©
2001 Edy Syahputra
Posted: 27
Sept. 2001 [rudyct]
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Sepetember
2001
Dosen:
Prof
Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
NRP A462010021
E-mail:
e_sitorus_2000@yahoo.com
Hutan Kalimantan Barat
merupakan hutan tropis basah yang diperkirakan menyimpan jenis-jenis tumbuhan
yang memiliki bioaktivitas. Keberadaan
tumbuhan sebagai sumber insektisida pada hutan tropis agaknya lebih
menjanjikan. Hutan tropis merupakan
sumber hayati yang kaya berbagai spesies tumbuh-tumbuhan. Sebagai salah satu sumber daya alam, hutan harus dikelola dan
dimanfaatkan sebaik-baiknya. Selain
tumbuhannya dapat dimanfaatkan untuk produksi kayu, dalam beberapa hal secara
langsung ataupun tidak tumbuhan hutan dapat dimanfaatkan untuk tujuan non-kayu. Untuk jangka panjang pengusahaan hutan
non-kayu ini tidak kalah pentingnya bila dikelola secara tepat. Salah satu pengusahaan hutan non-kayu yang
dapat dikembangkan selain sebagai sumber bahan bangunan dan
bahan obat-obatan tradisional
juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber insektisida.
Insektisida botani memiliki
kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh insektisida sintetik. Di alam, Insektisida botani memiliki sifat
yang tidak stabil sehingga memungkinkan dapat didegradasi secara alami (Arnason
et al., 1993; Isman, 1995). Selain
dampak negatif yang ditimbulkan pestisida sintetik seperti resistensi, resurgensi dan terbunuhnya jasad bukan
sasaran (Metcalf, 1986), dewasa ini
harga pestisida sintetik relatif mahal dan terkadang sulit untuk memperolehnya. Di sisi lain ketergantungan petani akan
penggunaan insektisida cukup tinggi.
Hal ini menyebabkan orang terus mencari pestisida yang aman atau sedikit
membahayakan lingkungan serta mudah memperolehnya. Alternatif yang bisa dikerjakan di antaranya adalah
memanfaatkan tumbuhan yang memiliki khasiat insektisida
(Schumetterer, 1995) khususnya tumbuhan yang mudah diperoleh dan dapat diramu
petani sebagai sediaan insektisida.
POTENSI
TUMBUHAN TROPIS SEBAGAI INSEKTISIDA BOTANI
Indonesia memiliki flora yang sangat beragam, mengandung cukup banyak
jenis tumbuh-tumbuhan yang merupakan sumber bahan insektisida yang dapat
dimanfaatkan untuk pengendalian hama.
Dewasa ini penelitian tentang famili tumbuhan berpotensi sebagai
insektisida botani dari penjuru dunia telah banyak dilaporkan. Lebih dari 1500 jenis tumbuhan telah
dilaporkan dapat berpengaruh buruk terhadap serangga (Grainge & Ahmed,
1988). Di Filipina, tidak kurang dari
100 jenis tumbuhan telah diketahui mengandung bahan aktif insektisida (Rejesus,
1987). Laporan dari berbagai propinsi
di Indonesia menyebutkan lebih 40 jenis tumbuhan berpotensi sebagai pestisida
nabati (Direktorat BPTP & Ditjenbun, 1994). Hamid
& Nuryani (1992) mencatat di Indonesia terdapat 50 famili tumbuhan
penghasil racun. Famili tumbuhan yang
dianggap merupakan sumber potensial insektisida nabati adalah Meliaceae,
Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae dan Rutaceae (Arnason et al., 1993; Isman,
1995), namun hal ini tidak menutup kemungkinan untuk ditemukannya famili
tumbuhan yang baru. Didasari oleh
banyaknya jenis tumbuhan yang memiliki khasiat insektisida maka penggalian
potensi tanaman sebagai sumber insektisida botani sebagai alternatif
pengendalian hama tanaman cukup tepat.
Anggota Meliaceae yang
paling banyak diteliti adalah nimba/mimba (Azadirachta indica A. Juss)
dengan bahan aktif utama azadirachtin (limonoid). Tanaman ini tersebar di daratan India. Di Indonesia tanaman ini banyak ditemukan di
sekitar provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur).
