Makalah Falsafah Sains (PPs
702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Januari 2002
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung
Jawab)
PENGEMBANGAN
LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DENGAN
MODEL “BRI
UNIT” UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT NELAYAN
Nrp. C525010204
E-mail: atch@indosat.net.id
1. PENDAHULUAN
Perencanaan dan pembangunan perikanan yang telah
dilaksanakan selama periode orde baru sampai saat ini masih menyisakan
permasalahan-permasalahan besar.
Pembangunan perikanan selama ini belum mampu secara optimal memberikan
kontribusi pertumbuhan ekonomi yang berarti baik bagi perolehan devisa dan
pendapatan negara maupun bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan para
nelayan kita.
Dalam pespektif yang lebih teknis ,masalah pembangunan
perikanan menghadapi kendala kendala : Kemampuan memproduksi yang rendah
dibanding potensi yang tersedia, kemampuan pemasaran produk yang masih lemah
serta kemampuan pembiayaan untuk faktor-faktor produksi yang masih kurang.
Potensi perikanan
kita yang tersedia memang begitu besar dengan melihat bahwa 2/3 dari
luas wilayah kita adalah laut seluas 5,8 Juta km2 yang terdiri dari laut
terrritorial (0,8 juta km2), laut nusantara (2,3 juta km2), dan Zona Ekonomi
Ekslusif Indonesia (2,7 juta km2). Dengan jumlah pulau 17.508 dan garis pantai
sepanjang 81.000 km tidak hanya menempatkan Indonesia sebagai negara kepulauan
terbesar tetapi juga sebagai pemilik
kekayaan sumber hayati laut baik dari sisi kuantitas maupun
keanekaragamannya.
Dengan potensi lestari
sebesar 5,01 juta ton serta asumsi harga ikan hasil tangkapan mencapai
US.$. 3.052. maka nilai ekonomi yang dapat diperoleh dari potensi perikanan
Indonesia diperkirakan bernilai US.$. 15
Milyar. Sementara itu pada tahun 1999 menurut Rokhmin Dahuri (2001), nilai
yang berhasil dicapai baru sekitar
US.$.9,97.milyar .
Masalah lain yang tidak kalah menariknya adalah kemiskinan dikalangan masyarakat nelayan dan
pesisir pantai yang perlu segera ditanggulangi.
Menurut Selo Sumardjan (1980), kemiskinan struktural
terjadi karena kondisi struktur sosial
yang ada menyebabkan mereka tidak
memiliki kemampuan untuk mengakses dan memanfaatkan sumber-sumber
pendapatan yang sebenarnya tersedia
bagi mereka. Semakin tinggi status sosial nelayan dalam struktur sosial
dimasyarakatnya maka semakin besar peluangnya untuk mampu mengkases sumber daya
yang ada baik berupa modal dari lembaga keuangan/Bank, teknologi, informasi,
dan pasar.
Menurut Dr. Eugene
Staley seperti dinyatakan oleh M.L. Jhingan (2000) dinegara terbelakang selalu ditandai
dengan adanya kemiskinan massal yang kronis, metode produksi dan organisasi
sosial yang sudah usang, dan bukan karena negara itu miskin sumber daya
alamnya. Lingkaran setan kemiskinan berasal dari fakta bahwa produktivitas
total dinegara terbelakang sangat rendah sebagai akibat kekurangan modal, pasar
yang tidak sempurna dan keterbelakangan perekonomian, yang siklusnya dapat
dilihat dari sisi permintaan maupun dari sisi
penawaran. Dalam hal ini pembentukan modal merupakan faktor yang penting
dan strategis serta menjadi salah satu faktor kunci dalam proses pembangunan
ekonomi.
Proses ini dapat berjalan melalui tiga tingkatan yaitu :
1). Kenaikan volume tabungan nyata yang tergantung pada
kemauan dan kemampuan untuk menabung.
2). Keberadaan lembaga kredit dan keuangan untuk
menggalakkan dan menyalurkan tabungan kepada usaha-usaha produktif, yang
berarti berfungsinya lembaga intermediasi keuangan secara baik.
3). Penggunaan tabungan untuk tujuan investasi dalam
barang-barang modal pada perusahaan sehingga memberikan dampak multiplier
kepada pembentukan keahlian, penyerapan tenaga kerja ,peningkatan produktivitas
dan seterusnya.
Salah satu agenda terpenting dalam upaya pemulihan krisis
perekonomian nasional yang telah mendera bangsa kita sejak
pertengahan 1997 sampai saat ini , adalah
dengan melakukan revitalisasi
sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang ada serta menciptakan sumber-sumber
ekonomi baru yang potensial namun belum
termanage secara baik dan intensif.
Dalam kaitan
dengan permasalahan-permasalahan diatas
makalah ini mencoba melakukan
kajian tentang perlunya mengembangkan
Lembaga Keuangan Mikro dengan Model “BRI
UNIT” sebagai salah satu upaya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
maupun kemampuan finacial accessibility masyarakat nelayan dan pedesaan
terhadap perbankan.
