Copyright © 2001 Program Pasca Sarjana IPB Uploaded 28 Sept 2001 (rudyct)
Makalah Kelompok II
Falsafah Sains (PPs 702) Sem 1 t/a 2001/2002
Program Pasca Sarjana
Institut
Pertanian Bogor
Sept 2001
Dosen Penanggung Jawab:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
SECARA TERPADU
Disusun oleh : Kelompok II
DINIAH (TKL. C526010021) MUH. ALI YAHYA (TKL. P26600005) (Ketua)
SRI
PUJIYATI (TKL. C526010011) PARWINIA
(SPL. P31600013)
SOBRI
EFFENDY (AGK. G226010011) MUH.
HATTA (IKL. C626010041)
MUH.
SABRI (TKL. C526010031) RUSYADI
(TKL. C526010051)
AHMAD
FARHAN (AGK. G266010041)
PENDAHULUAN
Tuna (Thunnus spp.) dan cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan sumberdaya
ikan yang potensial dikembangkan, baik sebagai salah satu sumber makanan sehat
bagi masyarakat juga sebagai sumber devisa negara. Tuna dan cakalang merupakan
salah satu sumber protein hewani dengan
kandungan omega-3 yang sangat diperlukan oleh tubuh. Sebagai komoditi exportable, pengusahaan tuna dan
cakalang turut berperan dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu,
cukup beralasan jika pemanfaatan sumberdaya tuna dan cakalang ini terus meningkat.
Potensi
tuna dan cakalang di perairan Indonesia adalah 780.040 ton (Dahuri, 2001).
Walaupun secara nasional pemanfaatan sumberdaya tuna dan cakalang masih dapat
dilakukan, namun tingkat pemanfaatannya tidak merata di seluruh perairan
Indonesia.
Sumberdaya tuna (Thunnus sp) dan cakalang (Katsuwonus pelamis) cukup menyebar di
perairan Indonesia, dari barat hingga ke timur, dan lebih banyak menyebar di
perairan lepas pantai. Oleh karena itu, tidak banyak nelayan tradisional yang
turut memanfaatkan sumberdaya ini. Pemanfaatan sumberdaya tuna dan cakalang
lebih banyak dilakukan oleh perusahaan skala menengah ke atas, karena
memerlukan investasi yang relatif besar. Agar pemanfaatan sumberdaya tuna dan
cakalang dapat efektif dan efisien, maka diperlukan pengkajian terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemanfaatannya
KENDALA
Sebagaimana
pengusahaan sumberdaya perikanan lainnya, pemanfaatan sumberdaya tuna dan
cakalang ini pun dihadapkan pada beberapa kendala yang cukup rumit. Kendala tersebut
diantaranya bahwa sumberdaya ikan itu bersifat invisible, common property,
high risk dan highly perishable. Oleh karena itu perlu pendekatan yang terpadu
untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Sumberdaya
tuna dan cakalang tidaklah tampak secara langsung oleh mata manusia, karena
media hidup ikan dan manusia adalah berbeda. Perbedaan media ini dapat
diantisipasi dengan mempelajari tingkah laku ikan sasaran dan penggunaan alat
bantu pendeteksi. Studi tingkah laku
ikan perlu dilakukan untuk mengetahui keberadaan ikan sasaran, sehingga dapat
menghemat biaya operasional. Alat pendeteksi yang digunakan diantaranya adalah fish finder dan sonar.
Perairan
tempat ikan hidup adalah milik umum, laut tidak dikapling seperti halnya
daratan, sehingga siapapun dapat memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada di
perairan itu. Perebutan lokasi penangkapan ikan yang potensial dapat saja
terjadi. Oleh karena itu, diperlukan suatu peraturan dan atau undang-undang
untuk mengatasinya.
Usaha
penangkapan ikan merupakan usaha yang beresiko tinggi, karena kegiatannya
dilakukan di atas laut yang tidak dapat diinjak secara langsung. Untuk
mengurangi resiko kerja di laut dan agar manusia nyaman bekerja di laut, maka
diperlukan pengetahuan tentang teknologi perkapalan. Kapal dapat digunakan
sebagai tempat bernaung di tengah laut. Dan agar hasil tangkapan dapat
diperoleh sesuai dengan harapan, maka diperlukan pengetahuan tentang teknologi
penangkapan ikan.