Ekstrak biji tanaman mimba mengandung senyawa aktif utama
azadiraktin. Senyawa aktif dari tanaman
ini memiliki aktivitas insektisida, antifeedant dan penghambat perkembangan
(Scmutterer & Singh 1995) serta berpengaruh terhadap reproduksi berbagai
serangga (Schmutterer & Rembold 1995). Sediaan insektisida komersial dengan formulasi dasar
ekstrak nimba (neem) telah dipasarkan di Amerika Serikat dan India (Wood et al. 1995, Parmer 1995). Selain bersifat sebagai insektisida,
jenis-jenis tumbuhan tertentu juga memiliki sifat sebagai fungisida, virusida,
nematisida, bakterisida, mitisida maupun rodentisida.
Selain tanaman di atas, Aglaia sp. (Meliaceae) merupakan
salah satu tanaman yang akhir-akhir ini banyak diteliti aktivitasnya. Daerah penyebaran tanaman ini meliputi
India, Cina bagian selatan, Asia Tenggara, Australia bagian utara dan kepulauan
di Samudra Pasifik. Di Indonesia
tumbuhan dapat ditemui tumbuh di pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Philipina,
Sulawesi, Bali dan Flores. Janpraset et al. (1993) berhasil mengidentifikasi
senyawa aktif yang bersifat insektisida dari ranting A. odorata (Meliaceae)
(culan, pacar cina) sebagai rokaglamida. Senyawa aktif utama yang bersifat insektisida ini termasuk dalam
golongan benzofuran. Pada daun A. odorata selain rokaglamida juga ditemukan
dan tiga senyawa turunannya, yaitu desmetilrokaglamida, metil rokaglat dan
rokaglaol (Ishibashi et al.,
1993). Rokaglamida juga telah diisolasi
dari empat spesies Aglaia lain, yaitu
dari akar dan batang A. elliptifolia (Wu
et al., 1997), ranting A. duppereana (Nugroho et al., 1997), dan buah A. elliptica serta
daun A. harmsiana. Tiga jenis tanaman yang disebutkan terakhir
tumbuh dengan baik di Kebun Raya Bogor.
Aktivitas ekstrak bagian tanaman Aglaia
selain dapat bersifat sebagai insektisida dapat juga bersifat sebagai antifidan dan/atau penghambat
perkembangan.
Beberapa
spesies tanaman famili Annonaceae ternyata cukup berpotensi untuk dimanfaatkan
sebagai insektisida nabati. Jenis-jenis tanaman famili Annonaceae yang
disebutkan di atas umum dijumpai di Indonesia.
Ekstrak biji tanaman srikaya (Annona
squamosa) dan nona seberang (A.
glabra) mempunyai aktivitas insektisida yang tinggi terhadap Crocidolomia binotalis (Basana &
Prijono, 1994; Prijono et al., 1995). Sementara itu Budiman (1994) melaporkan ekstrak biji tanaman A. reticulata, A. montana, A. deliciosa dan
Polyalthia littoralis efektif
terhadap serangga gudang Callosobruchus
chinensis. Senyawa aktif utama
dalam A. sqoamosa dan A. glabra adalah squamosin dan asimisin
yang termasuk golongan asetogenin (Mitsui et
al., 1991).
Hingga sejauh ini informasi ataupun penelitian tentang pemanfaatan
insektisida botani di Kalimantan Barat masih sangat terbatas. Penggalian
dan pemberdayaan tumbuhan lokal sebagai sumber insektisida belum pernah
dilaporkan. Guna menjaga punahnya suatu
jenis tumbuhan dan guna menggali potensi kekayaan daerah Kalimantan Barat baik
potensi sumber daya alam atau sumber daya manusia penulis dan timnya telah
melakukan studi etnobotani pemanfaatan tumbuhan sebagai insektisida.
Sejak
zaman dahulu suku bangsa lokal di daerah Kalimantan Barat sudah sering
menggunakan tumbuhan untuk berbagai keperluan, seperti ramuan obat tradisional,
racun mamalia, racun ikan, dan sediaan insektisida pengendali hama, selain
untuk keperluan sandang, pangan, dan papan.
