© 2001
Muhammad Taufik Posted: 23
Nov. 2001 [rudyct]
Makalah Falsafah Sains (PPs
702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
November 2001
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
(Penanggung Jawab)
Sebuah Pemikiran
Tentang Pengendalian Hama Penggerek
Buah Kakao (Conopomorpha cramerella (Snellen)) Di Sulawesi
Tenggara
Oleh:
Muhammad Taufik
A426010081
E-mail: taufik24@yahoo.com
Kakao merupakan salah satu komoditas
unggulan bagi masyarakat Sulawesi Tenggara dan secara nasional propinsi
Sulawesi Tenggara termasuk sentra pertanaman kakao di Indonesia. Sehingga di
daerah ini pertanaman kakao mengalami perkembangan yang pesat dari segi
pertambahan areal tanam. Hal ini dibuktikan dengan bertambahnya areal tanam di
kabupaten lainnya seperti Buton, Kendari, dan Muna yang pada awalnya hanya di tanam di kabupaten Kolaka. Sampai pada
tahun 1999, luas pertanaman kakao di Sulawesi Tenggara telah mencapai
109.516,70 ha, dengan produksi 71.491, 48 ton (Tabel 1). Akibatnya diduga telah
terbentuk jalur kakao (cacao belt) yaitu pertanaman kakao yang sambung
menyambung pada hamparan yang sangat luas. Hal ini mengandung resiko kerugian
oleh hama dan penyakit karena pemencaran yang cepat dari tempat awal serangan
(Wardoyo dan Soekirman, 1987).
Seperti yang diuraikan di atas
perluasan perkebunan kakao yang sangat pesat dengan sistem budidaya secara
monokultur memiliki resiko tinggi terhadap eksplosi hama. Apalagi tanaman kakao
memiliki cukup banyak hama. Salah satu hama penting pada pertanaman kakao
adalah hama penggerek buah kakao (PBK), Conopomorpha cramerella
(Snellen)(Lepidoptera : Gracillaridae).
Produksi kakao di Sulawesi Tenggara
mulai terancam dengan adanya serangan penggerek buah kakao (PBK), Conopomorpha
cramerella. Hama ini merupakan hama yang cukup berbahaya, karena dapat
menurunkan produksi sampai 82.2 % (Wardoyo, 1980). Sifat penyebaran hama ini
relatif cepat dan masih sulit dikendalikan (Sulistyowati dan Prawoto, 1993 ;
Sulistyowatu et al. 1995). Sejak tahun 1995 tercatat bahwa hama PBK baru
menyerang kurang lebih 424,8 ha kakao di Sulawesi Tenggara. Tetapi saat ini
luas serangan telah mencapai lebih dari 9.205,25 ha (Tabel 2). Kerugian yang
diakibatkan oleh hama ini di daerah ini ditaksir telah mencapai miliaran
rupiah. Luas dan daerah sebaran ini
akan terus meningkat bila pengendalian yang efektif dan efesien tidak
dilakukan.
Serangga dewasa C. cramerella
meletakan telur pada permukaaan buah, kemudian telur menetas dan larva masuk
secara langsung kedalam buah. Menjelang menjadi pupa, larva membuat lubang dan
kemudian membuat pupa pada permukaan buah, daun segar, cabang pada pohon
daun-daun kering di atas tanah atau bahan apa saja yang dapat dijangkau oleh
larva seperti keranjang dan peralatan lain yang berada di bawah atau dekat pada
tanaman terserang (Pardede et al., 1994). Fenomena serangga seperti ini
memberikan kendala dalam usaha pengendaliannya. Seperti pengendalian dengan
menggunakan insektisida sintesis atau biopestisida untuk mencapai target
sasaran karena larva yang baru menetas langsung masuk kedalam buah. Demikian
pula Pupa ini dibungkus oleh membran yang
resisten terhadap lingkungan luar. Selain itu masa ekspose baik untuk
insektisida sintetik maupun biopestisida pada umumnya relatif singkat. Untuk
insektisida sintesis tentunya dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap ekologi serangga. Dengan demikian
perlu mencari agens pengendali alternatif yang dapat mengendalikan sekaligus dapat mencegah kerusakan
sehingga mampu menekan populasi PBK dan mempertahankan produksi.
