dan 1,9x107 cfu/cm3 pada tahun 1983, 1984 dan
1985. Selama 3 tahun pengamatan
ternyata populasi actinomycetes, fungi dan algae cenderung lebih rendah pada
tanah yang dibakar (Tabel 6). Dari
hasil penelitian tersebut terlihat bahwa efek pembakaran terhadap penurunan
populasi mikroorganisme hanya terjadi pada awal musim tanam (7 HST). Penggunanan tanah selanjutnya setelah
pembakaran akan menentukan pertumbuhan mikroorganisme di dalam tanah. Pengaruh pembakaran bersifat temporal karena
dengan meningkatnya pertumbuhan tanaman, maka efek pembakaran menjadi tidak
nyata. Sementara itu hasil penelitian
Deka dan Mishra (1983) di India memperlihatkan terjadinya penurunan populasi
bakteri, actinomycetes dan fungi segera setelah pembakaran. Meningkatnya suhu sampai 1650 C
dan turunnya kandungan air tanah sampai 8,5 % berdampak langsung terhadap
berkurangnya populasi. Setelah
mengalami tebas bakar, populasi fungi pulih dalam waktu 30 hari untuk mencapai
tingkat populasi sebelum terjadi pembakaran, sedangkan bakteri dan
actinomycetes hanya membutuhkan waktu 20 hari.
Tidak ada perbedaan jenis komposisi
jenis fungi yang ditemukan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bakteri dan actinomycetes lebih
tahan terhadap suhu panas dibandingkan fungi.
Tabel 6. . Pengaruh pembakaran dan
pengolahan tanah terhadap mikroorganisme pada waktu setelah tanam, (HST), Tahun
1983,1984, 1985.
Perlakuan |
HST, 1983 |
HST, 1984 |
HST, 1985 |
||||||
|
7 |
30 |
80 |
7 |
30 |
80 |
7 |
30 |
80 |
|
Actinomycetes
( Log No. cfu) |
|
|||||||
Bakar-tanpa olah Bakar-diolah Tanpa bakar-tanpa olah Tanpa bakar-diolah LSD bakar |
7,53 7,52 7,59 7,51 NS |
6,52 6,54 6,54 6,86 NS |
6,61 6,71 6,82 6,80 NS |
5,53 6,09 6,04 6,12 0,26 |
6,48 6,66 6,59 6,45 NS |
6,10 6,20 6,31 6,23 NS |
6,50 6,76 6,77 6,58 NS |
6,67 6,79 6,83 6,89 NS |
6,67 6,79 6,95 6,94 0,18 |
|
Algae (Log No. cfu) |
||||||||
Bakar-tanpa olah Bakar-diolah Tanpa bakar-tanpa olah Tanpa bakar-diolah LSD bakar |
4,43 4,07 5,02 4,04 NS |
4,92 5,05 5,30 5,13 0,21 |
5,62 5,36 5,26 5,27 NS |
3,50 3,42 4,44 4,08 0,72 |
4,42 5,12 5,08 4,97 NS |
5,24 5,38 5,11 5,39 NS |
4,39 3,89 3,78 3,97 NS |
5,00 5,11 5,34 4,91 NS |
4,70 5,17 4,91 4,96 NS |
|
Fungi (Log No. cfu) |
||||||||
Bakar-tanpa olah Bakar-diolah Tanpa bakar-tanpa olah Tanpa bakar-diolah LSD bakar |
4,98 5,01 5,13 0,11 |
5,55 5,40 5,46 NS |
5,75 5,67 5,60 NS |
5,17 5,35 5,54 5,27 NS |
5,45 5,02 4,94 NS |
5,11 5,13 NS |
4,95 4,83 0,12 |
5,08 5,02 NS |
5,36 5,27 NS |
Sumber : Harris. et.
