© 2002 Muh. Hatta                                                                                  Posted:  10 January 2002

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Januari 2002

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

 

 

HUBUNGAN ANTARA KLOROFIL-a DAN IKAN PELAGIS DENGAN KONDISI OSEANOGRAFI

DI PERAIRAN UTARA IRIAN JAYA

 

Oleh:

 

Muh. Hatta

C626010011/IKL

E-mail: hattaikl@yahoo.com

 

PENDAHULUAN

Klorofil-a merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di laut.  Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi oseanografis  suatu perairan. Beberapa parameter fisik-kimia yang mengontrol dan mempengaruhi sebaran klorofil-a, adalah intensitas cahaya, nutrien (terutama nitrat, fosfat dan silikat). Perbedaan parameter fisika-kimia tersebut secara langsung merupakan penyebab bervariasinya produktivitas primer di beberapa tempat di laut. Selain itu “grazing” juga memiliki peran besar dalam mengontrol konsentrasi klorofil-a di laut (Sverdrup et al., 1961; Riley dan Skirrow,  1975; Levinton, 1982; Parsons et al., 1984; Mann dan Lazier, 1991).

Umumnya sebaran konsentrasi klorofil-a tinggi di perairan pantai sebagai akibat dari tingginya suplai nutrien yang berasal dari daratan melalui limpasan air sungai, dan sebaliknya cenderung rendah di daerah lepas pantai.  Meskipun demikian pada beberapa tempat masih ditemukan konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi, meskipun jauh dari daratan.  Keadaan tersebut disebabkan oleh adanya proses sirkulasi massa air yang memungkinkan terangkutnya sejumlah nutrien dari tempat lain, seperti yang terjadi pada daerah upwelling.

Sejauh ini telah diketahui eratnya kaitan antara konsentrasi klorofil-a dan produktivitas primer dengan kondisi oseanografi. Di antara beberapa parameter fisika-kimia tersebut ada yang belum diketahui secara pasti parameter oseanografi mana yang memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap distribusi klorofil-a dan ikan pelagis. Khususnya pada lokasi dan waktu tertentu, kajian yang melihat secara simultan beberapa parameter oseanografi dan kaitannya dengan klorofil-a dan ikan pelagis masih sangat terbatas.

Perairan Utara Irian Jaya merupakan perairan yang memilki karakteristik massa air yang agak berbeda dengan perairan wilayah Indonesia lainnya. Hal ini disebabkan oleh letak geografis perairan tersebut yang berdekatan dan lebih terbuka dengan Samudra Pasifik.  Pada musim timur kondisi oseanografis perairan ini banyak dipengaruhi oleh massa air dari Samudra Pasifik (Wyrtki, 1961; Tchernia, 1980).  Hal ini kemungkinan berpengaruh besar terhadap sebaran klorofil-a dan ikan pelagis di wilayah tersebut. Perairan ini juga dikenal sebagai salah satu daerah penangkapan ikan, terutama ikan-ikan pelagis. 

Keterkaitan antara sebaran klorofil-a dan ikan pelagis dengan beberapa parameter oseanografi (fisika-kimia dan biologi) sangat penting untuk diketahui guna mengidentifikasi parameter fisika-kimia yang memiliki peranan besar terhadap sebaran klorofil-a dan ikan pelagis pada musim tertentu, serta mengetahui karakteristik massa air di daerah itu. Hal itu bermanfaat dalam memberikan informasi mengenai pola sebaran klorofil-a, ikan pelagis dan karakteristik fisika-kimia di Perairan Utara Irian Jaya. Informasi itu dapat dimanfaatkan dalam upaya pengembangan pengelolaan sumberdaya perairan. Khususnya bagi industri penangkapan, informasi itu dapat digunakan sebagai salah satu petunjuk untuk memudahkan menentukan daerah penangkapan pada musim tertentu.

Kenyataan bahwa perairan yang memiliki karakteristik massa air (kondisi oseanografis) yang berbeda cenderung memiliki parameter biologi yang berbeda pula, menguatkan dugaan bahwa klorofil-a dan ikan pelagis (parameter biologi) terkait dengan parameter fisika-kimia perairan.  Masalah uatama yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah bagaimana menjelaskan saling keterkaitan parameter-parameter oseanografi dan parameter mana yang memiliki pengaruh yang kuat terhadap sebaran klorofil-a dan ikan pelagis. Bertolak dari masalah tersebut maka diduga sementara (hipotesis) bahwa : (1) Sebaran klorofil-a dan ikan pelagis sangat erat kaitannya dengan kedalaman lapisan tercampur dan termoklin dan pengaruh parameter oseanografi terhadap klorofil-a berbeda berdasarkan kedalaman: (2) Parameter kimia (nutrien) pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan parameter lainnya terhadap kelimpahan fitoplankaton dan klorofil-a.

