©
2001 F. Dwi Joko Priyono Posted: 25 Oct.
2001 [rudyct]
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
October
2001
Dosen:
Prof
Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
MANFAAT
EKONOMI, PENGEMBANGAN TEKNOLOGI DAN PENINGKATAN MORAL: TIGA PILAR PENYANGGA KELESTARIAN HUTAN
(Tinjauan Aspek Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis)
Oleh:
F.
Dwi Joko Priyono
IPK-E016010051
E-mail: jp-poltanesa@plasa.com
“Hutan adalah
pakaian bumi, dan manusia cenderung merobek-robeknya”.(Rousseau)
1. Pendahuluan
Selama tiga dasawarsa terakhir, sejak diberlakukannya ijin pengelolaan hutan di luar Jawa kepada pihak swasta, kondisi hutan Indonesia bukannya semakin baik, tetapi justru semakin hancur. Meski tidak separah di pulau lain, seiring dengan masa resesi yang belum pulih, hutan di Jawa juga mengalami kerusakan yang cukup tinggi.
Saat ini Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) yang masih beroperasi harus pandai-pandai menempatkan
diri kalau tidak ingin traktornya disandera, campnya di bakar, atau
tenaga kerjanya mogok total. Di belakang suatu kegiatan penebangan oleh
HPH, secara diam-diam menyusul operasi kelompok penebang ilegal dengan
tumpukan kayu ukuran balok (belambangan) atau papan yang ditumpuk di kanan kiri
jalan induk atau jalan cabang yang “siap angkut” (diangkut armada gelap di
malam hari) atau “siap titip” (dititipkan angkutan logging setengah memaksa).
Gambaran kondisi perebutan kayu
seperti di atas dapat ditemui di beberapa kawasan hutan di Kalimantan Timur
atau provinsi lain yang hutannya masih dapat dieksploitasi. Gambaran itu
semakin runyam dengan munculnya ijin penebangan dengan luasan berskala kecil
(maksimum 100 hektar) yang dikeluarkan
oleh bupati setempat sebagai realisasi dari otonomi daerah (Undang-undang RI
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, PP No. 62 Tahun 1998 tentang
penyerahan Sebagian urusan Pemerintah di Bidang Kehutanan kepada Daerah dan SK
Menhut No. 310/Kpts-II/1999 tentang Pedoman Pemberian Hak Pemungutan Hasil
Hutan). Pada kenyataannya, lokasi areal yang diberikan pasti tumpang tindih
dengan HPH. Mengapa tumpang
tindih? Jelas bahwa wilayah hutan yang masih berkayu pasti menjadi incaran pemilik HPH, dan masuk dalam rencana tebang
mereka, entah dalam waktu dekat ataupun dalam jangka waktu tertentu kemudian,
sementara ijin penebangan skala 100 hektar pasti memilih areal yang kayunya
banyak, mudah dikeluarkan dan tidak
jauh dari kawasan pemilik ijin.
Padahal,
hutan Indonesia telah dinyatakan sebagai kawasan paru-paru dunia, yang tentunya
kalau bicara hutan Indonesia, wilayah hutan di beberapa propinsi yang masih
mengandung potensi kayu seperti Irian Jaya, Kalimantan (khususnya Kalimantan
Timur) pasti dipilih sebagai kawasan utama yang menjadi contoh ujung tombak
untuk diperlihatkan, karena luas dan kondisi yang relatif masih lebih baik
dibanding dengan provinsi lainnya.
Sementara itu, di
pulau Jawa masih terdengar informasi pencurian kayu jati, atau bahkan
penjarahan suatu petak siap tebang oleh
kelompok illegal yang semuanya menurunkan kualitas dan kondisi hutan. Demikian
runyamnya kerusakan itu, terbukti dengan laporanWorld Bank atas kerusakan hutan Indonesia yang meningkat
dari hanya 900 ribu hektar pertahun (era 1980 – 1990), menjadi sekitar dua juta
hektar pertahun (Iskandar, 2000). Bahkan, sampai ada pendapat skeptis yang
menyatakan bahwa sebelum hutan alam benar-benar habis, pembinaan dan
pengelolaan hutan Indonesia – terutama hutan alam luar Jawa- tidak akan dapat
terlaksana.
Akan
sedemikian tragiskan hutan kita?