Tabel 1. Luas Areal Tanam, Produksi, Produktivitas
dan Jumlah Petani Kakao di Sulawesi Tenggara Tahun 19998
No. |
Kabupaten/Kota |
Luas Areal Tanam (Ha) |
Produksi (ton) |
Produktivitas Kg/Ha |
Jumlah Petani |
1. |
Kota Kendari |
1.342,00 |
149,10 |
198,01 |
1.122 |
2. |
Kendari |
24.990,85 |
5.584,36 |
394,00 |
29.788 |
3. |
Kolaka |
67.815,24 |
57.811,81 |
1.099,64 |
38,511 |
4. |
Muna |
5.379,80 |
1.010,77 |
408,42 |
9.055 |
5. |
Buton |
9.989,31 |
6.905,94 |
1.356,64 |
13.328 |
8
Sumber Dinas
Perkebunan dan Horikultura Propinsi
Sultra (2000)
Tabel 2. Perkembangan
Luas Serangan PBK di Sulawesi Tenggara dari Tahun (1995-2000)8
No. |
Tahun |
Luas
Serangan (Ha) |
Lokasi
serangan |
||
Ringan |
Berat |
Jumlah |
|||
1 |
1995 |
138,50 |
286,00 |
424,80 |
Kolaka |
2 |
1996 |
310,00 |
65,00 |
375,00 |
Kolaka |
3 |
1997 |
700,00 |
504,00 |
1.204,00 |
Kolaka |
4 |
1998 |
330,20 |
10,00 |
340,20 |
Buton |
5 |
1999 |
3.772,80 |
105,80 |
3.878,80 |
Kab.
Kendari, Kolaka, Muna & Buton |
6 |
Mei 2000 |
7.562,75 |
1.642,50 |
9.205,25 |
sda |
8
Sumber Dinas
Perkebunan dan Hortikultura Propinsi
Sultra (2000)
Batasan Pegendalian
Hama Terpadu
Salah
satu alternatif teknologi yang dapat dipilih adalah Pengendalian Hama Terpadu
(PHT). Menurut Stern et al.
(1959) PHT adalah sebagai pengendalian
hama terapan yang mengkombinasikan pengendalian hayati dengan kimiawi. Beberapa
ahli juga mengemukakan salah satu defenisi yaitu Pengendalian hama terapan yang
mengkombinasikan dan mengintegrasikan langkah-langkah biologi dan kimiawi ke
dalam satu kesatuan program pengendalian hama. Pengendalian kimiawi hanya
dipergunakan bilamana dan dimana perlu
saja dan dengan cara sesedikit mungkin merusak faktor-faktor pengatur yang
berguna dari lingkungan. Pengendalian mungkin memanfaatkan parsitoid, predator
dan patogen, juga menggunakan agensia-agensia biotik yang diperbanyak secara buatan atau yang diintroduksikan
(NAS, 1971).
Dari
kajian konsep PHT yang berkembang akhir-akhir ini Waage (1996) mengelompokkan
perkembangan konsep PHT di dunia
menjadi dua paradigma yaitu Pengendalian Hama Terpadu Teknologi dan
Pengendalian Hama Terpadu Ekologi. Menrut Wage paradigma pertama yaitu PHT
teknologi merupakan pengembangan lebih lanjut konsep PHT yang semula dicetuskan
oleh Stern et al (1959). Paradigma ini bertujuan membatasi penggunaan
pestisida sintetik dengan mengenalkan ketentuan Ambang Ekonomi sebagai dasar
penetapan pengendalian dengan pestisida kimia sintetik. Pendekatan ini
mendorong untuk mengganti pestisida
kimia dengan teknologi pengendalian alternatif, yang lebih banyak memanfaatkan
bahan dan metode hayati, termasuk musuh alami hama, pestisida hayati dan feromon.
Dengan pendekatan tersebut aksi dan mekanisme pengendali alami dapat dilindungi
dan dimanfaatkan serta resiko dampak samping terhadap kesehatan dan lingkungan
dapat dikurangi.
