©
2001 Muhammad Syakir Posted: 6
Oct. 2001 [rudyct]
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
October
2001
Dosen:
Prof
Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
POTENSI PENGEMBANGAN LADA PERDU1
Oleh:
Muhammad Syakir
AGR.A.156010131
E-mail: amsyakir@yahoo.com
PENDAHULUAN
Tanaman
lada (Piper nigrum L.) merupakan
salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peluang strategis dalam sistem
usahatani perkebunan berkelanjutan, baik secara ekonomi maupun sosial. Secara
ekonomi lada dapat menjadi salah satu sumber utama pendapatan petani dan devisa
negara sektor non migas, sedangkan secara sosial merupakan komoditas
tradisional yang telah dibudidayakan sejak lama dan keberadaannya merupakan
penyedia lapangan kerja yang cukup luas terutama di daerah sentra produksi. Hal
tersebut sangat dimungkinkan mengingat usaha tani lada di Indonesia umumnya
diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat. Beberapa propinsi di Indonesia yang
merupakan sentra produksi lada antara lain: Lampung, Sumatera Selatan,
Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan.
Produksi
lada Indonesia pada tahun 1996 sebesar 39.200 m ton, sedangkan ekspor lada pada
tahun tersebut sebesar 34.000 m ton dengan nilai US$ 98.988.000. Nilai tersebut
merupakan yang tertinggi diantara negara-negara penghasil lada lainnya, seperti
India (US$ 77.420.000), Malaysia (US$ 39.271.000), dan Brasil (US$ 36.564.000).
Sementara itu pada tahun 1997 produksi lada Indonesia menurun sebesar 10,7%
menjadi 35.000 m ton akibat adanya pengaruh El Nino, dan ekspor lada pada tahun
tersebut sebanyak 32.835 m ton, menempati posisi kedua sebagai penghasil lada
dunia setelah India (Anonim,1996; Anonim, 1997; Anonim, 1998). Namun demikian selama bulan
Januari-September 2000 Indonesia kembali mendominasi ekspor lada dunia dengan
jumlah ekspor 41.131 m ton (33% total ekspor lada dunia). Jumlah tersebut meningkat 75% dibandingkan tahun 1999
untuk periode yang sama (Anonim, 2000).
Pada dekade terakhir persaingan
harga lada di pasar dunia sangat tinggi. Hal ini tidak saja disebabkan
peningkatan produksi di negara-negara produsen lada, tetapi juga disebabkan
oleh munculnya negara-negara baru penghasil lada seperti Thailand, Srilanka,
dan Vietnam. Selama bulan Januari-September 2000 total ekspor lada
negara-negara produsen utama meningkat 17% dibanding tahun 1999, sementara itu
harga lada justru semakin menurun sebagai akibat tingginya produksi (Anonim,
2000). Di sisi lain semakin kritisnya
negara-negara konsumen terhadap mutu lada turut memperkuat kekhawatiran
terjadinya kelebihan produksi pada tahun 2001. Dengan
kondisi tersebut persaingan untuk merebut pangsa pasar internasional menjadi semakin ketat. Untuk mempertahankan produk lada sebagai
salah satu komoditas ekspor non migas andalan di masa mendatang, upaya
antisipatif yang dilakukan tentunya tidak hanya pada peningkatan produktivitas,
melainkan lebih difokuskan pada perbaikan teknologi budidaya dan mutu lada yang
memiliki keunggulan dalam menekan biaya produksi dan meningkatkan kualitas
hasil.
Lada perdu merupakan salah satu
alternatif budidaya lada dalam upaya menekan biaya produksi sekaligus
meningkatkan efisiensi usaha tani. Namun demikian lada perdu belum berkembang
secara luas, disamping masih banyaknya aspek yang perlu diteliti juga masih
kurangnya penyebaran informasi mengenai potensi dan peluang pengembangannya.
Pengembangan dan penerapan sistim pola tanam lada perdu,
pada dasarnya berpengaruh terhadap iklim mikro. Dalam pemilihan kombinasi
tanaman dan jenis pola tanam perlu dipertimbangkan faktor lingkungan iklim dan
tanah.