Tumbuhan yang dimanfaatkan tersebut bervariasi dari tumbuhan yang perdu
hingga tumbuhan berbentuk pohon. Di
antara tumbuhan tersebut tumbuh secara alami di sekitar hutan dan di tepian
sungai, dan sebahagian tumbuhan lain sengaja ditanam untuk keperluan-keperluan
tertentu.
Hasil studi etnobotani pemanfaatan tumbuhan sebagai pestisida yang
dilakukan oleh penulis dan timnya di daerah hutan penyangga Taman Nasional
Bukit Baka - Bukit Raya (Kabupaten Sintang) dan Taman Nasional Gunung Palong
(Kabupaten Ketapang) mengungkapkan bahwa tidak kurang dari 53 jenis tumbuhan
pernah dimanfaatkan petani dan masyarakat setempat sebagai pestisida. Jumlah jenis tumbuhan ini tentunya akan
bertambah bila dilakukan studi etnobotani pada kabupaten-kabupaten
lainnya. Dari sejumlah tanaman yang
digunakan sebagai pestisida, 19 jenis tumbuhan digunakan petani sebagai
insektisida, sedangkan sisanya digunakan sebagai racun hewan lainnya.
Jenis tumbuhan yang pernah dimanfaatkan sebagai insektisida botani pada
suatu tempat dengan tempat lainnya sangat beragam, sedangkan cara
pemanfaatannya umumnya relatif hampir sama.
Umumnya terdapat beberapa cara yang biasa dilakukan petani, antara lain
dengan penyemprotan cairan perasan tumbuhan, penyebaran atau penempatan/
penanaman bagian tumbuhan di sudut-sudut tertentu pada lahan pertanaman,
pengasapan (pembakaran bagian tanaman yang mengandung bahan insektisida), dan
penggunaan bagian tumbuhan untuk pengendalian hama di penyimpanan.
Pengetahuan tentang pemanfatan insektisida botani ini secara sederhana
diwarisi dari generasi sebelumnya.
Generasi-generasi tua yang masih
hidup di sekitar hutan kini keberadaannya sangat terbatas. Meskipun ada, hanya sedikit generasi tua
yang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam memanfaatkan tanaman sebagai
pestisida untuk diwariskan kepada generasi muda. Selain itu, kebanyakan generasi muda tidak tertarik lagi
mempelajari dan meneruskan warisan tersebut.
Dengan demikian bahaya
hilangnya warisan telah di depan mata.
Hasil survey juga mengungkapkan bahwa adanya beberapa jenis tumbuhan yang
tidak ditemukan lagi di lapangan. Hal
ini merupakan permasalahan tersendiri bagi usaha menggali potensi sumber
insektisida botani di Kalimantan Barat.
Hasil pengujian aktivitas insektisida ekstrak dari berbagai jenis tumbuhan
yang tumbuh di Kalimantan Barat sedang dan terus dilakukan. Pengujian aktivitas ini masih terbatas pada
serangga uji larva Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera:
Pyralidae) dan imago kumbang Callosobruchus maculatus (F.) (Coleoptera:
Bruchidae). Penelitian dilaksanakan
dengan metode residu pada pakan dan metode residu pada permukaaan wadah. Untuk selanjutnya penelitian akan dikembangkan
menggunakan metode dan serangga uji hama-hama pertanian yang lain.
Dari 44 jenis tumbuhan yang tumbuh di Kalimantan Barat yang pernah diuji
aktivitas insektisidanya, terdapat
beberapa jenis ekstrak memiliki aktivitas insektisida yang baik terhadap
kumbang Callosobruchus maculatus (pengujian menggunakan ekstrak aseton
dengan metode kontak) dan/atau ulat kubis Crocidolomia binotalis (pengujian
menggunakan ekstrak air dengan metode residu pada daun/efek racun perut). Hasil penelitian menunjukkan bahwa di
antara jenis ekstrak memiliki aktivitas yang bervariasi. Dua jenis ekstrak, yaitu ekstrak kulit
batang Calophyllum soulattri dan ekstrak akar Eurycoma longifolia,
aktif terhadap kedua jenis serangga uji.