Melalui kajian ini diharapkan juga bisa memberikan suatu
keyakinan bagi dunia perbankan untuk
tidak perlu takut mengembangkan organisasi dan unit-unit kerjanya pada segmen pasar pembiayaan mikro seperti
yang telah dilakukan oleh BRI dengan BRI UNIT-nya yang tersebar diberbagai
desa dan kecamatan di Indonesia. Hal ini dengan mengingat masih
banyaknya daerah dan desa potensial yang belum terlayani
oleh jasa perbankan, khususnya pada
daerah dan masyarakat nelayan yang potensial.
2. TUJUAN PEMBAHASAN.
Analisis dan
pembahasan tentang perlunya
mengembangkan Lembaga Keuangan Mikro (Micro Finance Institution) dengan model
BRI UNIT didasarkan pada
keberadaan 3.809. BRI Unit yang
tersebar diberbagai Kecamatan dan Desa diseluruh tanah air sebagai bagian dari
jaringan kerja BRI, bank yang telah lama akrab dengan masyarakat kecil
dan pedesaan. Disamping komitmen dan konsistensi BRI dalam pelayanan sektor
usaha kecil dan menengah selama 106 tahun,
sistem BRI UNIT sebagai Micro Finace Institution juga telah menjadi
model internasional dalam pembiayaan
kredit mikro yang sustainable dan tanpa subsidi. Pada tahun 1999 BRI memperoleh pengakuan dan penghargaan
dari Word Bank atas kepeloporannya dalam mengembangkan Micro Finance melalui pemberian “Sugianto Award”, sebagai penghargaan atas jasa-jasa
Almarhum Bapak Ir. Sugianto mantan anggota Direksi BRI periode 1986 s/d 1998
dalam mengembangkan dan membina BRI
UNIT.
Untuk mengungkap lebih mendalam tentang BRI UNIT sebagai model Lembaga Keuangan
Mikro yang sukses dalam melayani masyarakat dan pengusaha
kecil (micro enterpreneurs) dipedesaan,
makalah ini di samping memberi
gambaran umum tentang organisasi BRI UNIT,
juga mencoba melakukan kajian terhadap 2 hal yaitu :
Analisis tentang kebijakan-kebijakan fundamental pada awal transformasi BRI
UNIT tahun 1984, serta Analisis kebijakan dan kinerja bisnis BRI UNIT yang mampu merefleksikan eksistensinya
dalam pembiayaan kredit mikro dan
menjalankan fungsi intermediasi didaerah pedesaan yang menjadi wilayah kerjanya
secara sustainable.
2.1. Organisasi BRI UNIT.
BRI UNIT adalah unit usaha BRI dibawah supervisi Kantor
Cabang BRI dengan sistem operasional dan pembukuan yang secara relatif
terpisah, sehingga merupakan suatu
profit center tersendiri yang accountable bagi BRI Kantor Cabangnya. Keputusan
untuk menjadikan BRI UNIT sebagai salah satu Strategic Business Unit (SBU) dari
BRI, membawa konsekwensi terbentuknya fungsi-fungsi baru dalam organisasi
bisnis BRI UNIT, yang merupakan kesatuan mata rantai dari tingkat Kantor Pusat
sampai ketingkat organisasi BRI UNIT yang berada didesa/kecamatan diseluruh
Indonesia.
Pada tingkat Kantor Pusat dibentuk Divisi Mikro Banking,
yang bertugas membuat kebijakan bisnis dan operasional serta pemantauan kinerja
bisnis BRI UNIT secara nasional. Divisi Bisnis Mikro dipimpin oleh Kepala
Divisi yang bertanggung jawab langsung kepada Direksi BRI.
Pada tingkat Kantor Wilayah sebagian peran dan tugas Kantor pusat dilimpahkan kepada Bagian
Bisnis BRI UNIT yang dipimpin oleh Kepala Bagian dibawah supervisi
Pemimpin Wilayah yang memimpin organisasi Kanwil BRI. Fungsi Kanwil
lebih banyak sebagai lini support dan
supervisi atas kebijakan bisnis yang dibuat oleh Kantor Pusat.
Kantor Wilayah membawahi beberapa Kantor Cabang yang
dipimpin oleh seorang Pemimpin Cabang BRI, yang bertanggung jawab sepenuhnya
atas kinerja usaha Kantor Cabangnya
termasuk untuk kinerja usaha BRI UNIT-nya.
Dalam mensupervisi bisnis BRI UNIT Pemimpin Cabang BRI
dibantu oleh seorang Unit Desa Officer
bila Cabangnya memiliki lebih dari 9 BRI UNIT., atau seorang Unit Bisnis
Manager bila kurang dari jumlah tersebut.
