© 2001
Hamdan Posted 28 Desember 2001
Makalah Falsafah Sains (PPs
702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Desember 2001
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung
Jawab)
ANALISIS KEBIJAKAN
PENGELOLAAN PENYU DI KABUPATEN BERAU
KALIMANTAN TIMUR
Oleh:
E-mail: hamdandkp@link.net.id
Nrp. C526010144
I.
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara
kepulauan terbesar didunia dengan 17.508 buah pulau memiliki panjang pantai
sekitar 81.000 km merupakan habitat
yang cocok untuk kehidupan penyu terutama pada daerah-daerah pantai
berpasir. Selanjutnya dari 7 (tujuh)
jenis penyu di dunia 6 (enam) diantaranya terdapat di Indonesia (Halim dan
Dermawan, 1999). Keenam jenis penyu
tersebut adalah : (1) penyu sisik (Eretmochelys imbricata), (2) penyu
lekang (Lepidochelys olivacea), (3) penyu belimbing (Dermocelys
coriacea), (4) penyu hijau (Chelonia mydas), (5) penyu tempayan (Caretta
caretta) dan (6) penyu pipih (Natator depresus). Sedangkan 1 (satu) yang tidak ada di
Indonesia adalah Lepidochelys kempi yang hanya hidup di laut Atlantik
khususnya pada kawasan pantai Amerika dan Meksiko (Nuitja, 1996 dalam Halim dan
Dermawan, 1999).
Penyu sebagai makhluk hidup yang
merupakan bagian dari kehidupan
ekosistem laut yang ruayanya melintasi beberapa benua sudah merupakan
milik masyarakat dunia. Pemerintah
Indonesia melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah No. 7
tahun 1999 telah mencanangkan untuk melindungi penyu dari kepunahan akibat
eksploatasi manusia baik terhadap telur, daging maupun karapasnya yang
digunakan sebagai hiasan. Dalam rangka usaha pelestarian penyu pemerintah mendapat
dukungan dan bantuan dari berbagai organisasi internasional seperti World
Wildlife Fund for Nature (WWF), Food Agriculture Organization (FAO) dan Japan
Bekko Association (JBA).
Melalui makalah ini diharapkan dapat mengingatkan kita
kembali akan pentingnya penyu sebagai bagian kehidupan ekosistem laut yang
harus dijaga kelestariannya dari kepunahan termasuk di wilayah Kabupaten Berau
Kalimantan Timur sebagai salah satu daerah penyu di Indonesia.
II.
IDENTIFIKASI MASALAH
2.1.
Habitat dan Populasi Penyu di Kepulauan Derawan
Secara umum penyu dalam kehidupannya memerlukan berbagai
habitat sesuai kebutuhan, yaitu habitat untuk mencari makan (feeding ground),
habitat untuk melangsungkan perkawinan (meeting area), habitat untuk
beristirahat (resting area) dan habitat untuk bertelur (nesting area).
Kepulauan Derawan merupakan pulau-pulau di Kabupaten Berau yang merupakan
tempat penghasil telur penyu, yaitu Pulau Sangalaki, Pulau Bilang-bilangan,
Pulau Blambangan, Pulau Mataha dan Pulau Sambit (H. Masdjuni, 2001). Jumlah populasi penyu hijau di kelima pulau
tersebut dapat dilihat dari jumlah sarang penyu yang ditemui pada tiga tahun
terakhir (1998-2000) sebagaimana pada Tabel 1 berikut :
Tabel 1.
Jumlah sarang penyu hijau di Kepulauan
Derawan, 1998-2000
No. |
Pulau |
1998 |
1999 |
2000 |
1 |
Sangalaki |
6.985 |
10.346 |
5.065 |
2 |
Belambangan |
2.602 |
3.819 |
2.314 |
3 |
Sambit |
482 |
1.050 |
430 |
4 |
Bilang-bilangan |
4.483 |
7.847 |
3.935 |
5 |
Mataha |
2.746 |
4.058 |
2.334 |
|
Total |
17.298 |
27.120 |
14.078 |
Sumber:
Pemerintah Kabupaten Berau, 2002
Berdasarkan
data tersebut di atas terlihat bahwa dari 5 (lima) pulau yang ada, pulau
Sangalaki merupakan pulau yang paling banyak menghasilkan sarang penyu (+
40%) dibanding 4 (empat) pulau lainnya, yaitu 6.985 buah pada tahun 1998,
10.346 buah pada tahun 1999 dan 5.065 buah sarang pada tahun 2000. Sedangkan pulau Sambit merupakan pulau yang
paling sedikit menghasilkan sarang penyu yaitu 482 buah pada tahun 1998, 1.050
buah pada tahun 1999 dan hanya 430 buah pada tahun 2000. Selanjutnya secara umum jumlah sarang di
kelima pulau tersebut pada tahun 2000 mengalami penurunan dibandingkan tahun
1998 dan 1999. Hal ini terjadi akibat
adanya perburuan daging dan bagian tubuh lainnya yang pada tahun 2001
tertangkap tangan 124 ekor dari total perburuan sebanyak 374 ekor. Disamping itu telah terjadi pengrusakan
habitat akibat dari penggunaan racun, bom ikan oleh sebagian kecil nelayan.
