@2001. Eddy Ch.
Papilaya
Posted: 24 October 2001
Makalah Falsafah
Sains (PPs 702)
Program Pascasarjana/S3
Institut Pertanian Bogor
Oktober 2001
Dosen:
Prof. Dr Rudy C.
Tarumingkeng
PARADIGMA PEMBERDAYAAN PENGUNGSI MALUKU:
Suatu Tinjauan Filsafat Pendidikan
Oleh:
PPN
P016010021
E-mail: eddy.papilaya@plasa.com
I. PENDAHULUAN
Masalah pemberdayaan
pengungsi merupakan suatu komoditas yang saat ini mendapat perhatian yang cukup
serius dari berbagai stakeholder
pembangunan di Maluku, seperti: pemerintah, pengusaha/swasta, lembaga
keagamaan, dan khususnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Ambon. Hal ini
dikarenakan program yang bersifat emergensi, seperti: bantuan pangan (sembilan
bahan pokok), perlengkapan rumahtangga,
obat-obatan/kesehatan, air bersih dan lainnya pada saatnya akan dihentikan
untuk mencegah terjadinya ketergantungan, terbentuknya pola perilaku baru yang
dapat menurunkan etos kerja dan terjadinya kecemburuan sosial.
Penting dan urgensinya
program pemberdayaan pengungsi dapat
dicermati dari berbagai bantuan yang datang dari dalam maupun luar negeri
melalui pemerintah, LSM, lembaga keagamaan, maupun pribadi/orang-orang tertentu
untuk membantu pengungsi. Menyadari akan peluang eksternal tersebut, maka
secara internal para stakeholder pembangunan
di Maluku, khususnya yang menangani masalah pengungsi perlu melakukan evaluasi terhadap program yang telah, sedang dan
yang akan dilaksanakan. Ronny Samloy (Suara Maluku, tanggal 31 Maret 2001)
mengemukakan bahwa, pada hakekatnya program pemberdayaan pengungsi yang
dilaksanakan oleh insan LSM masih rancu karena belum memiliki kerangka
konsepsional yang jelas sehingga program tersebut merugikan komunitas
pengungsi. Terlepas dari benar-tidaknya penilaian tersebut, maka isu tersebut
perlu dikritisi secara komprehensif, mendalam dan mendasar dari perspektif
filsafat pendidikan sehingga pada akhirnya ditemukan kerangka konsepsional dan strategi
yang dapat digunakan untuk memberdayakan komunitas pengungsi.
Untuk itu perlu
diajukan beberapa pertanyaan yang akan dijawab melalui tulisan ini antara lain,
antara lain: apakah pengertian pemberdayaan itu?; mengapa konsep pemberdayaan
itu muncul?; kendala/bias-bias apa sajakah yang sering muncul dalam pelaksanaan
program pemberdayaan?; dari perspektif mana analisis terhadap konsep
pemberdayaan itu dilakukan? dan bagaimanakah strategi pemberdayaan masyarakat
pengungsi dikaitkan dengan filsafat pendidikan? Tulisan ini akan ditampilkan dalam bentuk deskriptif-kualitatif.
II. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PENGUNGSI
2.1. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat
Kartasasmita (1996) mengemukakan bahwa memberdayakan
masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan yang
dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan
demikian memberdayakan masyarakat adalah memampukan dan
memandirikan masyarakat. Keberdayaan masyarakat adalah unsur dasar yang
memungkinkan suatu masyarakat untuk
bertahan, dan mengembangkan diri untuk mencapai kemajuan. Sumodiningrat
(1996) mengemukakan bahwa keberdayaan
masyarakat yang tinggi adalah masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat
fisik dan mental, terdidik dan kuat, dan memiliki nilai-nilai intrinsik,
seperti: kekeluargaan, kegotongroyongan, dan kebhinekaan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya, dengan
mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang
dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
Selaras dengan pendapat tersebut, Jim Ife (1995)
mengemukakan bahwa “empowerment means providing
people with the resources, opportunities, knowledge, and skill to increase
their capacity to determine their own future, and to participate in and effect
of their community”. Akhirnya Kartasasmita (1996) menyimpulkan
bahwa, upaya yang amat pokok dalam rangka pemberdayaan masyarakat adalah
peningkatan taraf pendidikan, kesehatan, serta akses terhadap
sumber-sumber kemajuan ekonomi, seperti: modal, teknologi, informasi dan pasar.