Komoditi
ikan merupakan produk yang cepat rusak. Oleh karena itu, agar mutu dapat
dipertahankan, maka diusahakan ikan berada dalam sistem rantai dingin.
SUMBERDAYA TUNA DAN
CAKALANG
Tuna
dan cakalang merupakan anggota dari famili Scombridae. Ada beberapa jenis tuna exportable yang tertangkap dari perairan
Indonesia (Gambar 1), diantaranya adalah madidihang atau yellowfin tuna (Thunnus
albacares), tuna mata besar atau bigeye
tuna (Thunnus obesus), albakora
atau albacore (Thunnus alalunga) dan tuna sirip biru atau bluefin
tuna (Thunnus maccoyi). Selain
itu ada kelompok tuna exportable yang
disebut sebagai little tuna, diantaranya
adalah cakalang atau skipjack (Katsuwonus pelamis).
Gambar 1.
Jenis-Jenis Ikan Tuna.
Tuna
dan cakalang adalah ikan perenang cepat dan hidup bergerombol (schooling) sewaktu mencari makan. Kecepatan renang ikan dapat mencapai 50
km/jam. Kemampuan renang ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
penyebarannya dapat meliputi skala ruang (wilayah geografis) yang cukup luas,
termasuk diantaranya beberapa spesies yang dapat menyebar dan bermigrasi lintas
samudera. Pengetahuan mengenai
penyebaran tuna dan cakalang sangat penting artinya bagi usaha penangkapannya.
Jenis
tuna dan cakalang menyebar luas di seluruh perairan tropis dan subtropis.
Penyebaran jenis-jenis tuna dan cakalang tidak dipengaruhi oleh perbedaan garis
bujur (longitude) tetapi dipengaruhi
oleh perbedaan garis lintang (latitude)
(Nakamura, 1969). Di Samudera Hindia dan Samudera Atlantik menyebar di antara
40ºLU dan 40ºLS (Collete dan Nauen, 1983). Khususnya di Indonesia (Uktolseja et al., 1991), tuna hampir didapatkan
menyebar di seluruh perairan di Indonesia.
Di Indonesia bagian barat meliputi Samudera Hindia, sepanjang pantai
utara dan timur Aceh, pantai barat Sumatera, selatan Jawa, Bali dan Nusa
Tenggara. Di Perairan Indonesia bagian
timur meliputi Laut Banda Flores, Halmahera, Maluku, Sulawesi, perairan Pasifik
di sebelah utara Irian Jaya dan Selat Makasar.
Distribusi
ikan tuna dan cakalang di laut sangat ditentukan oleh berbagai faktor, baik
faktor internal dari ikan itu sendiri maupun faktor eksternal dari
lingkungan. Faktor internal meliputi
jenis (genetis), umur dan ukuran, serta tingkah laku (behaviour). Perbedaan
genetis ini menyebabkan perbedaan dalam morfologi, respon fisiologis dan daya
adaptasi terhadap lingkungan. Faktor
eksternal merupakan faktor lingkungan,
diantara adalah parameter oseanografis seperti suhu, salinitas, densitas dan kedalaman lapisan thermoklin, arus
dan sirkulasi massa air, oksigen dan kelimpahan makanan.
Kedalaman
renang tuna dan cakalang bervariasi tergantung jenisnya. Umumnya tuna dan
cakalang dapat tertangkap di kedalaman 0-400 meter. Salinitas perairan yang
disukai berkisar 32-35 ppt atau di perairan oseanik.
Suhu perairan berkisar 17-31 oC.
Madidihang (Thunnus albacares) tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia. Panjang madidihang
bisa mencapai lebih dari 2 meter (Uktolseja et
al., 1991). Jenis tuna ini menyebar di perairan dengan suhu yang berkisar
antara 17-31oC dengan suhu optimum yang berkisar antara 19-23oC
(Nontji, 1987), sedangkan suhu yang
baik untuk kegiatan penangkapan berkisar antara 20-28oC (Uda, 1952 vide Laevastu dan Hela, 1970).
Tuna mata
besar (Thunnus obesus) menyebar dari Samudera Pasifik melalui perairan di
antara pulau-pulau di Indonesia sampai ke Samudera Hindia. Ikan ini terutama
ditemukan di perairan sebelah selatan Jawa, sebelah barat daya Sumatera
Selatan, Bali, Nusa Tenggara, Laut Banda dan Laut Maluku. Menurut Uda (1952) vide Laevastu dan Hela (1970), tuna mata
besar merupakan jenis yang memiliki toleransi suhu yang paling besar, yaitu
berkisar antara 11-28oC dengan kisaran suhu penangkapan antara 18-23oC.