Untuk menguji hipotesis tersebut maka akan digunakan data yang meliputi parameter fisika, kimia dan biologi hasil survey yang dilakukan oleh KAL Baruna Jaya I. Lokasi survey dan letak stasiun ditunjukkan dalam Gambar 1.  Data tersebut selanjutnya diolah dengan menggunakan sejumlah perangkat lunak (MS Exel, Surfer 6.0, SPSS Release 10.0.5, dan Stat Itcf) untuk mengetahui karakter massa air, gambaran sebaran dan hubungan antar parameter. Untuk mengetahui keterkaitan antar beberapa parameter dan mengidentifikasi parameter yang signifikan mempengaruhi sebaran klorofil-a dan ikan pelagis, maka dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan analisis multivariet “Diskriminan Analisis” (Legendre dan  Legendre,  1983; Johnson dan Wichern, 1988; dan Bengen, 1999)  Untuk melihat hubungan linier antar dua parameter dilakukan regresi linier sederhana (Kleinbaum et al., 1988; dan Zar,  1984)

 

Gambar 1.  Peta Lokasi Stasiun Pengambilan Sampel pada Musim Timur di Perairan Utara Irian Jaya

 

 

KONDISI OSEANOGRAFI

Parameter Fisika

Kondisi oseanografi perairan Utara Irian Jaya pada musim timur dilihat dari beberapa parameter fisika (suhu, salinitas, dan densitas) menunjukkan adanya pengaruh aliran massa air yang dominan dari Samudra Pasifik bagian Selatan.  Hal itu ditandai dari karakter massa air yang relatif lebih hangat, lebih asin dan densitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan perairan lain di Indonesia. Suhu  permukaan berkisar antara 28.42–29.96 oC dengan rata-rata 29.02 oC.  Suhu maksimum permukaan mencapai 29.96 oC sedangkan suhu minimum pada kedalaman 1000 meter mencapai  4.31 oC. Rata-rata suhu, salinitas dan densitas pada beberapa kedalaman standar disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata ± Standar Deviasi Suhu, Salinitas dan Densitas pada Beberapa Kedalaman Standar di Perairan Utara Irian Jaya  Selama Musim Timur

 

Kedalaman  (meter)

Suhu (oC)

Salinitas (‰)

Densitas (Sigma-t)

0

29.02 ± 0.32

34.186 ± 0.337

21.46 ± 0.27

25

28.84 ± 0.21

34.311 ± 0.117

21.60 ± 0.10

50

28.39 ± 0.49

34.424 ± 0.105

21.83 ± 0.21

75

26.96 ± 0.78

34.650 ± 0.142

22.48 ± 0.31

100

24.36 ± 1.06

34.854 ± 0.198

23.44 ± 0.32

150

18.93 ± 1.59

35.025 ± 0.266

25.06 ± 0.27

200

14.59 ± 1.22

34.801 ± 0.211

25.89 ± 0.16

250

12.25 ± 1.23

34.728 ± 0.183

26.31 ± 0.14

300

11.31 ± 1.02

34.756 ±  0.145

26.52 ± 0.11

400

9.43 ± 0.52

34.694 ± 0.044

26.80 ± 0.05

600

6.92 ± 0.49

34.571 ± 0.019

27.06 ± 0.16

800

5.50 ± 0.32

34.552 ± 0.012

27.23 ±0.17

1000

4.57 ± 0.42

34.571 ± 0.008

27.36 ± 0.17

 

Di permukaan terdapat lapisan tipis dengan suhu relatif homogen yang disebut dengan lapisan tercampur.  Di bawah lapisan tercampur merupakan lapisan termoklin dimana terjadi penurunan suhu yang sangat tajam dengan meningkatnya kedalaman. Ketebalan lapisan ini relatif lebih tinggi di sebelah barat dibandingkan dengan di sebelah timur. Tebal lapisan tercampur yang juga nerupakan kedalaman batas atas lapisan termoklin. Kedalaman lapisan ini berkisar antara 210-370 meter dengan rata -rata ketebalan mencapai 253 meter.