2.2.
Perkembangan Konsep Pemberdayaan
Menurut Chambers (1995) pemberdayaan masyarakat adalah
sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini
mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni bersifat “people-centered”, participatory, empowering, and
sustainable. Konsep pemberdayaan lebih luas dari hanya
semata-mata untuk memenuhi kebutuhan dasar atau mekanisme untuk mencegah proses
pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini
lebih banyak dikembangkan sebagai upaya
mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan dimasa lalu. Konsep ini
berkembang dari upaya para ahli dan
praktisi untuk mencari pembangunan alternatif yang menghendaki “inclusive democracy, appropriate growth, gender equity,
and intergenerational equity (Friedmen,
1992). Kartasasmita (1996) menambahkan bahwa konsep pemberdayaan tidak
mempertentangkan pertumbuhan dengan pemerataan, tetapi konsep ini berpandangan
bahwa dengan pemerataan, tercipta landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan
dan yang akan menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan. Konsep ini juga mencoba
untuk melepaskan diri dari perangkap “zero-sum
game” dan “trade-off”.
2.3. Bias-Bias
Pemberdayaan
Program pemberdayaan pengungsi yang dirancang oleh pihak
luar mungkin saja kelihatannya menyakinkan tetapi bisa saja menyesatkan,
ataupun merugikan komunitas pengungsi itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh
beberapa kendala/biasan pemberdayaan, seperti dikemukakan oleh Kartasasmita
(1996) sebagai berikut:
1.
Bias pertama adalah adanya kecenderungan berpikir
bahwa dimensi rasional dari pembangunan lebih penting dari dimensi moralnya.
Dimensi material lebih penting daripada dimensi kelembagaannya. Dimensi ekonomi
lebih penting dari dimensi sosialnya. Akibat dari anggapan tersebut adalah
alokasi dana pembangunan lebih diprioritaskan pada perspektif berpikir
demikian.
2. Bias kedua
adalah anggapan bahwa pendekatan pembangunan
yang berasal dari atas lebih sempurna daripada pengalaman dan aspirasi
pembangunan dari tingkat bawah (grass-root). Akibatnya kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan menjadi kurang efektif karena kurang
mempertimbangkan kondisi nyata dan kehidupan masyarakat.
3. Bias ketiga
adalah pembangunan masyarakat banyak di tingkat bawah lebih memerlukan bantuan
material daripada keterampilan
teknis dan manajerial. Anggapan ini
sering mengakibatkan pemborosan sumberdaya dan dana karena kurang mempersiapkan
keterampilan teknis dan manajerial dalam pengembangan sumberdaya manusia, dan
mengakibatkan semakin tertinggalnya masyarakat di lapisan bawah.
4. Bias
keempat adalah adanya anggapan bahwa
teknologi yang diperkenalkan dari atas selalu jauh lebih ampuh daripada
teknologi yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Anggapan demikian dapat
menyebabkan pendekatan pembangunan yang disatu pihak terlalu memaksa dan
menyamaratakan teknologi tertentu untuk seluruh kawasan pembangunan. Dilain
pihak, pendekatan pembangunan terlalu mengabaikan potensi teknologi lokal yang
jika disempurnakan akan lebih efisien dan efektif untuk dimanfaatkan.
5. Bias kelima
adalah anggapan bahwa lembaga-lembaga
yang telah berkembang dikalangan rakyat cenderung tidak efisien dan kurang
efektif bahkan menghambat proses pembangunan. Anggapan ini membuat lembaga
masyarakat dilapisan bawah kurang
dimanfaatkan dan kurang ada ikhtiar untuk memperbaharui, memperkuat dan
memberdayakannya, bahkan ada kecenderungan untuk memperkenalkan lembaga-lembaga
baru yang tidak terlalu sejalan dengan nilai dan norma masyarakat.