Sebaran
tuna albakora (Thunnus alalunga)
sangat dipengaruhi oleh suhu. Jenis ini menyenangi suhu yang relatif lebih
rendah. Albakora juga memiliki ukuran yang relatif lebih kecil dibandingkan dua
jenis tuna di atas.
Tuna sirip biru (Thunnus maccoyi) didapatkan menyebar hanya di belahan bumi selatan.
Oleh karena itu jenis ini sering disebut sebagai southern bluefin tuna. Ikan
ini tidak terlalu banyak tertangkap oleh nelayan Indonesia.
ASPEK LEGAL
Perairan
laut bersifat common property atau
perairan itu adalah milik bersama, sehingga siapa pun dapat memanfaatkan
sumberdaya hayati yang ada di dalamnya. Agar tidak terjadi konflik diantara pemanfaat
laut, maka dibuat undang-undang dan atau peraturan-peraturan perikanan, baik
yang berlaku secara lokal, nasional, regional maupun internasional. Masyarakat
pengguna laut harus mematuhi aturan main yang berlaku.
Beberapa
produk hukum yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan diantaranya
adalah
(1)
Undang-undang
No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) ;
(2)
Undang-undang
No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan ;
(3)
Peraturan
Pemerintah No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati di ZEEI
;
(4)
Peraturan
Pemerintah No. 15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan ;
(5)
Keputusan
Presiden Republik Indonesia No.8 Tahun 1975 tentang Pungutan Pengusahaan
Perikanan dan Pungutan Hasil Perikanan Bagi Penanaman Modal Asing dan Penanaman
Modal Dalam Negeri ;
(6)
Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 39 Tahun 1980 tentang Pelarangan Penggunaan
Pukat Harimau (Trawl) ;
(7)
Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 85 Tahun 1982 tentang Penggunaan Pukat Udang ;
(8)
Surat
Keputusan Menteri Pertanian No. 607/Kpts/UM/9/1976 tentang Jalur-jalur
Penangkapan Ikan ;
(9)
Surat
Keputusan Menteri Pertanian No. 815 Tahun 1990 tentang Perizinan Usaha
Perikanan ; dan
(10)
Peraturan lain
yang telah diterbitkan oleh Pemerindah Daerah setempat.
Beragamnya
alat penangkap ikan yang digunakan oleh masyarakat, maka perlu diatur penataan
lokasi penangkapan ikan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan bagi setiap alat
penangkap ikan tersebut. Ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi dalam
operasi penangkapan ikan, diantaranya adalah harus mempunyai Surat Izin
Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Izin Berlayar dan sebagainya.
TEKNOLOGI PEMANFAATAN SUMBERDAYA
TUNA DAN CAKALANG
Ada empat hal yang mendukung keberhasilan operasi penangkapan
tuna dan cakalang, yaitu penentuan daerah penangkapan ikan yang tepat,
penggunaan unit dan metode penangkapan ikan yang sesuai beserta alat bantu
penangkapannya , serta pemakaian tenaga kerja yang terampil.
Penentuan Daerah
Penangkapan
Penentuan daerah penangkapan tuna
dan cakalang dengan tepat dapat dilakukan dengan dukungan berbagai informasi.
Informasi dapat diperoleh berdasarkan pengalaman nelayan dan bantuan teknologi
yang terus berkembang. Daerah penangkapan tuna dan cakalang dapat ditentukan
secara visual langsung di perairan, atau secara tidak langsung berdasarkan data
yang diperoleh melalui teknologi penginderaan jauh dan hidroakustik.
Berdasarkan pengalaman nelayan,
daerah penangkapan tuna dan cakalang yang catchable
diantaranya ditandai oleh :
(1)
warna perairan
lebih gelap dibandingkan perairan sekitarnya ;
(2)
ada banyak
burung beterbangan dan menukik-nukik ke permukaan air ;
(3)
banyak buih di
permukaan air ; dan
(4)
umumnya jenis
ikan ini bergerombol di sekitar batang-batang kayu yang hanyut di perairan atau
bersama dengan ikan yang berukuran besar seperti paus.