Sedangkan BRI UNIT sebagai profit center dan Unit
Kerja yang terpisah dari Cabangnya
dipimpin oleh seorang Kepala BRI UNIT
atau Kaunit, yang dibantu oleh seorang Mantri (Account Officer) , Unit
Pelayanan Nasabah serta Teller. Formasi minimal dari organisasi BRI UNIT adalah
4 orang pegawai, dan dapat bertambah sesuai ketentuan ratio beban kerja dan
jangkauan wilayah kerjanya. Pada daerah
dan desa yang memiliki potensi bisnis specifik misalnya hari pasar mingguan/ temporer maka
dimungkinkan dibuka Pos Pelayanan Desa yang operasional dan pembukuannya
menginduk pada Kantor BRI UNIT-nya. Sebagai bagian dari jaringan kerja Kantor
Cabang BRI yang berjumlah 322 Kantor
Cabang, secara nasional jumlah BRI UNIT
saat ini (November 2001) mencapai 3.809. yang tersebar diberbagai
desa/kecamatan di Indonesia.
2.2. Kebijakan Transformasi BRI UNIT pada
tahun 1984.
Perubahan fundamental berupa transformasi sistem BRI
UNIT dari sistem yang berorientasi pada
Kebijakan Pemberian Kredit Bimas yang
bersifat Alokasi (Suply Led Approach) pada tahun 1984 menjadi sistem pemberian
kredit melalui BRI UNIT yang berorientasi kearah berkembangnya mekanisme pasar
(Demand Following Approach), telah membawa perubahan-perubahan yang mendasar
dalam manajemen bisnis dan operasional maupun strategi bisnis BRI UNIT, sesuai
tahapan dan proses waktu yang dilaluinya.
Analisis keberadaan
sistem BRI UNIT sebagai Lembaga Keuangan Mikro, dengan menggunakan Metode
Tingkat Kemandirian dan Profitabilitas
Kelembagaaan (Cost Recovery Level) dari
Robert Christen (1996), dapat dibagi dalam 3 tahapan yaitu :
1). Periode Subsidy Dependence (1973 s/d 1983).
2). Periode Operating Self Sufficiency (1984 s/d 1985).
3). Periode Micro Finance Intermediaries (1986 s/d saat
ini)
Melalui suatu proses transformasi yang panjang maka setiap tahapan periode dalam perkembangan
kelembagaan BRI UNIT, perkembangan
kinerja bisnis, maupun kebijakan
operasionalnya dapat dipakai sebagai bench mark bagi upaya untuk
memperbanyak Lembaga Keuangan Mikro, tidak terkecuali untuk daerah pesisir
dengan potensi perikanannya yang masih terbuka.
1). Periode 1973 s/d 1983.
Pada periode ini
sistem BRI UNIT menjadi salah satu elemen dari kesatuan unsur Agro Ekonomis
suatu Unit Desa, yang fungsi utamanya adalah menyalurkan Kredit Program
Pemerintah, yaitu Kredit Bimas. Hal tersebut merupakan implementasi dari Policy
Ekonomi Makro dari Pemerintah dibidang perkreditan pada saat itu yang berupa
“Subsidized selective credit policy”.
Sejalan dengan
kebijakan ekonomi makro pemerintah, maka policy dan strategi bisnis BRI UNIT
dijalankan dengan pendekatan “Supply Led” dalam bentuk:
a.
BRI UNIT adalah kepanjangan tangan (extended
arm) dari Kantor Cabang BRI dalam menyalurkan
Kredit Bimas kepada para petani (fungsi channeling agency).
b.
Lending Price Policy ditetapkan dan diset oleh
Pemerintah. Dengan subsidi bunga kepada para petani, maka suku bunga kredit
Bimas petani dapat diberikan dibawah suku bunga pasar.
c.
Sifat Kredit yang diberikan adalah massal
kepada target group (para petani), dengan persyaratan yang telah ditetapkan
oleh Pemerintah.
d.
Selama periode ini BRI UNIT juga memberikan
Kredit Mini (1974) dengan dana APBN,
untuk kebutuhan modal masyarakat pedesaan sampai jumlah Rp.200.000,-.
Selain itu pada tahun 1981 melalui Kredit likuditas BI, BRI
UNIT juga menyalurkan Kredit Midi untuk jumlah
diatas Rp.200.00 s/d Rp.500.000,- .Kebijakan Lending Price untuk kedua
jenis kredit tersebut ditetapkan oleh Pemerintah sebesar 12 %.
Beberapa kelebihan ataupun dampak positif dari Policy Makro
Ekonomi Pemerintah pada periode ini adalah dapat tercapainya program
Pemerintah dalam memberdayaakan para petani untuk mengadopsi teknologi
pertanian yang baru sehingga memungkinkan peningkatan produktivitas beras
selama Pelita I rata-rata 4,6 %, serta tercapainya Swa Sembada Beras Nasional
pada tahun 1985. Dampak internal bagi perkembangan kelembagaan BRI UNIT sebagai Lembaga Keuangan Mikro adalah
ketergantungan terhadap Policy
Pemerintah yang tinggi, tidak mandiri dan tidak mampu menjalankan fungsi
financial intermediariesnya secara penuh, serta mobilisasi dana masyarakat
sulit dilaksanakan karena akan menimbulkan negative spread.