al. (1994)
Tabel 7. Korelasi linier antar jumlah mikroorganisme
dengan karakteristik lingkungan
Mukroorganisme |
PH tanah |
Kelembaban |
Temperatur tanah |
Temperatur udara |
Total mikroflora Bakteri heterotrof Filamentous fungi Algae Dekomposer cellulosa aerobik Dekomposer cellulosa anaerobik Starch dekomposer Pectin dekomposer |
-0,33 0,18 0,37** 0,09 0,32** -0,05 0,01 -0,04 |
0,05 0,45** 0,68 0,25 0,37 -0,20 -0,11 0,29** |
0,04 -0,34** -0,55** -0,14 -0,33** 0,24* 0,09 -0,06 |
0,06 -0,32** -0,56** -0,04 -0,34** 0,16 0,00 -0,08 |
Sumber ; Fonturbel et
al. (1995)
Hasil penelitian Fonturbel et al. (1995) menunjukkan bahwa ternyete
pengaruh pembakaran terhadap populasi mikroorganisme cukup rendah. Perlakuan pembakaran mempunyai efek yang
kecil terhadap karakteristik kimia tanah dan tekstur yang menyebabkan tidak adanya
variasi dalam jumlah dan populasi mikroorganisme. Ditinjau dari kelompok taksonomi maupun
nutrisi tidak terlihat adanya perbedaan populasi anatar yang dibakar dan tidak
dibakar (Gambar 2). Perbedaan
intensitas pembakaran (450 kw/m, 100 kw/m dan 60 kw/m) tidak berpengaruh nyata
terhadap karakteristik tanah, sehingga
populasi mikroorganisme tidak terganggu. Peningkatan pH (0,2 unit
lebih tinggi dari kontrol) juga tidak berpengaruh terhadap populasi bakteri dan
fungi. Respon mikroorganisme terhadap
perubahan lingkungan bervariasi, seperti terlihat dari hasil korelasi antara beberapa karakteristik tanah
dengan populasi mikroorganisma (Tabel 7).
Gamber
2. Populasi mikrobial pada perlakuan
pembakaran pada musim yang berbeda (Fonturbel et al., 1995)
Djunaedi
(1999) mendapatkan perbedaan suhu permukaan tanah mempengaruhi populasi
azotobacter pada kedalaman 0-15 cm.
Dalam waktu 7 hari setelah pembakaran 6500 C jumlah
azotobacter pada kedalaman 0-5 meningkat, sedangkan pada kedalaman 5-14 hari
membutuhkan waktu 14 hari untuk pemulihan.
Pembakaran 6000C mesterilisasi fungi pada kedalaman 0-5 cm
dan 5-15 cm, setelah itu jumlah fungi meningkat cepat hingga melampaui jumlah
fungi di hutan. Mulai 56-84 hari
setelah pembakaran, total mikroorganisme telah pulih dan mencapai jumlah yang
lebih tinggi dari pada di hutan.
Pembakaran dengan suhu yang lebih rendah kurang berpengaruh terhadap
ppopulasi mikroorganisma.
Perubahan
iklim mikro tanah akibat pembakaran, khususnya temperatur dan kelembaban tanah
berdampak pada aktivitas enzim tanah. karena terganggunya komunitas
mikroorganisme dan perkembangan akar yang merupakan produsen utama enzim dalam
tanah. Mikroorganisme memegang peranan
penting dalam transportasi unsur hara.
Jumlah biomassa mikrobial dan aktivitasnya merupakan faktor yang sangat
penting di dalam siklus hara (Eivazi dan Bayan, 1996).
Hasil penelitian Baath et al. (1994) di hutan coniferous menunjukkan bahwa total biomassa
mikrobial menurun dengan akibat pembakaran, penurunan paling besar terjadi pada
biomassa fungi. Total biomassa yang
dihasilkan pada perlakuan pembakaran lebih rendah 27 % (1 395 nmol/g bahan
organik) dibandingkan tanpa pembakaran.
Biomassa fungi menurun dari 195 nmol/g bahan organik menjadi tinggal 98
nmol/g bahan organik. Pietikainen dan
Fritze (1994) mengukur karbon mikrobial pada perlakuan pembakaran, hasilnya
menunjukan bahwa baik Cmic FE maupun Cmic SIR menurun
dengan tajam yaitu dibandingkan kontrol
pada kedalaman 0-72 mm (Tabel
8). Dumontet et al. (1996) melaporkan pengaruh jangka
panjang terlihat pada penurunan biomassa mikrobial di hutan pinus, setelah 6 tahun dari waktu pembakaran dan diberakan biomassa mikrobial hanya tinggal 75-79 mg/kg
berat kering.