Salinitas perairan yang terukur dari permukaan hingga kedalaman 1000 meter berkisar antara 33.030–35.958 ‰ dengan rata-rata 34.633 ‰. Lapisan salinitas maksimum berada pada kedalaman antara 100 sampai 200 meter. Densitas (sigma-t) air laut tercatat berkisar antara 20.62 – 27.43 dengan rata-rata 26.17. Sebagai fungsi dari suhu dan salinitas, maka nilai sigma-t ini sangat ditentukan oleh kedua parameter tersebut yaitu suhu dan salinitas.

Pola sebaran mendata suhu dan salinitas yang cenderung semakin menurun ke arah barat terjadi akibat adanya percampuran massa air Samudra Pasifik Selatan yang lebih salin dan lebih hangat dengan massa air perairan Indonesia yang relatif lebih dingin dan lebih tawar.  Percampuran ini terutama disebabkan oleh adanya arus permukaan karena penguruh musson.  Pada musim timur arus dari Samudra Pasifik relatif kuat mengalir masuk ke perairan Indonesia.  Akibatnya adalah terbentuknya gradasi penurunan suhu dan salinitas yang sangat menyolok dari timur ke barat dengan karakter yang lebih asin dan hangat dibandingkan dengan massa air lainnya yang mendapat suplai massa air dari Samudra Pasifik Utara seperti di Halmahera dan Selat Makassar.

Parameter Kimia

Parameter kimia yang terukur meliputi kadar oksigen terlarut (DO) dan beberapa kadar nutrien seperti : Fosfat (PO4), Nitrat (NO3) dan Silikat (SiOH4).  Data hasil pengukuran pada beberapa kedalaman standar ditunjukkan dalam Tabel 2..

 

Tabel 2.  Rata-rata ± Standard Deviasi Kadar Oksigen terlarut (DO), Fosfat (PO4), Nitrat (NO3) dan Silikat (SiOH4)

              pada Beberapa Kedalaman Standar di Perairan Utara Irian Jaya  Selama Musim Timur

 

Kedalaman (meter)

Kadar DO (ml/l)

Kadar PO4

(mg-A/l)

Kadar NO3

(mg-A/l)

Kadar SiOH4

(mg-A/l)

0

4.38 ± 0.10

0.35 ± 0.17

0.50 ± 0.47

3.59 ± 2.31

25

4.39 ± 0.06

0.38 ± 0.10

0.94 ± 1.26

5.12 ± 5.23

50

4.29 ± 0.09

0.51 ± 0.17

1.89 ± 1.72

6.50 ± 5.33

75

3.82 ± 0.35

0.73 ± 0.22

5.28 ± 3.36

9.02 ± 5.58

100

2.99 ± 0.26

0.93 ± 0.23

10.74 ± 4.28

14.09 ± 7.37

150

3.19 ± 0.20

1.23 ± 0.23

15.33 ± 4.27

19.49 ± 6.79

200

3.03 ± 0.11

1.45 ± 0.23

19.05 ± 3.65

26.04 ± 6.91

250

2.90 ± 0.17

1.69 ± 0.23

23.11 ± 2.81

33.04 ± 7.53

300

2.82 ± 0.19

1.92 ± 0.22

25.51 ± 3.04

37.30 ± 7.93

400

2.67 ± 0.25

2.14 ± 0.23

28.92 ± 3.03

44.72 ±10.37

600

2.55 ± 0.15

2.51 ± 0.23

32.09 ± 2.97

56.00 ± 13.68

800

2.40 ± 0.07

2.79 ± 0.29

34.70 ± 3.56

72.04 ± 9.15

1000

2.26 ± 0.05

2.87 ± 0.29

36.09 ±3.81

75.56 ± 8.47

 

Kadar oksigen terlarut (DO) di Perairan Utara Irian Jaya berkisar antara 2.12–4.51 ml/l dengan rata-rata 3.17 ml/l. Nilai maksimum tercatat pada lapisan tercampur kemudian mengalami penurunan yang sangat tajam hingga kedalaman 100 meter dan kemudian kembali meningkat pada kedalaman sekitar 150 meter.

Konsentrasi fosfat yang terukur berkisar antara 0.02–3.39 mg-A/l dengan rata-rata 1.53 mg-A/l.  Sebaran menegak fosfat hampir sama antar transek, dari permukaan sampai kedalaman 1000 meter dimana meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Sebaran melintang fosfat menunjukkan bahwa kadar fosfat di pantai lebih tinggi dibandingkan dengan di lepas pantai. Kadar fosfat yang lebih tinggi di pantai dibandingkan dengan di lepas pantai disebabkan oleh pengaruh masukan dari daratan melalui “runoff”. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Riley dan Skirrow (1975) bahwa variasi kadar nutrien (fosfat, nitrat dan silikat) di laut sangat banyak dipengaruhi oleh proses geofisik dan geokimia. Proses geofisik sangat mempengaruhi masuknya nutrien dari darat melalui alran air sungai.

