© 2001 Erna Triwibowo Posted: 27 Oct. 2001 [rudyct]
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca
Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
October 2001
Dosen:
Prof Dr Ir
Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
PEMANFAATAN PENYU HIJAU (Chelonia mydas) PADA MASYARAKAT
ADAT BALI
DI KABUPATEN BADUNG,
PROPINSI BALI
oleh
:
Erna
Triwibowo
(P 31600025/ SPL)
E-mail: erna_triwibowo@lycosasia.com
1. Pendahuluan
Penyu adalah
jenis reptilia yang hidup di perairan laut. Di dunia terdapat tujuh
jenis penyu, enam jenis diantaranya hidup di perairan laut Indonesia, yakni :
penyu sisik (Eretmochelys imbricata ), penyu hijau (Chelonia mydas),
penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu tempayan (Caretta
caretta), penyu lekang (Lepidochelys
olivea), penyu pipih (Natator
depressa). Dalam pandangan internasional, semua jenis penyu dianggap
langka (endengered) dalam Red Data Book-IUCN.
Binatang
penyu ini memiliki sebaran yang sangat luas. dan bermigrasi hingga ratusan
bahkan ribuan kilometer dari tempat berbiaknya. Penyu hijau dijumpai di Papua
New Guinea (Ulaiwi, W. 1997), Malaysia (Clark, L.H. 1997), Australia (Carter,
D. 1997), Indonesia (Siswomartono, D. 1997).
Jenis
penyu hijau yang paling banyak dijumpai di Indonesia. Penyu hijau berbiak di
seluruh Indonesia dari yang terbesar
seperti kepulauan Berau Kalimantan Timur hingga pulau-pulau kecil yang
terisolir (Wicaksono, A. 1992). Tempat peneluran yang paling penting di
kepulauan Riau (Schulz, J. 1987), pantai Pangumbahan Jawa Barat (Subagio,
1991), Sukamade Jawa Timur (Triwibowo. 1990).
Menurut Limpus, C.J (1986) sebagian besar wilayah
pesisir Asia Tenggara, Pasifik Barat dan Australia merupakan daerah peneluran
penyu. Namun demikian di kawasan itu pula penyu hijau banyak diburu dan
dieksploitasi telurnya. Populasi penyu di Indonesia menurun sejak 50 tahun yang
lalu. Kondisi ini telah ditunjukkan dari semakin kecilnya ukuran penyu hasil
tangkapan nelayan.
Sejak ratusan tahun yang lalu
masyarakat Bali telah memanfaatkan penyu untuk keperluan upacara adat dan
keagamaan masyarakat Bali. (Triwibowo, E. 1991).
Bali merupakan pusat
penyembelihan penyu hijau yang paling intensif di Indonesia dan di dunia
(Limpus, C.J. 1997) dan khususnya di wilayah Denpasar Selatan, Kabupaten Badung
(Triwibowo, E. 1991). Untuk memasok kebutuhan masyarakat Bali penyu hijau
dieksploitasi dan diangkut dari hampir seluruh tempat di perairan Indonesia.
Pada tahun 1994-1995 tercatat 15.000-21.000 ekor penyu setiap tahunnya
ditangkap dan diangkut ke Bali (Troeng, S. 1997). Lebih dari itu, sejumlah
lainnya juga ditangkap seperti di Maluku (Compost. 1980 ; Suarez and Starbird.
1995), di Sulawesi Selatan (Schulz, J. 1984). Jumlah total penangkapan penyu di
Indonesia diperkirakan sebanyak 25.000 ekor/ tahun (Groombidge and Luxmoore.
1989).
Karena
pemanfaatan penyu paling tinggi di dunia ini, Indonesia pernah mendapat
kecaman internasional dalam sidang
Internasional Union Conservation of Nature pada tahun 1987 di Ottawa. Canada.
Protes keras pernah dilancarkan oleh The Greenpeace pada tahun yang sama untuk
memboikot kegiatan pariwisata di Bali.