Secara morfologi lada tergolong
tanaman dimorfik yang memiliki dua macam sulur, yaitu sulur panjat (orthotropic climbing shoot) dan sulur
buah (axillary plagiotropic fruiting
branches) (Winter dan Muzik, 1963; Purseglove, 1969). Berdasarkan morfologinya
perbedaan yang jelas antara sulur panjat dan sulur buah yaitu sulur panjat
memiliki akar lekat (hold fast),
sedangkan sulur buah tidak memilikinya. Sementara itu secara fisiologi sulur
panjat memiliki sifat negatif fototrof, sedangkan sulur buah bersifat positif
fototrof (Iljas, 1969).
Selama ini dalam budidaya lada di
Indonesia tanaman yang digunakan berasal dari sulur panjat, sehingga untuk
mendukung pertumbuhannya diperlukan tiang panjat, baik tiang panjat mati maupun
hidup. Namun demikian dari rekayasa teknik perbanyakan vegetatif telah
dihasilkan lada perdu yang diperbanyak dengan menggunakan bahan tanaman yang
berasal dari sulur/cabang buah yang bersifat plagiotrop, sehingga dalam
budidayanya tidak memerlukan tiang panjat (Gambar 1).
Gambar 1. Keragaan
tanaman lada dengan tiang panjat (a) dan lada perdu (b)
Lada perdu memiliki tajuk tanaman
yang berbentuk perdu dengan diameter 100 – 150 cm dan tinggi tanaman 90 – 120
cm. Berbeda halnya dengan lada tiang panjat yang memiliki dua macam akar (di
bawah permukaan tanah dan akar lekat), lada perdu hanya memiliki satu macam
akar, yaitu akar yang berada di bawah permukaan tanah. Jumlah akar utama dari
pembibitan tidak bertambah setelah dipindah ke kebun dan selanjutnya yang
berkembang hanyalah cabang-cabang akar. Perakaran lada perdu lebih banyak
terkonsentrasi di sekitar permukaan tanah dan tidak menghunjam lebih dalam.
Perakaran efektif hanya mencapai kedalaman 30 cm, sedangkan penetrasi akar
dapat mencapai 60 cm (Pujiharti et al.,
1995).
Berdasarkan karakter fisiologinya
lada tergolong tanaman yang adaptif terhadap naungan karena mempunyai lintasan
fotosintesis C3 (Das et al., 1976).
Oleh karena itu lada perdu pun termasuk dalam kelompok tanaman lindung (scyophit), yaitu tanaman yang dapat
tumbuh baik dalam keadaan ternaungi. Dengan karakter morfologi dan fisiologi
tersebut di atas, lada perdu di samping dapat dikembangkan secara monokultur,
juga sangat berpotensi untuk dikembangkan di bawah tegakan tanaman tahunan,
seperti kelapa, sengon, dan lainnya dalam berbagai bentuk polatanam.
Lingkungan Tumbuh
Pertumbuhan dan produksi tanaman
merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor biotik dan abiotik. Lingkungan
tumbuh merupakan salah satu faktor abiotik yang sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan produksi lada perdu. Di antara faktor lingkungan tumbuh yang
paling dominan pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan produksi lada perdu adalah
iklim, elevasi, dan tanah.
Iklim dan
elevasi
Selama ini unsur-unsur iklim yang
diketahui berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi lada perdu antara lain;
curah hujan, penerimaan radiasi surya, suhu, dan kelembaban. Pada dasarnya
kondisi iklim yang dikehendaki lada perdu relatif sama dengan lada tiang
panjat. Hasil penelitian Wahid dan Suparman (1986) menyebutkan bahwa curah
hujan yang dikehendaki tanaman lada yaitu 2.000 – 3.000 mm/tahun dengan rata-rata
curah hujan 2.300 mm/tahun. Jumlah hari hujan dalam setahun rata-rata 177 hari
dan tidak terdapat bulan-bulan kering dengan curah hujan kurang dari 60 mm/bulan. Hasil pengamatan di Lampung menunjukkan bahwa pertumbuhan
tanaman lada mulai tertekan apabila jumlah curah hujan setiap bulannya kurang
dari 90 mm. Di samping itu tanaman lada dapat tumbuh dan berproduksi dengan
baik apabila ditanam pada elevasi kurang dari 500 m di atas permukaan laut
(dpl). Wahid et al. (1988) telah menyusun batas kesesuaian lingkungan (curah
hujan, bulan kering, hari hujan, dan elevasi) untuk tanaman lada seperti
disajikan pada Tabel 1.