6. Bias keenam
adalah bahwa masyarakat dilapisan bawah
tidak tahu apa yang diperlukannya atau bagaimana memperbaiki nasibnya. Oleh
karena itu mereka harus dituntun dan diberi petunjuk dan tidak perlu dilibatkan
dalam perencanaan pembangunan meskipun menyangkut diri mereka sendiri. Akibat
dari anggapan ini, banyak proyek
pembangunan yang ditujulkan untuk rakyat, tetapi salah alamat, tidak memecahkan
masalah bahkan merugikan rakyat.
7. Bias ketujuh adalah orang miskin adalah miskin
karena bodoh dan malas. Dengan demikian cara menanganinya harus dengan cara
paternalistik seperti melakukan orang-orang bodoh dan malas dan bukan
dengan memberikan kepercayaan. Dengan
anggapan demikian, masalah kemiskinan dipandang lebih sebagai usaha sosial (charity) dan bukan usaha penguatan
ekonomi.
8. Bias kedelapan adalah bahwa ukuran efisiensi pembangunan yang
salah diterapkan, misalnya ICOR diartikan bahwa investasi harus selalu diarahkan pada yang segera menghasilkan bagi
pertumbuhan. Padahal upaya pemberdayaan masyarakat akan menghasilkan
pertumbuhan yang lebih lestari (sustainable)
dalam kerangka waktu yang panjang.
9. Bias kesembilan adalah anggapan bahwa sektor
pertanian dan pedesaan adalah sektor tradisional, kurang produktif, dan
memiliki masa investasi yang panjang. Bermitra dengan petani dan usaha kecil disektor pertanian dipandang
tidak menguntungkan dan memiliki resiko yang tinggi. Anggapan ini mengakibatkan
prasangka dan hambatan upaya membangun pertanian dan usaha kecil dipedesaan.
2.4. Perspektif Pemberdayaan
Menurut Jim Ife (1995) dalam membicarakan konsep pemberdayaan,
tidak dapat dilepas-pisahkan dengan dua konsep sentral, yaitu konsep power (“daya”)
dan konsep disadvantaged (“ketimpangan”) Pengertian pemberdayaan yang terkait dengan konsep power dapat ditelusuri dari empat sudut pandang/perspektif, yaitu perspektif pluralis, elitis, strukturalis
dan post-strukturalis.
Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat
adalah upaya untuk mengajarkan kelompok atau individu bagaimana bersaing di
dalam peraturan (how
to compete wthin the rules).
Dengan kata lain pemberdayaan
masyarakat adalah suatu proses
pembebasan, perubahan struktural secara fundamental, menentang penindasan
struktural.
Ketidakberdayaan masyarakat yang
disebabkan oleh ketiadaan daya (powerless)
perlu ditemu-kenali. Jim Ife (1995) mengidentifikasi beberapa jenis daya yang
dimiliki masyarakat yang dapat digunakan untuk memberdayakan mereka, antara
lain:
1.
Power
terhadap pilihan pribadi, yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
menentukan pilihan pribadi atau kesempatan
untuk hidup lebih baik.
2.
Power terhadap
pendefinisian kebutuhan, yaitu mendampingi masyarakat untuk merumuskan kebutuhannya sendiri.
3.
Power
terhadap kebebasan berekspresi, yaitu mengembangkan kapasitas masyarakat untuk bebas
berekspresi dalam bentuk budaya publik.
4.
Power terhadap
institusi, yaitu meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap
kelembagaan pendidikan, kesehatan,
keluarga, keagamaan, sistem kesejahteraan sosial, struktur pemerintahan, media
dan sebagainya.
5.
Power terhadap
sumberdaya, yaitu meningkatkan aksesibilitas dan kontrol terhadap aktivitas
ekonomi.
6.
Power
terhadap kebebasan reproduksi, yaitu memberikan kebebasan kepada masyarakat
dalam menentukan proses reproduksi.
Ketidakberdayaan masyarakat selain
disebabkan oleh faktor ketidak-adaan daya (powerless),
juga disebabkan oleh faktor ketimpangan, antara lain:
1.
