Makalah
Kelompok V
Posted 16 October 2001
Falsafah
Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor
October 2001
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung
Jawab)
MORALITAS KAUM TERDIDIK:
Oleh:
Kelompok V
Ardi Kapahang (BIO), Asmika Harnalin
S.(AIR), Eddy Ch.
Papilaya (PPN)
/Ketua, Freddy Wangke (EPN), Maria Montolalu (DAS), Nunu Haryanto (PPN), Sofyan (SPL), Sri Handayani (AIR) dan Yundy
Hafizrianda (EPN)
“ Mengalami zaman edan
kita sulit menentukan
sikap,
Turut edan tidak
tahan kalau tidak
turut edan …”
Ranggawarsita (Suriasumantri, 2000).
Globalisasi telah menimbulkan dampak
yang sangat berarti dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Malcolm Waters
(Tilaar: 1997) mengemukakan bahwa ada tiga dimensi proses globalisasi, yaitu: globalisasi
ekonomi, globalisasi politik, dan globalisasi budaya. Dari segi dimensi
globalisasi budaya, muncul beberapa jenis space atau lukisan, seperti:
etno-space, techno-space, finance-space, media-space, idea-space, dan sacri-space. Dengan demikian universalisasi sistem nilai
gobal yang terjadi dalam dimensi kebudayaan telah mengaburkan sistem nilai (values
system) kehidupan manusia, khususnya pada negara-negara berkembang seperti Indonesia dalam
menghadapi tahun 2002 plus. Apakah pembangunan versi “pribuminisme”
mampu mempertahankan hegemoni pembangunan eropasentrisme atau modernisasi dalam
era globalisasi? (Hettne (2001). Moralitas
yang bagaimanakah yang akan dianut oleh masyarakat kebanyakkan,
khususnya kaum terdidik, yaitu mereka yang telah menyelesaikan pendidikan
formal minimal strata satu. Apakah telah terjadi transformasi nilai-nilai
ataukah sebaliknya tetap berpegang (conformed) pada nilai-nilai
tradisional sambil melakukan pembangunan? Apakah nilai-nilai yang dianutnya
bisa dianggap benar? Inilah beberapa
pertanyaan yang akan ditelusuri jawabannya dari sudut pandang filsafat
pendidikan sebagai bahan perenungan bagi kaum terdidik dalam melakukan peran
kepemimpinan dalam membangun Masyarakat Indonesia.
II. Realitas Moral Kaum Terdidik
Beberapa informasi dari berbagai media
massa tercetak maupun elektronik, yang
sifatnya kasuistik tetapi menarik untuk dikritisi, antara lain:
Kasus
pertama adalah kaum politisi. “money politics” dan “money game” merupakan
istilah yang sudah sangat populer pada tataran masyarakat lapisan bawah (grass-root).
Istilah tersebut sudah tidak lagi menjadi rahasia umum, bahkan cenderung
menjadi semacam sinisme yang ditujukan terhadap kaum politisi. Demikian pula di
lembaga legislatif (DPR/DPRD) budaya “datang, duduk, diam-diam dapat
“traveller”s cheque” (Kompas, 23 September 2001 halaman 23) diduga hanya
merupakan salah satu temuan yang terjadi secara kebetulan. Haryatmoko mengutip
pendapat Yves Michaud (1976) dalam tulisannya berjudul “Terorisme,
Politik-Porno, dan Etika Keyakinan”
(Kompas 29 September 2001, hal. 4) mengemukakan bahwa, semua bentuk
kekerasan politik untuk tujuan tertentu disebut sebagai “politik porno”. Bentuk
politik porno antara lain: demonstrasi dengan kekerasan, penculikan,
penyanderaan, perampokan untuk biaya perjuangan politik, intimidasi, adu domba,
pengeboman, menciptakan ketegangan atau kerusuhan untuk destabilisasi situasi,
eksekusi peradilan jalanan oleh kelompok tertentu, dan sebagainya. Apakah
para politisi kita juga terlibat “Politik-Porno”? Apa bedanya mereka dengan
pelacur? “Manakah yang lebih bermoral, pelacur yang baik atau oknum politikus
yang melakukan politik porno yang jahat”? Apa bedanya seorang pelacur
dengan seorang politikus? Apa jawabannya jika ada orang yang mengajukan
pertanyaan demikian? Dalam masyarakat yang sudah terlanjur menistakan pelacur,
sementara para politisi bisa beretorika
mengenai kebaikkan, keadilan, kesejahteraan dan lain-lain sebagainya sambil
menginjak-injak apa yang mereka sebut rakyat itu, pasti sulit untuk mendapatkan
jawaban bahwa, pelacur yang baiklah yang bermoral. Atau jawaban lain adalah baik pelacur
maupun oknum politikus sama-sama tidak bermoral, mereka sama-sama melacur.
Hanya saja yang satu melacur dengan menggunakan (maaf) “anu”-nya, sedangkan
yang satu lagi melacur dengan inteleknya (Gunawan, 1997).
Bermoralkah
para politisi kita di DPR/DPRD yang
mendapatkan berbagai fasilitas dan kesejahteraan yang semuanya dibayar dari
uang hasil keringat rakyat (mungkin juga uang pinjaman luar negeri yang dalam
hal ini akan menjadi beban rakyat juga sampai beranak-pinak), tetapi kurang
atau bahkan sama sekali tidak peduli dengan penderitaan dan perjuangan para
pengungsi, petani, buruh tani, nelayan kaum cilik yang miskin yang dalam hal
ini adalah orang-orang yang telah berjasa membuat mereka menjadi besar dan
terhormat? Bukankah mereka itu seyogianya berpihak, membela dan memperjuangkan
mayoritas masyarakat miskin agar bisa hidup selayaknya seperti orang-orang yang
telah diangkatnya?