Kadar nitrat yang terukur berkisar antara 0.19 mg-A/l di permukaan sampai dengan 40.94 mg-A/l pada kedalaman 1000 meter. Pola sebaran menegak dan mendatara nitrat hampir sama dengan sebaran fosfat.

Kadar silikat yang terukur berkisar antara 0.83-91.34 mg-A/l. Pola penyebaranan mendatar dan menegak silikat hampir sama dengan  kedua nutrien lainnya yakni fosfat dan nitrat.  Kemiripan ketiga jenis nutrien ini terutama disebabkan oleh sumber massa air yang sama dimana dominan berasal dari massa air Pasifik Selartan.

Parameter Biologi

Data plankton hasil survei K.AL. Baruna Jaya I meliputi volume endapan fitoplankton dan volume pindahan basah zooplankton masing-masing dalam satuan cc/1000 m3. Volume endapan fitoplankton berkisar antara 259 cc/1000 m3 sampai dengan 1361 cc/1000 m3 dengan rata-rata 689.87 ± 237.95 cc/1000 m3. Sedangkan volume pindahan basah zooplankton berkisar antara 23-182 cc/1000 m3 dengan rata-rata  85.26 ± 47.35 cc/1000 m3.

            Volume endapan fitoplankton yang tinggi ditemukan pada daerah sebelah tenggara dan sebelah barat daya (Gambar 2).  Di Stasiun 3 Transek 1 pada posisi 1o20’02” Lintang Utara dan 130o29’58” Bujur Timur memiliki nilai tertinggi 1361 cc/1000 m3.  Dari garis kontur 650 cc/1000 m3 yang meliputi sebagian besar wilayah penelitian, nampak bahwa di stasiun-stasiun yang terletak dekat ke pantai dan stasiun yang terlalu jauh di lepas pantai memiliki volume endapan fitoplankton yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan di stasiun-stasiun diantara keduanya (di tengah) dalam satu transek.  Jadi volume endapan fitoplankton yang relatif besar melintasi tengah bidang transek dari arah timur ke barat.

Berbeda dengan sebaran volume endapan fitoplankton, pada zooplankton tampak penyebarannya cenderung lebih besar di sebelah barat dan terkonsentrasi di sekitar Stasiun 23 dan 29 (Gqambar 3).  Volume yang rendah menyebar di sepanjang Transek 3, dan stasiun-stasiun luar Transek 4. Sebaran fitoplankton dan zooplankton agak mirip, hal ini disebabkan karena fitoplankton merupakan makanan dari zooplankton. 

 

Gambar 2. Sebaran Mendatar Volume Endapan Fitoplankton (cc/1000 m3) di Perairan Utara Irian Jaya Selama Musim Timur

 

Gambar 3.  Sebaran Mendatar Volume Pindahan Basah Zooplankton (cc/1000 m3) di Perairan Utara Irian Jaya Selama Musim Timur

 

Rata-rata volume endapan fitoplankton yang lebih tinggi di sepanjang transek 1 terlihat juga dalam sebaran volume pindahan basah zooplankton. Hubungan pemangsaan ini sangat banyak dan sering ditemukan pada berbegai tempat lain di seluruh duania (Valiela, 1984; Sharples et al., 2001; dan Ning et al., 2000). Hasil regresi (Sperman Rank Correlation) bahwa volume endapan fitoplankton nyata (P<0.05) berkorelasi linier hanya dengan klorofil-a di permukaan dan tidak berkorelasi linier (P>0.05) dengan volume endapan fitoplankton  pada kedalaman 100 dan 200 meter.

Kandungan klorofil-a yang terukur pada kedalaman 0, 100, 200, 300 dan 400 meter di Perairan Utara Irian Jaya berkisar antara 0 sampai 0.41 mg/m3 dengan rata-rata 0.07 mg/m3. Sebaran mendatar kandungan klorofil-a pada permukaan dan kedalaman 300 meter ditunjukkan dalam Gambar 4 dan 5.