Ketimpangan
struktural antar kelompok primer, seperti: perbedaan kelas; antara orang
kaya-orang miskin; the haves-the haves not;
buruh-majikan; ketidaksetaraan gender; perbedaan ras, atau etnis antara
masyarakat lokal-pendatang, antara kaum minoritas –mayoritas, dan
sebagainya.
2.
Ketimpangan
kelompok lain, seperti: masalah perbedaan usia, tua-muda, ketidakmampuan fisik,
mental, dan intelektual, masalah gay-lesbi,
isolasi geografis dan sosial (ketertinggalan dan keterbelakangan).
3.
Ketimpangan
personal, seperti: masalah dukacita, kehilangan orang-orang yang dicintai,
persoalan pribadi dan keluarga.
Dengan demikian untuk dapat
merancang, melaksanakan dan mengevaluasi program pemberdayaan pengungsi secara
efektif, maka perlu memahami terlebih dahulu faktor apa sajakah yang menjadi
akar permasalahan pengungsi, apakah terkait dengan faktor daya atau faktor
ketimpangan, ataukah kombinasi keduanya.
III. TINJAUAN
FILSAFAT PENDIDIKAN
3.1. Jenis Filsafat Pendidikan
Menurut Mudyahardjo (2001) filsafat pendidikan dalam arti luas dapat dibedakan dalam dua jenis,
yaitu: (1) filsafat praktek pendidikan dan
(2) filsafat ilmu pendidikan. Filsafat praktek pendidikan adalah analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya pendidikan diselenggarakan dan dilaksanakan
dalam kehidupan manusia. Filsafat
praktek pendidikan dapat dibedakan menjadi: filsafat proses pendidikan
(biasanya hanya disebut filsafat pendidikan) dan filsafat sosial pendidikan.
Filsafat proses pendidikan adalah analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya kegiatan pendidikan
dilaksanakan dalam kehidupan manusia.
Filsafat proses
pendidikan biasanya membahas tiga masalah
pokok, yaitu: (1) apakah sebenarnya pendidikan itu, (2) apakah tujuan
pendidikan itu sebenarnya, dan (3)
dengan cara apakah tujuan pendidikan itu dapat dicapai (Henderson, 1959).
Filsafat sosial pendidikan merupakan analisis kritis dan komprehensif tentang
bagaimana seharusnya pendidikan
diselengga-rakan dalam mewujudkan tatanan manusia idaman. Filsafat sosial
pendidikan, terkait dengan tiga masalah pokok, antara lain: hakekat kesamaan
pendidikan dan pendidikan, hakekat kemerdekaan dan pendidikan, dan hakekat
demokrasi dan pendidikan.
Secara konsepsional
filsafat ilmu pendidikan didefinisikan sebagai analisis kritis komprehensif
tentang pendidikan sebagai salah satu
bentuk teori pendidikan yang dihasilkan melalui riset, baik kualitatif maupun
kuantitatif. Objek filsafat ilmu pendidikan dapat dibedakan dalam empat
kategori, yaitu:
(1) Ontologi
ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat substansi dan pola organisasi ilmu
pendidikan.
(2) Epistemologi
ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat objek formal dan material ilmu
pendidikan.
(3)
Metodologi
ilmu pendidikan, membahas tentang
hakekat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan, dan
(4) Aksiologi
ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat nilai kegunaan teoritis dan praktis
ilmu pendidikan.
3.2. Aliran Filsafat
Pendidikan
Menurut Mudyahardjo (2001) aliran filsafat pendidikan, yaitu
aliran : idealisme, realisme,
scholatisisme, empirisme, pragmatisme, dan neoposivitisme.