Tabel
1. Batas kesesuaian lingkungan untuk tanaman lada di Indonesia
Curah hujan (mm/tahun) |
Bulan kering (<90 mm/bulan) |
Elevasi (m dpl) |
Hari hujan |
Kendala |
Kesesuaian |
2.000-2.500 |
<2 |
<500 |
110-150 |
Tidak ada |
Amat sangat sesuai |
2.500-3.000 |
<2 |
<500 |
115-160 |
Tidak ada |
Sangat sesuai |
2.000-3.000 |
3 |
<500 |
110-160 |
Tidak ada |
Sesuai |
3.000-4.000 |
<2 |
<500 |
145-190 |
Curah hujan agak tinggi |
Agak sesuai |
1.500-2.000 |
<3 |
<500 |
90-135 |
Kekeringan |
Agak sesuai |
1.500-4.000 |
4-5 |
<500 |
90-175 |
Kekeringan periodik |
Kurang sesuai |
- |
- |
>500 |
- |
Suhu rendah |
Tidak dianjurkan |
<1.500 |
- |
- |
- |
Kurang air |
Tidak dianjurkan |
>4.000 |
- |
- |
- |
Terlalu basah, cahaya kurang |
Tidak dianjurkan |
- |
>5 |
- |
- |
Kekeringan |
Tidak dianjurkan |
Sumber:
Wahid et al. (1988)
Walaupun
tanaman lada tergolong adaptif terhadap naungan, namun untuk mendukung
pertumbuhan dan produksinya memerlukan kisaran radiasi surya yang optimal. Menurut Syakir (1994)
lada dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik pada tingkat intensitas radiasi minimal
50% atau setara dengan energi radiasi rata-rata 251,8 kalori/cm2/hari.
Lebih jauh Wahid et al. (1999a) melaporkan bahwa di antara varietas-varietas lada perdu terdapat
perbedaan respon terhadap intensitas radiasi surya. Pada intensitas radiasi
100% (cahaya penuh) produksi lada perdu terbaik ditunjukkan oleh varietas
Petaling 1. Sedangkan pada intensitas radiasi 50 - 75% produksi terbaik
ditunjukkan oleh varietas Bengkayang. Secara umum lada perdu dapat tumbuh dan
berproduksi dengan baik pada kisaran intensitas radiasi surya 50 – 75%.
Suhu dan kelembaban udara juga
turut mempengaruhi pertumbuhan dan produksi lada. Suhu yang dikehendaki tanaman
lada yaitu antara 20oC (minimum) – 34oC (maksimum) dengan
kisaran terbaik antara 21-27 oC pada pagi hari, 26-32 oC
siang hari, dan 24-30 oC sore hari. Kelembaban
nisbi udara yang dikehendaki antara 50-100%, dengan kisaran optimal 60-80%
(Wahid dan Suparman, 1986).
Tanah
Lada perdu dapat tumbuh
pada beberapa jenis tanah, diantaranya Ultisol, Inceptisol, Alfisol, dan
Andisol. Namun demikian umumnya tanaman lada di Indonesia dikembangkan pada dua
jenis tanah yaitu Ultisol dan Inceptisol. Lada perdu menghendaki tanah dengan
aerasi dan drainase baik. Oleh karena itu lada perdu yang dikembangkan pada
tanah Ultisol ataupun Alfisol akan memiliki pertumbuhan dan produksi yang lebih
baik apabila tanah tersebut memiliki kelas tekstur lempung liat berpasir atau
liat berpasir. Sedangkan pada tanah Inceptisol, lada perdu dapat tumbuh optimal
apabila kelas tekstur tanah lempung atau lempung berpasir. Menurut Zaubin
(1979) pH tanah yang dikehendaki tanaman lada berkisar antara 5,5 – 5,8.
Pengembangan lada perdu pada
jenis tanah Ultisol, Inceptisol, dan Alfisol tetap memerlukan tambahan pupuk
buatan dan organik, mengingat ketiga jenis tanah tersebut umumnya memiliki
tingkat kesuburan kimia tanah yang rendah sampai sedang. Di samping itu tanaman
lada tergolong rakus hara, sehingga untuk tumbuh dan berproduksi dengan baik
memerlukan ketersediaan unsur hara yang tinggi.