Penginderaan jauh
(inderaja) kelautan saat ini telah berkembang sesuai dengan perkembangan
teknologi inderaja itu sendiri.
Pemanfaatan teknologi inderaja dalam pemanfaatan sumberdaya ikan telah
dilakukan di beberapa negara maju seperti Jepang, Australia dan beberapa negara
Eropa. Hal ini banyak membantu dalam berbagai penelitian untuk memahami
dinamika lingkungan laut, termasuk memahami dinamika sumberdaya alam yang
terkandung di dalamnya.
Teknologi satelit banyak digunakan dalam
sistem inderaja kelautan dan telah dikembangkan berbagai jenis sensor untuk
mendeteksi berbagai parameter lingkungan yang penting di dalam proses kelautan
itu, baik proses fisika, kimia maupun
biologi. Beberapa jenis sensor
yang telah dikembangkan untuk kepentingan inderaja kelautan diantaranya adalah
jenis CZCS (coastal zone color scanner),
TM (Thematic Mapper) dan AVHRR
(Advanced Very High Radiometer Resolution).
CZCS merupakan sensor yang khusus dibuat untuk tujuan penelitian kelautan dan
diluncurkan pertama kalinya ke angkasa pada tahun 1978. TM dibawa oleh Landsat (Land satelite) adalah khusus dirancang untuk penelitian di daratan,
namun dapat pula digunakan untuk tujuan penelitian kelautan. Sensor AVHRR (Advanced Very High Radiometer Resolution)
lebih banyak dimanfaatkan, karena dapat diperoleh dengan mudah dan murah
terutama selama krisis ekonomi melanda Indonesia pada beberapa tahun terakhir
ini (Hasyim, 1993).
Aplikasi
teknologi inderaja dalam pemanfaatan sumberdaya ikan diantaranya untuk menggambarkan vegetasi mangrove, konsentrasi
klorofil dan produktivitas primer air laut, suhu dan arus permukaan laut,
kedalaman air, terumbu karang, bahkan angin yang bertiup di permukaan
laut. Bahkan dalam perkembangannya
dewasa ini, termasuk di Indonesia, telah sampai pada tahap penentuan lokasi
penangkapan ikan potensial dan pengaruh musim terhadap migrasi ikan, walaupun
masih dalam tahap uji coba (trial and
error).
Penentuan
daerah penangkapan ikan menggunakan metode analisis data inderaja dilakukan
dengan memanfaatkan citra satelit yang dihasilkan terhadap beberapa parameter
fisika kimia dan biologi perairan (Gambar 2). Hal yang dilakukan diantaranya
adalah pengamatan suhu permukaan laut (SPL), pengangkatan massa air (up-welling) ataupun pertemuan dua massa
air yang berbeda (sea front) dan
perkiraan kandungan klorofil di suatu perairan. Hasil pengamatan tersebut dituangkan dalam bentuk peta kontur,
sehingga dapat diperkirakan tingkat kesuburan suatu lokasi perairan atau
kesesuaian kondisi perairan dengan habitat yang disenangi suatu gerombolan (schoaling) ikan berdasarkan koordinat
lintang dan bujur. Selanjutnya armada penangkap ikan dapat bergerak ke lokasi
tersebut untuk melakukan penangkapan ikan dengan cepat dan tepat.
Metode
hidroakustik merupakan suatu usaha untuk memperoleh informasi tentang obyek di
bawah air dengan cara pemancaran gelombang suara dan mempelajari echo yang dipantulkan (Gambar 3). Dalam pendeteksian
ikan digunakan sistem hidroakustik yang memancarkan sinyal akustik secara
vertikal, biasa disebut echo sounder
atau fish finder (Burczynski, 1986).
Penggunaan metode
hidroakustik mempunyai beberapa kelebihan (Arnaya, 1991), diantaranya :
(1)
berkecepatan
tinggi ;
(2)
estimasi stok
ikan secara langsung dan wilayah yang luas dan dapat memonitor pergerakan ikan
;
(3)
akurasi tinggi
;
(4)
tidak
berbahaya dan merusak sumberdaya ikan dan lingkungan, karena frekwensi suara
yang digunakan tidak membahayakan bagi si pemakai alat maupun obyek yang
disurvei.