2. Tinjauan
Ontologis
a. Pengertian,
Luasan, dan Harapan Ideal
Menurut Undang-undang Pokok Kehutanan (UUPK) No. 5 Tahun 1967, hutan
didefinisikan sebagai suatu lapangan yang bertumbuhkan pohon-pohon yang
merupakan suatu kesatuan hidup alam hayati bersama alam lingkungannya dan
ditetapkan pemerintah sebagai hutan. Selanjutnya dalam Undang-undang No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, definisi hutan adalah suatu kesatuan ekosistem
berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan.
Dari definisi tersebut ada dua
hal yang penting yang berubah, pertama
bahwa dalam definisi pertama peran pemerintah sangat dominan sebagai penetap
suatu kawasan, yang berimplikasi tanggungjawab untuk menjaga kondisi kawasan
yang telah ditetapkan. Kemudian kedua, dalam definisi kedua peran pemerintah
tidak ditonjolkan namun justru adanya pengakuan untuk tidak memisahkan
persekutuan hidup alam dengan lingkungannya, termasuk persekutuan
masyarakat sekitar hutan. Dengan
melihat definisi itu tampak bahwa hutan juga dimaksudkan sebagai sarana untuk
mensejahterakan masyarakat.
Berapakah luas hutan
di Indonesia? Wilayah Indonesia dengan
jumlah 17.508 pulau ini memiliki 57% dari luas daratannya berwujud hutan, atau
seluas 108.573.300 hektar. Hutan terluas berada di Kalimantan (34 juta hektar),
Irian Jaya (33 juta hektar), Sumatera (20 juta hektar) dan sisanya tersebar di
berbagai pulau lainnya (Anonim, 1997). Namun demikian, angka itu berbedan
drastis dengan laporan World Bank yang menyatakan bahwa setelah 35 tahun
terjadi deforestasi, hutan Indonesia tinggal
57 juta hektar dan hanya 15 %
diantaranya terletak di dataran rendah,
sisanya di lapangan yang sulit dijangkau dan kawasan payau alluvial (Iskandar,
2000) .
Hutan
tropik Indonesia sebagaimana disebutkan di atas merupakan bioma daratan yang
dicirikan oleh suhu sekitar 25 derajat Celsius dengan perbedaan suhu diurnal
(siang dan malam) maupun perbedaan suhu musim (hujan dan kering) yang tidak
mencolok. Kelembabannya 80 % atau lebih, umumnya dengan curah hujan yang cukup
tinggi.
Sifat
hutan yang sangat khas dan berbeda dengan sumberdaya lainnya adalah
kemampuannya untuk memperbarui diri secara alami, atau karena campur tangan
manusia maka manusia mampu memperbaharuinya bahkan dengan perlakuaan
intensifikasi. Dengan demikian kelestarian sumberdaya secara alami akan
terlaksana dengan sendirinya, ataupun akan terlaksana lebih cepat sepanjang
manusia mengusahakannya, dan akan terhenti bila manusia memusnahkannya. Dari
sumber daya hutan tersebut selain prinsip kelestarian hasil (sustained yield
principle) juga diharapkan mampu secara maksimal memberikan manfaat kepada
manusia (maximum yield principle) atau bila prinsip tersebut digabungkan
akan menjadikan suatu harapan ideal hutan yaitu pelaksanaan prinsip The
progressive maximum sustained yield (prinsip hasil maksimal yang bekembang
lestari).
b. Hasil
Hutan Lebih Sekedar Kayu
Hutan berisikan lebih dari sekedar kayu bulat untuk kayu lapis atau perabot rumah yang diekspor. Hutan juga memuat hasil luar kayu seperti buah-buahan, bahan serat, tumbuhan obat dan plasma nutfah untuk berbagai kebutuhan hidup. Hutan adalah pula rumah tempat pemukiman dan sumber kehidupan spiritual masyarakat lokal, bahkan hutan juga sebagai sumber inspirasi bagi para seniman. Hutan adalah penadah hujan pencegah banjir di musim hujan dan penyimpan air di musim kemarau. Hutan adalah pula penyerap asap pencemar karbon dan pelepas udara bersih.
Gambar
1: Hutan Kalimantan yang belum
terganggu: struktur penutupan tajuk hutan dipterokarpa (kiri)
dan
jernihnya air mengalir (kanan).