Kasus kedua adalah kaum teknokrat/akademisi. Pertama, beberapa
waktu lalu muncul berita heboh dari Kampus Universitas Gajah Mada (UGM) tentang
penjiplakan tesis oleh seorang dosen (mahasiswa program magister) dari
Universitas Swasta yang bernaung di bawah Departemen Agama dan seorang pejabat
tinggi (kandidat doktor). Menurut
Rusli Karim (Ansori, 2000), fenomena jiblak-menjiblak karya ilmiah secara
statistik berkisar antara 40 sampai 85 persen. Apakah
perilaku plagiator karya ilmiah tersebut bermoral? Kedua, fenomena mulai
melunturnya sikap kritis kaum akademisi (Sobary, Kompas tanggal 2 September
2001). Ketiga, oknum dosen/guru yang jarang mengajar/membimbing
mahasiswa/siswa; dosen biasa diluar (kebalikan dari dosen luar biasa); pemimpin
dosen/guru yang kurang memperhatikan atau berempati dengan nasib dosen/guru dan
sivitas akademikanya. Keempat, mahasiswa/dosen yang memanipulasi data atau
menyimpan hasil penelitian; dapat
disebut sebagai dosen/guru atau seorang pemimpin dosen/guru yang bermoral?
Kasus ketiga adalah kasus kaum birokrat/eksekutif. Menurut Lembaga Transparancy International, Indonesia termasuk
dalam kategori negara terkorup nomor tiga (1999), nomor empat (2000) di dunia,
dan nomor dua di dunia (Metro TV) pada tahun
2001. Disamping itu, ternyata praktek korupsi juga turut melanda institusi
pendidikan (18,1%), kesehatan (21,2%) bahkan lembaga keagamaan tidak luput dari
korupsi (27,7%), (Kompas, hal 8, tanggal 17 September 2001). Pertanyaannya,
siapakah yang melakukan tindakan korupsi tersebut? Bukankah mereka itu
merupakan kaum terdidi, dan terlebih lagi merupakan orang-orang yang telah
mengaku beragama, mengaku berjanji bahkan bersumpah kepada Tuhan-nya sebelum
menjalankan tugas? Bermoralkah mereka ?.
Kasus
keempat adalah kasus kaum yudikatif.
Menurut hasil pengumpulan (pooling) pendapat diketahui bahwa, perlakuan
yang diterima warna negara selama ini 72,7 persen belum adil. Menurut responden
tidak ada satu institusi keadilan di negeri ini yang sudah mempraktekan
keadilan bagi masyarakat. Institusi kehakiman, kejaksaan dan kepolisian pun
belum mencerminkan keadilan (71 persen). Lebih parah lagi MA yang dipandang
sebagai benteng akhir untuk mencari keadilan ternyata hanya 2/3 persen.
Ketidakadilan ini tercermin dalam
penuntasan berbagai kasus yang menyangkut politik, ekonomi, KKN, pelanggaran
HAM, dan pelanggaran militer. Hilangnya kewibawaan kaum penegak hukum dalam
menerapkan rasa keadilan masyarakat tampaknya menjadi batu sandungan kian
terpuruknya lembaga peradilan di mata
publik. Akhirnya masyarakat (responden) menyakini bahwa hanya 15 persen
kebenaran hukum yang masih dipegang oleh penegak hukum (Kompas tanggal 8
Oktober 2001, halaman 8). Kasus pembebasan Tommy Soeharto merupakan fakta
sejarah yang sulit untuk dibantah. Apakah perilaku tersebut bermoral?
Walaupun wajah moralitas kaum terdidik negeri kita nampak
memprihatinkan, tetapi secara kasuistik masih saja ada orang yang memiliki
integritas diri yang tinggi. Sobary dalam tulisannya: “Zaman Sontoloyo” (Kompas,
2 September 2001), mengemukakan antara lain: Munir, Baharuddi Lopa, Adi Andojo
Sutjipto, Benjamin Mangkudilaga, Mulia Lubis, Sutradara Ginting, Malik Fajar,
Cak Nur, dan yang lainnya. Disamping itu masih ada tokoh lain, seperti
Bapak/Ibu dosen/guru, politisi/birokrat yang masih memiliki integritas diri yang tinggi
Berdasarkan uraian tersebut, maka diajukan pertanyaan
antara lain: “fenomena apakah yang sebenarnya telah melanda kaum terdidik, yaitu
kaum politisi, kaum birokrat, dan kaum teknokrat/akademisi, kaum yudikasi atau
praktisi lainnya? Dekadensi moralkah? ataukah sesungguhnya telah terjadi
transformasi nilai sehingga melahirkan moral baru yang membingungkan masyarakat terdidik lain ataupun masyarakat
kebanyakan (non-terdidik)? Adakah korelasi antara moral kaum terdidik dengan
tingkat pendidikan yang telah diraihnya?
Sebelum pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab, maka
terlebih dahulu dikemukakan pengertian moral, moralitas, jenis-jenis moral, dan
filsafat pendidikan.
III.