Paradigma
PHT kedua yaitu PHT ekologi perkembangannya didorong oleh pengembangan dan
penerapan PHT yang berangkat dari pengertian tentang ekologi lokal hama dan
pengelolaan oleh petani setempat.
Paradigma yang berpusat pada petani ini perlu memanfaatkan pengetahuan,
pengalaman dan kearifan tradisional petani sehingga dapat meningkatkan peran
petani setempat dalam pengembangan metode PHT, dengan menerapkan pendekatan
partisipatoris yaitu proses belajar yang berpusat pada petani.
Di dalam makalah ini akan paparkan
pengendalian PBK dengan konsep PHT dengan dua paradikma diatas dengan berbasis
pada metode pengendalian hayati yaitu penggunaan parasitoid telur, cendawan
entomophaga, dan insektisida botanis.
Pengembangan
Teknologi Parsipatoris (PTP) adalah suatu proses yang memiliki tujuan dan
interaksi kreatif antara komunitas setempat dengan fasilitator dari luar yang
mencakup: Mendapatkan pemahaman bersama tentang ciri utama dan perubahan sistem agroekologi tertentu; Menentukan prioritas
masalah; Melakukan uji coba lokal dengan berbagai pilihan yang berasal baik
dari pengetahuan khas setempat yang dikombinasikan dengan metode yang telah
diuji cobakan ditingkat Peregruan Tinggi dan Balai Penelitian; Meningkatkan
kapasitas petani dalam beruji coba atau memberikan kesempatan petani untuk
melakukan uji coba sendiri; Pada akhirnya dapat meningkatkan komunikasi
antarpetani.
Pendekatan terhadap pengembangan teknologi ini berhubungan
erat dengan proses pengembangan masyarakat umum yang berbasis kemandirian. PTP
juga membantu pengembangan suatu jaringan kerja organisasi desa, untuk
mengintensifkan komunikasi tentang pengujicobaan setempat dan meningkatkan
hubungan organisasi dan institusi terkait yang mendukung. Contoh Implementasi
adalah waktu pengendalian tidak dilakukan oleh individu petani sesuai
keinginannya. Tetapi harus dilaksanakan oleh kelompok taninya dalam waktu,
tempat dan areal yang cukup signifikan sehingga hasil yang diperoleh lebih baik
dibandingkan dengan dilakukan sendiri-sendiri.
Namun
demikian PTP ini tidak dimaksudkan sebagai pengganti penelitian laboratorium
atau uji coba lapangan yang dikelolah oleh peneliti, tetapi suatu proses
pelengkap yang mencakup hubungan antara
pemerintah, perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan komunitas petani dalam
arti yang luas, dalam rangka untuk mengembangkan sistem pengendalian hayati
yang produktif dan terlanjutkan.
Kegiatan dasar dalam proses PTP menurut Reijntjes et
al (1999) dapat dibagi atas 6 tahapan yaitu Memulai; Mencari hal yang bisa
dicoba; Merancang uji coba; Melakukan uji coba; Berbagi hasil; Melanjutkan
proses.
Dengan
menggunakan pendekatan PTP maka disusun tahapan kegiatan yaitu : urutan
kegiatan dimulai dengan memilih daerah
kerja berdasarkan tabel 2 diatas maka prioritas daerah yang dipilih adalah
kabupaten Kolaka, selanjutnya memperkenalkan diri kepada petani, dan
mendiskusikan tentang teknologi yang digunakan, merancang uji coba pengendalian
dengan mengintegrasikan kearifan tradisional yang dimiliki; Melakukan uji coba
pada skala sempit (demplot); mendapatkan hasil yang dapat dilihat langsung oleh
petani kakao; melanjutkan proses tersebut pada skala yang lebih luas.
Diharapkan dengan pola pendekatan PTP terlihat adanya apresiasi yang signifikan
bagi petani kakao terhadap teknologi pengendalian hayati untuk menekan populasi
hama PBK. Bersama dengan petani, hasil yang diperoleh di reevalusi. Setelah
dilakukan perbaikan-perbaikan diharapkan proses ini akan dilanjutkan secara
terus menerus oleh petani yang telah belajar dan membuktikan sendiri apa yang
telah mereka peroleh.