Tabel 8. Pengaruh pembakaran
terhadap biomassa mikrobial di hutan pinus dan
coniferous
|
|
Metode Pengukuran |
|
|
Lokasi |
Perlakuan |
FE |
SIR |
Sumber |
|
|
m g/g berat
kering |
|
|
Coniferous, Finlandia |
Kontrol Tebas-bakar (setelah 1 th) |
7 281 2 398 |
10 890 5 120 |
Pietikainen dan Fritze (1994) |
|
|
Mg C/kg
berat kering |
|
|
Pinus, |
Kontrol Tebas bakar (setelah 6 th) |
176 75 |
138 79 |
Dumontet et al. (1996) |
Eivazi
dan Bayan (1996) melihat adanya korelasi positif antara biomassa mikrobial dan
aktivitas enzym tanah.. Pengaruh
pembakaran selain menurunkan biomassa mikrobial juga mengurangi aktivitas enzym
tanah. Perlakuan frekuensi pembakaran
membrikan dampak yang berbeda terhadap aktivitas enzym. Pengaruh pembakaran setiap tahaun lebih
parah dari pada pembakaran secara periodik setiap 4 tahun.terhadap penurunan
aktivitas enzym. Semakin rendah
produksi biomassa mikrobial maka aktivitas enzym semakin rendah (Tabel 9)
Tabel. 9. Biomassa C dan aktivitas enzym pada
perlakuan pembakaran
Perlakuan |
Biomasa C |
Acid phosphatase |
a-Glucosidase |
b-Glucosidase |
Sulfatase |
Urease |
|
mg C/g |
mg p-/g /jam* |
mg -/g /2jam** |
|||
Kontrol Dibakar setiap 4 tahun Dibakar setiap tahun |
247 195 168 |
232 92 71 |
4,2 1,8 1,4 |
48 22 19 |
45 21 15 |
69 41 29 |
*= p- nitrophenol
** = ammonium N
Sumber : Eivazi dan Bayan (1996)
Pada daerah
dimana pembakaran tidak terlalu berat, pengaruh langsung dari panas terhadap
invertrebrata tampaknya tidak terlalu penting dibandingkan perubahan lingkungan
pasca pembakaran (Chandler et al.,
1983 dalam Djunaedi, 1999). Populasi cacing tanah, kumbang, acarina,
collembola dan millipida berkurang oleh pembakaran setelahnya (Ahlgren, 1974 dalam
Collett, 1998). Penurunan populasi
cacing tanah pada kedalaman 0-10 cm dilaporkan oleh Collett et al. (1993),
kepadatan cacing tanah pada tanah yang dibakar lebih rendah dari pada kontrol
(Tabel 10). Suhu yang panas pada
lapisan atas tanah memaksa cacing untuk bergerak ke lapisan yang lebih dalam
yang lebih lembab. Populasi cacing
tanah akan pulih setara dengan populasi kontrol setelah tiga tahun pembakaran.
Djunaedi
(1999) melaporkan bahwa tebas-bakar di Jambi tidak menimbulkan pengaruh yang
berarti terhadap jumlah individu dan kokon cacing tanah (Gambar 3) Metode tebas-bakar yang dilakukan petani
diduga tidak menghasilkan intensitas bakar yang tinggi sehingga cacing tanah
tidak terpengaruh. Pada lahan yang
dibakar dengan intensitas sedang dan ringan, maka tidak terjadi penurunan kelembaban yang drastis, sehingga cacing
tanah tetap bertahan di lokasi tersebut.
Tabel
10. Kepadatan cacing tanah (no/m2
pada 0-10 cm) pada lahan yang dibakar dan kontrol,
sebelum pembakaran pertama, diantara dua
waktu pembakaran dan
setelah
pembakaran kedua (Maret 1985-Desember 1990)
Waktu pengamatan |
Dibakar |
Kontrol |
Sebelum pembakaran pertama (1985) Diantara dua pembakaran Setelah
pembakaran kedua (1988) |
4,9 8,9 33,2 |
8,9 38,1 55,7 |
Sumber
: Collett et al. (1993)
Gambar 3.
Jumlah individu dan kokon cacing tanah di lokasi bakar, pinggir daerah
bakar dan hutan pada kedalaman 0-15 cm (Djunaedi, 1999)
Pengaruh pembakaran terhadap
collembola terlihat lebih jelas pada penurunan jumlah species tertentu dari
pada kepadatan populasi. Beberapa
species collembola kurang toleran pada kondisi tanah yang sangat kering, dan
temperatur yang sangat tinggi, dengan kelembaban tanah yang rendah sehingga
mati pada kondisi demikian. Hasil
penelitian Lopes dan Gama (1994) di
Portugal selama musim panas menunjukkan terjadinya peningkatan kepadatan
populasi setelah pembakaran, namun terdapat penurunan tajam dari jumlah species
tertentu. Species collembola tertentu
diduga mampu berasosiasi pada suhu tinggi sementara yang lain tidak. Brachystomella
parvula dan Proisotoma gisini populasinya
jauh lebih banyak pada tanah yang dibakar, sedangkan Bilobella aurantica dan Stenaphorura
quadrispina hanya ditemukan pada tanah yang tidak dibakar.. Collett (1998) melaporkan bahwa populasi
Collembola menurun sedikit setelah pembakaran pertama (Tahun 1987), namun tidak
terjadi perubahan diantara pembakaran pertama dan kedua (1997-1992) kemudian
sedikit meningkat setelah pembakaran kedua (tahun 1992).