2. Status
dan Kondisi Populasi
Dalam pandangan internasional,
semua jenis penyu telah dianggap langka (endangered) dan telah
dilindungi undang-undang, seperti dalam Red Data Book-IUCN telah tercatat
sebagai endangered species. Sedangkan dalam CITES telah pula dalam
Appendix I yang artinya dilarang diperdagangkan secara internasional (Sukresno,
S.A. 1997).
Menurut Hirth, H.F (1971)
sebagian besar kehidupan penyu
dihabiskan di laut untuk mencari makan, beruaya dan kawin. Setelah tiba saatnya
bertelur penyu betina akan mencari pantai berpasir untuk bertelur. Halliday
et.al. (1986) menyatakan bahwa daerah peneluran penyu ini biasanya tidak jauh
dari perairan laut yang menyediakan rumput laut. Rata-rata penyu hijau bertelur
sebanyak 106 butir setiap kali mendarat ke pantai (Sub Balai KSDA Jatim II.
1990).
Secara
alami telur yang ditinggalkan induk penyu dalam gundukan pasir pantai akan
menetas. Oleh Nuitja, N.S (1981) dilaporkan bahwa prosentase penetasan telur
penyu ± 90 %. Setelah menjadi anakan (tukik) maka secara naluriah akan pergi ke
arah laut. Mula-mula sesaat tukik akan berada di perairan laut dekat pantai
kemudian berkelana ke laut lepas. Perjalanan tukik di laut tidak diketahui lagi.
Para ahli menyebut sebagai "tahun yang hilang" (Carr, A. 1967; Frick.
1976 dalam Carr,A. 1980).
Ancaman terhadap telur penyu
adalah pemungutan telur di lokasi peneluran dan pemangsaan predator seperti
biawak, babi hutan, macan tutul, elang, ikan besar pada tingkat telur hingga
anakan (tukik) (Triwibowo. 1990). Hanya
1 s/d 3 % anakan yang mampu mencapai tingkat dewasa (Enrenfeld, D.W. 1974).
Tingkat kematian anakan penyu menuju dewasa sangat tinggi, diasumsikan hanya
sebutir sampai dengan tiga butir telur yang bertahan hidup dari 100 butir yang
dihasilkan seekor induk penyu.Sedangkan ancaman yang paling utama adalah
penangkapan oleh manusia. Penangkapan baik yang disengaja maupun yang tidak
dapat mengancam kelangsungan populasi penyu (Sumardja,E. 1991).
Pemerintah Indonesia
melalui berbagai instansi, organisasi
LSM dan para pakar dari perguruan tinggi telah terlibat kegiatan konservasi
penyu di Indonesia. Direktorat Jenderal PHPA Departemen Kehutanan melalui yang telah
mengelola kawasan peneluran penyu di seluruh Indonesia.
Pemerintah Indonesia telah
menetapkan perlindungan terhadap populasi penyu melalui : Surat Keputusan
Menteri Kehutanan, antara lain: No. 327/Kpts/um/5/1978 untuk penyu
belimbing (Dermochelys coriacea) ; No. 716/Kpts/um/10/1980 untuk penyu
lekang (Lepidochelys olivea)
dan penyu tempayan (Caretta caretta) ; No. 882/Kpts-II/1992 untuk
penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan Peraturan Pemerintah No.7
tahun 1999 untuk penyu hijau.
Sedangkan
Pemerintah Daerah Propinsi Bali melalui Surat Keputusan Gubernur No. 22
tahun 1990 juga telah berupaya melakukan pembatasan. Pemanfaatan penyu oleh
masyarakat yang diperbolehkan terbatas untuk keperluan upacara adat dan
keagamaan. Kiranya penegakan hukum yang kini menjadi permasalahan dalam upaya
konservasi penyu di Indonesia. Walaupun telah dikeluarkan peraturan
perundang-undangan perlindungan penyu masyarakat tetap masih yang mengkonsumsi
daging penyu secara ilegal.