Biologi Hama PBK (Conopomorpha
cramerella (Snellen))
Untuk
membuat suatu formulasi pengendalian maka pengetahuan atau biologi hama PBk
perlu diketahui sehingga pengendalian yang dibuat lebih tepat sasaran. Sesuai
dengan perilaku hama sasaran. Pada makalah ini akan diuraikan sekilas tentang
biologi PBK.
Telur PBK berbentuk lonjong,
permukaaan atas cembung dan permukaan bawahnya rata yang menempel di permukaan
kulit buah. Telur berwarna kekuningan dengan garis-garis berwarna kemerahan
mengelilingi pingir dan bagian atasnya. Telur yang tidak subur berwarna
keputihan. Rerata jumlah telur yang diletakkan setiap kupu-kupu betina adalah
21 butir/hari (Pardede et al.,
1994).
Pada waktu telur menetas, tampaknya
larva muda di dalam kulit telur menggigit kulit telur bagaian bawah kemudian
langsung masuk ke dalam epidermis kulit buah kakao. Jadi larva tidak keluar
dari kulit telur ke udara terbuka. Sifat ini menyebabkan sulitnya larva C.
cramerella dikendalikan dengan insektisida. Lebar kepala yang baru
terbentuk sekitar 0,1 mm dan panjang badannya sekitar 0,8 mm (Pardede et al.,
1994).
Larva dewasa meninggalkan buah dan
menggantungkan dirinya pada air liurnya yang menjadi benang dan turun kebawah
atau berjalan ke daun, cabang atau buah. Di tempat itu larva membentuk pupa
yang berbentuk lonjong dan berwarna
keputihan tembus cahaya. Panjang kokon berukuran sekitar 16 mm dan lebarnya
sekitar 8 mm (Pardede et al. 1994).
Serangga dewasa betina berukuran
panjang sekitar 5,9 mm dan panjang ujung sayapnya sekitar 12,4 mm. Kupu-kupu
jantan berukuran panjang sekitar 5,7 mm dan panjang ujung sayap terentang 12,6
mm (Pardede et al. 1994). Warna kupu-kupu jantan lebih gelap dari kupu-kupu betina (Lim et al .
1982).
Beberapa tanaman selain kakao (Theobroma
cacao ) dilaporkan dapat menjadi inang bagi serangga ini yaitu rambutan (Nephelium
lappaceum), cola acumlnata, namnam Cynometra cauliflora, dan
beberapa jenis tanaman yang termasuk famili Sapindaceae (Entwistle,
1972).
Metode Pengendalian
Metode pengendalian yang akan dipilih adalah
penggunaan parasitoid telur, entmophatogen, bioinsektisida, dan perbaikan
kultur teknis.
Penggunaan Parasitoid Telur (Trichogrammatoidea
spp.)
Sebelum membahas penggunaan Trichogrammatoidea
spp sebagai agens pengendali hayati yang digunakan untuk menegndalikan hama
PBK maka akan diuraikan secara singkat tentang biologi parasitoid ini.
Secara
taksonomi Trichogrammatoidea spp merupakan jenis parasitoid telur yang
termasuk ke dalam famili Trichogrammatidae dari ordo Hymenoptera
(Alba, 1988). Imago serangga ini berukuran kecil, panjang rata-rata 0,27 mm.
Imago jantan berwarna merah tua terang, mata dan ocelli merah tua, antena merah
tua terang, flagella dengan rambut hampir tiga kali lebih panjang dari lebar flagella. Sayap belakang dengan
rumbai-rumbai setae yang panjang. Imago betina berwarna sama dengan serangga
jantan, flagella antena 1,20 kali panjang scape, ovipositor panjangnya sama
dengan tibia belakang (Marwoto et al. 1997). Hasil penelitian Naito dan
Djuarso (1993) menunjukkan bahwa umur Trichogrammatoidea spp bila
dibiakkan pada inang pengganti yaitu telur Corcyra cephalonica umurnya
berkisar 7 hari. Tidak ada perbedaaan daya parasitisme Trichogrammatoidea
spp asal telur Corcyra spp. dengan telur Etiella spp (Djuarso,
1996).