Pengertian dan Jenis Moral
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Nurudin, 2001) moral
berarti ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap,
kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi
pekerti, susila. Sedangkan bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik buruk,
berakhlak baik. Menurut Immanuel Kant
(Magnis Suseno, 1992), moralitas adalah hal kenyakinan dan sikap batin dan
bukan hal sekedar penyesuaian dengan
aturan dari luar, entah itu aturan hukum negara, agama atau adat-istiadat.
Selanjutnya dikatakan bahwa, kriteria mutu moral seseorang adalah hal kesetiaanya pada hatinya sendiri.
Moralitas adalah pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum, sedangkan
hukum itu sendiri tertulis dalam hati manusia. Dengan kata lain, moralitas
adalah tekad untuk mengikuti apa yang dalam hati disadari sebagai kewajiban
mutlak.
Konsep Kant tersebut selanjutnya dikembangkan dan dikritisi
oleh Hegel. Hegel mengemukakan bahwa,
konsep moralitas yang dikemukakan oleh Kant adalah “abstrak” karena tidak memperhatikan bahwa manusia dengan otonominya, jadi suara
hatinya selalu sudah bergerak dalam rungan yang ditentukan oleh struktur-struktur sosial yang mewadahi
tuntutan-tuntutan moral juga. Dengan demikian
bagi Hegel kebebasan manusia
bukan sekedar sikap otonomi batin,
melainkan merupakan hakekat seluruh kerangka sosial didalam manusia
merealisasikan diri. Ini berarti bahwa
kebebasan harus terungkap dalam tiga lembaga yang satu sama lain berhubungan
secara dialektis, yaitu: (a) hukum, (b) moralitas individu, dan (c) tatanan sosial moral (“Sittlichkeit”).
Jadi perbedaan pandangan antara Kant dengan Hegel tentang moral sebenarnya hanya relatif,
yaitu Hegel menganggap bahwa Kant
berlebihan dan abstrak. Menurut Hegel apabila kehidupan masyarakat
didasarkan pada tatanan normatif yang rasional dan menghormati kebebasan, tak perlulah subjek setiap kali mengeluarkan begitu banyak tenaga batin. Ia dapat mengandalkan tatanan normatif itu. Ia boleh “ikut-ikutan”
dengan pandangan serta tatanan moral
masyarakat. Akan tetapi hanya tidak berseberangan dengan suara hatinya. Apabila
kesadaran moral subjek meragukan tatanan moral
sosial itu, maka ia harus secara
otonom mencari apa yang sebenarnya menjadi kewajibannya, ia tidak boleh
mengikuti apa yang diharapkan oleh lingkungannya (Magnis Suseno, 1992).
Selaras dengan pendapat tersebut,
Kattsoff (1996) menambahkan bahwa moral seseorang dapat ditilik dari pandangan
subjektivitas (kebenaran menurut pandangan pribadi/hati nurani) dan kombinasi
pandangan subjektivitas dengan pandangan objektivitas (kebenaran menurut
pandangan pribadi dan orang lain/tatanan nilai masyarakat).
Tarumingkeng
(2001) merangkum beberapa jenis moral yang dipetik dari berbagai sumber di
internet (Tinjauan Ensiklopedi Filsafat), antara lain: (1) moral realism
(moral berdasarkan kondisi yang nyata/realitas); (2) moral luck (moral
yang dipengaruhi oleh faktor keberuntungan), (3) moral relativitism
(moral yang bersifat relatif), (4) moral rational (moral berdasarkan
penggunaan akal sehat atau prosedur rasional), (5) moral scepticism
(moral yang menunjukkan sikap ragu-ragu
karena tidak memberikan penilaian berdasarkan pengetahun), dan (6) moral
personhood (moral yang ditentukan berdasarkan kesadaran, perasaan dan tindakan pribadi atau
merupakan bagian dari moral masyarakat. Moral masyarakat menyangkut
semua yang memerlukan pertimbangan moral dalam hal-hak dan kewajiban).
IV.
Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan dalam arti luas dapat dibedakan
dalam dua jenis, yaitu: (1) filsafat praktek pendidikan dan (2) filsafat ilmu pendidikan (Mudyahardjo,
2001). Filsafat praktek pendidikan adalah
analisis kritis dan komprehensif
tentang bagaimana seharusnya
pendidikan diselenggarakan dan dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Filsafat praktek pendidikan dapat
dibedakan menjadi: (a) filsafat proses pendidikan (biasanya hanya disebut
filsafat pendidikan) dan (b) filsafat sosial pendidikan. Filsafat proses
pendidikan adalah analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya kegiatan pendidikan
dilaksanakan dalam kehidupan manusia.
Filsafat proses pendidikan biasanya membahas tiga masalah pokok, yaitu: (1)
apakah sebenarnya pendidikan itu, (2) apakah tujuan pendidikan itu sebenarnya, dan (3) dengan cara apakah
tujuan pendidikan itu dapat dicapai (Henderson, 1959 dalam Mudyahardjo,
2001). Filsafat sosial pendidikan merupakan analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya
pendidikan diselenggarakan dalam mewujudkan tatanan manusia idaman.
Filsafat sosial pendidikan, terkait dengan tiga masalah pokok, antara lain: (1)
hakekat kesamaan pendidikan dan pendidikan, (2) hakekat kemerdekaan dan
pendidikan, dan (3) hakekat demokrasi dan pendidikan.
Secara konsepsional filsafat ilmu pendidikan didefinisikan
sebagai analisis kritis komprehensif tentang pendidikan sebagai salah satu bentuk teori pendidikan yang
dihasilkan melalui riset, baik kualitatif maupun kuantitatif. Objek filsafat
ilmu pendidikan dapat dibedakan dalam empat kategori, yaitu:
(1) Ontologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat substansi dan
pola organisasi ilmu pendidikan.