WWF-Indonesia sebagai LSM
internasional yang sampai kini masih aktif berupaya memberi Penyuluhan dan
Pendidikan (P&P) mengenai
konservasi penyu di Bali. Setiap program (P&P) berkaitan langsung dengan
proses perubahan mentalitas dan pemikiran individu masyarakat melalui
banjar-banjar. Sistem banjar sangat efektif dan sukses untuk menyampaikan
pesan-pesan konservasi penyu.
Upaya penangkaran penyu (ranching)
belum pernah dicoba di Indonesia. Yang pernah ada hanya usaha pembesaran penyu
(P. Serangan, Gondol Bali) dan usaha penetasan telur penyu di berbagai tempat
peneluran penyu.
Peternakan penyu pertama
dikembangkan di Grand Cayman Island, British West Indies pada tahun 1973-1978. Hasil peternakan penyu
telah diekspor ke Amerika Serikat dan
Eropa terutama Inggris dan Perancis. Peternakan kedua berada di Ogasawara
Island di Samudera Pasifik pada tahun 1972 (Nuitja, N.S. 1997).
Carter, D (1997) menyatakan
bahwa upaya penyelamatan populasi penyu amat sulit dilakukan karena dua hal
antara lain : Pertama: Penyu bermigrasi sangat jauh selama hidupnya.
Penyu yang hidup di perairan laut Indonesia dapat mencapai pantai Australia
untuk bersarang dan menetasnya tukik, kemudian kembali ke Samudera Hindia. Kedua
: Dalam pertumbuhannya mulai tukik hingga dewasa memerlukan jangka waktu yang
panjang dengan berbagai ancaman kematian.
3.
Masyarakat Adat Bali
Kabupaten Badung terdiri dari tujuh kecamatan, yaitu : Denpasar Selatan,
Denpasar Timur, Denpasar Barat, Kuta, Mengwi, Abiansemal dan Petang. Sebagian
besar masyarakat Bali (80%) menganut agama Hindu, walaupun demikian masyarakat
Bali juga menganut hukum adat.
Menurut Kaler, I.K (1983) adat merupakan pelaksanaan ajaran agama
Hindu. Ciri yang menonjol dalam kehidupan sehari adalah sikap komunal. Setiap
keluarga akan membentuk suatu kesatuan yang dinamakan banjar, kemudian
banjar-banjar akan bergabung membentuk desa adat. Selain mengorganisasi
individu-individu dari masyarakat dalam berperilaku sehari-hari, banjar juga
mengatur pelaksanaan ajaran agama Hindu.
Pemanfaatan
penyu laut di Bali telah berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu dan mempunyai
latar belakang sosial budaya (Supriyadi, D. 1989). Untuk mempelajari latar
belakang sosial budaya masyarakat, pertama-tama harus diteliti apakah ciri-ciri
suatu masyarakat ada dalam masyarakat Bali.
Seperti
yang dikemukakan Keesing, R.M (1981) bahwa suatu masyarakat mempunyai sistem
sosial ke seluruhan, dimana anggotanya memiliki tradisi kebudayaan dan bahasa
yang sama. Menurut Brantas dan Dana (1986) agama yang dianut oleh sekelompok
masyarakat akan melahirkan suatu tradisi budaya masyarakat. Akhirnya agama akan
mempengaruhi sikap dan kecenderungan tingkah laku masyarakat.
Sebagian
besar (80%) masyarakat Kabupaten Badung adalah penganut agama Hindu. Dengan
demikian corak dasar dan warna budaya, dasar-dasar hakiki serta nilai-nilai
yang berlaku di masyarakat Kabupaten Badung secara dominan dipengaruhi oleh
ajaran agama Hindu.
Menurut
Kaler, I.K (1982) di dalam ajaran agama Hindu terdapat tiga pokok ajaran yang
terdiri Tattwa Darsana, Sila Sasana dan Yadnya. Pada kedua ajaran seperti :
Tattwa Darsana dan Sila Sasana berlaku secara universal dan kekal. Sedangkan
ajaran tentang Yadnya, pelaksanaannya berbeda-beda sesuai dengan Deca (tempat),
Kala (waktu) dan Patra (keadaan).