Penggunaan parasitoid telur
(Trichogramma) merupakan salah satu metode didalam pengendalian hayati yang
didefenisikan sebagai penggunaan musuh alami serangga hama, penyakit dan
tumbuhan pengganggu untuk mengurangi
kepadatan populasi (Speight et
al. 1999; Mangundiharjo, 1975). Sejarah
penggunaan Trichogramma untuk mengendalikan hama tanaman telah lama
digunakan. Apalagi ketika Flanders pada tahun 1926 pertama kali mengembangkan
teknik perbanyakan Trichogramma.
Trichogramma telah di introduksi ke negara-negara berkembang dimana
opini pemerintah dan masyarakatnya mendukung pengendalian hayati dengan alasan
ekolgi dan ekonomi, selain itu teknik perbanyaknya dapat dilakukan dalam waktu
yang lama dengan biaya pemeliharaan yang relatif murah yang sangat cocok bagi
negara-negara berkembang yang memliki jumlah penduduk yang tinggi (Li-Ying,
1994). Parasitoid tersebut sangat potensial untuk mengendalikan PBK yang
meletakan telur pada permukaan buah, kemudian parasitoid ini meletakkan telur
kedalam telur PBK. Dalam mekanisme sperti ini sangat baik untuk mengurang
kerusakan buah akibat PBK, karena stadia telur belum bisa merusak buah.
Sejumlah penelitian pada beberapa tanaman selain kakao telah membuktikan
keefektivan dalam mengendalikan penggerek batang padi (Laba, 1998), penggerek
polong kedelai dengan tingkat parasitasi lebih dari 50 % di lapang (Marwoto et
al., 1997; Herlinda, 1995). Di Bogor menunjukkan bahwa tingkat parasitesme
parastoid telur Penggerek Batang padi (PBP) berkisar antara 46,97-90,85 %
(Nurbaeti et al., 1994 ;
Damayanti et al ., 1990; Nuraryati, 1991). Untuk meningkatkan
efektivitasnya dapat dilakukan dengan cara melepaskan lebih dari satu spesies
parasitoid. Hassan et al. (1994) melaporkan bahwa kombinasi dua parasitoid telur (T. embryophagum
dan T. dendrolimi) telah meningkatkan efetivitas 10 % dibandingkan
dengan pelepasan T. dendrolim saja pada jumlah yang sama. Keunggulan
lain adalah teknik perbanyakan parasitoid ini relatif mudah dan murah. Oleh
karena itu berdasarkan kelebihan yang telah duraikan diatas parasitoid telur
sebagai alternatif pengendalian PBK di Sulawesi Tenggara sangat menjanjikan
secara ekologis.
Tetapi teknologi PHT yang digunakan
telah dimodifikasi dan disederhanakan sehingga petani sebagai pelaku mudah
menerima dan melaksanakannya. Selain itu peran perguruan tinggi dan lembaga
penelitian berperan aktif untuk
mengkreasi teknologi tepat guna serta pemerintah daerah bertindak sebagai
fasilitator dan mediator, sehingga kerjasama antara petani, peneliti dan
pemerintah daerah menciptakan sinergisme yang dapat memberikan solusi
permasalahan hama PBK di Sulawesi Tenggara.
Penggunaan Entomophathogens
Beberapa
hasil penelitian telah berhasil mengembangkan cendawan, bakteri atau virus
entomophatogen yang dapat mematikan stadia tertentu dari hama. Entomopathogen
menyebabkan serangga sakit karena efek infeksi, parasitisme dan atau toxaemia
(Lacey dan Brooks 1997). Hasil penelitian Pusat Penelitian Kelapa Sawit
menunjukkan bahwa penggunaan agensi hayati seperti Multiple nuclear
ployhedrosis virus (MNPV) terbukti dapat mengendalikan ulat api (Setothosea
asigna; Lepidoptera) (Kompas, 2001). Lebih lanjut penggunaan entomophtaogen
jauh lebih murah 3,6 kali dibandingkan dengan penyemprotan insektisida kimia.