Ekstrak empat jenis tumbuhan, yaitu ekstrak aseton kulit batang Goniothalamos
macrophyllus, ekstrak ranting dan biji Croton tiglium, serta
ekstrak kulit batang Agelaea trinervis dan Antiaris toxicaria,
aktif terhadap kumbang C. maculatus tetapi ekstrak airnya kurang/tidak
aktif terhadap larva Cr. binotalis.
Di antara delapan jenis tumbuhan yang aktif, hanya C. tiglium yang
sifat insektisidanya telah dikenal dengan baik.
Hasil
penelitian ini merupakan laporan pertama mengenai sifat insektisida A.
trinervis, A. toxicaria, B.
lanceolata, C. soulattri, E. longifolia, dan N.
Cuspidatum. Informasi ini diharapkan dapat menjadi
masukan bagi pengelola hutan (pemda setempat atau pusat) dalam mengelola
hutannya.
Untuk
tahap pertama membatasi diri dengan topik penelitian yang bertujuan menciptakan
suatu paket teknologi formulasi sediaan insektisida botani khususnya yang
berasal dari jenis ekstrak tumbuhan yang paling aktif sehingga dapat
langsung digunakan petani dalam pengendalian hama. Selain itu penulis juga akan meneliti toksisitas insektisida
terhadap aspek-aspek lingkungan. Untuk
melihat pengaruh ekstrak/senyawa aktif terhadap organisme bukan sasaran,
penulis menguji toksisitas ekstrak/senyawa aktif terhadap musuh alami hama, sedangkan
untuk melihat pengaruhnya terhadap kesehatan pengguna (operator), penulis
menguji toksisitas ekstrak/senyawa aktif terhadap mencit. Untuk mengetahui waktu paruh ekstrak ataupun
senyawa aktif (hayati dan fotostabilitas), penulis juga akan melakukan uji
aktivitas residu. Hama sebagai serangga
uji yang digunakan adalah hama penting pada tanaman kubis yakni Crocidolomia
binotalis Zeller (Lepidoptera: Pyralidae).
Penelitian dilaksanakan di
Laboratorium Fisiologi & Toksikologi Serangga, Jurusan Hama dan Penyakit
Tumbuhan, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
Penelitian mencakup percobaan laboratorium, rumah kaca dan percobaan
lapang. Hasil penelitian diharapkan
berguna dalam mendukung program nasional PHT.
Isolasi Senyawa Aktif. Isolasi dilakukan dengan teknik
kromatografi (kolom kromatografi, TLC dan HPLC). Fraksi etil asetat dipisahkan fraksi aktifnya menggunakan kolom
kromatografi gel silika dengan elusi bertingkat. Campuran pelarut yang digunakan n-heksana, kloroform, etil
asetat, dan metanol. Aktivitas fraksi
diuji dengan uji hayati terhadap larva instar II C. binotalis.
Elusidasi Struktur
Kimia. Elusidasi struktur kimia
dilakukan dengan teknik spektrometri, spektometri massa dan NMR.
Pengujian Antifidant. Pengujian
antifidan dilakukan dengan percobaan pilihan, di mana serangga uji diberi
pilihan makan dengan dan tanpa ekstrak.
Pengujian dilakukan dengan beberapa taraf konsentrasi. Konsentrasi yang digunakan untuk setiap
jenis ekstrak adalah konsentrasi sub
letal. Pada perlakuan kontrol, serangga
uji hanya diberi makan daun yang diolesi dengan pelarut (tanpa ekstrak). Ekstrak dengan konsentrasi tertentu dioleskan merata
pada setiap permukaan pakan serangga dengan sonde mikro (microsyringe). Pakan yang digunakan adalah potongan daun brokoli. Potongan pakan yang diberi perlakuan
ditempatkan dalam cawan petri yang dialasi kertas tissue. Dengan kuas, ke dalam setiap cawan petri
dimasukkan 15 ekor larva. Sebelum
perlakuan semua daun ditimbang untuk mengetahui bobot segarnya. Dari tiap daun yang digunakan diambil dan
ditimbang berat basah satu contoh potongan daun untuk penentuan kadar air. Contoh daun tersebut dikeringkan dalam oven
suhu 100 oC selama 2 hari dan selanjutnya ditimbang untuk
mendapatkan berat kering. Lama
pemberian pakan perlakuan dan kontrol dilakukan selama 48 jam, selanjutnya sisa
daun perlakuan dan kontrol yang tinggal ditimbang untuk mendapatkan berat daun
yang dikonsumsi. Percobaan disusun
dalam rancangan acak lengkap dengan empat ulangan. Indeks hambatan makan (IHM) dihitung dengan rumus:
IHM = (BK – BP) / (BK + BP)
BK = bobot daun kontrol yang dimakan, BP = bobot daun
perlakuan yang dimakan. Data indeks
hamabatan makan dianalisis dengan sidik ragam.