Potensi Ekonomi
Sebagai alternatif dalam budidaya
lada potensi ekonomi lada perdu terletak pada aspek agronomi, dimana teknologi
budidaya yang diterapkan mampu menekan biaya produksi sekaligus meningkatkan
efisiensi usaha tani lada. Keunggulan-keunggulan komparatif lada perdu terhadap
lada tiang panjat antara lain: (1) lebih efisien dalam penggunaan bahan tanaman
untuk perbanyakan, (2) tidak memerlukan tiang panjat, (3) populasi tanaman per
satuan luas (4.000 – 4.500 tanaman/ha) lebih banyak, sehingga penggunan lahan
lebih efisien, (4) pemeliharaan dan panen lebih mudah, (5) dapat berproduksi
lebih awal (umur 2 tahun), dan (6) dapat ditanam dengan polatanam campuran atau
tumpang sari dengan tanaman tahunan lainnya (Syakir dan Zaubin, 1994; Dhalimi et al., 1998).
Wahid
et al. (1999b) melaporkan bahwa
berdasarkan analisis keuntungan sosial bersih pada beberapa komoditas
perkebunan, lada perdu menghasilkan manfaat ekonomi paling besar, kemudian berturut-turut
diikuti oleh lada tiang panjat mati, kelapa sawit, kakao, kopi, dan karet. Di
samping itu telah dilakukan pula analisis biaya sumber daya dalam negeri (BSD)
dan keunggulan komparatif lada perdu terhadap komoditas-komoditas perkebunan
tersebut di atas seperti yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Analisis biaya sumber daya dalam negeri dan keunggulan
komparatif lada perdu
terhadap beberapa komoditas perkebunan
|
Komoditas perkebunan |
|||||
Uraian |
Lada perdu |
Lada tiang panjat |
Karet |
Kopi |
Kakao |
Kelapa sawit |
Penerimaan (Rp) |
22.978.080 |
28.103.560 |
5.258.790 |
9.701.535 |
7.139.950 |
8.339.720 |
Biaya sosial (Rp) |
|
|
|
|
|
|
- dalam negeri |
3.250.394 |
9.268.049 |
2.604.006 |
4.797.645 |
3.881.621 |
3.904.471 |
- asing |
7.141.235 |
9.884.261 |
3.878.374 |
3.430.190 |
2.530.068 |
2.275.136 |
BSD |
519,00 |
1.272,50 |
4.717,50 |
1.912,53 |
1.941,23 |
1.284,42 |
Keunggulan komparatif |
0,208 |
0,509 |
1,887 |
0,765 |
0,7765 |
0,5129 |
Keterangan:
nilai tukar mata uang 1 US$ bulan Juni 1997 Rp. 2.500
Sumber:
Wahid et al. (1999b)
Analisis
BSD merupakan variabel yang dapat digunakan untuk mengukur besarnya biaya sumber
daya dalam negeri yang harus dikorbankan (dalam rupiah) untuk memperoleh satu
satuan devisa. Apabila BSD lebih kecil daripada nilai tukar bayangan atau rasio
keduanya <1, maka investasi tersebut dikatakan efisien. Semakin kecil
rasionya menunjukkan komoditas tersebut makin memiliki keunggulan komparatif.
Hasil
analisis pada Tabel 2 menunjukkan bahwa lada perdu memiliki nilai BSD dan rasio
yang paling kecil dibandingkan komoditas perkebunan lainnya. Dengan demikian
dari sudut korbanan dalam negeri, lada perdu merupakan usaha tani yang paling
efisien dan memiliki keunggulan komparatif paling besar.
Hasil penelitian
Rosmeilisa et al. (1999) di Kabupaten
Bangka juga menunjukkan bahwa usaha tani lada perdu memiliki tingkat keuntungan
yang lebih tinggi dibandingkan lada tiang panjat mati. Walaupun produksinya
lebih rendah, tetapi biaya produksi lada perdu (Rp. 5.043.974/ha) jauh lebih
rendah dibandingkan biaya produksi lada tiang panjat mati (Rp. 9.609.711/ha).