Secara Kelembagaan
pada periode ini BRI UNIT berada pada level I
“ Subsidy dependence”.
2). Periode 1984 s/d 1985.
Inilah periode awal dari transformasi
fundamental sistem BRI UNIT dalam
policy dan strategi pemberian kreditnya dari pendekatan “supply led” kepada
pendekatan “market mechanism” yaitu mengarah kepada berjalannya mekanisme pasar
atau “demand following approach”.
Pada periode ini kita
dapat menganalisis terobosan kebijakan
bisnis dan strategi pengelolaan BRI UNIT, yang
sangat strategis dan fundamental berupa :
a.
Relokasi dan
Reposisi BRI UNIT dari pendekatan wilayah kerja agraris sesuai
target
Group kewilayah baru
yang berorientasi kepada potensi kegiatan ekonomi pasar yang ada disuatu wilayah.
Kebijakan bisnis ini disertai pula dengan kebijakan penurunan status
kantor BRI UNIT yang tidak potensial menjadi Pos Pelayanan Desa yang tidak
setiap hari beroperasi.
b.
Dihapuskannya
skim kredit mini dan kredit midi pada Februari 1984, serta diluncur-
kannya produk-produk
baru baik dibidang kredit maupun simpanan, yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan pengusaha kecil
dipedesaan (micro enterpreneurs), tanpa memandang sektor ekonomi. Kredit Umum Pedesaan
(KUPEDES) dan Simpanan Pedesaan (SIMPEDES) diperkenalkan dan sampai kini
menjadi produk unggulan BRI UNIT.
c.
Sesuai SE.BI
No.17/13/UKK tanggal 26 Februari 1985 dan SE.BI NO.18/2/UKK tang-
Gal 10 juni 1985 peran
kredit Bimas yang selama ini disalurkan melaui BRI UNIT digantikan dengan
kredit usaha tani (KUT) yang penyalurannya dilakukan melalui Koperasi Unit Desa
(KUD). Dengan pola KUT maka penyaluran kredit dan pembukuannya tidak lagi
dilakukan melalui BRI UNIT tetapi
dilaksanakan oleh Kantor Cabang BRI.
d.
Bank Indonesia pada
masa ini masih memberikan kredit likuiditas selama 2 tahun
dengan bunga 12 % pertahun. Selanjutnya BRI UNIT menetapkan
Lending Rate Kupedes untuk penggunaan modal kerja sebesar 12 % flat per tahun
dan untuk investasi 18 % flat pertahun.
e.
Upaya mobilisasi dana dimasyarakat pedesaan
sebagai sumber pembiayaan kredit
mulai terus digalakkan oleh BRI
UNIT baik melalui produk yang sudah ada (Tabanas), maupun upaya untuk meciptakan
produk baru simpanan yang cocok dengan kebutuhan masyarakat.
Pada periode ini pengelolaan sistem BRI UNIT berada dalam
masa transisi dari channeling agency kearah berjalannya BRI UNIT sebagai
Lembaga Keuangan Mikro yang mandiri dan berorientasi kepada berjalannya
mekanisme pasar keuangan dipedesaan. Keadaan ini berakhir sampai dengan 1985
pada saat kredit Bimas berubah menjadi Kredit Usah Tani.
Analisis terhadap kemampuan BRI UNIT untuk membiayai
dirinya sendiri tercermin dalam tabel berikut yang menunjukkan kecenderungan
semakin banyak BRI UNIT yang memperoleh Laba.
Tabel 1 : Profitabilitas sistim BRI Unit, 1984 -
1986
*) dalam Rp Miliar
|
||||||
|
Laba/ |
Subsidi |
Jumlah BRI Unit |
|||
Tahun |
Rugi *) |
Administrasi |
Laba |
% |
Rugi |
% |
1984 |
(25 .122) |
21. 980 |
336 |
13,6 |
2,133 |
86,4 |
1985 |
(0,938) |
1,243 |
1,192 |
48,3 |
1,277 |
51,7 |
1986 |
9,846 |
- |
1,647 |
72,5 |
626 |
227,5 |
Sumber
: Laporan Statistik BRI dan BRI Unit (diolah) |
|
|
|
Apabila kita melihat analisis kebijakan dan strategi bisnis
yang dijalankan serta hasil usaha yang
diperoleh, maka BRI UNIT pada periode 1984 s/d 1985 berada pada Level
Kelembagaan ke 2 atau disebut berada dalam level “Operating self
sufficiency”.
3). Periode 1986 sampai saat ini.
Melalui proses yang
implementasi kebijakan bisnis yang berkesinambungan dalam pengelolaan BRI UNIT,
perangkat-perangkat organisasi berupa struktur kelembagaan, strategi bisnis,
sistem operasional dan pengawasan terus dikembangkan.