 

Gambar 4. Sebaran Mendatar Klorofil-a (mg/m3) di Permukaan Perairan Utara Irian Jaya Selama  Musim Timur

 

Gambar 5. Sebaran Mendatar Klorofil-a (mg/m3) di Perairan Utara Irian Jaya Selama Musim Timur pada Kedalaman 100 meter

 

Hasil analisis sidik ragam non parametrik (Kruskall-Wallis) menunjukkan bahwa rata-rata kandungan klorofil-a di permukaan dan 100 meter sangat signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada kedalamamn 200, 300 dan 400 meter. Konsentrasi klorofil-a di lapisan termoklin sangat signifikan lebih tinggi pada bagian atas lapisan termoklin dibanding dengan bagian bawah lapisan termoklin.  Perbedaan ini terutama kemungkinan disebbkan oleh perbedaan intensitas cahaya, dimana semakin menurun dengan semakin bertambahnya kedalaman. Intensitas cahaya yang semakin kecil menyebabkan pertumbuhan fitoplankton semakin lambat dan akhirnya menyebabkan kandungan klorofil-a semakin menurun pula.

 Dari data akustik dan hasil perhitungan didapatkan volume rata-rata kelompok ikan pelagis tertinggi pada kisaran kedalaman 200-300 meter, kemudian 100-200 meter dan 0-100 meter dengan volume kelompok secara berurut 6.1, 4.3 dan 3.0 x 1000 m3. Selanjutnya dari hasil regresi (Spearman Rank Correlation) didapatkan bahwa volume pindahan basah zooplankton, batas bawah termoklin dan volume endapan fitoplankton yang lebih kuat korelasinya dengan rata-rata volume ikan pelagis bila dibandingkan dengan yang lainnya dengan nilai koefisien korelasi secara berurut 0.51, 0.47 dan 0.44. Keeratan hubungan antara jumlah ikan pelagis dengan ketiga parameter tersebut disebabkan karena ikan pelagis yang sifatnya planktovorous (pemakan plankton).  Dengan demikian daerah-daerah dimana banyak plankton (fitoplankton dan zooplankton) maka cenderung banyak didapatkan ikan.  Sementara batas bawah termoklin sangat berkaitan dengan pengaruh fisik densitas air terhadap proses fisiologis dalam tubuh ikan.  Yang sangat penting dari hasil ini adalah menguatkan bahwa memang Perairan Utara Irian Jaya ini merupakan feeding ground (tempat mencari makan) berbagai jenis ikan pelagis.

HUBUNGAN ANTARA KLOROFIL-a DAN KONDISI OSEANOGRAFI

Untuk melihat keterkaitan antara sebaran klorofil-a dengan parameter oseanografi lainnya, maka digunakan analisis diskriminan dengan memilih stasiun sebagai satuan observasi dan parameter oseanografi sebagai variabel.  Dengan analisis ini maka akan diketahui parameter-parameter yang sangat terkait atau berpengaruh dalam membedakan tinggi rendahnya kandungan klorofil-a. Jadi sebelum analisis ini dijalankan, maka terlebih dahulu nilai klorofil-a diklasifikasi atau dikelompokkan berdasarkan nilainya.  Dalam pengelompokan ini digunakan tiga kategori relatif (rendah, sedang dan tinggi) berdasarkan keseluruhan nilai klorofil-a yang dikelompokkan itu. Jadi nilai tiap kategori berbeda tergantung keseluruhan nilai yang di analisis itu. Untuk melihat dengan jelas pengaruh parameter terhadap sebaran mendatar maka analisis dilakukan pada lima kelompok kedalaman dimana data klorofil-a tersedia yaitu  0, 100, 200, 300 dan 400 meter

Klorofil-a di Permukaan

            Seluruh data klorofil-a di permukaan dikelompokkan kedalam tiga kategori (grup) yaitu rendah, sedang dan tinggi dengan kandungan klorofil-a secara berurut < 0.07, 0.07-0.14 dan > 0.14 mg/m3. Parameter yang memiliki nilai rata-rata yang berbeda (P<0.05) antar grup adalah silikat dan ketebalan lapisan tercampur (batas atas lapisan termoklin). Rata-rata kadar silikat berkorelasi positif dengan kandungan klorofil-a, dimana semakin tinggi kadar silikat maka kandungan klorofil semakin tinggi. Meningkatnya tebal lapisan tercampur tidak selamanya diikuti oleh peningkatan kandungan klorofil-a meskipun di daerah yang memiliki klorofil kategori tinggi relatif lebih tebal lapisan tercampurnya dibandingkan dengan daerah yang berklorofil-a rendah.