(2)
Epistemologi ilmu pendidikan, membahas tentang
hakekat objek formal dan material ilmu pendidikan.
(3)
Metodologi
ilmu pendidikan, membahas tentang
hakekat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan, dan
(4) Aksiologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat nilai
kegunaan teoritis dan praktis ilmu pendidikan.
Status filsafat ilmu pendidikan dengan filsafat secara umum
ditampilkan pada Gambar 1 (Mudyahardjo, 2001).
Selanjutnya disebutkan bahwa,
aliran-aliran filsafat pendidikan, antara lain: aliran idealisme, realisme,
scholatisisme, empirisme, pragmatisme dan aliran neoposivitisme.
V. Moralitas Kaum Terdidik
Mencermati
berbagai realitas moral yang diperankan oleh kaum politisi, kaum
teknokrat/akademisi, kaum bikokrat/eksekutif, dan kaum yudikatif, maka apa
jawabannya terhadap moral mereka? Tidak
bermoralkah? Berdasarkan tinjauan jenis-jenis moral yang berkembang seiring era
globalisasi, maka jawabannya, adalah bahwa mereka semua bermoral. Pelacur atau pekerja seks komersialpun bermoral, hanya saja
masing-masing orang/pribadi menganut nilai-nilai moral yang berbeda, dan
masing-masing pribadi menilai moral orang lain berdasarkan pandangan pribadinya
yang diduga bertentangan dengan moral orang lain (I know, but Others
not know, or I not know, but Others know).
Berdasarkan perilaku (overt behavior) yang dimainkan
oleh kaum politisi, yaitu perilaku “money politics”, “money game”
dan “politik-porno”, maka dapat
disimpulkan dari sudut pandang masyarakat (pandangan objektivitas) versi Hegel,
bahwa moral yang dianut oleh kaum politisi adalah moral luck, yaitu
moral yang dipengaruhi oleh faktor keberuntungan. Hal ini disebabkan oleh faktor
kapasitas, temparamen, cara bertindak
dan adanya proyeksi tertentu. Hal ini selaras dengan pendapat Nagel
(Tarumingkeng, 2001) yang meemukakan bahwa, ada empat faktor keberuntungan yang
berperan dalam menentukan moral
seseorang, yaitu: (1) Constitutive Luck, yaitu
menyangkut kecenderungan, kapasitas dan temperamen seseorang; (2) Circumstantial
Luck, yaitu menyangkut jenis masalah dan situasi yang dihadapi; (3) Causal
luck, yaitu menyangkut bagaimana sesuatu ditentukan oleh keadaan sebelumnya,
dan (4)
Resultante Luck, yaitu menyangkut cara seseorang
bertindak dan memproyeksikan sesuatu hal. Disisi lain, dari sudut
pandang subjektivitas versi Kant, kaum politisi bisa memberikan pembelaan
dengan mengatakan bahwa, kami menganut moral
relativitism. Menurut Pratogoras
(Tarumingkeng, 2001) moral relativitism adalah “man is the measure of
all things, atau “a human being is measure by all things”
Selanjutnya disebutkan bahwa moral relativitism dibangun berdasarkan
perilaku seseorang dan nilai budaya/tradisi yang dianutnya. Dengan demikian
akan muncul dilema moral antara “rakyat” dengan “wakil rakyat” yang akan
menghasilkan conflict of interest pada akan berakhir dengan konflik
sosial.
Bagaimana dengan moral kaum teknokrat/akademisi? Tidak
bermoralkah mereka? Kasus jiblak-menjiblak skripsi/tesis/disertasi, kasus
dosen/guru “biasa diluar”, kasus pemimpin dosen/guru yang kurang berempati
terhadap bawahannya, kasus sikap kurang kritis dari sudut pandang subjektivitas
dapat dikategorikan dalam moral luck dan moral relativitism.
Sejauh pertimbangan nilai menguntungkan pribadi secara relatif, maka moral
tersebutlah yang dianut. Tetapi dari sudut pandang tata nilai sosial (pandangan
objektivisme) moral yang dianutnya berseberangan dengan moral rational.
Demikian pula dengan sikap kurang kritis dapat disebut sebagai moral
scepticism.
Kaum birokrat/eksekutif menjadi fokus pembicaraan mengenai
kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Di negara yang mengaku beragama ternyata
tingkat korupsinya semakin mencengangkan, sekaligus memilukan nurani. Apakah para birokrat atau penyelenggara
ini tidak bermoral? Jawabannya tidak, ternyata moral yang mereka anut sama-sama
kompak dengan moral-nya kaum politisi dan kaum akademisi, yaitu moral luck,
dan moral relativitism, yaitu moral yang dipengaruhi oleh faktor
keberuntungan yang bersifat relatif sesuai dengan nlai budayanya. Moral realism, dan moral rational
yang terdapat dalam masyarakat tidak dipertimbangkan. Jika masyarakat
menggugat, maka mungkin pula “politik porno” yang diturunkan untuk
“mengamankan” masyarakat yang
bersangkutan. Akan tetapi jika moral luck ini semakin membudaya, maka
diduga akan tinggal hitung tahun saja Indonesia bisa bangkrut, koleps dan
akhirnya bisa menjadi senasib dengan negara Yogoslavia dan Uni soviet.