Selanjutnya H.
Masdjuni berdasarkan pengamatannya mengatakan bahwa setiap sarang berisi telur
sekitar 94 butir telur penyu, maka pada periode 1998 sampai tahun 2000
diperoleh produksi telur masing-masing sebanyak 1.636.002 butir, 2.535.280
butir dan 1.322.732 butir telur penyu.
2.2.
Pengelolaan Penyu di Kabupaten Berau
Di Kabupaten Berau pelestarian dan pemanfaatan Penyu
hijau (Chelonia mydas) sudah dilakukan sejak jaman kolonial, dimana pada
jaman itu pemanfaatan (panen telur)
tidak dilakukan secara terus menerus, tetapi ada tenggang waktu yang tidak
diperbolehkan untuk memanen telurnya dengan maksud untuk memberikan kesempatan
bagi penyu untuk berkembang biak secara alami.
Setelah kemerdekaan pengelolaan pulau-pulau penghasil
telur penyu ditangani oleh pemerintah daerah dimana akses pemenfaatan telur
penyu menjadi terbuka. Hingga akhir tahun 50-an hak pemanfaatan diberikan
kepada perorangan.
Pada tahun sesudah 50-an dikeluarkan Perda Berau No.
30/Th 1953 mengenai penyu dan telurnya, dimana berdasarkan Peraturan Daerah
Istimewa itu pengelolaan penyu dan telurnya diberikan diberikan kepada
pengusaha dengan ketentuan wajib membayar retribusi dengan jumlah yang
ditentukan, dan diwajibkan menjaga kelestarian, mengadakan pengawasan dan tidak
memperdagangkan daging dan karapasnya.
Hingga pada tahun 1983 dikeluarkannya Perda No. 15 Tahun
1983 tentang penyu dan terlurnya dalam Kab. Daerah Tk. II Berau. Ketentuan
dalam perda ini lebih rinci lagi dan semakin jelas hak dan kewajiban pemegang
konsesi pemanfaatan terlur penyu, dan sangsi hukum bagi pelaku memanfaatkan
daging dan kerapasnya sudah diatur dengan baik.
Tahun 1998 pemerintah pusat memberlakukan Undang-undang
yang mengatur pajak dan retribusi, sehingga konsekwensinya Perda No. 15 Tahun
1983 tentang penyu dan telurnya oleh pemda Berau tidak memberlakukan lagi,
sehingga pengelolaan sempat mengalami status quo dan terjadi kekacauan +
6 bulan. Mengatasi keadaan yang demikian pemerintah daerah Kabupaten Berau
mengambil kebijakan dengan menunjuk salah satu pengusaha untuk pengelolaan
pulau-pulau telur tersebut.
Program Adopsi sarang bagi para wisatawan (sejak tahun
1998 sampai sekarang) oleh pengelola wisata dilakukan yaitu sarang dibiarkan
secara alami menetas dan tukik dibebaskan langsung ke laut.
Kemudian Keputusan Bupati No. 69/Th. 1999 yang mengatur
tentang pengelolaan penyu dan telurnya dalam Kab. Daerah Tk.II Berau, dimana
didalamnya terdapat kewajiban menyisihkan telur 10% dari produksi untuk
dibiakkan dan langsung ditebarkan ke laut.
Saat ini sudah diajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan
Penyu untuk menggantikan Keputusan Bupati No. 69/Th. 1999 yang dianggap sudah
tidak relevan dengan kebutuhan dan peraturan perundang-undangan yang ada, namun
setelah mengalami pembahasan yang panjang raperda tersebut ditunda penetapannya.
Pengelolaan tetap mengacu pada SK Bupati No. 69/Th. 1999 namun untuk konservasi
khususnya di Pulau Sangalaki dinaikkan menjadi 20% disisihkan dari produksi
telur.