Itulah sifat khas hutan yang lain: serbaguna. Secara ekonomis hutan bermanfaat dalam memberi bahan industri kayu, menjadi sumber devisa, membuka lapangan kerja, dan menaikkan pendapatan nasional. Hutan juga bermanfaat secara ekologis dengan ekosistemnya yang beragam sebagai tempat hunian hewan dan tumbuhan, serta manfaat sosial budaya yang telah dimanfaatkan manusia sejak keberadaannya.
Oleh karena bermacam manfaat inilah maka kelompok yang berkepentingan dengan hutanpun beraneka ragam. Ada kelompok yang melulu berkepentingan dengan hutan sebagai sumber ekonomi, antara lain para pemegang HPH dan industriawan kayu, pejabat pemerintah yang mengelola instansi perindustrian, perdagangan, pertambangan, transmigrasi, pemukiman penduduk dan mereka yang ingin mengeksploitasi hutan demi kayu, tanah atu bahan mineral di bawahnya. Lain lagi dengan kelompok yang berkepentingan dengan kelestarian hutan seperti para pemeduli keanekaragaman hayati, pengelola jamu dan obat-obatan, pengelola banjir, air tanah dan pencegah erosi, pemeduli ekoturisme, pejabat instansi lingkungan hidup, departemen kesehatan, para peneliti atau umumnya mereka yang memetik manfaat dari hutan yang utuh.
Lain pula kelompok yang berkepentingan dengan hutan sebagai habitat tempat masyarakat lokal, tempat berburu, tempat bercocok tanam secara alami dan sumber daya kehidupan spiritual. Hutan memberi penduduk setempat makanan alami, lapangan pekerjaan dan sumber kehidupan. Hutan memang diolah namun di bawah ambang batas kemampuan pembaharuan diri hutan sebagai sumber alam yang bisa diperbaharui.
Gambar 2: Padang alang-alang (Imperata cylindrica) di bekas areal
penebangan yang kemudian terbakar
(kiri);
Orangutan (Pongo pygmeaus), spesies langka yang ikut punah
bila hutan digunduli (kanan).
3. Tinjauan Epistemologis dan
Aksiologis
a.
Pelaksanaan
di Lapangan
Hanya saja dalam
pelaksanaannya, semua stakeholder
(pemegang peran) di bidang kehutanan baik pemerintah pusat dan daerah, swasta
dan masyarakat tidak berjalan dalam track
yang benar dalam menuju suatu
kelestarian yang diidealkan. Penyebab
utamanya adalah faktor desakan ekonomi, faktor moral para pemegang peran di
bidang tersebut dan faktor pengembangan ilmu dan teknologi yang terkesan
lambat. Secara rinci ketiga penyebab tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut.
1). Faktor desakan ekonomi.
Dengan pola pembangunan nasional yang dititik beratkan pada sektor
ekonomi, membuat seluruh sistem diupayakan menghasilkan sesuatu secara ekonomis
dan diupayakan mampu menggerakkan roda ekonomi.
Konsekuensi
dari pola tersebut adalah bahwa kapasitas terpasang mesin industri perkayuan di
Indonesia digenjot sedemikian besarnya, mencapai 60 juta m3/tahun, dengan
tujuan menaikkan pendapatan sektor
kehutanan dan menghidupkan roda ekonomi bidang kehutanan. Padahal, ketersediaan
bahan baku hanyalah separuhnya, atau sekitar 30 juta m3/tahun, yang diperoleh
dari sekitar 900 ribu hektar
hutan/tahun dengan potensi kayu berdiameter 50 cm ke atas yang boleh ditebang
hanya sekitar 30 – 50 m3 per hektar, dengan riap pertumbuhan kayu juga hanya 1
cm/batang/tahun atau sekitar 1 – 1,5 m3/ha/tahun.