Bagaimana dengan moral kaum yudikatif? Berdasarkan data hasil pooling pendapat tersebut,
ternyata lembaga-lembaga peradilan belum mencerminkan keadilan. Faktor apakah
yang menyebabkan demikian? Apakah ada “money game”? yang jelas ada indikasi
kearah itu. Seorang Profesor yang juga mengajar pada pascasarjana IPB
menceriterakan pengalamannya yang
dipermainkan oleh oknum penegak hukum yang berpredikat pengacara sampai pusing
sehingga akhirnya memutuskan untuk berhenti melanjutkan perkaranya. Bermoralkah
mereka itu? Jawabannya ya, moral yang mereka sama dengan moral-nya kaum
politisi, kaum akademisi, dan birokrat, yaitu moral luck, dan moral
relativitism, yaitu moral yang dipengaruhi oleh faktor keberuntungan yang
bersifat relatif. Moral realism, dan moral rational yang terdapat
dalam masyarakat tidak dipertimbangkan bahkan dikebiri.
Merespon realitas tersebut, maka ada seseorang menyampaikan
puisi buat kaum terdidik berjudul “Guru, Doktor, dan Profesor” (dipetik dari
Internet tanggal 28 September 2001,
<tletug@yahoo.com>)
sebagai berikut:
“Kawan, bila pendidikan kita
telah maju, banyak gelar doktor dan profesor,
menempel di daftar para pejabat negeri kita, namun orang boleh saja
lempar tanya, doktor dan profesor macam apa mereka. Kemarin dulu, orang bangga
dengan gelar guru sekarang kini, orang mengejar jadi guru dengan laku kecu. Kau
lihat kawan, banyak doktor dan profesor tersohor, bukan karena teori dan kerja
keras, tapi kerna suka nyocor kayak orang kurang waras, kerna suka ngompor
teriak libas lindas, kerna suka komentor di ruang lepas.Bila ia disebut doktor,
maka pantaslah menjabat doktor kompor, bila ia seorang profesor, maka pantaslah
ia disebut profesor bawor. Kini kita harus menikmati para doktor dan profesor
produk rejim keji, menanamkan mental tukang beli, hingga gelar pun harus
dibeli. Bila kau sekolah tinggi-tinggi ingatlah bila pulang nanti, banyak guru,
doktor dan profesor sudah tidak lagi laku di antara kami; banyak sudah di
antara mereka telah melacurkan diri pada para kecu, tuk mengelabui bapak-emakku
di pelosok negeri, tuk memanasi situasi negeri, tuk mengobrak-abrik kedamaian
negeri, tuk menyebar virus dengki dan iri, tuk memacu laku korupsi, tuk
menjadikan anak-anak negeri, kaki tangan para bandit yang berlagak suci. Coba
hitung dan amati, semua doktor dan profesor rejim jaman keji, catat kata dari
congor tanpa henti bedebah, siapa tahan mendengar para profesor tukang kompor,
bau tengik tai anjing. Kawan, kudengar rintihan dan jeritan di pelosok sana,
kudengar tangisan para pemuda belia, kudengar sengalan anak-anak balita
merindukan jiwa-jiwa mulia
yang lahir di jaman duka kita. Sengalan, rintihan, dan tangisan mereka,
kudengar makin keras dan manjauh, tertutup kabut kegelapan masa depan. Tinggal
lolongan hati sendiri di mana cahaya kan menerangi, pekat gelap malam panjang
negeri kita.”
Budaya moral luck, moral relativism, dan moral
scepticism tersebut jika dibiarkan berkembang, maka akan menimbulkan petaka
bagi bangsa Indonesia. Dengan demikian strategi yang dilakukan adalah:
“strategi membasmi tikus dengan menggunakan perangkap” ataukah
“menangkap kelinci dengan memakai jerat”. Permasalahan yang muncul
adalah siapakah yang mampu melakukan strategi tersebut?
VI. Qua Vadis Moralitas Kaum Terdidik ?
Mencermati
perilaku moral yang sedang dianut oleh kaum politisi, teknokrat/ akademisi, dan
kaum birokrat/eksekutif, dan kaum yudikatif, baik di tataran pusat maupun
daerah; dan dalam rangka pembangunan Indonesia Baru, yaitu: Indonesia yang
bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme; Indonesia yang steril dari kerusuhan dan pengungsian;
Indonesia yang memiliki “good-governance”; Indonesia yang dapat mengejar
ketertinggalan pendidikan, dan Indonesia yang maju dan mandiri, maka kaum terdidik di perlu melakukan
beberapa strategi antara lain:
(1)
Reorientasi
Moral Kaum Terdidik
Pembangunan pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan
harkat dan martabat manusia. Pembangunan pada akhirnya akan dapat meningkatkan keberdayaan
dan kemandirian masyarakat jika semua stake-holder pembangunan memiliki
nilai-nilai intrinsik yang tinggi (Kartasasmita, 1996). Pembangunan yang
dilakukan dengan landasan moral luck dan moral relativitism akan
menggerogoti dan akhirnya meruntuhkan masyarakat dan negara itu sendiri.
Demikian pula pembangunan masyarakat Indonesia perlu ditinjau kembali
berdasarkan kearifan global dan lokal dalam hidup berbagai aspek kehidupan.