Contoh lain adalah hasil penelitian Legaspi et al. 2000 menyimpulkan bahwa penggunaan Beauveria
bassiana dan surfaktant adalah yang terbaik untuk menekan penggerek batang
tebu (Eureuma loftini).
Berdasarkan
contoh – contoh diatas penggunaan entomophatogen dapat digunakan untuk
digunakan sebagai agen pengendalian hayati untuk mengendalikan hama PBK.
Walaupun hama sasaran yang akan diuji berbeda tetapi masih dalam ordo
lepidoptera sehingga efek toksisitasnya sama. Aplikasi dilapang sangatlah
mudah. Petani hanya mencari larva-larva yang mati akibat terserang oleh
entomphatogen. Setelah larva-larva tersebut dihaluskan, suspensinya dicampur
dengan air dan disemprotkan ketanaman. Tentunya pengetahuan untuk
mengidentifikasi larva yang sakit akibat entomophatogen telah dimiliki oleh
petani pengguna pada waktu sosialisai PTP.
Penggunaan Bioinsektisida
Bioinsektisida masih kurang mendapatkan perhatian
dibandingkan dengan potensi besar yang tersimpan dalam sumberdaya alam
Indonesia. Selain itu bioinsektisida dapat berperan penting sebagai komponen
teknologi pengendalian organisme
pengganggu tanaman (OPT) secara terpadu.
Upaya pengendalian hama PBK
dilakukan secara kimiawi yaitu dengan menggunakan insektisida sintetik. Namun
penggunaan insektisida yang dilakukan secara terus menerus dan kurang bijaksana
dapat menimbulkan berbagai dampak negatif bagi lingkungan seperti terjadinya
residu didalam tanah, air, udara dan hasil pertanian; matinya makhluk hidup
bukan sasaran; akumulasi dalam jaringan tubuh manusia; serta timbulnya
resistensi dan resurjensi hama. Melihat banyaknya dampak negatif yang
ditimbulkan insektisida sintetik yang ditimbulkan insektisida sintetik, maka
perlu dicari teknik pengendalian yang tepat dan aman terhadap lingkungan dan
manusia, namun efektif terhadap hama PBK.
Salah satu komponen pengendalian hama PBK yang dapat
digunakan adalah penggunaan insektisida alami yang berasal dari senyawa racun
yang dihasilkan tumbuh-tumbuhan (bioinsektisida). Penggunaan bioinsektisida ini
memiliki beberapa keuntungan, seperti: mempunyai tingkat keamanan yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan racun senyawa-senyawa anorganik karena susunan
molekul-molekulnya sebaian besar terdiri atas karbon, nitrogen oksigen dan
hidrogen yang mudah terurai menjadi senyawa-senyawa yang tidak membahayakan
lingkungan (Tjokronegoro, 1987).
Salah satu Bioinsektiisda yang dapat digunakan dari
beberapa bioinsektisida yang telah diuji secara labortorium dan lapangan oleh
mahasiswa Unhalu adalah umbi gadung (Dioscorea hispida Dennst) yang
memiliki aktivitas antifeedant. Bioinsektisida menjanjikan untuk
pengendalian hama PBK yang bahan bakunya banyak tersedia di sekitar kebun
petani kakao. Meskipun demikian perlu dilakukan perbaikan-perbaikan pada teknik
ekstraksi sehingga isolasi senyawa murni dioskorin dari umbi gadung, atau bahan tanaman lainnya yang mengandung
senyawa kimia yang bersifat feeding
deterrence atau mengahambat oviposisi
dapat dilakukan. Tetapi untuk apliksi ditingkat petani dapat digunakan
metode ekstraksi sederhana. Natawigena et al. (1991) berhasil mengisolasi dioskorin dengan metode ekstraksi
alkaloid total dan pemurnianya dengan kromatografi cair hampa udara KLT
preparatif. Dari informasi ini terbuka peluang untuk melakukan hal yang sama
pada bahan-bahan tanaman lainnya yang banyak tumbuh bebas disekitar petani.