Dengan alasan ekonomi pula, sejak
krisis ekonomi Indonesia berlangsung, kondisi hutan Indonesia diperparah dengan
adanya pembelian besar-besaran terhadap hasil hutan berupa flooring dan sleepers
dari kayu jenis Ulin (Eusideroxylon zwageri T et B) terutama dari
hutan (termasuk hutan lindung) di Kalimantan Timur dan Selatan. Mata rantai
penghancuran hutan tersebut melibatkan rangkaian yang panjang dan kuat sejak
dari penebang liar (yang bisa juga dilakukan oleh masyarakat setempat dengan
harga mulai Rp 300.000/m3), kemudian diteruskan kepada penadah, pengolah,
pengumpul sampai dengan eksportir yang pada akhirnya bernilai jual Rp 3
juta/m3. Pihak yang terlibat dalam perdagangan kedua jenis komoditi tersebut
sudah tidak lagi murni para pekerja bidang perkayuan, tetapi merambah kepada
siapa saja, yang mempunyai minat, modal atau ingin ambil untung dari setiap
transanksi yang dilakukan.
Perilaku serakah sebagaimana
disebutkan di atas, mempengaruhi pula perilaku masyarakat baik yang berada di
sekitar lokasi HPH ataupun masyarakat umum lainnya yang mengetahui kondisi
tidak benar tersebut. Pengaruhnya dapat berbentuk keikutsertaan dalam tindakan
yang serupa seperti pencurian kayu, tebangan liar, mempertentangkan hak adat,
tuntutan ganti rugi dan sebagainya.
Rencana Bupati
Kutai ingin membangun pagar sepanjang 45 kilometer untuk membatasi enclave di tengah Taman Nasional Kutai (Kompasb,
2001) akan menimbulkan pertanyaan, apakah memang begitu jalan keluar mengatasi
pencurian kayu dan perambahan yang terus marak di areal seluas hampir 200 ribu
hektar? Begitu dahsyatnya eksploitasi
hutan dan ketidakberdayaan aparat
tampak dimana-mana. Banyak hutan lindung menjadi sasaran mudah untuk
memperoleh kayu – bahkan batubara di bawahnya juga di incar untuk dieksploitasi
- seperti di Taman Nasional Kerinci
Sebelat (Kompasa , 2001) dan Hutan Lindung Bukit Soeharto.
Tumpang tindih areal antara berbagai
kepentingan juga telah terjadi, misal antara HPH, hutan adat, HPHH, atau
kelompok-kelompok kecil (koperasi, KUD, hutan rakyat dan sebagainya). Bagaimana
tidak tumpang tindih, kalau seorang
Bupati Kutai Barat (luas hutan
produktif 1.481.000 hektar) mengeluarkan 622 ijin HPHH dengan target produksi 2,3 juta m3
kayu bulat (KK-PKD, 2001). Areal itu
boleh jadi mengambil sisa HPH yang tidak aktif (yang seharusnya tidak boleh
tidak aktif, karena rencana kerja HPH 35 tahun, yang berarti siklus pertama
baru akan berakhir tahun 2005 nanti). Mungkin sekali areal itu juga bertumpang
tindih dengan kawasan yang sedang dalam masa pembinaan suatu HPH aktif
tertentu, yang karena keterbatasan dana, tidak diawasi dengan efektif sehingga
terkesan “tak bertuan”.
Terbukti bahwa teori “The idea of limited goods” berlaku pada
eksploitasi hutan ini. Bahwa barang di dunia ini (termasuk kayu) jumlahnya terbatas,
sehingga kalau diekploitasi secara berlebihan oleh (sedikit) orang, maka
kerugian akan diderita oleh banyak orang sehingga sebelum menderita, (banyak)
orang tersebut turut melakukan eksploitasi sedapat-dapatnya. Dari sisi ini
mungkin terbukti pendapat Hobbes (dalam Bawengan, 1983) bahwa manusia
pada dasarnya rakus dan egois, dan kehidupan bagaikan medan perang dengan
kemenangan bagi pihak yang kuat, bahwa “manusia natura” hidup dalam suasana
kotor, kasar dan singkat.
2). Faktor
Moral
Kekeliruan pada penentu kebijakan, yang tidak memperhitungkan besarnya
kemampuan pasokan tersebut diperparah dengan faktor moral yang membuat hutan
semakin menderita. Moral sebagaimana disebutkan di atas adalah sifat
keserakahan dari para stake holdernya. Perilaku serakah tersebut merupakan sumber malapetaka
yang utama bagi hutan alam di Indonesia. Pada awal mula diterapkannya Forestry
Agreement melalui UU No. 21 Tahun 1970 tentang HPH, para pemegang lisensi
pengusahaan hutan tersebut telah setuju untuk membagi arealnya dalam 35 blok
tebangan dengan ketentuan bahwa sepanjang semuanya dapat berjalan dengan baik,
setiap tahun diijinkan untuk menebang satu blok tebangan. Karena pertambahan
diameter rata-rata dianggap satu sentimeter per tahun, maka pada akhir tahun ke
35 bekas blok tebangan pertama akan memiliki tegakan dengan diameter 49(1 x 35)
= 84 cm karena pohon yang diijinkan untuk ditebang adalah pohon dengan diameter
49 cm ke atas. Dengan demikian rotasi tebang dapat dimulai kembali pada tahun
ke 36 pada blok pertama, demikian seterusnya setiap tahun berpindah ke blok
berikutnya.