1. Aliran
Idealisme
a. Konsep Filsafat
q
Metafisika
Secara absolut kenyataan yang sebenarnya adalah spiritual dan rohaniah, sedangkan secara kritis yaitu
adanya kenyataan yang bersifat fisik dan rohaniah, tetapi kenyataan rohaniah
yang lebih dapat diambilkan.
q
Humanologi
Jiwa dikarunai kemampuan berpikir. Kemampuan berpikir menyebabkan
adanya kemampuan memilih.
q Epistemologi
Pengetahuan yang benar
diperoleh melalui intuisi dan pengingatan kembali melalui berpikir. Kebenaran
hanya mungkin dapat dicapai oleh beberapa orang yang mempunyai akal pikiran
yang cemerlang; sebagian besar manusia hanya sampai pada tingkat berpendapat.
q Aksiologi
Kehidupan manusia diatur
oleh kewajiban-kewajiban moral yang diturunkan dari pendapat tentang kenyataan
atau metafisika.
b.
Konsep Pendidikan
q
Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan formal dan informal pertama-tama adalah
pembentukan karakter dan kemudian tertuju kepada pengembangan bakat dan
kebijakan sosial.
q
Kurikulum Pendidikan
Pengembangan kemampuan berpikir melalui pendidikan liberal atau
pendidikan umum. Penyiapan keterampilan bekerja sesuatu mata pencaharian
melalui pendidikan praktis.
q
Metode pendidikan
Metode pendidikan yang disusun adalah metode pendidikan dialektis,
meskipun demikian setiap metode efektif mendorong belajar dapat diterima (eklektif).
Cenderung mengabaikan
dasar-dasar fisiologis dalam belajar.
q Peranan peserta didik dan pendidik
Peserta didik bebas
mengembangkan bakat dan
keperibadiannya. Pendidikan bekerjasama dengan alam dengan proses pengembangan
kemampuan ilmiah. Sehubungan dengan itu, maka tugas utama pendidik adalah
menciptakan lingkungan yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan
efisien dan efektif.
q
Tokoh-tokoh pendukung:
Plato, William T. Harris, Herman Harrel Horne, Friedrick froebel.
2. Aliran
Realisme
q
Metafisika
Kenyataan yang sebenarnya hanyalah kenyataan fisik (materialisme); kenyataan material dan imaterial
(dualisme), dan kenyataan yang terbentuk dari berbagai kenyataan (pluralisme).
q
Humanologi
Hakekat manusia terletak
pada apa yang dapat dikerjakan. Jiwa merupakan sebuah organisme yang sangat
kompleks yang mempunyai kemampuan berpikir. Manusia mungkin mempunyai kebebasan
atau tidak mempunyai kebebasan.
q
Epistemologi
Prinsip ketidakbergantungan, kenyataan hadir dengan sendirinya
tidak tergantung pada pengetahuan dan gagasan manusia, dan kenyataan dapat
diketahui oleh pikiran. Pengetahuan dapat diperoleh melalui penginderaan.
Kebenaran pengetahuan dapat dibuktikan dengan
memeriksa kesesuaiannya dengan fakta.
q
Aksiologi
Tingkah laku manusia diatur oleh hukum-hukum alam yang diperoleh
melalui ilmu, dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh kebiasaan-kebiasaan
atau adat-istiadat yang telah teruji dalam kehidupan.
b. Konsep Pendidikan
q
Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan adalah dapat menyesuaikan diri secara tepat
dalam hidup dan dapat melaksanakan tanggung jawab sosial.
q
Kurikulum Pendidikan
Kurikulum komprehensif yang
berisi semua pengetahuan yang berguna dalam penyesuaian diri dalam hidup
dan tanggung jawab sosial. Kurikulum berisi unsur-unsur pendidikan
liberal/pendidikan umum untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan pendidikan
praktis untuk kepentingan bekerja.
q
Metode pendidikan
Semua kegiatan belajar berdasarkan pengalaman baik langsung maupun
tidak langsung. Metode mengajar hendaknya bersifat logis, bertahap dan
berurutan. Pembiasaan merupakan sebuah metode pokok yang dipergunakan baik oleh
penganut realisme maupun behaviorisme.
q
Peranan peserta didik dan pendidik
Dalam hubungannnya dengan pengajaran, peranan peserta didik adalah
penguasaan pengetahuan yang dapat berubah-ubah. Dalam hubungannya dengan
disiplin, tatacara yang baik sangat
penting dalam belajar. Peserta didik perlu mempunyai disiplin mental dan moral
untuk setiap tingkat kebijakan. Peranan pendidik adalah menguasai
pengetahuan, keterampilan teknik-teknik
pendidikan dengan kewenangan untuk mencapai hasil pendidikan yang dibebankan
kepadanya.
q
Tokoh-tokoh Pendukung
Aristoteles, Johan Amos, Comenus, John Milton, Montaigne.