dan dilanjutkan dengan Pembandingan nilai tengah antar perlakuan. Analisis data menggunakan program SAS (SAS
Institute 1990).
Pengujian Toksisitas Ekstrak Aktif terhadap Musuh
Alami. Percobaan dilakukan dengan metode kontak pada permukaan
gelas.
Percobaan menggunakan imago betina Eriborus argenteopilosus.
Pelarut yang digunakan adalah campuran pelarut aseton-metanol. Sejumlah tertentu ekstrak dimasukkan ke
dalam tabung selanjutnya sambil menguapkan pelarutnya tabung diputar-putar agar
larutan membasahi seluruh permukaan dalam tabung. Sebagai kontrol, tabung hanya diberi perlakuan pelarut
saja. Setelah tabung kering, sepuluh
ekor imago betina dimasukkan ke dalam tabung dan dibiarkan kontak selama 2
jam. Kemudian imago tersebut
dipindahkan ke dalam kurungan plastik-kasa yang telah diberi larutan madu madu
10% yang diserapkan pada kapas.
Pengamatan dilakukan terhadap mortalitas imago hingga 3 hari. Percobaan disusun dalam rancangan acak
lengkap. Perlakuan dan kontrol diulang
lima kali. Analisis data dilakukan dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan
pembandingan nilai tengah dengan menggunakan program SAS (SAS Institute
1990).
Pengujian Aktivitas Residu Ekstrak. Umur residu ekstrak yang digunakan adalah berkisar dari 0
hari hingga 14 hari setelah penyemprotan.
Pengujian
menggunakan metode residu pada daun.
Daun brokoli yang telah mencapai umur residu diberikan sebagai pakan
larva. Pemberian pakan daun perlakuan
dan kontrol dilkukan selama 2 hari, selanjutnya larva dipelihara dan diberi
pakan daun segar tanpa perlakuan hingga berkepompong. Pengamatan dilakukan setiap hari pada mortalitas larva hingga
saat berkepompong. Persentase
mortalitas larva perlakuan dikoreksi dengan persentase mortalitas larva kontrol
menggunakan rumus Abbott (1925):
Di mana Pt adalah persentase
kematian terkoreksi, Po adalah persentase kematian teramati dan Pc
adalah persentase kematian kontrol. Persentase
mortalitas larva terkoreksi terhadap waktu dipetakan. Waktu paruh
dihitung berdasarkan persamaan regresi hubungan antara waktu dan mortalitas
dengan menggunakan rumus:
WP = (50 x b) + a
Di mana WP adalah waktu paruh, b adalah
kemiringan garis regresi dan a adalah intersep (Immaraju et al., 1994).
Pengujian Fitotoksisitas. Pengujian fitotoksisitas
dilakukan pada bibit tanaman kubis. Pengujian dilakukan dengan menyemprot bibit
tanaman (umur 3 minggu) dengan ekstrak aktif yang dicampur dengan air
menggunakan sprayer. Konsentrasi
penggunaan ekstrak di lapang 4 kali nilai LC99 percobaan di
laboratorium. Pengamatan fitotoksitas dilakukan
terhadap gejala nekrotis pada bagian daun tanaman pada beberapa hari setelah
penyemprotan. Pengamatan tingkat
kerusakan tanaman atau fitotoksisitas dilakukan dengan pengamatan visual dengan
cara skoring sebagai berikut: 0 = tidak ada kerusakan, 0 – 5% bentuk atau warna
daun tanaman tidak normal; 1 = keracunan ringan, 5 – 20% bentuk atau warna daun
tanaman tidak normal; 2 = keracunan sedang, 20 - 50% bentuk atau warna daun
tanaman tidak normal; 3 = keracunan berat, 50–70% bentuk atau warna daun
tanaman tidak normal; 4 = keracunan sangat berat, lebih 75% bentuk warna daun
tanaman tidak normal.