Kenyataannya yang ada adalah bahwa meski saat ini HPH baru berumur 30
tahun, sebagian HPH sudah tinggal nama, tidak beroperasi atau menghentikan
kegiatannya dengan alasan tidak memiliki areal yang layak tebang. Beberapa
industri perkayua sudah tidak lagi memiliki areal yang layak tebang. Beberapa
industri perkayuan sudah tidak lagi memperoleh pasokan kayu bulat karena
disamping tidak memiliki standing stock, perolehan kayu ilegal juga
semakin sulit didapatkan.
Moral yang baik juga tidak
ditunjukkan oleh para petugas di lapangan, yang justru sebaliknya, petugas ikut
dalam kegiatan perusakan dengan menjadikan dirinya oknum yang menuntut
perlakuan istimewa. Forester yang menjadi pengawas dan forester yang menjadi pelaksana
(sarjana kehutanan yang bekerja di HPH) tak lebih hanya sebagai robot, yang masing-masing tertawa dalam
hatinya (Iskandar, 2000). Kadar
pengabdian dan tanggungjawab yang harus diemban terkalahkan oleh kebutuhan dan
pengaruh lingkungan yang menyesatkan. Demoralisasi dan sikap kontradiktif (di
satu sisi pandai menguraikan nilai-nilai luhur, di sisi lain korupsi dan kolusi
menjadi-jadi) merupakan perilaku lain yang pada akhirnya menjadikan hutan
sebagai korban sasaran eksploitasi.
Sekarang baru tampak bahwa tekanan yang terlalu berat kepada
pembangunan ekonomi, namun tidak disertai pembangunan etika dan moral melalui
keteladanan para pemimpin, telah menjerumuskan sebagian anggota masyarakat kita
kepada pandangan hidup yang hedonistik, yang enak-kepenak. Kelompok
masyarakat tersebut dipenuhi obsesi bagaimana memperoleh kekayaan pribadi
sebesar-besarnya dalam waktu sesingkat-singkatnya dengan cara yang
semudah-mudahnya, tanpa peduli hukum, etika dan moral.
3). Faktor Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi
Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa pengelolaan hutan alam di Indonesia
hanya didasarkan pada angan-angan yang hanya bagus pada tataran teori, yakni
pada forum diskusi dan buku pedoman. Dalam pelaksanaannya, setiap jengkal hutan
memiliki karakter, hambatan dan kekhususan dalam hal cara pengelolaan yang
tidak semudah membacanya dalam pedoman. Apa yang disebut dengan Tebang Pilih
Indonesia (TPI) yang pada tahun 1989 berubah menjadi Tebang Pilih Tanam
Indonesia (TPTI), dalam kenyataannya di lapangan sulit sekali dinilai
keberhasilannya, dalam arti bahwa HPH setempat yakin benar bahwa rotasi
kedua nanti pasti memperoleh kayu
sesuai yang telah direncanakan. Lebih banyak hutan berubah menjadi lahan kosong,
wilayah perambahan, semak belukar atau hutan tidak produktif dan tidak terurus.