Pertama-tama harus dimulai dari dalam diri (keluarga) kaum terdidik yang duduk
di birokrasi/eksekutif, legistatif,
yudikatif, perguruan tinggi,
lembaga keagamaan, lembaga bisnis, dan para praktisi (LSM). Reorientasi moral
dari moral luck, moral relativitism dan moral scepticism
ke moral rational; dan moral
realism mutlak diperlukan untuk membangun Indonesia Baru. Kaum
terdidik sebagai bagian dari komunitas sosial perlu mempertimbangkan atau
melakukan akuntabilitas publik terhadap
profesinya, karena kehidupan kaum terdidik ibarat pelita yang terletak
di atas sebuah gunung yang dapat menerangi keremangan dan kegelapan kehidupan,
dan ibarat garam yang dapat memberikan cita rasa terhadap kebusukan dan
kelestarian Bangsa Indonesia.
(2)
Reaktualisasi Modal Sosial
Reorientasi moral kaum terdidik belumlah cukup, tetapi masih
harus diperkaya dan dikembangkan dengan investasi sumberdaya manusia yang
memiliki peran strategis dalam membangun Indonesia dimasa kini dan mendatang.
Reaktualisasi modal sosial (social capital), seperti: kejujuran,
kepercayaan, kesediaan dan kemampuan untuk bekerjasama-berkoordinasi,
penjadwalan waktu dengan tepat, kebiasaan untuk berkontribusi dalam upaya pembangunan merupakan hal yang fundamental
dalam melengkapi kesucian hati nurani. Hal ini perlu dilakukan mengingat pembangunan
yang dilaksanakan selama ini lebih mengutamakan aspek ekonomi, yang akhirnya
memunculkan sejumlah masalah dan bencana nasional, seperti: ketimpangan sosial,
disparitas pendapatan yang mencolok, ketidakadilan, ketidakmerataan hasil
pembangunan, kemiskinan, ketergantungan, ketertinggalan dan sebagainya.
Disinilah letaknya bias program pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian
diperlukan sikap kearifan lokal dalam membangun manusia di daerah masih-masing
sesuai spesifik lokasinya. Pembangunan ekonomi yang dilakukan seiring dengan
pembangunan modal sosial pelaksana dan penerima manfaat pembangunan akan
meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan itu sendiri.
Seorang dosen lulusan program magister (S-2) dan program doktor
(S-3) di Jepang pernah berceritera di depan kelas, dan setelahnya
mengajukan satu pertanyaan kepada para
mahasiswa program magister. Pertanyaannya sederhana: “apakah yang menyebabkan
negara Jepang itu maju”? jawabannya singkat, yaitu: karena mereka memiliki
“kejujuran” pada hati nuraninya alias mereka memiliki modal sosial yang tinggi.
Jika mereka kedapatan melakukan suatu kesalahan dalam pemerintahan maka mereka
dengan berjiwa besar untuk mengundurkan diri. Berbeda sekali dengan di
Indonesia, bangga kalau korupsi, bangga pamer harta hasil korupsi, bangga kalau
menceriterakan jumlah persenan yang diterima dari hasil kolusi proyek-proyek,
padahal sebelum jadi pimpro atau pimpinan
biasa saja.
Tak terasa sudah kurang lebih empat tahun krismon melanda
Indonesia, tetapi nampaknya tidak
seorangpun pejabat, birokrat, anggota dewan, dan pimpinan perguruan tinggi yang
mengundurkan diri (kecuali Soeharto dipaksa untuk mundur) dari jabatan karena
ketidak-mampuannya mengatasi masalah krismon. Yang terjadi hanya bongkar pasang
presiden, bongkar pasang angota kabinet, terjebak isu global tentang “insiden
WTC” yang akhirnya ibarat “memercik air di dulang”. Masyarakat non-terdidik
bertanya-tanya kalau sampai mereka yang bergelar sarjana/insinyur, master,
doktor, dan profesor yang jumlahnya berlimpah ruah tidak mampu memecahkan masalah
krismon, masalah politik porno, lalu apa gunanya pendidikan yang diperolehnya
itu?
(3)
Transformasi Pendidikan
Mengacu pada fenomena perilaku moral yang dilakukan oleh kaum
terdidik, maka dapat ditarik suatu simpulan sementara bahwa, jenjang pendidikan tinggi yang diperoleh
ternyata cenderung berkorelasi secara negatif dengan moral kaum terdidik,
artinya semakin tinggi tingkat pendidikan formal seseorang maka moralnya
cenderung semakin rendah. Gejala ini dikarenakan oleh beberapa
fakfor, antara lain:
Pertama,
karakteristik personal dari orang yang bersangkutan, seperti: motivasi yang
terkait dengan kebutuhan dasar (basic needs) atau rendahnya tingkat
pendapatan. Kartorius Sinaga (Kompas, tanggal 14 Oktober 2001, halaman 13)
mengemukakan bahwa gaji Rp 1,5 juta untuk hidup di Jakarta tidak cukup, padahal
jika dibandingkan dengan lembaga tertentu yang menyelenggarakan diskusi/seminar
sekali tampil honornya sekitar Rp 2 sampai Rp 3 juta. Fakta lain, yaitu seorang
profesor (guru besar) yang mengajar di perguruan tinggi gajinya relatif rendah
dibandingkan dengan gaji seorang manajer atau direktur sebuah perusahan swasta.
Honor konsultan asing biasanya dibayar lebih tinggi dibandingkan dengan
konsultan dalam negeri padahal kemampuannya tidak diragukan.