Pada tahun 1986
diperkenalkan Produk Simpedes yang ternyata mendapat sambutan dan respon yang
tinggi dari masyarakat pedesaan yang menjadi target marketnya. Pada awal tahun
kelima (1988) sejak kegiatan mobilisasi dana digalakkan jumlah Simpedes yang
mampu dihimpun BRI UNIT telah melampaui angka Rp.1 trilyun. Fakta ini sekaligus
membantah dan menggugurkan pendapat para pakar ekonomi yang pada waktu itu
menyatakan tidak ada dana yang dapat dihimpun secara sukarela (Voluntary
Saving) dari masyarakat pedesaan di Indonesia yang income percapitanya relatif
rendah.
Kalau pada awal keberadaannya jumlah BRI UNIT
sesuai ijin Menkeu tahun 1976 mencapai 3.648 UNIT, maka pada awal
transformasi tahun 1984 s/d 1985
jumlahnya menurun menjadi 2.469 buah. Perkembangan
jaringan BRI UNIT selanjutnya dapat terlihat sejalan dengan meningkatnya
profitabilitas seperti terlihat dalam tabel berikut.
Tabel 2 :
Perkembangan Profitabilitas Dan Jumlah Jaringan Sistim BRI Unit Periode
1984-2001
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Jumlah Jaringan BRI Unit |
||||
Tahun |
Laba/Rugi |
Laba |
% |
Rugi |
% |
Total BRI Unit |
|
(RP.Miliar) |
(BRI Unit) |
|
(BRI Unit) |
|
|
I |
II |
III |
IV |
V |
VI |
VII |
1984 |
-25,122 |
336 |
13,6 |
2.133 |
86,4 |
2.469 |
1985 |
-0,936 |
1.192 |
48,3 |
1.277 |
51,7 |
2.469 |
1986 |
9,846 |
1.647 |
72,5 |
626 |
27,5 |
2.273 |
1987 |
22,479 |
1.887 |
80,6 |
454 |
19,4 |
2.341 |
1988 |
30,641 |
2.090 |
80,9 |
495 |
19,1 |
2.585 |
1989 |
36,914 |
2.253 |
79,2 |
591 |
20,8 |
2.844 |
1990 |
65. 190 |
2.708 |
89,1 |
332 |
10,9 |
3.040 |
1991 |
66,107 |
2.696 |
84,0 |
514 |
16 |
3.210 |
1992 |
83,973 |
2.744 |
85,9 |
450 |
14,1 |
3.194 |
1993 |
140,251 |
2.918 |
89,3 |
349 |
10,7 |
3.267 |
1994 |
265,487 |
3.173 |
93,7 |
215 |
6,3 |
3.388 |
1995 |
402,591 |
3.361 |
95,7 |
151 |
4,3 |
3.512 |
1996 |
422,877 |
3.412 |
94,7 |
183 |
5,3 |
3.595 |
1997 |
417,035 |
3.482 |
94,3 |
209 |
5,7 |
3.691 |
1998 |
713,676 |
3.251 |
87,8 |
452 |
12,2 |
3.709 |
1999 |
1.190.331 |
3.551 |
96,1 |
143 |
3,9 |
3.694 |
2000 |
1.162.956 |
3.638 |
97,7 |
86 |
2,3 |
3.724 |
2001(Nov) |
1.272.381 |
3.679 |
96,6 |
130 |
3,4 |
3.809 |
Sumber : Divisi Mikro
Banking BRI 2001 (Setelah Diolah)
Dari tabel tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa sejak periode 1986 sampai saat ini BRI UNIT
berada pada level tertinggi secara
Kelembagaan yakni telah dapat berfungsi sebagai “Micro Finance Intermediaries”
atau Micro Banking yang profitable dan sustainable.
Pada periode kurun waktu tersebut BRI UNIT telah mencapai
level Kelembagaan ke 3 yaitu “Full
Financial Self Sufficieny”.
2.
3. Analisis kebijakan bisnis dan kinerja BRI UNIT.
Kebijakan bisnis yang telah membawa perubahan fundamental
BRI UNIT menjadi Model Micro Finance Intermediaries Institution yang diakui dunia
internasional, serta menjadikan BRI UNIT sebagai Strategic Bussiness Unit (SBU)
BRI yang amat strategis karena mampu
memberikan profitabilitas yang significant, dapat dianalisis melalui 3 bidang
pengelolaan bisnisnya, yaitu :
1).
Bidang Financial Intermediaries.