KESIMPULAN
1.
Lingkungan fisik yang mengalami gangguan akibat sistem tebas bakar
terjadi pada lapisan 0-10 cm yaitu bobot isi tanah meningkat, porositas makro
berkurang dan kelembaban tanah menurun.
2. Lingkungan kimia yang
mengalami perubahan akibat pembakaran yaitu peningkatan pH, basa-basa dapat
ditukar, dan P tersedia, namun terjadi penurunan jumlah kandungan c-0rganik.
3.
Perubahan kimia tanah
bersifat temporal tergantung pengelolaan lahan selanjutnya setelah pembakaran
4. Pengaruh langsung
pembakaran pada lapisan dimana pembakaran terjadi penting bagi mikroorganisme,
sedangkan bagi makroorganisme dampak pada pasca pembakaran lebih berpengaruh.
5.
Respon mikroorganisme
terhadap perubahan lingkungan akibat pembakaran bervariasi dan umunya terjadi
pada kedalaman 0-5 cm. Barkeri dan
actinomycetes lebih tahan terhadap suhu panas dibandingkan fungi, sehingga
waktu emulihan yang dibutuhkan fungi lebih lama ( 30 hari) dibandingkan bakteri
dan actinomycetes (20 hari).
6.
Sistem tebas bakar kurang
berpengaruh terhadap populasi cacing
tanah dan collembola, namun berpengaruh nyata terhadap jumlah species
collembola.
7.
Pembakarn memberikan dampak
negatif produksi biomassa mikrobial (Cmic)
dan aktivitas enzym terutama dalam
jangka panjang, apabila lahan tidak dikelola dengan baik pada pasca pembakaran.
Alegre, J.C., and D.K. Cassel. 1996. Dynamics of soil
physical properties under alternative systems to slash and burn. Agricultural Ecosystems and Environment
58:39-48.
Alternative
to Slash and Burn in Indonesia.
1998. Summary report and
synthesis of phase II ASB-Indonesia report Number 8, Bogor.
Baath, E., A. Frostegard, T. Penanapen, and H.
Fritze. 1995. Microbial community structure and pH response in relation to soil
organic matter quality in wood-ash fertilizerd, clear-cut or burned coniferous
forest soil. Soil Biology and Biochemistry
27:229-240.
Balck, H.I.J., and M.J.N. Okwakol. 1997.
Agricultural intensification, soil biodiversity and agroecosystem
function in tropics : the role of termite.
Applied Soil Ecology 6:37-53.
Bolton, H.,Jr., J.K. fredricson, and L.F. Ellion. 1992. Microbial ecology of rhizosphere.
p:27-64. In. Metting, F.B.Jr.
(eds). Soil Microbial Ecology:
Application.vinAgricultural and Environment Management. Marcel Dekker, Inc., New York
Brady, N.C.
1996 Alternatives to slash and
burnt: a global imperative.
Agricultural Ecosystems and Environment 58:3-11.
Collett, N.G., F.G. Neumann and K.G. Tolhurst. 1993.
Effects of two short rotation prescribed fires in spring on
surface-active arhropods and earthworms in dry sclerophyl eucalypt forest of
west-central Victoria. Australian
Forest 56(1): 49-60.
Collett, N.G.
1998. Effect of two short
rotation prescribed fires in autumn on surface-active arhropods in dry
sclerophyl eucalypt forest of west-central Victoria. orest Ecology anf Management 107:253-273.
Dias, A.C.C.P., and S. Nortcliff. 1985.
Effect of two land clearing methods on the physical properties of an
Oxisol in Brazillian Amazon. Tropical agric.
(Trinidad) Vol 62 No 3:207-212.
Djunaedi. 1999.
Pengaruh Tebas Bakar terhadap
Populasi dan Aktivitas Organisme Tanah.
Thesis Program Pasca Sarjana. IPB, Bogor.