Kedua,
karakteristik situasional, yaitu: kebijakan pemerintah terhadap kaum terdidik,
yaitu rendahnya pengakuan (recognation) pemerintah terhadap kemampuan
kaum terdidik. Contohnya, yaitu terbatasnya dana pendidikan. Hal ini telah menimbulkan berbagai konsekuensi dalam bidang
pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Terbatasnya dana beasiswa
untuk mahasiswa pascasarjana di dalam negeri turut mempengaruhi daya beli
terhadap buku dan kemampuan melakukan penelitian, dan lain sebagainya. Menurut
Mendiknas sistem pendidikan di Indonesia terburuk di Asia, yaitu Indonesia
menduduki urutan ke 12 di bawah Malasya dan Vietman (Kompas, tanggal 5
September 2001).
Ketiga,
sistem pendidikan. Abdul Kappi (Kompas, tanggal 22 September 2001)
mengemukakan bahwa program pendidikan nasional hanya sebatas melahirkan
“manusia karet”. Hal ini dikarenakan oleh kepemihakan program pendidikan pada
pengembangan logika (ilmu pengetahuan), dan mengabaikan pendidikan budi pekerti
(etika dan estetika). Tukiman Taruna (Kampas, 22 September 2001)
menyarankan agar pendidikan harus
dikembalikan pada dinamika kultural Bangsa Indonesia. Abdul Malik Fajar
(Mendiknas) mengemukakan bahwa ada empat hal yang harus ada dalam mengembangkan
pendidikan, yaitu: (1) pertumbuhan, (2) perubahan, (3) pembaharuan, dan (4)
kontinuitas.
Mencermati realitas
pendidikan Indonesia, maka diperlukan perhatian kebijakan pemerintah terhadap
pengakuan kaum terdidik, khususnya mengenai kesejahteraan, peningkatan dana
pendidikan, dan khususnya diperlukan
transformasi dalam sistem pendidikan formal dari yang bersifat pragmatis ke
arah filsafat aliran neoposivitisme, yaitu dari aspek filsafat dan pendidikan,
seperti dirangkum oleh Mudyahardjo (2001), sebagai berikut:
1. Aspek
Filsafat
(a). Metafisika
Kenyataan yang sebenarnya
adalah kenyataan yang diungkap oleh ilmu-ilmu kealaman. Bentuk kenyataan yang
sebenarnya adalah sebuah jaringan hubungan sebab-akibat yang berlangsung dalam
waktu dan tempat atau spatio temporal-causal network.
(b). Humanologi
Manusia merupakan satu
kesatuan jiwa dan tubuh (monistik).
Manusia adalah homo sapiens sehinga merupakan: (a) animal symbolicum, yaitu
binatang yang memiliki bahasa yang mempunyai aturan-aturan sintaksis, semantis
dan pragmatik, dan, (b) animal rationale, yaitu mempunyai kemampuan berpikir
ilmiah atau berpikir tersusun sistematis, dan berpikir reflektif kritis atau
memperkirakan dasar pemikiran.
(c). Epistemologi
Sumber pengetahuan adalah
penginderaan. Penginderaan hanya dapat menangkap peristiwa-peristiwa tinggal dan
material. Pengetahuan merupakan hasil pengolahan dengan menggunakan logika induktif terhadap fakta hasil
penginderaan. Logika tersusun dari aturan-aturan sintaksis. Pernyataan tidak
semalanya mempunyai makna. Sebuah pernyataan mempunyai makna apabila: (a) dapat
dibuktikan kebenarannya secara intersubjektif atau pembuktian mudah dilakukan
sekurang-kurangnya dua orang, dan (b) berdasarkan hukum-hukum sintaksis bahasa
atau hukum-hukumpenyusunan bentuk kalimat.
(d). Aksiologi
Tidak mengakui nilai absolut
tetapi menolak pula nilai yang bersifat subjektif seperti yang berlaku dalam
nilai estetis. Nilai yang ada adalah nilai yang bersifat bio-psikologis
ekonomik historis. Dasar
tingkah laku moral adalah pengetahuan ilmiah serta cinta dan simpati manusia.
Pertimbangan-pertimbangan moral yang tertanam dalam diri pribadi melalui proses
pendidikan dan sosialisasi menjadi dasar kemauan bebas dalam menentukan pilihan
norma-norma yang tertanam dalam kebiasaan-kebiasaan berfungsi motivatif
bersifat mewajibkan.
2. Aspek Pendidikan
(a) Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan bersifat sosial atau tak langsung
adalah membentuk sebuah masyarakat yang demokratis dan sebuah pemerintahan
dunia yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral humanisme ilmiah, moral yang
bersifat biopsiko-sosiochonomik sehingga mengacu pada kebutuhan-kebutuhan,
kepentingan-kepentingan dan gagasan-gagasan manusia yang tumbuh dalam peradaban
manusia. Tujuan-tujuan pendidikan yang bersifat individual adalah mengembangkan kepribadian yang
didalamnya membantu pertumbuhan intelektual dan moral.
Pertumbuhan intelektual tertuju untuk mencapai kematangan
berpikir yang mencerminkan kebajikan-kebajikan utama dalam kemampuan ilmiah yang mempunyai ciri: (a)
berpikir jernih, (b) penyimpulan yang mantap dan tepat, (c) mempunyai kesesuaian faktual dan reabilitas,
(d) objektivitas, (e) rasionalitas dalam bertingkah laku, (f) rasionalitas
moral, yaitu: setia pada prinsip keadilan, kesamaan dan bebas dari paksaan dan
kekerasan. Perkembangan moral bertujuan agar individu memiliki: sikap ilmiah,
sikap humanis, sikap sosial berdasarkan rasa cinta kepada sesama manusia.