Sementara itu pengelolaan penyu dan telornya Tahun 2001
mengalami kemajuan terbukti dengan terjalinnya kerjasama antara Pemerindah
Daerah Kab. Berau dengan berbagai yayasan (LSM) baik nasional maupun
internasional dalam bidang konservasi, dimana pihak-pihak tersebut merupakan
pihak ketiga dalam pengelolaan konservasi terhadap 20% dari produksi telur
penyu yang disisihkan oleh pemegang konsesi di P. Sangalaki berdasarkan Sk. Bupati Berau No. 44
Tahun 2001.
Atas dasar kerjasama
itu pula telah berhasil dibangun Pos Pengamatan Penyu di P. Sangalaki (saat ini
sedang berlangsung) dengan biaya pembangunan fisik seluruhnya dilaksanakan oleh
piahk LSM (Kehati, WWF Wallacea, Turtle Fondation).
Sehubungan dengan itu juga telah dibentuk Tim Monitoring
dan Penelitian Penyu di Kabupaten Derawan berdasarkan SK Bupati No. 35 Tahun
2001.
2.3.
Pemanfaatan
Dan Konservasi
a. Pemanfaatan
Sampai dengan saat ini pemanfaatan penyu dan telurnya
yang dilaksanakan oleh Pemda Berau adalah pemanfaatan langsung berupa
penunjukan atau lelang terbuka bagi pemegang konsesi. Sedang pemanfaatan secara
tidak langsung seperti dengan cara adopsi sarang belum dilaksanakan secara optimal. Tabel 2. berikut adalah hasil
pelelangan pemanfaatan telur penyu untuk lima daerah peneluran penyu di
Kepulauan Derawan :
Tabel 2. Hasil Pelelangan Pemanfaatan Telur Penyu di
Kepulauan Derawan, 1995 - 2001
Tahun Pelelangan |
Hasil Pelelangan |
Keterangan |
1995 1996 1997 1999 2000 2001 |
Rp 483.830.000,- Rp 776.830.000,- Rp 647.730.000,- Rp 400.000.000,- *) Rp 937.830.000,- Rp 1.050.000.000,- Rp 753.000.000,- |
*) Pengelolaan selama 6 bulan |
Sumber: Pemerintah Daerah
Kabupaten Berau, 2002
Pada adopsi
sarang yang sudah dilaksanakan adalah melalui turis yang datang dengan membeli kepada
pemagang konsesi per sarang antara $15 sampai $20. Sarang yang sudah diadopsi
ditetaskan dan bila sudah menetas hasil didokumentasikan dan dikirim ke alamat
yang bersangkutan. Cara lain atas pemanfaatan tidak langsung belum dilakukan.
Hasil lelang seluruhnya
masuk kas daerah kemudian di turunkan kembali dalam bentuk program pembangunan
termasuk untuk pembinaan dan pembelian tukik kepada masyarakat yang setiap
tahunnya + 3000 / tahun dengan
harga Rp 10.000,-/ ekor.
Rencana
kedepan pemanfaatan akan melibatkan
banyak stakeholder dan masyarakat local, melalui badan pengelolaan penyu yang
berbasis masyarakat, swasta, LSM dan Pemda.
b.Konservasi
Konservasi yang dilakukan oleh Pemda
Berau melalui pembesaran tukik dengan diameter + 20 cm atau usia 3-4
bulan dilepas ke laut di Kepulauan Derawan dengan jumlah rata-rata sekitar 3000
ekor/tahun. Usaha ini telah dimulai sejak tahun 1969/1970 atau telah
berlangsung lebih dari 30 tahun. Total pelepasan tukik tersebut mendekati
90.000 ekor.
Kemudian mulai
tahun 1998 juga dilaksanakan penyisihan 10% dari total produksi telur penyu
untuk tujuan konservasi. Dalam hal ini begitu telur menetas tidak menunggu
hingga usia 4 bulan akan tetapi langsung dilepas ke laut. Jumlah penetasan
tukik pada tahun 1998 – 2000 selengkapnya dapat diikuti pada Tabel 3. berikut.
Tabel 3.
Jumlah Penetasan Tukik, 1998 - 2000
Tahun |
Jumlah
Sarang (Buah) |
Penetasan
Tukik
(Ekor) |
1998 1999 2000 |
1.254 3.944 1.420 |
100.320
315.520
113.600 |
Total |
6.618 |
529.440
|
Sumber: Pemda Kabupaten Berau,
2001
Melalui adopsi
dilaksanakan atas kerjasama antara pengelola wisata, pemegang konsesi dan tim
pelaksana monitoring yang mana sampai dengan Tahun 2000 telah lebih dari 25.000
ekor tukik yang sudah dilepaskan. Adapun polanya dengan tidak memindahkan
sarang dan hanya sebagian kecil sarang saja yang dipindahkan bila diperkirakan
sarang tersebut akan terendam air tatu kondisinya tidak aman.