Kebijakan bisnis yang menjadi salah satu faktor kunci
keberhasilan BRI UNIT dalam menjalankan fungsinya yang murni sebagai Lembaga
Perantara Keuangan (Micro Finance Institution) pada segmen masyarakat kecil
didaerah pedesaan berdasarkan pengalaman
dan analisa penulis sebagai praktisi di BRI adalah bahwa BRI UNIT mengimplementasikan konsep
-konsep pemasaran dalam operasionalnya, melalui 4 (empat) prinsip dasar utama
yaitu :
a. Adanya pasar sasaran (target market) yang jelas yakni
segmen pasar pengusaha kecil dipedesaan ,
bersifat individual dan untuk semua kebutuhan sektor ekonomi.
b. Berorientasi kepada kebutuhan pelanggan, dimana setiap
pengusaha kecil secara individual memiliki kebutuhan yang berbeda dalam jumlah,
kemampuan membayar kembali, tujuan penggunaan kredit dan kapan kredit tersebut
dibutuhkan. Karena itu tidak dapat dibuat target group yang bersifat massal
seperti dalam Kredit Bimas.
c. Adanya sistem pemasaran yang terkoordinasi dalam
produk-produk yang ditawarkan oleh BRI UNIT. Realisasi kredit pada setiap
individu pemohon adalah hasil aktivitas pemasaran yang secara proaktif
dilakukan oleh petugas BRI UNIT. Demikian pula dalam hal penghimpunan dana
masyarakat dipedesaan yang berhasil dilakukan oleh BRI UNIT dengan produk Simpedesnya.
d. Profitabilitas BRI UNIT adalah tujuan yang digariskan
secara tegas dalam kebijakan bisnis , dan harus disadari oleh setiap petugas di
BRI UNIT karena tanpa keuntungan yang
diperoleh maka kemampuan kelembagaan BRI UNIT untuk memberikan penyaluran
kredit mikro secara berkesinambungan (sustanability) tidak akan pernah
terwujud. Oleh karena itu parameter-parameter keberhasilan kerja BRI UNIT
secara tegas selalu ditetapkan dan
terukur secara kwantitatif sebagai ukuran keberhasilan kerja para petugasnya.
Langkah strategis lain dalam kebijakan bisnis BRI UNIT adalah
dilakukannya pendekatan dua sisi dalam mengelola Asset dan Liabilities-
nya secara berkesinambungan, melalui
upaya pemasaran produk-produk
BRI UNIT secara sistematis
berupa :
a.
Produk BRI UNIT yaitu KUPEDES DAN SIMPEDES dibuat dengan asas “Simplicity”, yaitu sederhana, khas dan
sesuai untuk kebutuhan masyarakat pedesaam
sehingga memenuhi konsep : Product = Customer Need.
b.
Dilakukan relokasi dan reposisi kantor BRI
UNIT yang mendekati dan berada pada pusat-pusat kegiatan ekonomi pasar
dipedesaan, hal ini sesuai dengan konsep : Place = Customer Convinience.
c.
Penentuan harga produk BRI UNIT (suku bunga
pinjaman maupun simpanan) adalah mempertimbangkan harga pasar yang wajar dan ekonomis dipedesaan (Price = Customer
Cost).
d.
Pemasaran produk dilakukan langsung secara
proaktif oleh petugas BRI UNIT (Promotion = Customer communication).
Langkah-langkah kebijakan bisnis yang strategis dari BRI
UNIT tersebut adalah sesuai dengan konsep pemasaran produk dari Robert
Lautenborn (1994), yang berpendapat bahwa 4P harus berhubungan erat dengan 4C
dari pelanggan. Perusahaan akan menjadi unggul apabila mampu memenuhi kebutuhan
pelanggan secara ekonomis, mudah, dan dengan komunikasi yang efektif.
2).
Bidang Delivery System
Transformasi sistem BRI UNIT sejak awal tahun 1984 tidak
hanya menyangkut bidang Financial intermediaries saja, tetapi juga
perubahan-perubahan dan perbaikan dalam sistem operasional dan pengawasan
internalnya. Disamping itu kebijakan yang menyangkut penerapan
prinsip-prinsip Good Corporate
Governace juga dijalankan dalam bentuk antara lain :
a.
BRI UNIT adalah suatu profit center tersendiri
yang mengelola portofolio diluar yang dikelola oleh Kantor Cabang BRI, yang
accountabilitasnya dapat terukur secara jelas.
b.
Sistem BRI UNIT bukan semata kepanjangan
tangan dari Kantor Cabangnya, karena
transaksi-transaksi keuangan dan bisnis yang terjadi langsung dibukukan di BRI
UNIT . sehingga setiap BRI UNIT mampu membuat Neraca dan Rugi Laba harian dan
bulanan tersendiri.
c.
Diberlakukannya sistem pembebanan biaya atau
tranfer price atas excess fund yang terjadi antara BRI UNIT dengan Kantor
Cabangnya, disamping pembebanan biaya management secara proporsional.
d.
Adanya sistem pelaporan dan monitoring yang
standard.
3). Bidang
Corporate Culture
Perubahan yang fundamental dalam pengelolaan BRI UNIT dari Channeling Agency kepada era Commercial Basis tidak akan berhasil tanpa dukungan
perubahan dibidang penerapan budaya kerja baru yang mengharuskan para petugas
di BRI UNIT merubah cara kerja, pola
pikir dan sikap mentalnya dari pola
pikir birokrat menjadi seorang “Micro Bankers”. Dalam kaitan inilah beberapa
kebijakan yang mendukung transformasi budaya kerja diimplementasikan dalam bentuk
antara lain :
a.