(b) Kurikulum Pendidikan
Mengutamakan pendidikan
intelektual (ilmu-ilmu kealaman, sosial, dan pendidikan teknologi, matematika,
pendidikan bahasa) dan pendidikan
moral. Pendidikan moral untuk
mengembangkan kebajikan: (a) sikap berusaha mencapai kesempurnaan diri, (b)
sikap adil, (c) sikap jujur, tidak memihak, (d) sikap mengakui kesamaan antara
sesama manusia.
(c) Metode pendidikan
Pengajaran ilmu dipraktekan
sebagai seni. Pengajaran ilmu untuk hal-hal pokok diajarkan melalui
eksperimen/latihan intelektual. Pendidikan moral diajarkan melalui pembiasaan moral berdasarkan prinsip
otonomi fungsional, dengan cara atau proses, yaitu: (a) seseorang menerima
nilai-nilai dari luar melalui belajar dari ilmu dan/atau yang diperkenalkan
orang lain melalui teladan dan/atau perintah. Nilai-nilai ini merupakan nilai pinjaman yang bersifat instrumental
atau dapat dipakai sebagai alat penolong sementara dalam mempertimbangkan apakah suatu tindakan akan dilakukan atau
tidak, dan (b) melalui penggunaan nilai-nilai pinjaman yang bersifat sementara berangsur-angsur menjadi
nilai-nilai yang diakui sebagai milik sendiri yang mantap tertanam menjadi
dasar pertimbangan moral sesuatu tindakan.
(d) Peranan peserta didik dan pendidik
Peserta didik kurang dilengkapi dengan instink, tetapi mempunyai
kemampuan terpendam yang memungkinkan dirinya untuk berpikir pada tingkatan
yang tertinggi. Peserta didik tidak hanya pasif menerima bantuan, tetapi aktif
melakukan latihan dan peniruan. Para pendidik bertugas: (a) melatih
intelektual dan vokasional, (b) menyajikan informasi secara sistematis, (c)
membimbing. Dalam pendidikan moral sebagai pembentukan kesadaran moral atau
pembentukan superego, pendidik berperan sebagai: (a) memberi ganjaran, dan (b)
memberi hukuman.
VII. Penutup
Dampak
globalisasi telah menimbulkan transformasi nilai-nilai dalam kehidupan
masyarakat. Kesadaran akan hak-hak personal seseorang semakin tinggi,
kehidupan yang cenderung semakin individualis, semakin permisif, dan lunturnya
nilai-nilai intrinsik. Moral kaum terdidik yang diwujudkan dalam berperilaku
cenderung mengedepankan moral luck, moral scepticism, moral
relativitism, yaitu moral yang cenderung subjektif yang menguntungkan
pribadi. Sedangkan moral masyarakat non-terdidik lainnya dianggapnya citeris
paribus. Masyarakat non-terdidik masih mengharapkan pencerahan, keteladan
hidup, dan berbagi kehidupan yang lebih adil, merata, arif dan bijaksana dalam
menuju suatu tatanan kehidupan bersama yang lebih baik dan lebih sejahtera, dan
lebih mandiri.
Akhirnya, selagi kaum terdidik diberi gelar, diberi
jabatan, diberi kedudukan, diberi peran dalam bentuk apapun, maka biarlah
semuanya itu digunakan untuk melayani sesama di Republik Indonesia ini,
khususnya bagi kaum non-terdidik.
Kata orang bijak: “Think globally, and act locally”
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, D. S., (Ed.)
2000. Menggagas Pendidikan Rakyat. Otosentrisitas Pendidikan dalam Wacana
Politik Pembangunan Alqaprint, Jatinangor, Bandung.
Fajar, M., Pendidikan
Harus Bisa Membekali Lulusannya Menghadapi Kehidupan. Harian Kompas Tanggal 15
September 2001.
Gunawan, F.X. R., 1997. Pelacur dan Politikus. Pustaka Utama
Grafiti. Jakarta.
Haryatmoko, 2001. Terorisme, Politik
Porno, dan Etika Kenyakinan. Kompas. Jakarta
Hettne, B., 2001. Teori Pembangunan dan Tiga Dunia. PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Kattsoff, L. O., 1996. Pengatar Filsafat. Sebuah Buku Pegangan
untuk Mengenal Filsafat. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Kartasasmita, G., 1996. Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan
Pertumbuhan dan Pemerataan. Cides. Jakarta.
Kompas, Tanggal 5 dan 17 September 2001.
Kompas, Tanggal 8 dan 14
Oktober 2001.
Letug, T., 2001. Guru, Doktor dan Profesor. Dipetik Dari
Internet tletug@yahoo.com
Tanggal 28 September 2001
Mudyahardjo, R., 2001. Filsafat Ilmu Pendidikan. Suatu
Pengantar.PT. Remaja Rosdakarya. Bandung
Nurudin, 2001. Komunikasi Propaganda. PT. Remaja Rosdakarya.
Bandung
Suseno, F. M., 1992.
Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Kanisius. Yogyakarta.
Suriasumantri, J. S., 2000. Filsafat
Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar harapan. Jakarta.
Sobary, M., 2001. Zaman Sontoloyo. Harian Kompas. Tanggal 2 September 2001.
Tarumingkeng, R. C., 2001. Kumpulan Bahan/Materi Kuliah
Pengantar Falsafah Sains (dalam bentuk
CD). IPB. Bogor.
Taruma, T. Kompas Tanggal 22 September
2001.
Tilaar, H.A.R., 1997. Pengembangan Sumberdaya Manusia Dalam Era
Globalisasi. Visi, Misi, dan program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020.
Grasindo. Jakarta.