Tingkat keuntungan (Net Present Value/NPV)
lada perdu Rp. 5.252.917/ha, NPV lada tiang panjat mati Rp. 2.724.199/ha;
kelayakan usaha tani (B/C rasio) lada perdu 2,04, B/C lada tiang panjat mati
1,28; Internal Rate of Return (IRR) lada perdu 110%, IRR lada tiang panjat mati
42% (Tabel 3).\
Tabel 3. Analisis finansial usaha
tani lada perdu dan lada tiang panjat mati (Rp/ha)
Tahun |
Lada perdu |
Lada tiang panjat mati |
||||
ke- |
Manfaat DF 24% |
Biaya DF 24% |
Manfaat ber-sih DF 24% |
Manfaat DF 24% |
Biaya DF 24% |
Manfaat ber-sih DF 24% |
1 |
0 |
2.879.839 |
-2.879.839 |
0 |
5.892.742 |
-5.892.742 |
2 |
2.934.443 |
828.756.5 |
2.105.687 |
0 |
839.945.4 |
-839.945.4 |
3 |
3.545.534 |
724.965.2 |
2.820.569 |
4.720.385 |
1.408.248 |
3.312.137 |
4 |
3.816.914 |
610.413.5 |
3.206.500 |
7.613.525 |
1.468.776 |
6.144.749 |
Total |
10.296.891 |
5.043.974 |
5.252.917 |
12.333.910 |
9.609.711 |
2.724.199 |
NPV : 5.252.917 NPV : 2.724.199
B/C : 2,04 B/C : 1,28
IRR : 110% IRR : 42%
Sumber:
Rosmeilisa et al. (1999)
Berdasarkan
karakter morfologi, fisiologi, dan lingkungan tumbuhnya, lada perdu sangat
berpotensi untuk dikembangkan dalam berbagai bentuk polatanam, seperti
monokultur, polatanam di bawah tegakan tanaman tahunan atau dikombinasikan
dengan tanaman pangan semusim. Disamping itu lada perdu dapat pula dikembangkan
sebagai tanaman pekarangan.
Pengembangan lada perdu dalam bentuk
polatanam, khususnya di bawah tegakan tanaman tahunan memiliki beberapa
keuntungan, diantaranya: (1) dapat meningkatkan efisiensi penggunaan lahan, (2)
mampu memberikan nilai tambah yang cukup signifikan, dan (3) risiko kematian
tanaman akibat cekaman kekeringan relatif lebih kecil dibandingkan penanaman
secara monokultur (tanpa naungan). Berdasarkan kebutuhan intensitas radiasi
surya, lada perdu sebaiknya dikembangkan di bawah tegakan tanaman tahunan yang
dapat meloloskan radiasi surya 50 – 75%. Di
antara tanaman tahunan tersebut, kelapa merupakan tanaman yang sangat
berpotensi dan sering dipolatanamkan dengan lada perdu. Hal ini disebabkan
terdapat kesesuaian lingkungan antara prasyarat tumbuh tanaman kelapa dan
kondisi lahan di bawahnya dengan prasyarat tumbuh lada perdu (Tabel 4).
No. |
Prasyarat tumbuh |
Kelapa |
Lada perdu |
1. |
Elevasi (m
dpl) |
0 - 5001 |
0 – 5004 |
2. |
Curah hujan (mm/tahun) |
1.300 – 3.5001 |
2.000 – 3.0004 |
3. |
Suhu udara (oC) |
25 - 352 |
20 – 345 |
4. |
Kelembaban
(%) |
80 - 902 |
60 – 805 |
5. |
Intensitas
radiasi (%) |
20 – 50*1 |
50 – 756 |
6. |
Perakaran efektif (cm) |
30 – 1503 |
0 – 307 |
7. |
Potensi lahan (%)* |
802 |
- |
Keterangan: *di antara tanaman kelapa
Sumber: 1Darwis (1988); 2Syakir et al. (1998); 3Kuswah (1979, dalam
Darwis 1988) dan Nair (1983);
4Wahid et al.
(1988); 5Wahid dan
Suparman (1986); 6Wahid et al. (1999a); 7Pujiharti et al.
(1995)
Pada
Tabel 4 terlihat bahwa potensi lahan di antara tanaman kelapa yang dapat
dimanfaatkan untuk tanaman sela sebesar 80%. Dengan demikian pengembangan lada
perdu di bawah tegakan kelapa dapat meningkatkan efisiensi penggunaan lahan. Di
samping itu perbedaan perakaran efektif lada perdu dan kelapa sangat
menguntungkan bagi efisiensi penggunaan hara.