Kebijakan dalam sistem recruitment pegawai BRI
UNIT.
b.
Pendidikan dan Latihan yang terencana dan
berkelanjutan pada 5 Sentra Pendidikan.
c.
Penerapan reward dan punishment sistem yang
jelas dan terukur.
d.
Penyediaan Buku pedoman kerja disetiap BRI
UNIT sehingga diharapkan dapat dicapai standard pelayanan yang relatif sama.
e.
Formasi dan staffing yang sesuai dengan ratio
beban kerja dan strategi bisnis.
f.
Sistem pengawasan internal yang built in
control baik dalam sistem pelayanan
operasional maupun secara fungsional.
4). Kinerja
Bisnis BRI UNIT
a. Perkreditan.
Analisis terhadap angka-angka perkembangan Kupedes sebagai satu-satunya
jenis kredit yang dipasarkan melalui BRI UNIT sejak 1984 sampai saat ini menunjukkan adanya daya serap
masyarakat pengusaha kecil dipedesaan yang sangat besar. Kredit kepada pengusaha Mikro dipedesaan
yang bersifat individual ini mempunyai maksimum plafond per debitur sebesar
Rp.50 juta, dengan jangka waktu maximal 24 bulan untuk modal kerja atau maximal
36 bulan untuk investasi. Dengan suku bunga 2 % flat perbulan, termasuk
didalamnya cadangan IPTW sebesar 0,5 % yang akan dikembalikan kepada nasabah
jika membayar angsuran secara tepat waktu, angka Kupedes yang pada akhir tahun
1984 menunjukkan outstanding Rp.111,- miliar saat ini telah mencapai jumlah
outstanding Rp.9 triliun 857 miliar (November 2001) , dengan 2.030.298.
nasabah, dengan performing loan yang
cukup bagus. Perkembangan
outstanding dan kinerja Kupedes
dapat terlihat dalam Tabel berikut.
Tabel 3 : Perkembangan angka-angka Kupedes sejak 1996
s/d 2001(November)
Tahun |
OutStanding Kupedes (Dalam Rp.
Milyar) |
Delta |
Jumlah Debitur |
Tunggakan |
PFS (%) |
NPL |
1996 |
4.076.188 |
- |
2.488.135 |
148.780 |
3,65 |
1,46 |
1997 |
4.685.354 |
609.166 |
2.615.679 |
221.815 |
4,73 |
1,92 |
1998 |
4.696.766 |
11.412 |
2.457.652 |
265.295 |
5,65 |
2,73 |
1999 |
5.956.527 |
1.259.761 |
2.473.923 |
181.408 |
3,05 |
1,38 |
2000 |
7.827.333 |
1.870.806 |
2.715.609 |
196.259 |
2,51 |
1,23 |
2001 (Nov) |
9.857.631 |
2.030.298 |
2.769.964 |
212.308 |
2,15 |
1,03 |
Sumber : Divisi Mikro Banking BRI 2001 (Data
Diolah)
Berbeda dengan jenis kredit program bersubsidi, maka sistem bunga
Kupedes ditetapkan untuk mampu menutup biaya dana masyarakat, biaya overhead,
dan biaya resiko kredit serta dapat memberikan spread yang cukup untuk
kesinambungan pembiayaan usaha kecil itu sendiri. Kebijakan dan strategi
pricing Kupedes ditetapkan secara nasional oleh Kantor Pusat BRI dengan sistem
flat rate, sederhana dalam cara perhitungan dan mampu mamberikan motivasi
kepada para pengusaha kecil untuk dapat membayar kembali angsurannya secara
baik melalui pemberian Insentif Pembayaran Tepat Waktu.
Untuk mencapai efektifitas pemberian kredit kepada pengusaha kecil
menurut Rhine dan Otero (1994), terdapat 3 prinsip umum yang ternyata telah
dipraktekkan oleh BRI UNIT yaitu : - Mengetahui betul siapa target marketnya,
dimana masyarakat berpenghasilan rendah mau membayar kembali kreditnya kepada
mereka yang memberikan akses pinjaman pada saat dibutuhkan.
- Adanya prosedur pelayanan yang mudah dan cepat..
- Adanya insentif penghargaan atas pembayaran kembali kredit yang tepat
waktu.
Kinerja Kupedes yang baik juga tidak terlepas dari adanya 3
prinsip Tepat yang dijalankan secara
baik dalam operasional BRI UNIT
yaitu Tepat Waktu, Tepat Orang dan Tepat Jumlah. Pengalaman BRI dalam pemberian
Kupedes melalui sistem BRI UNIT yang accountable kiranya dapat menjadi
inspirasi dalam memperluas aksesibilitas pengusaha kecil yang tersebar
dipedesaan kita
b.Simpanan
BRI UNIT tidak hanya berhasil dalam memberikan Kupedes dengan bunga dan
mekanisme pasar, tetapi juga berhasil dalam mengajak dan memotivasi masyarakat
dipedesaan untuk membiasakan menabung (Voluntary Saving), melalui Produk
Simpedes-nya, serta produk-produk simpanan lainnya seperti Deposito dan
Tabungan lainnya.