Yadnya mempunyai pengertian
suatu pengorbanan yang tulus ikhlas dan pensucian dengan dilandasi oleh suatu
kepercayaan (Brantas dan Dana, 1986). Pelaksanaan ajaran Yadnya inilah yang
berkaitan dengan pemanfaatan penyu, karena pelaksanaan Yadnya yang dilakukan
dalam bentuk upacara itu terdapat penggunaan daging penyu sebagai salah satu
perlengkapan upacara. Yadnya terdiri dari lima jenis upacara, yakni Dewa
Yadnya, Pitra Yadnya, Resi Yadnya, Manusa Yadnya, Bhutha Yadnya (Penerbit Jaya
Dharma Sarathi, 1989).
Hasil
penelitian Triwibowo, E (1991) sajen suatu upacara yang menggunakan penyu
mempunyai nilai yang lebih bila dibandingkan dengan daging binatang yang lain.
Daging penyu yang digunakan sebagai sajen dengan proporsi yang sangat kecil
bahkan sangat tidak berarti bila dibandingkan dengan Jotan. Jotan adalah
hidangan untuk para tamu upacara maupun hantaran makanan kepada para pekerja
adat dan tetangga. Alasan lain
penggunaan daging penyu dalam upacara adat adalah karena dapat dimakan oleh
semua golongan masyarakat (kasta).
Untuk keperluan inilah akhirnya
pemanfaatan penyu dalam upacara adat menjadi simbol status sosial seseorang di
lingkungannya. Kecuali itu diketahui pula bahwa tidak semua masyarakat
adat Bali demikian halnya. Semakin ke
arah Selatan wilayah Kabupaten Badung semakin tinggi jumlah penyu yang
dikonsumsi masyarakat. Tingkat sosial ekonomi masyarakat juga berpengaruh
terhadap kuantitas pemanfaatan penyu untuk keperluan upacara adat ini. Semakin
tinggi tingkat sosial ekonomi seseorang semakin banyak mengkonsumsi penyu
(Triwibowo, E. 1991).
DAFTAR ACUAN
Brantas dan Dana. 1986. Buku Materi Pokok
Pendidikan Agama Hindu. Universitas Terbuka. Penerbit Karunika. Jakarta.
Carr, A.1980. Some Problems of Sea Turtle
Ecology. Amer.Zool.
Carter, D. 1997. Penelitian dan
Pengelolaan Penyu di Australia. Makalah Seminar Penelitian dan Pengelolaan
Penyu di Indonesia. Jember. Indonesia.
Clark, L.H. 1997. Penelitian dan
Pengelolaan Penyu di Malaysia. Makalah Seminar Penelitian dan Pengelolaan
Penyu di Indonesia. Jember. Indonesia.
Enrenfeld, D.W. 1974. Conservasing The Edible
Sea Turtle. Can Marineculture help?. America Scientific Journal.
Groombidge and Luxmoore. 1989. The Green
Turtle and Hawksbill (Reptilia : Cheloniidae) World status, exploitation and
trade. Secreatariat of the Convention of International Trade of Endangered
Species of Wild Fauna and Flora : Lassaunne.
Halliday et.al. 1986. Editor Encyclopaedia of
Reptiles and Insect. Equinox (Oxford) Ltd. Littlegate House. St Ebbe's Street.
Oxford.
Hirth, H.F. 1971. Synopsis of Biological Data
on Green Turtle (Chelonia mydas L.) FAO Fiesheries Synopsis. Rome.
Kaler, I.K. 1982. Butir-butir Tercecer
Tentang Adat Bali. Penerbit Bali Agung. Bali.
Keesing, R.M. 1989. Antropologi Budaya Suatu
Perspektif Kontemporer. Terjemahan Samuel Gunawan. Universitas Andalas. Padang.