|
Tahun
|
Produksi
|
Biaya
|
Penerimaan
|
Keuntungan
|
Present Value (Rp)
|
|||
|
(kg/ha)
|
(Rp)
|
(Rp)
|
(Rp)
|
Biaya
|
Penerimaan
|
Keuntungan
|
|
1
|
0
|
|
3.324.200
|
0
|
-3.324.200
|
2.841.197
|
0
|
-2.841.197
|
2
|
592
|
|
1.258.096
|
3.552.000
|
2.293.904
|
919.056
|
2.594.784
|
1.675.728
|
3
|
888
|
|
1.354.032
|
5.328.000
|
3.973.968
|
845.418
|
3.326.646
|
2.481.229
|
4
|
1.184
|
|
1.354.032
|
7.104.000
|
5.749.968
|
722.579
|
3.791.050
|
3.068.471
|
5
|
1.184
|
|
1.354.032
|
7.104.000
|
5.749.968
|
617.589
|
3.240.214
|
2.622.625
|
6
|
1.184
|
|
1.354.032
|
7.104.000
|
5.749.968
|
527.854
|
2.769.413
|
2.241.559
|
7
|
1.184
|
|
1.354.032
|
7.104.000
|
5.749.968
|
451.157
|
2.367.020
|
1.915.863
|
Jumlah
|
6.216
|
|
11.352.456
|
37.296.000
|
25.943.544
|
6.924.850
|
18.089.127
|
11.164.277
|
Sumber: Syakir et al. (1998)
Pengembangan lada perdu di bawah
tegakan tanaman tahunan juga dapat menekan tingkat kematian tanaman akibat
cekaman lingkungan. Hasil penelitian Wahid et
al. (1995) menunjukkan bahwa akibat cekaman air tingkat kematian lada perdu
yang ditanam di bawah tegakan kelapa mencapai 28,9%, sedangkan secara
monokultur 34,1%.
Tanaman tahunan lainnya yang
cukup berpotensi untuk dipolatanamkan dengan lada perdu yaitu tanaman sengon (Paraserianthes falcataria). Disamping tanaman sengon memiliki bintil
akar yang dapat mengikat nitrogen bebas, hasil pengamatan Pramudya (2000)
menunjukkan bahwa rata-rata intersepsi radiasi surya pada tanaman sengon
berbagai umur yang ditanam dengan jarak lebih dari 3 x 3 m dapat mencapai
49,92%. Dengan kata lain tanaman sengon masih dapat meloloskan intensitas
radiasi surya sebesar 50,08%. Selanjutnya disebutkan bahwa rata-rata suhu dan
kelembaban udara pada areal pertanaman sengon tersebut masing-masing mencapai ±27,92oC dan 79,17%. Dengan demikian secara
mikro, kondisi lingkungan di bawah tegakan sengon yang ditanam dengan jarak
lebih dari 3 x 3 m masih sesuai dengan prasyarat tumbuh lada perdu.
Lada perdu selain dapat
dipolatanamkan dengan tanaman tahunan, juga dapat dikombinasikan dengan tanaman
pangan semusim, seperti jagung dan kacang tanah. Penanaman dapat dilakukan
dalam bentuk tumpang sari ataupun sistem jalur (strip cropping). Tanaman jagung yang menghendaki intensitas cahaya
penuh dan memiliki tajuk yang tinggi dapat berfungsi sebagai naungan bagi lada
perdu, sementara itu kacang tanah dapat membantu ketersediaan unsur hara
nitrogen. Pada polatanam tersebut biomass
sisa panen jagung dan kacang tanah dapat dikembalikan sebagai sumber bahan
organik, sehingga diharapkan pemberian hara dari pupuk anorganik dapat
dikurangi (Syakir et al., 1999).
Lada
perdu dengan keragaan morfologinya sangat memungkinkan untuk dikembangkan
sebagai tanaman pekarangan. Pemanfaatan lada perdu sebagai tanaman pekarangan
di samping hasilnya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, juga
dapat berfungsi estetika. Sebagai tanaman pekarangan lada perdu dapat ditanam
pada lahan terbuka ataupun di dalam pot. Namun demikian, khusus di daerah
perkotaan yang umumnya memiliki keterbatasan lahan, lada perdu lebih banyak
ditanam di dalam pot.
Perbedaan budidaya lada perdu di
dalam pot terutama pada aspek pemeliharaan, yaitu pemupukan dan penyiraman. Hasil penelitian Wahid et
al. (1999c) yang dilakukan pada pot berdiameter 37 cm dan tinggi 47 cm
menunjukkan bahwa untuk tahun pertama dosis pupuk terbaik yaitu 100 g NPKMg
12-12-17-2/tanaman/tahun, sedangkan untuk tahun kedua dan selanjutnya sebanyak
200 g NPKMg 12-12-17-2/tanaman/tahun. Pupuk diberikan dalam 4 kali agihan
dengan perbandingan 1:2:3:4 untuk tahun pertama dan 4:3:2:1 untuk tahun kedua
dan selanjutnya. Pemupukan untuk setiap agihan dilakukan dengan selang
pemberian 2 bulan. Penyiraman terbaik dilakukan sebanyak 21 mm/2 hari atau
setara dengan 2,25 l/2 hari. Produksi lada kering yang dapat dicapai pada umur
2 tahun sebanyak 85,5 g/tanaman, sedangkan pada umur 3 tahun sebanyak 171,2
g/tanaman.