Rekayasa Formulasi
Ekstrak. Percobaan bertujuan untuk mencari
komposisi formulasi ekstrak yang optimal dan efektif dalam pengendalian hama
serta mudah diaplikasikan di lapangan.
Bahan yang digunakan dalam pembuatan formulasi tersebut adalah ekstrak
ditambah dengan kombinasi bahan-bahan lainnya, seperti pelarut, pengemulsi,
perekat dan tabir cahaya. Rekayasa
formulasi dilakukan dengan membuat variasi komposisi di antara bahan tersebut
hingga diperoleh komposisi yang optimal.
Untuk mengetahui teknik aplikasi di lapangan dengan benar, maka sebelum
aplikasi dilakukan uji stabilitas formulasi ekstrak dalam sediaan insektisida.
Pengujian Toksisitas
pada Tikus. Untuk mengantisipasi
pengaruh samping penggunaan ekstrak tumbuhan pada kesehatan mamalia yang,
dilakukan percobaan toksisitas ekstrak terhadap mencit. Mencit
yang digunakan dalam pengujian berumur 1 bulan. Mencit diberi ekstrak dengan konsentrasi tertentu (setara dengan residu
ekstrak di lapang). Pemberian dilakukan 2 kali per minggu dengan metode
oral. Setelah beberapa waktu mencir
yang telah diberi perlakuan dibedah dan diamati pertumbuhan uterus dan hatinya.
Pengujian Keefektifan Ekstrak di Lapangan. Pengujian keefektifan ekstrak di lapangan
dilakukan pada luasan tertentu. Pengujian dilakukan pada pertanaman brokoli.
Sebelum penyemprotan ekstrak dilakukan pencatatan jenis-jenis hama yang terdapat
di sekitar lahan. Tiga hari setelah
penyemprotan ekstrak dilakukan pengamatan terhadap efikasi ekstrak.
Untuk mengantisipasi punahnya suatu jenis tanaman, studi etnobotani tentang
pemanfaatan tumbuhan sebagai pestisida akan terus dilakukan di daerah-daerah
pedalaman Kalimantan Barat, khususnya pada daerah yang penduduk aslinnya masih
melakukan kegiatan pertanian sebagai mata pencaharian utama. Selain itu juga dilakukan kegiatan
inventarisasi untuk mengatahui keberadaan dan ketersediaan tumbuhan. Sebagai usaha konservasi terhadap tumbuhan,
dilakukan penanaman kembali tumbuhan yang diduga berkhasiat pestisida di Kebun
Percobaan Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian,
Universitas Tanjungpura, Pontianak.
Setelah data-data bioaktivitas tumbuhan serta data-data
keamanannya diketahui, penelitian di masa mendatang salah satunya diarahkan
terhadap penyediaan sumber bahan baku.
Untuk penggunaan insektisida botani yang berorientasi pada penerapan
usaha tani berinput rendah (sederhana), penyediaan bahan baku merupakan satu
kendala yang pasti akan di hadapi. Kendala
ini dapat diatasi dengan cara menanam tumbuhan tersebut dalam skala luas. Khusus tumbuhan berkayu, penanaman komoditas
ini dapat disertakan dalam program konservasi tanaman hutan di hutan tanaman,
hutan tanaman industri (HTI) misalnya.
Pada hutan tanaman ini akan diperoleh multi hasil, batang tumbuhan
dimanfaatkan sebagai kayu, sedangkan daun dan kulit batangnya dapat digunakan
sebagai sumber bahan baku insektisida. Dengan demikian hutan alami
akan terbebas dari kerusakan-kerusakan akibat pengambilan bagian tanaman.
Abbott, WS. 1925.