Penggunaan teknologi
ini sangat membantu dalam pencarian sumberdaya ikan yang baru, sehingga akan
mempercepat pengambilan keputusan atau kebijakan, terutama untuk menetapkan
daerah penangkapan ikan agar potensi ikan dapat dipertahankan (Riani, 1998).
Keterpaduan semua
metode di atas dapat dilakukan dengan adanya kerjasama diantara pihak-pihak
terkait. Citra yang diperoleh melalui
satelit penginderaan jauh, misalnya dianalisis
di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) atau di instansi
terkait lainnya. Data yang dihasilkan
merupakan informasi dasar terhadap penentuan daerah potensi ikan. Data dan informasi juga dapat diperoleh
melalui hasil survei akustik pada perairan yang sama selama beberapa waktu
pengamatan, sehingga diharapkan dapat menghasilkan informasi yang lebih akurat
tentang keberadaan ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Informasi ini kemudian
disampaikan kepada pihak pengguna, misalnya nelayan atau pengusaha penangkap ikan dalam melakukan operasi penangkapan
sehingga kapal-kapal ikan dapat begerak ke daerah yang dimaksud, sehingga
dengan demikian dapat menekan biaya operasional kapal-kapal tersebut.
Teknologi Penangkapan
Teknologi
yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya tuna dan cakalang disesuaikan
dengan sifat dan tingkah laku ikan sasaran. Tuna (Thunnus spp.) dan cakalang (Katsuwonus
pelamis) merupakan ikan perenang cepat yang bergerombol. Oleh karena itu, alat
penangkap ikan yang digunakan haruslah yang sesuai dengan perilaku ikan
tersebut. Ada lima macam alat penangkap tuna dan cakalang, yaitu rawai tuna,
huhate, handline, pukat cincin dan
jaring insang.
1. Rawai
Tuna (Tuna Longline)
Rawai
tuna atau tuna longline adalah alat
penangkap tuna yang paling efektif. Rawai tuna merupakan rangkaian sejumlah
pancing yang dioperasikan sekaligus. Satu tuna
longliner biasanya mengoperasikan 1000-2000 mata pancing untuk sekali
turun.
Rawai
tuna umumnya dioperasikan di laut lepas atau mencapai perairan samudera. Alat
tangkap ini bersifat pasif, menanti umpan dimakan oleh ikan sasaran. Setelah
pancing diturunkan ke perairan, lalu mesin kapal dimatikan, sehingga kapal dan
alat tangkap akan hanyut mengikuti arah arus atau sering disebut drifting. Drifting berlangsung selama
kurang lebih empat jam. Selanjutnya mata pancing diangkat kembali ke atas
kapal.
Umpan longline harus bersifat atraktif, misalnya sisik ikan mengkilat,
tahan di dalam air dan tulang punggung kuat. Umpan dalam pengoperasian alat
tangkap ini berfungsi sebagai alat pemikat ikan. Jenis umpan yang digunakan
umumnya ikan pelagis kecil, seperti lemuru (Sardinella
sp.), layang (Decapterus sp.),
kembung (Rastrelliger sp.) dan
bandeng (Chanos chanos).
2. Huhate (Pole and line)
Huhate
atau pole and line khusus dipakai
untuk menangkap cakalang.. Oleh karena digunakan hanya untuk menangkap
cakalang, maka alat ini sering disebut “pancing cakalang. Huhate dioperasikan sepanjang
siang hari pada saat terdapat gerombolan ikan di sekitar kapal. Alat tangkap
ini bersifat aktif, kapal akan mengejar gerombolan ikan, setelah gerombolan
ikan berada di sekitar kapal lalu diadakan pemancingan.
Ada
beberapa keunikan dari alat tangkap huhate. Bentuk mata pancing huhate tidak
berkait seperti lazimnya mata pancing. Mata pancing huhate ditutupi bulu-bulu
ayam atau potongan rafia yang halus agar tidak tampak oleh ikan. Bagian haluan
kapal huhate mempunyai konstruksi khusus, dimodifikasi menjadi lebih panjang,
sehingga dapat dijadikan tempat duduk oleh pemancing. Kapal huhate umumnya
berukuran kecil. Di dinding bagian lambung kapal, beberapa cm di bawah dek,
terdapat sprayer dan di dek terdapat
beberapa tempat ikan umpan hidup. Sprayer
adalah alat penyemprot air.