Lada
perdu diperoleh dari perbanyakan vegetatif bahan tanaman lada yang berasal dari
sulur/cabang buah. Keunggulan komparatif lada perdu terhadap lada tiang panjat
antara lain: (1) lebih efisien dalam penggunaan bahan tanaman untuk
perbanyakan, (2) tidak memerlukan tiang panjat, (3) populasi tanaman per satuan
luas lebih banyak, sehingga penggunaan lahan lebih efisien, (4) pemeliharaan
dan panen lebih mudah, (5) dapat berproduksi lebih awal, dan (6) sangat
berpotensi dikembangkan dalam bentuk polatanam.
Hasil
analisis keuntungan sosial bersih dan biaya sumber daya dalam negeri pada
beberapa komoditas perkebunan (lada perdu, lada tiang panjat mati, kelapa
sawit, kakao, kopi, dan karet) menunjukkan bahwa lada perdu menghasilkan
manfaat ekonomi dan keunggulan komparatif paling tinggi. Pengembangan lada
perdu secara monokultur layak diusahakan dengan nilai NPV Rp. 5.252.917/ha, B/C
2,04, dan IRR 110%. Namun demikian, berdasarkan karakter morfologi, fisiologi,
lingkungan tumbuh, dan potensi ekonominya lada perdu lebih prospektif
dikembangkan dalam bentuk polatanam, seperti di bawah tegakan tanaman tahunan
yang dapat meloloskan radiasi surya 50 – 75% atau dikombinasikan dengan tanaman
pangan semusim. Di samping itu lada perdu dapat pula dimanfaatkan sebagai tanaman
pekarangan.
Anonim. 1996. 21th peppertech meeting. Meeting
of The Permanent Panel in Techno-economic Studies, Kucing, Serawak, Malaysia 22
July 1996. Intenational Pepper Community.
Anonim. 1997. Pepper statistic yearbook 1995/1996.
International Pepper Community.
Anonim. 1998. Report of the 23rd peppertech
meeting, Kuta, Bali, Indonesia 26 October 1998. International Pepper Community.
Anonim. 2000. Pepper export declined. Market
Review-September 2000. International Pepper Community.
Barus, J. 1998. Pengaruh ukuran lubang tanam dan komposisi
bahan organik terhadap pertumbuhan dan produksi lada perdu. Jurnal Littri
III(5-6):159-162.
Darwis, S.N. 1988. Tanaman sela di antara kelapa.
Seri Pengembangan No.2. Puslitbang Tanaman
Industri. Bogor.
Das, V., R. Rao. and N.
Malakandalah. 1976. Phytochemical activities of
chloroplast from plants with and without bundle sheath in leaves. Turrialba 26(1):14-17.
Deciyanto, S. dan
Suprapto. 1996. Penggerek batang lada dan cara pengendaliannya. Monograf
Tanaman Lada (1):150-160. Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.
Dhalimi, A., M. Syakir, dan E. Surmaini. 1998. Peningkatan
efisiensi pemberian hara lada perdu di bawah tegakan kelapa melalui aplikasi
ZPT. Prosiding Konperensi Nasional Kelapa IV,
Bandar Lampung 21-23 April 1998:527-532. Puslitbangtri, Bogor.
Nair, P.K.R. 1983. Agroforestry with coconuts and other
tropical plantation crops. Plant Research and Agroforestry:79-102.
Pramudya, A. 2000. Pengembangan data base zone agroekologi
dalam mendukung pembangunan hutan rakyat. Laporan Hasil Penelitian Puslitbang Tanaman
Perkebunan. Tidak dipublikasi.
Pujiharti, Y., I. Dwiwarni, dan Muchlas. 1995. Prospek
pengembangan lada perdu untuk ekspor dalam meningkatkan pendapatan petani. Jurnal Litbang Pertanian XIV(4):79-86.
Purseglove, J.W. 1969. Tropical crops dicotyledon
2:441-450. Longmans 2nd ed.
Rosmeilisa, P., M.