Hal tersebut lebih banyak karena – disamping desakan ekonomi dan moral
bangsa - ilmu pengetahuan tentang kehutanan yang kita miliki tidak mampu
menjawab tentang bagaimana menciptakan sistem pengelolaan dan cara budidaya
hutan yang benar-benar lestari. Apa
yang disebut dengan TPTI, Tebang Jalur, Tebang Rumpang, Bina Pilih, atau
beberapa sistem budidaya hutan alam lainnya, secara teori, dalam tataran
wacana, ataupun dalam skala area penelitian dalam luasan tertentu, sungguh
memberikan harapan yang menjanjikan. Sistem TPTI telah teruji dalam penelitian
dan ditimba dari berbagai pengalaman, menjanjikan riap yang tadinya hanya 1 – 1,5 m3/ha/tahun mampu
melipatgandakan sepuluh kali hingga mencapai 11 m3/ha/tahun, sehingga
umur panen dapat dipercepat atau bila dipanen sesuai rotasi maka volume yang
dihasilkan akan sepuluh kali lebih besar (Sutisna, 1996). Namun bila sudah
melihat dalam skala luas dan aplikatif dalam operasional perusahaan, sistem
tersebut sulit dibuktikan keberhasilannya. Selalu ditemukan hambatan baik dari
segi teknis, ekonomis, atau bahkan sosial (misalnya petak yang berisi pohon
binaan diklaim sebagai hutan rakyat), sehingga akhirnya sulit sekali memperoleh
jaminan keberlanjutan rotasi berikutnya.
Teknologi yang dimiliki semuanya merupakan teknologi
warisan luar negeri, bahkan sampai pada mesin-mesin pengolah kayu juga
merupakan peralatan hasil relokasi industri dari luar negeri. Ketergantungan
kepada pihak luar membuat kita sangat miskin dan lemah dalam ilmu dan
teknologi, terobosan yang ada belum
mampu menjawab kebutuhan akan kelestarian yang sudah sangat mendesak. Masih terdapat limbah di hutan ( 36,78 %)
dan limbah di industri kayu ( 35 %) yang dibiarkan membusuk atau malahan
dibakar begitu saja (Muladi,
1996). Sangat berbeda misalnya dengan
Selandia Baru (Mc Intosh Company) yang mampu membuat balok penyangga (beam) hasil penggabungan kayu limbah, dan
mampu dipasang tanpa tiang penguat sampai sepanjang 90 meter (Anonim, 1998).
Sementara harga kayu lapis Indonesia di
pasar internasional tidak beranjak naik (bahkan menurun dari 400 US
dollar menjadi 250 US dollar/m3 per
awal Oktober 2001), Rusia dan Cina
mampu menjual produk serupa dengan harga separuhnya. Cina juga membuka pabrik
tikar bambu yang sangat laku di pasar Jepang dan Amerika Serikat, dan Taiwan
mendirikan pabrik lampit (tikar rotan) dengan bahan baku dari Indonesia, dengan
kualitas yang lebih baik dan harga yang lebih murah dibanding produksi
Kalimantan Selatan (Kompasc,
2001). Tampak bahwa Indonesia
sulit untuk mampu merebut teknologi dan terlambat dalam antisipasi dan
diversifikasi produk atau pemanfaatan teknologinya.
b. Beberapa Saran
1). Keseimbangan ekonomi dengan lingkungan: Strategi Terpadu
Pengelolalan Hutan
Hutan akan tetap
lestari sepanjang manusia memahami berdasar pemikiran dan pengalamannya yang
membuktikan bahwa hutan mampu memberikan manfaat secara ekonomi bagi siapa saja
yang berkaitan dengannya, secara terus menerus. Kata lain dari manfaat ekonomi
secara terus menerus adalah tercapainya kelestarian, sedangkan kelestarian akan
tercapai bila terjadi keseimbangan antara pemanfaatan secara ekonomi dengan
penjagaan kondisi lingkungan yang memungkinkan hutan bertumbuh sebagai penukar
manfaat ekonomi yang dipetik.
Masalahnya
adalah bagaimana menjaga kondisi lingkungan tersebut sehingga hutan mampu
bertumbuh sesuai harapan? Karena begitu
banyaknya pihak yang berkaitan dengan hutan, maka konsep pengelolaan terpadu
sejak perencanaan awal hingga kegiatan operasional dan pengawasannya harus
disetujui bersama.
Untuk
mencapai kelestarian dan melibatkan semua pihak yang memiliki kepentingan dan
keinginan terhadap hutan, perencanaan
dan pengelolalan hutan hendaknya dilakukan pada tiga level yaitu teknis,
konsultatif dan koordinatif. Pada level teknis segenap pertimbangan teknis,
ekonomis, sosial dan lingkungan hendaknya secara proporsional masuk ke dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumberdaya hutan. Pada level
konsultatif segenap aspirasi dan kebutuhan pihak stakeholder serta pihak
penderita dampak pembangunan sumberdaya tersebut hendaknya diperhatikan. Pada
tingkat koordinatif masyarakat perlu bekerjasama dengan semua pihak untuk
menuju tujuan bersama yang diinginkan.