Pemancingan dilakukan
serempak oleh seluruh pemancing. Pemancing duduk di sekeliling kapal dengan
pembagian kelompok berdasarkan keterampilan memancing. Pemancing I adalah
pemancing paling unggul dengan kecepatan mengangkat mata pancing berikan
sebesar 50-60 ekor per menit. Pemancing I diberi posisi di bagian haluan kapal,
dimaksudkan agar lebih banyak ikan tertangkap. Pemancing II diberi posisi di
bagian lambung kiri dan kanan kapal. Pemancing III berposisi di bagian buritan,
umumnya adalah orang-orang yang baru belajar memancing dan pemancing berusia
tua yang tenaganya sudah mulai berkurang atau sudah lamban. Hal yang perlu
diperhatikan adalah pada saat pemancingan dilakukan jangan ada ikan yang lolos
atau jatuh kembali ke perairan, karena dapat menyebabkan gerombolan ikan
menjauh dari sekitar kapal.
Umpan
yang digunakan adalah umpan hidup, dimaksudkan agar setelah ikan umpan dilempar
ke perairan akan berusaha kembali naik ke permukaan air. Hal ini akan
mengundang cakalang untuk mengikuti naik ke dekat permukaan. Selanjutnya
dilakukan penyemprotan air melalui sprayer.
Penyemprotan air dimaksudkan untuk mengaburkan pandangan ikan, sehingga tidak
dapat membedakan antara ikan umpan sebagai makanan atau mata pancing yang
sedang dioperasikan. Umpan hidup yang digunakan biasanya adalah teri (Stolephorus spp.).
3.
Pancing ulur (Handline)
Handline atau pancing ulur dioperasikan
pada siang hari. Konstruksi pancing ulur sangat sederhana, pada satu tali
pancing utama dirangkaikan 2-10 mata pancing secara vertikal. Pengoperasian
alat ini dibantu menggunakan rumpon sebagai alat pengumpul ikan. Pada saat
pemancingan, satu rumpon dikelilingi oleh lima unit kapal, masing-masing kapal
berisi 3-5 orang pemancing. Umpan yang digunakan adalah ikan segar yang
dipotong-potong. Hasil tangkapan utama pancing ulur adalah tuna (Thunnus spp.).
4. Pukat cincin (Purse seine)
Pukat cincin atau purse seine adalah sejenis jaring yang
di bagian bawahnya dipasang sejumlah cincin atau gelang besi. Dewasa ini tidak
terlalu banyak dilakukan penangkapan tuna dan cakalang menggunakan pukat
cincin, kalau pun ada hanya berskala kecil.
Pukat cincin dioperasikan
dengan cara melingkarkan jaring terhadap gerombolan ikan. Pelingkaran dilakukan
dengan cepat, kemudian secepatnya menarik purse
line diantara cincin-cincin yang ada, sehingga jaring akan membentuk
seperti mangkuk. Kecepatan tinggi diperlukan dalam hal ini agar ikan tidak
dapat meloloskan diri. Setelah ikan berada di dalam mangkuk jaring, lalu
dilakukan pengambilan hasil tangkapan menggunakan serok atau penciduk.
Pukat cincin dapat
dioperasikan pada siang hari maupun malam hari. Pengoperasian pukat cincin pada
siang hari sering menggunakan rumpon atau payaos sebagai alat bantu pengumpul
ikan. Alat bantu pengumpul ikan yang sering digunakan dalam pengoperasian pukat
cincin di malam hari adalah lampu, umumnya menggunakan lampu petromaks.
Gafa et al. (1987) mengemukakan bahwa payaos
selain berfungsi sebagai alat pengumpul ikan juga berfungsi sebagai penghambat
pergerakan atau ruaya ikan, sehingga ikan akan berada lebih lama di sekitar
payaos. Uktolseja (1987) menyatakan
bahwa payaos dapat menjaga atau membantu cakalang tetap berada di lokasi
pemasangannya selama 340 hari.
5. Jaring
insang (Gillnet)
Jaring insang atau gillnet adalah jaring yang berbentuk
empat persegi panjang dengan ukuran mata yang sama di sepanjang jaring.
Dinamakan jaring insang karena berdasarkan cara tertangkapnya, ikan terjerat di
bagian insangnya pada mata jaring. Ukuran ikan yang tertangkap relatif seragam.