III.
RENCANA
PENGELOLAAN PENYU
Berdasarkan hasil identifikasi permalahan sebagai
tersebut di atas, dalam rangka melindungi penyu dari kepunahan Pemda Kabupaten
Berau akan mengambil langkah-langkah sebagai berikut :
1.
Menyusun Raperda yang mengakomodasi UU No. 5 Tahun 1990 dan PP 7
dan 8 Tahun 1999, serta diterapkan secara bertahap sesuai situasi dan kondisi
daerah.
2.
Pada daerah-daerah tertentu akan dilakukan Full Protect
(Pulau Derawan dan Pulau Sangalaki) sedang daerah lain dilaksanakan apabila ada
dana yang memadai.
3.
Dalam waktu dekat perlu dibentuk Badan Penyu dan Telurnya yang
terdiri dari semua unsur Stakeholder dengan pelibatan masyarakat seoptimal
mungkin.
4.
Dalam beberapa tahun kedepan pemanfaatan telur penyu secara
langsung masih dilaksanakan dengan kewajiban menjaga dan mengawasi tingkat
populasi dan ekosistemnya dan menyisihkan untuk konservasi dalam jumlah
tertentu, khususnya di pulau-pulau yang jauh dan tak berpenghuni, disamping itu
alternatif terbaik dalam pengelolaan belum ditemukan, juga menghindari konflik
di masyarakat.
5. Mengaktifkan
Pos Monitoring dan Penelitian Penyu yang sudah dibangun di Pulau Sangalaki, dan
diharapkan pos pengamatan ini statusnya dapat ditingkatkan untuk skala nasional
maupun internasional.
IV.
KESIMPULAN DAN SARAN
1.
Kesimpulan
Berdasarkan
hal-hal yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
a.
Populasi penyu di Kepulau Derawan menunjukkan penurunan yang
ditandai dengan menurunnya jumlah sarang sejak tahun 1998 sampai tahun 2000
yang diakibatkan oleh perburuan penyu dan pengrusakan habitat akibat
penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan.
b.
Masih lemahnya pengawasan baik terhadap pencurian, pembantaian,
maupun pengawasan terhadap pelaksanaan konservasi.
c.
Pemerintah Daerah Kabupaten Berau membutuhkan dana untuk
melaksanakan pembangunan daerah termasuk untuk pembinaan dan pengawasan penyu.
d.
Terbatasnya kemampuan monitoring dan pengetahuan tentang biologi
dan ekosistem penyu.
e.
Belum diketahui tingkat keberhasilan pelaksanaan konservasi,
evaluasi menyeluruh belum dilakukan.
f.
Lokasi peneluran (nesting site) terpencar di pulau-pulau kecil
dan tak berpenghuni.
2.
Saran
a.
Perlu dilakukan sosialisasi tentang bahaya dan akibat dari
punahnya penyu kepada semua stakholder dan masyarakat Kepulauan Derawan.
b.
Perlunya Kepulauan Derawan ditetapkan sebagai Kawasan konservasi
laut melalui penetapan Taman Nasional Laut yang dilengkapi dengan aparat dan
fasilitas pengawasannya. Taman Nasional laut tersebut dapat berfungsi selain
sebagai konservasi juga ilmu pengetahuan, penelitian, rekreasi dan pengembangan
pariwisata (Purwanto, 2001).
c.
Perlu dialokasikan anggaran yang memadai untuk Pemda Kabupaten
Berau sebagai kompensasi ditiadakannya hak melelang pemanfaatan telur
penyu. Anggaran dimaksud diperuntukan
bagi pembinaan, pengawasan, sosialisasi, mencarikan mata pencaharian alternatif
bagi penduduk setempat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan
penyu dan telurnya.
d.
Perlu dilakukan penelitian tentang penyu secara komprehensif
dalam rangka meningkatkan populasi yang ada.
e.
Perlu dilakukan penegakan peraturan dan hukum secara nasional
tanpa pandang bulu.
V.
DAFTAR PUSTAKA
Halim
dan Dermawan, 1999. Marine Turtle Research, Management and Conservation in
Indonesia. Report of The Seafdec – Asean Regional Workshop on Sea Turtle
Conservation and Management. ISBN 983-9114-10-7 (in Malaysia)
H. Masdjuni.
2001. Pengelolaan dan Pemanfaatan Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Kabupaten
Berau. Bahan Diskusi Teknis Rencana
Pengelolaan Tahun 2002. Jakarta, 27 Nopember 2001.
Purwanto.
2001. analisis kebijakan pengelolaan dan relevansinya terhadap prosfektif
pengembangan taman nasional laut Indonesia.