Dengan demikian
terdapat empat tahap proses perencanaan pengelolaan hutan secara terpadu, yang
bisa disebut sebagai “Strategi Terpadu Pengelolaan Hutan” meliputi:
a). Tahap merumuskan visi, misi, tujuan dan sasaran,
yang dapat diangkat pada level nasional yang berkait erat dengan aparat di level
provinsi dan kabupaten.
b). Tahap perencanaan zonasi, yang merupakan rencana
alokasi ruang dan pengendalian penggunaan/pemanfaatan ruang.
c). Tahap rencana pengelolaan, yang merupakan
petunjuk dan arahan pengelolaan yang terpadu pada kawasan prioritas atau
pemanfaatan sumberdaya hutan secara optimal dan berkelanjutan
d). Tahap rencana tindak yang merupakan rencana
pelaksanaan perumusan program kegiatan pada masing-masing unit kegiatan.
Secara lebih
jelas, ke empat tahap tersebut dapat digambarkan sebagai pada Gambar 3 berikut ini.
Rencana Strategi Pengelolaan
Hutan
(Visi, Misi, Tujuan Dan Sasaran)
Rencana Zonasi
(Alokasi Spasial,
Pengendalian,
Pemanfaatan Hutan)
Rencana Pengelolaan
(Panduan Daerah Prioritas
Dan Pemanfaatan
Sumberdaya Hutan)
Rencana Tindak
(Pelaksanaan
Kegiatan/
Program)
Gambar 3. Keterkaitan Proses Perencanaan Pengelolalan Hutan
(Sumber:
Djunaedi, 1997 dalam Supriyadi, 2001, setelah dimodifikasi)
Penggambaran
sebagaimana di atas menunjukkan adanya keterlibatan semua pihak pada semua
aspek sesuai dengan proporsi masing-masing sehingga diharapkan tujuan bersama
yang ditetapkan – yaitu kelestarian hutan – dapat tercapai.
Dengan
demikian sedapat mungkin dilaksanakan peninjauan ulang tentang sistem
perijinan, sistem pemanfaatan, zonasi, dan semua yang terkait dengan hak
pengelolaan atas suatu kawasan hutan, dengan goal-nya adalah kelestarian
dan optimasi hasil. Contoh kasus saja,
bahwa tidak akan mungkin lestari pada areal 100 hektar yang merupakan area kecil-kecil yang dibagi-bagi
oleh bupati kepada masyarakat dengan dalih meningkatkan kesejahteraan langsung
kepada mereka. Bagaimana cutting-cycle bisa terjadi (secara ekonomis
menguntungkan atau tidak) pada areal yang begitu sempit? Mampukah mereka
melaksanakan budidaya dan pembinaan hutannya? Keuntungan terbesar dari kegiatan
itu sebenarnya diperoleh siapa: pemerintah daerah selaku penarik pajak dan
retribusi, masyarakat selaku pemegang hak, atau “cukong” yang meminjamkan dan
memborong pekerjaan dan mengambil kayu mereka? Itu baru satu contoh kasus, dan
belum membahas tentang berbagai bentuk hak pengelolaan lainnya.
Dengan kata lain, perlu kiranya menetapkan pola penyelesaian penggunaan
hutan secara lebih canggih dengan sasaran tunggal yang disepakati semua pihak
(yang berbeda kepentingan) dan dapat disebut sebagai Penggunaan Hutan Secara
Adil dan Berkelanjutan.
2). Perbaikan
moral
Saat inilah
seharusnya mulai dilaksanakan penghentian terhadap segala kejahatan sosial
termasuk bagi para pemegang peran di bidang kehutanan. Seharusnya upaya gerakan
“kembali dan start ulang di titik nol” (sebagai istilah lain dari
rekonsiliasi) bisa dilaksanakan baik kepada aparat birokrasi, petugas lapangan,
kalangan swasta dan siapa saja yang terkait dengan masalah eksploitasi hutan.