Hasil analisis diskriminan menunjukkan bahwa kadar silikat dan ketebalan lapisan tercampur sangat berperan besar dalam memisahkan tinggi rendahnya kandungan klorofil-a di permukaan.  Hal ini disebabkan karena silikat merupakan nutrien utama yang dibutuhkan oleh fitoplankton terutama dari golongan diatom untuk pembentukaan cangkangnya. Populasi fitoplankton yang pada umumnya didominasi oleh diatom (Agawin et al., 2000; Clorboe et al., 1988; Gabric dan  Parslow, 1989; dan Mann dan Lazier, 1991).  Dengan demikian tentu kadar silikat dipermukaan jadi faktor pembatas sehingga sangat menentukan tinggi rendahnya populasi fitoplankton yang berkorelasi sangat kuat dengan kandungan klorofil-a.

Peranan tebal lapisan tercampur yang relatif besar menunjukkan bahwa proses mixing di lapisan permukaan sangat erat kaitannya dengan kandungan klorofil-a. Bergolaknya massa air permukaan yang biasanya disebabkan oleh angin, menyebabkan terjadinya percampuran dengan lapisan air di bawahnya. Proses percampuran ini menyebabkan massa air yang di lapisan bawahnya akan terangkat naik ke permukaan. Semakin tebal lapisan tercampur maka kemungkinan terangkatnya nutrien ke lapisan permukaan semakin besar.  Karena kandungan nutrien massa air cenderung semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman, maka mutlak dengan percampuran menyebabkan meningkatnya nutrien ke permukaan.  Nutrien yang tinggi dan didukung dengan intensitas cahaya yang cukup menyebabkan pertumbuhan fitoplankton akan lebih baik. Semakin subur fitoplankton maka kandungan klorofil-a cenderung semakin meningkat.  Akibatnya adalah bahwa kandungan klorofil-a semakin meningkat pula.

 

Klorofil-a pada Kedalaman 100 meter

Klorofil-a pada kedalaman 100 meter dikelompokkan kedalam tiga kategori masing-masing  rendah (<0.07 mg/m3), sedang (7-13 mg/m3), dan tinggi (>13 mg/m3). Tiga parameter yang rata-ratanya signifikan bebeda (P<0.05) antar grup atau kategori relatif kandungan  klorofil-a  Parameter tersebut adalah suhu, densitas (sigma-t) dan fosfat.  Suhu dan fosfat berkorelasi positif dengan klorofil-a, sebaliknya sigma-t berkorelasi negatif dengan klorofil-a. Sigma-t tidak dimasukkan dalam analisis karena berkorelasi kuat dengan suhu. 

Dari hasil analisis diskriminan diketahui bahwa suhu dan densitas sangat berperan besar dalam membedakan tinggi rendahnya kandungan klorofil-a di Perairan Utara Irian Jaya pada kedalaman 100 meter.Hal ini sangat terkait dengan proses fisiologis fitoplankton sebagai sumber utama penghasil klorofil-a.  Berbeda dengan di permukaan, pada kedalaman ini nutrien yang menjadi faktor yang lebih berperan adalah fosfat. Pengaruh fosfat ini diduga sangat terkait erat dengan perbedaan kebutuhan antar spesies fitoplankton terhadap fosfat.

Klorofil-a pada Kedalaman 200 meter

            Dari semua parameter oseanografi yang dianalisis, tidak ada satu pun parameter yang menunjukkan nilai rata-rata yang signifikan berbeda antar kategori klorofil-a yang dikelompokkan kedalam grup rendah, sedang dan tinggi dengan kandungan  klorofil-a secara berurut <0.03, 0.3-0.07 dan >0.07 mg/m3. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi oseanografi yang relatif homogen pada kedalaman ini, sehingga tidak ada yang meberikan pengaruh yang lebih menonjol dibandingkan dengan parameter lainnya terhadap pemisahan tinggi rendahnya kandungan klorofil-a.

Rata-rata klorofil-a pada kedalaman ini drastis menurun sekitar dua kali lipat dari 0.10 ± 0.07 mg/m3 menjadi 0.05 mg/m3.