Pengoperasian jaring insang
dilakukan secara pasif. Setelah diturunkan ke perairan, kapal dan alat
dibiarkan drifting, umumnya
berlangsung selama 2-3 jam. Selanjutnya dilakukan pengangkat jaring sambil
melepaskan ikan hasil tangkapan ke palka.
KESIMPULAN
(1)
Pemanfaatan
sumberdaya tuna dan cakalang perlu dilakukan secara tepat agar dapat memenuhi
kebutuhan rakyat dengan memperhatikan kelestarian sumberdayanya ;
(2)
Penentuan
daerah penangkapan tuna dan cakalang perlu dilakukan secara terpadu, agar
kegiatan penangkapan ikan dapat berlangsung dengan cepat, tepat dan efektif.
DAFTAR
PUSTAKA
Arnaya, I.N. 1991. Akustik Kelautan II. Diktat Kuliah (tidak dipublikasikan). Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Blackburn, M. 1965. Oceanography and The Ecology of Tunas. In H. Barnes (editor), Oceanography Marine Biology Ann. Rev. 3. George Allen and Unwin LTD. London.
Burczynski. 1986.
Introduction to The Use Of Sonar System For Estimating Fish Biomass. Food and
Agriculture Organization. Fisheries Techniqal Paper No. 199. Revision 1.
Collette, B. B., dan C. E. Nauen. 1983. Scmrids of The World. FAO Fish Syn. 2(125), 137 p.
Dahuri, R., 2001. Menggali Potensi Kelautan dan Perikanan dalamrangka Pemulihan Ekonomi Menuju Bangsa yang Maju, Makmur dan Berkeadilan. Pidato dalamrangka Temu Akrab CIVA-FPIK-IPB tanggal 25 Agustus 2001. Bogor.
Gafa, B., T. Sufendrata dan J.C.B. Uktolseja. 1987. Penandaan Ikan Cakalang dan Madidihang di Sekitar Rumpon Teluk Tomini - Sulawesi Utara. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 43 Tahun 1987. Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta. P. : 67-74.
Hasyim, B.,
1993. Prospek Pemanfaatan Teknologi
Penginderaan Jauh Untuk Inventarisasi Sumberdaya Laut dan Perairan Pantai. Bidang Matra Laut LAPAN. Jakarta.
Hela, I., dan T. Laevastu. 1970. Fisheries Oceanography. Fishing News (Books) LTD. London.
Laurs, R. M, P.C. Fiedler, dan D. R. Montgomery. 1984. Albacore Tuna Catch Distribution Relative to Environmental Featured Observed from Satellites. Deep-Sea Research, Vol. 31. No. 9. P 1085-1099. Pergamon Press Ltd. Great Britain.
Longhurst, A. R, dan
D. Pauly. 1987. Ecology of Tropical
Oceans. Academic Press Inc. Harcourt BraceJovanovich, Publishers. New York.
Lukas, R., dan E. Lindstrom,
1991. The Mixed Layer of The Western Equatorial Pacific Ocean. Journal of Geophysical Research, Vol.
96. Sup. Page 3343-3357.
Mann, K. H, dan J.R.N. Lazier., 1991. Dynamics of Marine Ecosystems, Biological-Physical
Interactions in the Ocean. Balckwell
Scientific Publications. Boston.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan,
Jakarta.
Rahardjo, S.
1986. Ilmu Hukum. Penerbit Alumni Bandung.
Riani, P. 1998.
Pendugaan Densitas Ikan dengan Sistem Akustik Bim Terbagi dan Pengaruh
Lingkungan Terhadap Penyebaran Ikan di Selat Sunda Bagian Utara. Skripsi (tidak
dipublikasikan). Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sharp, G. D., 1978. Behavioral and Physiological Properties of Tunas and Their Effects on Vulnerability to Fishing Gear. Acad. Press. New York.
Uktolseja, J.C.B. 1987. Estimated Growth Parameters and Migration of Skipjack Tuna - Katsuwonus pelamis In The Eastern Indonesian Water Through Tagging Experiments. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 43 Tahun 1987. Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta. Hal. 15-44.
Wild, A., dan J. Hampton. 1994. A Review of The Biology and Fisheries for Skipjack Tuna, Katsuwonus pelamis, in the Pacific Ocean. FAO. Roma. Italia.
.
Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of The South East Asian Waters. Naga Report. Vol. 2. Scripps Institution of Oceanography. The University of California. La Jolla. California.