Paradigma lama, yaitu hanya bertitik
berat pada peningkatan sektor ekonomi
semata, harus diubah dengan pembangunan
etika dan moral pribadi dan sosial. Kepedulian kepada hukum dan norma etika
moral harus ditegakkan. Bangsa yang maju adalah bangsa yang taat dan patuh pada
hukum, dan bangsa yang berbudaya adalah bangsa yang menghargai norma, etika dan
memiliki moral tinggi.
Kalau hal itu bisa tercapai, maka
pendapat Rousseau seperti tercantum di bawah judul tulisan ini bisa terbantahkan,
dan bahkan kita dapat mengikuti nasihat pujangga “lokal” kaliber dunia
Ranggawarsita (1802 – 1873): “…… sak begja-begjaning wong kang lali, luwih
begja kang eling lan waspada” (Sebesar apapun bahagianya mereka yang lupa,
lebih bahagia orang yang ingat serta waspada) (Suriasumantri, 1995).
3). Peningkatan teknologi
Beberapa pemikiran agar potensi
hutan tidak secara drastis hilang
begitu saja, adalah:
a).
Penutupan industri yang tidak berijin dan industri yang menampung kayu illegal
atau yang tidak jelas sumbernya.
Penutupan kegiatan ini harus diikuti dengan sanksi hukum yang tegas, jelas dan terukur.
b).
Penutupan pabrik kayu lapis yang tidak memiliki pengembangan teknologi yang
meningkatkan nilai tambah produk kayu lapis atau turunannya. Industri kayu
lapis harus dikonversi dalam tingkat teknologi yang lebih tinggi baik segi
kualitas dan daya saingnya sehingga mampu menaikkan harga.
c).
Peningkatan kegiatan penelitian yang didanai dengan cukup untuk mengantisipasi
pengembangan teknologi.
4). Peningkatan Kinerja Kelembagaan dan Perbaikan Iklim Politik
Saat ini merupakan saat yang paling baik untuk memulai suatu prestasi kerja demi kelestarian hutan dan masa depan bangsa. Kinerja kelembagaan baik sektor pemerintah dan swasta harus ditata ulang untuk mendukung tujuan itu, dengan sistem yang baru. Iklim politik (baik nasional maupun dalam lingkup kehutanan) harus benar-benar bertujuan untuk kepentingan bangsa, bukan untuk meng”akali” demi tujuan pribadi, kelompok atau golongan. Dengan komitmen semua pihak, semoga hutan Indonesia tetap lestari keberadaannya, demi kesejahteraan seluruh bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1997. Ensiklopedi Kehutanan Indonesia. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. hal. 91.
Anonim, 1998. Fascinating World of Glulam Beams, Asian
Furniture. Vol. 4 No. 2
June – August, 1998. Singapore.
Bawengan, G.W. 1983. Sebuah Studi Tentang Filsafat. Pradnya Paramita, Jakarta. hal: 33
Iskandar, U.
2000. Pola Pengelolaan Hutan Tropika. Alternatif Pengelolaan Hutan yang
Selaras dengan Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Bigraf Publishing.
hal: 3
KK-PKD, 2001. Laporan Kelompok Kerja Pengelolaan Kehutanan
Daerah Kabupaten Kutai Barat. (tidak diterbitkan).
Kompasa,
2001. Paru-paru Dunia itu Terus Digerogoti, Jumat, 5 Oktober 2001 hal. 27.
Kompasb,
2001. Bupati Kutai Timur Berencana Pagari TN Kutai, Senin, 8 Oktober 2001 hal. 10.
Kompasc,
2001. Jepang Beralih ke Lampit Bambu dari Cina, Selasa, 9 Oktober 2001 hal. 21.
Muladi, S. 1996. Quantification and Use of Dipterocarp
Wood Residue in East Kalimantan, (Dalam Schulte, A dan D. Schone
(Editors): Dipterocarp Forest Ecosystems: Towards Sustainable Managemen),
World Scientific Publishing Co. Pte, Ltd. Singapore.hal 603 – 615.
Supriyadi, 2000. Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya
Mangrove Di Wilayah Pesisir Kecamatan Seram Barat Kabupaten Maluku Tengah. Thesis Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor (Tidak dipublikasikan).
Suriasumantri,
J.S. 1995. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar
Harapan. Jakarta hal:227.
Sutisna, M.
1996. Silvikultur Hutan Alam Indonesia. Fak. Kehutanan Univ.
Mulawarman. (Tidak dipublikasikan).