Deka, H.K., and R.R. Mishra. 1983. The effect of slash
and burn on soil microflora. Plant and
Soil 73:167-175.
Dumontet, S., H.
Dinel, A. Scopa, A. Mazzatura, and A.
Saracino. 1996. Post-fire
sol microbial biomass and nutrient content of a pine forest soil from a dunal
mediterranean envirnment. Soil Biology
and Biochemistry 28:1467-1475.
Eivazi, F and M.R. bayan. 1996. Effect of
long-term prescribed burning on the activity of select soil enzymes in a
oak-hickory forest. Canadian Journal of
Forest Research 26:1799-1804.
Fonturbel, M.T., J. A. Vega, S. Bara, and I. Bernardez. 1995. Influence of prescribed burning of pine
stands in NW Spain on soil microorganisms.
Eur. J. Soil Biol. 31(1):13-20.
Fragoso, C., G.G. Brown, J.C. Patron, E. Blanchart, P.
Lavelle, B. Pashanasi, B. Senapati, and T. Kumar. 1997. Agricultural
intensification, soil biodiversity and agroecosystem function in tropics : the
role of earthworms. Applied Soil
Ecology 6:17-35.
Fujisaka, S., W. Bell, N. Thomas, L. Hurtado, and E.
Crawford. 1996. Slash and burn agriculture, conservation to
pasture, and deforestation in two Brazilian Amazon colonies. Agricultural Ecosystems and Environment
59:115-130.
Harris, P.A., H.H. Schomberg, P.A. Banks, and J.
Giddens. 1994. Burning, tillage and herbicide effects on
the soil microflora in wheat-soybean double-crop system. Soil Biology and Biochemistry 27(2):153-156.
Juo, A.S.R., and A. Manu. 1996. Chemical dynamics
in slash and agriculturae. Agricultural
Ecosystems and Environment 58:49-60..
Jou, A.S.R., K. Franzluebbers, A. Dabiri, and B.
Ikhile. 1995. Change in soil properties during long-term fallow and continuous
cultivation after forest clearing in Nigeria.
Agricultural Ecosystems and Environment 56:9-18.
Khanna, P.K., R.J. Raison, R.A. Falkiner, J.
Bengtsson.(ed.) and H. Lundkvist.
1994. Chemical properties af ash
derived from Eucalyptus litter and
its effects on forest soils. Forest
Ecology anf Management 66:107-125.
Killham, K.
1994. Soil ecology. Cambridge University Press.
Lessa, A.S.N., D.W. anderson, J.O. Moir. 1996.
Fine root mineralization, soil organic matter and exchangeable cation
dynamics in slash and burn agriculture in the semi arid northeast of
Brazil. Agricultural Ecosystems and
Environment 59:191-202.
Lopes, C.M., and M.M.
da Gama. 1994. The efect of fire on
collembola populations of Mata da Margaraca (Portugal). Eur. J. Soil Biol. 30(3):133-141.
Metting, F.B.Jr.
1992. Structure and
Physiological Ecology of soil microbial communities. p:3-26. In. Metting, F.B.Jr. (eds). Soil Microbial Ecology:
Application.vinAgricultural and Environment Management. Marcel Dekker, Inc., New York
Miller, F.C.
1992. composting as a process
based on the control of ecologically selective factors. p:515-544.
In. Metting, F.B.Jr. (eds).
Soil Microbial Ecology: Application.vinAgricultural and Environment
Management. Marcel Dekker, Inc., New
York
Palm, C.A., M.J. Swift, and P.L. Woomer. 1996
Soil biological dynamics in slash and burn agriculture. Agricultural Ecosystems and Environment 58:61-74.
Pietikainen, J., and H. Fritze. 1994. Clear-cutting and
prescribed burning in coniferous forest: comparason of two effects on soil
fungal and total mikrobial biomass respiration activity and nitrification. Soil Biology and Biochemistry.
27(1):101-109.
Reuler, H.V., and B.H. Janssen. 1993. Nutrient fluxes in
the shifting cultivation system of south-west Cote d’Ivoire. Plant and Soil 154:169-177.
Roder, W., S. Phengchanh, S. Maniphone. 1997.
Dynamics of soil and vegetation during crop and fallow period in slash
and burn fields of northern Laos.
Geoderma 76:131-144.
Tinker, P.B., J.S.I. Ingram, and S. Struwe. 1996
Effects of slash and burn agriculture and deforestation on climate
change. Agricultural Ecosystems and
Environment 58:13-22.