Penerbit Erlangga. Jakarta.
Limpus, C.J. 1986. Observations on Sea
Turtles in Indonesia, 18-31 August 1986. Unpublished report to
Sub-Directorate Marine Conservation, Ministry of Forestry, Republic of
Indonesia. IUCN SSC MTSG and Queensland National Parks and Wildlife
Service.
Limpus, C.J. 1997. Populasi Penyu di Asia
Tenggara dan Wilayah Pasifik Barat: Penyebaran dan Statusnya. Makalah
Seminar Penelitian dan Pengelolaan Penyu di Indonesia. Jember. Indonesia.
Nuitja, N.S. 1981. Konservasi dan
Pengembangan Penyu di Indonesia. Makalah Seminar Penelitian dan Pengelolaan
Penyu di Indonesia. Jember. Indonesia.
Palma, J.A.M. 1997. Konservasi Penyu di
Filippina dan Inisiatif Menuju Program Konservasi dan Pengelolaan Regional.
Makalah Seminar Penelitian dan Pengelolaan Penyu di Indonesia. Jember.
Indonesia.
Penerbit Jaya Dharma Sarathi. 1989. Upadeka
tentang Ajaran Agama Hindu. Bali.
Schulz, J. 1984. Turtle Conservation Strategy
in Indonesia. Field Report No.6, Marine Conservation. Bogor.
Schulz, J. 1987. Observations on Sea Turtles
in Indonesia. Report to IUCN. Bogor.
Siswomartono, D. 1997. Penelitian dan
Pengelolaan Penyu di Indonesia. Makalah Seminar Penelitian dan Pengelolaan
Penyu di Indonesia. Jember. Indonesia.
Suarez and Starbird. 1995. A Traditional Fishery of Leatherback
Turtles, in Maluku. Indonesia. Marine Turtle Newsleter.
Sub Balai KSDA Jatim II. 1990. Penyu
Laut di Sukamade. Jember.
Subagio. 1991. Pembahasan Strategi Nasional
dan Action Plan Konservasi dan Pengelolaan Penyu. Rencana Pengelolaan dan
Konservasi Penyu di Pantai Pangumbahan dan Sekitarnya. KLH, Departemen
Kehutanan, EMDI-3 dan Indonesian Wildlife Fund. Jakarta.
Sukresno, S.A. 1997. Pemanfaatan Penyu
Laut di Indonesia. Makalah Seminar Penelitian dan Pengelolaan Penyu di
Indonesia. Jember. Indonesia.
Sumardja, E. 1991. Pembahasan Strategi
Nasional and Action Plan Konservasi dan Pengelolaan Penyu. KLH, Departemen
Kehutanan, EMDI-3 dan Indonesian Wildlife Fund. Jakarta,
Supriyadi, D. 1989. Pendekatan Ekonomi
sebagai Strategi Konservasi Penyu Hijau untuk Propinsi Bali. Kantor Sub Balai
KSDA Bali. Denpasar.
Triwibowo dan Sunandar, T.N. 1990. Upaya
Pemanfaatan dan Pelestarian Penyu Laut di Propinsi Jawa Timur. Surabaya.
Triwibowo, E. 1991. Studi Tentang Pemanfaatan
Penyu Laut Dalam Kaitan Dengan Usaha Pelestariannya Di Daerah Tingkat II
Kabupaten Badung. Propinsi Bali. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Indonesia.
Troeng, S. 1997. Pemanfaatan Penyu di
Indonesia. Makalah Seminar Penelitian dan Pengelolaan Penyu di Indonesia.
Jember. Indonesia.
Ulaiwi, W. 1997. Penelitian dan
Pengelolaan Penyu di Papua New Guinea. Makalah Seminar Penelitian dan
Pengelolaan Penyu di Indonesia. Jember. Indonesia.
Wicaksono, A. 1992. Berau Turtle Island in
The Regency of Berau, The Province of
East Kalimantan. Unpublished Report. EMDI and KLH. Jakarta.