Angka perkembangan Simpedes seperti tersebut dalam tabel berikut ini
memberikan indikasi suksesnya BRI UNIT dalam program penghimpunan dana
masyarakat pedesaan.
Tabel 4 :
Perkembangan angka-angka Simpanan Sejak 1996 s/d 2001 (November).
(Dalam
Rp Milyar)
Tahun |
Total Simpanan |
Delta Pertumbuhan |
Simpedes |
Deposito |
Tabungan Lainnya |
1996 |
7.091.690 |
|
4.406.851 |
774.976 |
1.909.861 |
1997 |
8.836.510 |
1.744.820 |
5.338.148 |
1.203.094 |
2.295.269 |
1998 |
16.146.020 |
7.309.510 |
7.165.204 |
6.323.426 |
2.657.392 |
1999 |
17.061.390 |
915.370 |
9.514.768 |
4.060.203 |
3.486.415 |
2000 |
19.114.780 |
2.053.390 |
11.903.617 |
3.061.865 |
4.149.294 |
2001 |
21.353.130 |
2.238.350 |
15.396.617 |
3.174.759 |
2.781.751 |
Sumber : Divisi
Mikro Banking BRI 2001 (Data Diolah)
Kinerja simpanan BRI UNIT
justru telah menjadikan BRI sebagai
Bank yang memiliki funding base yang terkuat, relatif tidak terlalu
sensitif terhadap fluktuasi interst
rate dan memiliki cost of fund yang
efisien, serta menjadi sumber kemampuan untuk secara berkesinambungan
memberi dan menyalurkan kreditnya kepada para pengusaha mikro dipedesaan.
3. KESIMPULAN DAN
SARAN
Dari analisis dan pembahasan yang telah dikemukakan diatas dapat
diambil beberapa kesimpulan dan
saran sebagai berikut :
a.
BRI UNIT dapat dijadikan sebagai Model dalam
pengembangan Lembaga Keuangan Mikro didaerah pedesaan, dengan melihat
angka-angka kinerja bisnisnya sejak 1984
yang telah beroperasi sebagai lembaga perantara keuangan murni sesuai mekanisme pasar dan sampai saat ini tetap sustainable serta profitable.
b.
Mengingat banyak daerah dan desa potensial
khususnya yang memiliki potensi
perikanan yang besar belum tersentuh
oleh pelayanan jasa perbankan, maka pengembangan Lembaga Keuangan Mikro dengan
Model BRI UNIT atau yang sejenis perlu terus digalakkan.
c.
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah perlu membuat suatu kebijakan yang dapat mendorong Bank-Bank BUMN maupun
Bank BUMD untuk mengalokasikan sebagian
portofolionya guna membentuk semacam BRI UNIT Model, agar aksesibilitas
masyarakat pedesaan kepada layanan perbankan dapat lebih cepat ditingkatkan,
sehingga dapat memberikan dampak lanjutan terhadap pertumbuhan ekonomi
dimasyarakat pedesaan yang selama ini belum terjangkau.
d.
Untuk dapat mengembangkan Lembaga Pembiayan
Mikro semacam BRI UNIT yang sustainable dan profitable memerlukan langkah kebijakan yang tepat dalam bidang
financial intermediaries, delivery sistem dan corporate culture sebagaimana
yang secara baik telah dilaksanakan oleh BRI UNIT.
DAFTAR PUSTAKA.
Accion International , Banking Services
For The Poor, 1996 , Managing For Financial Success. Usaid
Washington DC .
Christen, Robert; Rhyne, Elisabeth and
Vogel, Robert C; 1995; Maximizing the outreach of Micro Enterprise Finance,
An Analysis of Succesful Micro Finance Program, Usaid Program and Operation
Assesment Report No.10.
Fatchudin, 1997. Prospek dan
strategi sistem BRI Unit sebagai model pembiayaan usaha kecil yang
berkesinambungan; Makalah Sespibank A.XVI/1997, IBI Jakarta.
Jhingan, M.L. 2000, Ekonomi
Pembangunan dan Perencanaan. Diterjemahkan oleh D.Guritno, PT.Raja Grafindo
Persada Jakarta.
Rokhmin Dahuri, 2000. Pendayagunaan
Sumber Daya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat; Penerbit Lispi, Jakarta.
Rokhmin Dahuri, 2001. Membangun Kembali Perekonomian Indonesia Melalui
Sektor Perikanan dan Kelautan. Makalah
Seminar Nasional Pembangunan Ekonomi Berbasis Kelautan; DKP dan ISEI Jakarta.
Kotler, Philip, 1994, Marketing Management; Analysis, Planning,
Implementation and Control, Eight Edition, Prentice Hall International,
Inc. New Jersey.
Otero , Maria and Rhine, Elisabeth;
1994, The New Word of Micro Enterprises Finance; Connecticut USA,
Kumarian Press, Inc.