A method of computing the effectiveness of an insecticide. J. Econ. Entomol. 18:265-267.
Arnason, J.T.,
S. Mackinnon, A. Durst, B.J.R.
Philogene, C. Hasbun, P. Sanchez, L.
Poveda, L. San Roman, M.B. Isman, C. Satasook, G.H.N. Towers, P. Wiriyachitra,
J.L. McLaughlin. 1993.
Insecticides in Tropical Plants with Non-neurotoxic Modes of
Action. p. 107-151. In K.R. Downum, J.T. Romeo, H.A.P. Stafford
(eds.), Phytochemical Potential of Tropical Plants. New York: Plenum Press.
Basana, I.R.,
D. Prijono. 1994.
Insecticidal Activity of Aqueous Extracts of Four Species of Annona (Annonaceae)
against Cabbage Head Caterpillar, Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera: Pyralidae). Bul. HPT. 7:50-60.
Bentz, J., J.W. Neal. 1995.
Effect of A Natural Insecticide from Nicotiana
gossei on The Whitefly Parasitoid Encarsia
formosa (Hymenoptera: Aphilenidae).
J. Econ. Entomol. 88: 1611-1615.
Bowers, W.S., T. Ohta, J.S. Cleere, P.A. Marsella. 1976. Discovery of Insect
Anti-juvenile Hormones in Plants.
Science 193: 542-547.
Budiman, C.P. 1994. Kajian Manfaat
Bahan Tanaman Famili Annonaceae sebagai Pestisida Alami untuk Pengendalian
Organisme Pengganggu Tumbuhan. Dalam H. siswomihardja, U. Damiati, Hidayat, I.
Kamal, E.T. Purwani, M. Sinuraya, Basuki, Andrizal, Sutripriarso (eds.), Kumpulan
Makalah Seminar Pemanfaatan Bahan Alami Dalam Upaya Pengendalian Organisme
Pengganggu Tumbuhan. Jakarta:
Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu dan Direktorat Bina Perlindungan
Tanaman dan Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Pangan.
Coats, J.R. 1994. Risks from Natural
versus Synthetic Insecticides. Annu. Rev. Entomol. 39: 489-515.
Direktorat Bina Perlindungan Tanaman
Perkebunan [DBPTP] dan Direktorat Jenderal Perkebunan [Ditjenbun]. 1994. Upaya Pemanfaatan Pestisida Nabati dalam Rangka Penerapan Sistem
Pengendalian Hama Terpadu. Dalam Dj.
Sitepu, P. Wahid, M. Soehardjan, S. Rusli, Ellyda, I. Mustika, D. Soetopo,
Siswanto, I.M. Trisawa, D. Wahyuno, M. Nuhardiyati (eds.), Prosiding Seminar
Hasil Penelitian dalam Rangka
Pemanfatan Pestisida Nabati, Bogor, 1-2 Desember 1993. Bogor: Balai Penelitian dan
Pengembangan Pertanian dan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.
Grainge, M., S. Ahmed. 1988.
Handbook of Plants with Pest
Control Properties. New York: Wiley.
Hamid, A., Y. Nuryani. 1992.
Kumpulan Abstrak Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani, Bogor. P.1.
Dalam S. Riyadi, A. Kuncoro, dan A.D.P. Utami. Tumbuhan Beracun. Malang: Balittas.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna
Indonesia, Jilid II & III.
Diterjemahkan oleh Badan Litbang Kehutanan Jakarta. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.
Immaraju,
J., S. Wells , W. Ruggero , R. Nelson, B. Selby. 1994. Relative residual
activities of azadirachtin, dyhidroazadirachtin and tetrahydroazadirachtin.
Proc. Brighton Crop Protection Conference.
p 53-58
Ishibashi, F., C. Satasook, M.B. Isman,
G.H.N. Towers. 1993. Insecticidal 1H-Cyclopentatetrahydro
[b]benzofurans from Aglaia odorata. Phychemistry 32: 307-310.
Isman, M.B., J.T. Arnason, G.H.N.
Towers. 1995. Chemistry and
Biological Activity of Ingredients of Other Species of Meliaceae. p. 652-666.