Syakir, dan E. Surmaini. 1999. Rentabilitas budidaya lada perdu dan lada tiang
panjat mati. Jurnal Penelitian Tanaman
Industri 5(1):18-24.
Syakir, M. 1994. Pengaruh naungan, unsur hara P dan Mg
terhadap iklim mikro, indeks pertumbuhan dan laju tumbuh tanaman lada. Bul.
Littro 9(2):106-114.
Syakir, M. dan R. Zaubin. 1994. Pengadaan bahan tanaman
lada perdu. Prosiding Simposium II Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Industri.
Syakir, M., J. Wiroatmodjo, dan E. Rasnasari. 1994.
Pengaruh kondisi pohon induk dan waktu pengambilan setek terhadap pertumbuhan
setek cabang buah. Tidak dipublikasi.
Syakir, M. 1996. Budidaya lada perdu. Monograf Tanaman Lada
(1):93-104. Balai Penelitian Tanaman Rempah
dan Obat. Bogor.
Syakir, M., P.
Rosmeilisa, dan P. Wahid. 1998. Nilai tambah pengembangan lada perdu di antara
tanaman kelapa. Konperensi Nasional Kelapa IV. Bandar
Lampung, 21-23 April 1998:462-472. Puslitbang Tanaman Industri. Bogor.
Syakir, M., R. Zaubin, E. Rini Pribadi, dan Hoerudin,
1999. Pengaruh
berbagai kombinasi tanaman sela terhadap efisiensi pemberian hara, pertumbuhan,
dan produksi lada perdu. Laporan Hasil
Penelitian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Tidak dipublikasi.
Waard, P.W.F. de. 1964. Pepper cultivation in Sarawak.
World Crops 16(3):24-31.
Wahid, P. dan U. Suparman. 1986. Teknik budidaya untuk
meningkatkan produktivitas tanaman lada. Edisi Khusus Littro II(1):1-11. Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor.
Wahid, P., I. Las, dan R. Zaubin. 1988. Penetapan kesesuaian iklim
beberapa daerah untuk pengembangan tanaman lada. Simposium II Meteorologi
Pertanian:1-15.
Wahid, P., R. Zaubin,
M. Syakir, U. Suparman, D. Soetopo, D. Manohara, dan P. Rosmeilisa. 1995. Peningkatan produktivitas dan efisiensi teknik
budidaya lada. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat. Bogor.
Wahid, P., M.H.B.
Joefri, M. Syakir, P. Rosmelisa, J. Pitono, Hermanto, dan E. Surmaini. 1999a.
Tanggap beberapa varietas lada perdu terhadap serapan hara di bawah ragam
intensitas radiasi surya. Dalam
Manipulasi agronomik dalam upaya meningkatkan daya saing dan keunggulan
komparatif lada perdu. Laporan Riset Unggulan
Terpadu IV. Kantor Menteri Riset dan Teknologi. Jakarta.
Wahid, P., M.H.B.
Joefri, M. Syakir, P. Rosmelisa, J. Pitono, Hermanto, dan E. Surmaini. 1999b.
Analisis keunggulan komparatif budidaya lada dalam bentuk lada perdu. Dalam Manipulasi agronomik dalam upaya
meningkatkan daya saing dan keunggulan komparatif lada perdu. Laporan Riset Unggulan Terpadu IV. Kantor Menteri Riset
dan Teknologi. Jakarta.
Wahid, P., M.H.B.
Joefri, M. Syakir, P. Rosmelisa, J. Pitono, Hermanto, dan E. Surmaini. 1999c.
Studi aspek pemberian hara lada perdu pada berbagai tingkat dan frekuensi
pemberian air. Dalam Manipulasi
agronomik dalam upaya meningkatkan daya saing dan keunggulan komparatif lada
perdu. Laporan Riset Unggulan Terpadu IV.
Kantor Menteri Riset dan Teknologi. Jakarta.
Winters, H.F. and T.J. Muzik. 1963. Rooting and growth of
fruiting branches of black pepper. Trop. Agric. Trinidad 40(3):247-252.
Yuhono, J.T., M. Syakir, S. Kemala, dan R. Zaubin. 1994. Keragaan usaha
tani lada perdu di Desa Gelatang, Kabupaten Ciamis. Tidak dipublikasi.
Zaubin, R. 1979. Pengaruh
kemasaman tanah terhadap pertumbuhan tanaman lada. Pemberitaan Littro (33):27-36.