Perbaikan teknis budidaya yang dapat dilakukan antara
lain:
1.
Pemangkasan kakao ditujukan agar iklim mikro tidak kondusif untuk
berkembangannya hama dan penyakit sehingga pengelolaan hama dan penyakit akan
lebih mudah. Beberapa hasil penelitian menujukkan bahwa pemangkasan yang
teratur dapat memberikan hasil panen yang lebih baik. Hasil pengamatan dilapang
perlakukan pemangkasan kurang diperhatikan oleh petani.
2.
Panen Sering
Berdasarkan siklus hidup PBK
untuk memasuki fase pupa maka larva harus keluar dari sehingga perlakuan panen
sering diharapkan akan dapat memutuskan siklus hidupnya. Hasil penelitian
dengan masa panen setiap 5 –7 hari dapat menekan populasi hama PBK. Meskipun
demikian untuk menyempurnkannya sanitasi limbah buah kakao perlu dilaksanakan
misalnya limbah kako dibenamkan kedalam tanah sekaligus dapat menjadi pupuk
organik.
3.
Eksplorasi klon
tahan PBK perlu dilakukan sesegera mungkin atau memanfaatkan teknologi rekayasa
genetik untuk membuat tanaman transgenik yang tahan terhadap PBK buka sesuatu
yang mustahil untuk diwujudkan. Tentunya peran ini tidak perlu dipikul oleh
petani tetapi merupakan tantangan bagi peneliti.
4.
Pemupukan merupakan
komponen budidaya yang perlu diperhatikan. Mengingat secara geografis lahan
yang banyak ditanami adalah tipe Podsolik Merah Kuning dengan tingkat kemasaman
tanah yang cukup tinggi, sehingga penggunaan pupuk sintetis perlu dicermati
secara hati-hati. Oleh karen itu, amandemen bahan organik menjadi sesuatu yang
amat penting sebelum melakukan pemupukan secara sintetis.
5.
Pengaturan tanaman
selain kakao yang dapat digunakan sebagai inang alternatif seperti rambutan.
Inang alternatif tersebut sebaiknya tidak ditanam atau berada disekitar
pertanaman kakao.
6.
Untuk mengantisipasi penyebaran hama ini, Pemerintah Propinsi Sulawesi
Tenggara Telah mengeluarakan SK Gubernur No. 195 tahun 2000 tentang larangan
Mendatangkan, Memperdagangkan dan atau Menggunakan Benih, Bibit, serta bahan
Tanaman Kakao Terinfeksi maupun yang berasal dari wilayah/ area yang terserang
hama PBK. Meskipun aturan ini telah dikeluarkan implemetasinya masih perlu
dipertanyakan. Oleh karena itu sosialisai aturan ini perlu sesegera mungkin
diketahui oleh masyarakat Sulwesi Tenggara.
Untuk mendapatkan hasil yang optimal
kerjasama antara petani, peneliti dan
pemerintah setempat secara terintegrasi dan holistik merupakan kunci
utama menangani permasalahan PBK di
Sulawesi Tenggara.
Perubahan polapikir
petani untuk menggunakan metode pengendalian yang berbasis pengendalian hayati
dan ekologi. Metode pengendalian hayati dan perbaikan kultur teknis adalah
efektif untuk menekan populasi hama PBK. Tetapi perbaikan dan penemuan metode
pengendalian hayati harus terus dilakukan.
Eksplorasi klon-klon kakao tahan PBK
perlu dilakukan mulai dari sekarang dan implementasi regulasi yang telah
dikeluarkan harus dilaksanakan sampai ketingkat lapang untuk mencegah
penyebaran hama.
Alba, M.C. 1988.
Trichogrammatids in the Philipines. Philipp. Ent. 7(3): 252-271
Djuwarso, T., E. Dan A.
Wikardi. 1999. Teknik perbanyakan Trichogramma spp. di laboratorium dan
kemungkinan penggunaanya. Jurnal Litbang Pertanian, 18(4).