In H. Schmutterer (ed.), The Neem Tree: Source of Unique Natural
Products for Integrated Pest Management, Medicine, Industry and Other Purpose.
Weinheim (Germany): VCH.
Janprasert, J., C. Satasook, P.
Sukumalanand, D.E. Champagne, M.B. Isman, P. Wiriyachitra, G.H.N. Towers. 1993. Rocaglamide, A Natural Benzofuran Insecticide from Aglaia
odorata. Phytochemistry 32: 67-69.
Metcalf, R.L. 1986. The Ecology of
Insecticides and The Chemical Control of Insect. p. 251-294. In M. Kogan (ed.), Ecological Theory and
Integrated Pest Management Practice.
New York: John Wiley &
Son.
Nugroho, B.W., R.A. Edrada, B.
Gussregen, V. Wray, L. Witte, P. Proksch.
1997. New Insecticidal Rocaglamide Derivatives from Aglaia deperreana (Meliaceae). Phytochemistry 44: 1455-1461.
Parmar , B. S. 1995. Results with commercial neem
formulations produced in India. In H. Schmutterer (eds), The Neem Tree Azadirachta indica A. Juss. And Other
Meliaceous Plants. Sources of Unique
Natural Products for Integrate Pest Managemant, Medicine, Industry and Other Purposes. pp. 453-470. VCH Weinheim.
New York, Basel, Cambridge, Tokyo.
Prijono, D. 1988. Penuntun
Praktikum Pengujian Insektisida.
Bogor: Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian IPB.
Prijono D &
E. Hassan. 1993.
Effects of Neem (Azadirachta indica A. Jussieu) Extract on
Feeding, Development, Reproduction, Longevity and Oviposition of Crocidolomia
binotalis Zeller (Lepidoptera:
Pyralidae). Bul HPT. 6(2):55-65.
Prijono, D., M.S. Gani, E.
Syahputra. 1995. Screening of Insecticidal Activity of
Annonaceous, Fabaceous, and Meliaceous Seed Exstracts against Cabbage Head
Caterpilar, Crocidolomia binotalis
Zeller (Lepidoptera: Pyralidae)”. Bul
HPT. 8: 74-77.
Rajesus, B.M. 1987. Botanical pest
control research in the Philipines.
Philipp. Ent. 7(1):1:30
SAS Institut. 1990. SAS/STAT User’s
Guide, Version 6, fourth edition, Volume 2.
North Carolina: SAS Institut
Inc.
Schmutterer, H. (ed.). 1995.
The Neem Tree Azadirachta indica A. Juss. and Other Meliaceous Plants:
Sources of Unique Natural Products for Integrated Pest Management, Medicine,
Industry and Other Purposes. VCH,
Weinham-Germany.
Schmutterer,
H. 1997. Side-effects of neem (Azadirachta
indica) products on insect pathogens and natural enemies of spider mites
and insects. J. Appl. Entomol. 121:121-128.
Schmutterer, H. & H. Rembold. 1995.
List of insect pest susceptible to neem products. In H. Schmutterer (ed.), The
Neem Tree-Source of Unique Natural products for Integrated Pest Management,
Medicine, Industry and Other Purposes. pp. 195-204. VCH. Weinheim, New York,
Basel, Tokyo.
Schmutterer, H. & R. P. Singh. 1995. List of insect pest
susceptible to neem products. In H. Schmutterer (ed.), The Neem Tree- Source of
Unique Natural products for Integrated Pest Management, Medicine, Industry and
Other Purposes. pp. 326-365. VCH, Weinheim, New York, Basel, Cambridge, Tokyo.
Wood, T., W. Ruggero & R. Nelson.
1995. Performance profile for the neem-based insecticide ALIGNTM .
In The Neem Tree- Source of Unique Natural Products for Integrated Pest
Management, Medicine, Industry and Other Purposes. pp. 445-453. VCH, Weinheim.
New York, Basel, Cambridge, Tokyo.
Wu, T.S., M. J. Liou, C. S.
Kuoh, C. M. Teng, T. Nagao,
K. H. Lee. 1997. Cytotoxic and
Antiplatelet Aggregation Principles from Aglaia ellipfolia. J. Nat.
Prod. 60: 606-608.