Klorofil-a pada Kedalaman 300 meter

            Pada kedalaman 300 meter klorofil-a dikelompokkan kedalam kategori rendah, sedang dan tinggi dengan nilai klorofil-a secara berurut masing-masing <0.03, 0.03-0.05 dan >0.05 mg/m3. Parameter yang mempunyai rata-rata yang signifikan berbeda antar kategori adalah volume pindahan basah zooplankton, nitrat dan silikat. Melihat hasil seperti itu bukan berarti bahwa mutlak ketiga parameter itu yang berpengaruh besar terhadap tinggi rendahnya klorofil-a.  Nutrien pada kedalaman ini jelas tidak akan lagi mempengaruhi tinggi rendahnya klorofil-a karena dalam kondisi konsentrasinya berlebih. Meskipun nilai rata-rata nutrien (nitrat, fosfat dan silikat) menunjukkan perbedaan antar group namun karena dengan kadar yang dapat dikatakan berlebih pada kedalaman ini maka dapat dipastikan bahwa kalaupun klorofil-a berbeda sama sekali bukan karena perbedaan nutrien tersebut.  Dengan demikian sangat mungkin terjadi adanya faktor lain yang berpengaruh besar terhadap kadar nitrat dan silikat.

                Hasil menarik yang didapatkan dari analisis diskriminan adalah volume zooplankton yang nampak begitu besar peranannya dalam pembentukan sumbu diskriminan.  Karena diketahui dengan pasti bahwa hubungan ekologis yang terjadi antara fitoplankton dengan zooplankton adalah hubungan pemangsaan, dimana zooplankton yang memangsa fitoplankton.  Sehubungan dengan itu, semakin tinggi rata-rata volume endapan zooplankton dengan semakin tingginya rata-rata klorofil-a, bukanlah berarti zooplankton yang tinggi menyebabkan fitoplankton yang tinggi sehingga klorofil-a tinggi.  Sebaliknya yang terjadi adalah volume zooplankton semakin tinggi karena fitoplankton yang semakin tinggi dengan asumsi bahwa fitoplankton merupakan gambaran dan proporsional dengan klorofil-a.

            Dibandingkan dengan kandungan klorofil-a pada lapisan di atasnya, maka terlihat adanya perbedaan yang menyolok dengan yang terjadi pada kedalaman ini.  Perbedaan itu adalah bahwa pada lepaisan di atasnya konsentrasi klorofil-a lebih dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia, sedangkan pada kedalaman ini lebih dipengaruhi oleh faktor biologi yakni kontrol zooplankton.

Klorofil-a pada Kedalaman 400 meter

Hasil analisis diskriminan klorofil-a pada kedalaman 400 meter menunjukkan bahwa tidak ada satupun parameter yang menunjukkan nilai rata-rata  yang nyata berbeda antara tiga kategori kandungan klorofil-a.  Hasil ini menunjukkan bahwa pada kedalaman 400 meter parameter-parameter oseanografi relatif homogen di antara stasiun. Hal utama yang menyebabkan sehingga hasil diperoleh demikian adalah karena pada kedalaman 400 meter ini sudah merupakan lapisan yang tidak menunjang lagi untuk pertumbuhan fitoplankton akibat cahaya yang sangat rendah.  Dengan demikian bagaimanapun beragamanya parameter oseanografi pengaruhnya tetap saja sama terhadap kandungan klorofil-a.

 

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

            Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal antara lain :

a.       Sebaran klorofil-a dan ikan pelagis berkaitan erat dengan parameter oseanografi. Pengaruh parameter oseanografi terhadap sebaran klorofil-a berbeda berdasarkan kedalaman. Kedalaman lapisan tercampur dan lapisan termoklin berkaitan erat dengan sebaran mendatar dan vertikal klorofil-a dan ikan pelagis.

b.      Peranan parameter kimia (nutrien) terhadap sebaran fitoplankton dan klorofil-a tidak selamanya lebih besar dibandingkan dengan parameter lainnya untuk semua kedalaman.  Pada kedalaman 100 meter suhu (faktor fisika) yang lebih besar pengaruhnya, sedangkan pada kedalaman 300 meter justru peranan parameter biologis zooplankton yang lebih besar pengaruhnya terhadap sebaran klorofil-a.

c.       Sebaran ikan pelagis sangat terkait dengan kedalaman batas bawah lapisan termoklin dan kelimpahan makanan (volume fitoplankton dan zooplankton).  Volume ikan pelagis cenderung tinggi pada daerah yang kelimpahan planktonnya tinggi.  Ikan pelagis kecil pada kedalaman 0-200 meter banyak menyebar di sebelah barat sedangkan ikan pelagis yang lebih besar (tuna) banyak menyebar di sebelah timur.