Damayanti, D., E.
Soenarjo, Waluyo dan B. Nurbaeti. 1990. Pengendali alami penggerek padi kuning
Scirpophaga incertulas Walker oleh parasitoid telur. Seminar Hasil Penelitian
Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. Hlm. 223-228.
DPHP. 2000. Laporan
Tahunan Dinas Perkebunan dan Hortikulturan Propinsi (DPHP) Sulawesi Tenggara
Herlinda, S. 1995.
Kajian Trichogrammatoidea bactrae-bactrae Nagaraja (Hymenoptera,
Trichogrammatidae). Parasitoid telur Etiella zinckenella Treitschke
(Lepidoptera; Pyralidae) Tesis S2 IPB. Bogor 60 hlm.
Kompas. 13 November
2001. Pengendalian Hama Secara Biologi Kurang Peminat. Kompas: 25 (kolom 1- 5)
Laba, I.W. 1998.
Prospek parasitoid telur sebagai pengendali alami penggerek batang padi. Jurnal
Libang Pertanian XVII (I).
Lacey L A, Brooks W M. 1997. Initial handling and
diagnosis of diseased insects. Di dalam Lacey LA editor. Biological Techniques.
Manual of Techniques in Insect Pathology. Academic Press. Hlm 1 - 15
Legaspi J.C.,
T.J. Poprawski, dan B.C. Legaspi Jr. 2000. Laboratory and field evaluation of
Beauveria bassiana against sugarcane stalkborer (Lepidopter: Pyralide) in lower
Rio Grande of Texas. J. Econ. Entomol. 93 (1): hal 54 – 59
Natawigena,
W.D., Soedigdo, S dan Soedigdo, P. 1991. Racun gadung (Dioscorea hispida
Dennst.) : Isolasi, struktur, mekanisme
kerja serta penjajagan sebagai rodentisida. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Pemanfaatan Pestisida Nabati Bogor: hal 252-258
Nuraryati, A.
1991. Biologi parasitoid telur Trichogramma sp. )Hymenoptera;
Trichogrammatidae) dan Telenomus sp. (Hymenoptera; Scelionidae) pada
penggerek padi kuning Scirpophaga incertulaz (Walker) (Lepidoptera;
Pyralidae) Tesis IPB.
Nurbaeti, B.,
Soenarjo, dan Waluyo. 1994. studi peranan musuh alami penggerek batang padi
Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera; Pyralidae). Seminar Tahunan Balai
Penelitian Tanaman Pangan Bogor. 6 hlm.
Naito, A., dan T. Djuarso. 1993. Biological control of Etiella pod borer. Makalah
Simposium PenelitianTanaman Pangan III Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan Jakarta/Bogor. 23-25 Agustus 1993. 8 hlm.
Marwoto, Supriyatin,
dan T. Djuwarso. 1997. Prospek
pengendalian hama penggerek polong kedelai (Etiella spp.) dengan
parasitoid Trichogrammatoidea bactrae-bactrae. Jurnal Litbang Pertanian,
XVI (3).
Reijntjes C, Haverkort B, Waters-Bayer A. 1999. Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk
pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah. Penerbit Kanisius.
Sulistyowati dan A.A.
Prawoto. 1993. Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) terhadap mutu Biji Kakao. Gelar
Teknologi Penaggulangan Hama Penggerek Buah Di Sulawesi Tengah. Puslit Koka.
Jember.
---------------, D
Pardede, S Wiryadiputra, A.A Parwoto, T. Sukmaraganda dan C.U Ginting . 1995.
Pedoman Teknis Penanggulangan Hama
Penggerek Buah Kakako di Indonesia. Edisi I Puslit Koka Jember. 21 hal.
Tjokronegoro, R.K.
1987. Studi kimiawi senyawa-senyawa biokaktif asal tumbuhan di Indodesia
terhadap serangga. Disertasi Universitas
Padjajaran, Bandung
Wardoyo, S. (1980). The coocoa pod borer- a major
hindrance to cocoa development. Indonesian Agricultural Research Development
Journal, 2: 1 - 4