Saran

            Untuk mengetahui lebih jauh parameter oseanografi mana yang paling berpengaruh terhadap sebaran klorofil-a dan ikan pelagis pada waktu dan tempat tertentu maka disarankan agar dilakukan survei yang sama dengan frekuensi yang lebih sering dalam satu tahun. Dan sebaiknya selama sampling dilakukan penangkapan dan diidentifikasi jenis ikan dan isi lambung, dan sedapat mungkin titik sampling berdasarkan kedalaman untuk ikan bersesuaian dengan plankton dan klorofil-a. Sebaiknya dilakukan penelitian yang sama pada Musim Barat untuk pembanding penelitian ini, dan sebaiknya sebaran stasiunnya mendekati sebaran stasiun dalam penelitian ini

Untuk pengelolaan sumberdaya perikanan pada berbagai wilayah perairan lainnya, sebaiknya dalam menentukan produktivitas melalui kandungan klorofil-a mengidentifikasi parameter oseanografi mana yang lebih besar peranannya, terutama terkait dengan kedalaman.  Hal ini tentu erat kaitannya dengan karakteristik masing-masing perairan.

DAFTAR PUSTAKA

 

Agawin, N. S. R,  C. M. Duarte,  dan S. Agusti.,  2000.  Nutrien and Temperature Control of The Contribution of Picoplankton to Phytoplankton Biomass and Production. J. Limn. and Oceanogr., 45 (3): 591-600.

 

Bengen, D.G.  1999.  Analisis Statistik, Multivariabel/Multidimensi.  Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.  Bogor.

 

BPPT,  1992.  Penentuan Potensi Pelagis dan Karakteristik Lingkungan Perairan Utara Irian Jaya.  Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Puslitbang Oseanologi-LIPI.  Jakarta.

 

Clorboe, T,  P. Munk,  K. Richardson,  V. Christensen, dan H. Paulse.,  1988.  Plankton Dynamic and Survival in A Frontal Area

 

Dickson, M. L,  dan  P. A.  Wheeler.   1993.  Chlorophyll a Concentration in The North Pacific: Does a Latitudinal Gradient Exist.

 

Gabric, A. J, dan  J.  Parslow.  1989.  Effect of Physical Factors on the Vertical Distribution of Phytoplankton Eutrophyc Coastal Water.  Aust. J. Mar. Freshwater Resc., 40: 559-69

 

Johnson, R. A., dan D. W. Wichern., 1988. Applied Multivariate Statistical Analisis. 2nd Edition.  Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.

 

Kleinbaum, D. G., L. L. Kupper, dan K. E. Muller.,  1988.  Applied Regression Analysis and Other Multivariabel Methods.  2nd Edition.  PWS-KENT Publishing Company. Boston.

 

Legendre, L, dan P. Legendre.  1983.  Numerical Ecology.  Elsevier Scientific Publishing Company.

 

Mann, K. H, dan  J.R.N. Lazier.,  1991. Dynamics of Marine Ecosystems, Biological-Physical Interactions in the Ocean.  Balckwell Scientific Publications.  Boston.

 

Ning, X,  J. E. Cloern, dan B. E. Cole., 2000.  Spatial and Temporal Variability of Picocyanobacteria Synechococcus sp. In San Fransisco Bay. J. Limn. and Oceanogr., 45 (3): 695-702.

 

Parsons,  T. R, M. Takahashi, dan B. Hargrave.  1984. Biological Oceanographyc Processes.  Pergamon Press.  3rd Edition.  New York-Toronto.

 

Riley, J. P, dan G. Skirrow.,  1975.  Chemical Oceanography. Vol. 2, 2nd Edition. Academic Press.  New York.

 

Sharples, J, C. M. Moore, T. P. Rippeth, P. M. Holligan, D. J. Hydes, N. R. Fisher, dan J. H. Simpson.  2001.  Phytoplankton Distribution and Survival in The Thermocline. J. Limn. and Oceanogr., 46 (3): 486-496.

 

Sverdrup,  H. U,  M. W. Johnson,  dan R. H. Fleming.  1961.  The Ocean, Their Physisc, Chemistry and General Biologi.  Prentice-Hall, Englewood Cliffs.  New Jersey.

 

Tchernia, P. 1980. Descriptive Regional Oceanography. Pergamon Press Ltd. New York.

 

Valiela, I.  1984.  Marine Ecological Processes.  Springer-Verlag. New York, USA.

  

Wyrtki,  K. 1961.  Physical Oceanography of The South East Asian Waters.  Naga Report.  Vol. 2.  Scripps Institution of Oceanography.  The University of California.  La Jolla.  California.

 

Zar, J. H.,  1984. Biostatistical Analysis. 2nd Edition. Prentice-Hal International, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.