3. Aliran
Scholastisisme
q
Metafisika
Ada dua kenyataan yang sederajat dan saling bergantung bentuk/
potentia/morphe dan mater/actu/hyle (hylemorphe). Kenyataan tersesun secara
hierarkhis dari Tuhan sebagai kenyataan tertinggi dan materi sebagai kenyataan
yang terendah.
q
Humanologi
Manusia diciptakan oleh Tuhan. Tuhan menciptakan manusia untuk
sesuatu tujuan dan tujuan tersebut adalah kebahagiaan. Manusia terdiri atas
tubuh dan jiwa, bersatu dalam kesatuan yang hakiki, manusia bukanlah jiwa yang
berpikir, tetapi pribadi. Jiwa
manusia adalah immaterial, rohaniah yang secara instink atau secara sewajarnya
bergantung pada materi. Manusia mempunyai intelek, kemauan bebas, rasional,
norma dan hanya dapat dihancurkan oleh Tuhan.
q Epistemologi
Pengetahuan
bertingkat-tingkat dan dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu: pengetahuan
tentang alam yang diketahui melalui rasio, dan pengetahuan tentang kebenaran di
luar alam yang diperoleh melalui percaya.
q Aksiologi
Manusia harus mengetahui
kebaikan agar mau berbuat baik. Kebaikan tertinggi/kebajikan adalah kebahagiaan
dan cinta kasih Tuhan. Kebajikan terdiri dari kebajikan teologis yang berkenaan
dengan keimanan, harapan dan kemurahan hati, dan kebajikan kardinal berkenan
dengan kesucian, keberanian, kesederhanaan dan keadilan. Cara utama dalam mencapai kebahagiaan adalah
kesehatan, kemakmuran, dan persaudaraan.
b. Konsep Pendidikan
q
Tujuan pendidikan
Pendidikan tidak
semata-mata ditujukan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia, tetapi
terutama untuk mencapai kebahagian hidup akherat. Untuk mencapai tujuan
tersebut, pendidikan harus tertuju pada pengembangan seluruh potensi manusia
yang yang mencakup intelektual, fisik, kemauan, dan vokasional.
q
Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pendidikan harus mencakup agama dan humaniora sebagai bagian
pendidikan liberal atau umum.Pendidikan liberal terdiri atas mata pelajaran
fundamental yang berhubungan dengan nilai-nilai kemanusiaan, dan mata pelajaran
instrumental yang berhubungan dengan pengembangan vokasional.
q
Metode pendidikan
Pengetahuan diperoleh melalui penemuan atau rasio alami sendiri
tertuju pada pengetahuan yang tidak diketahui, dan instruksi atau latihan.
Menggunakan metode scholastisisme, yaitu: metode dialektik, ceramah, dan debat,
diskusi atau tanya jawab.
q Peranan peserta didik dan pendidik
Pengajaran berpusat pada
guru. Guru memberi teladan yang baik. Peserta didik berperan pasif.
q
Tokoh-tokoh Pendukung
Abelard dan Thomas Aquino.
4.
Aliran
Empirisme
q Metafisika
Filsafat bukan membahas kenyataan,
tetapi kemampuan manusia dalam memperoleh pengetahuan, yang diuraikan secara
rinci, dapat dipahami dan dilakukan
oleh siapapun manusia pada umumnya melalui akal sehat.
q Humanologi
Anak dilahirkan sebagai
tabula sara, kosong tanpa innate idea. Kemampuan dalam diri seseorang
dibentuk melalui pengalaman. Melalui
penginderaan batin atau refleksi yang terjadi dalam persepsi terbentuklah
gagasan-gagasan kompleks dan dari padanyalah terbentuk kemampuan atau daya
dalam manusia.
q Epistemologi
Semua gagaran bersumber pada
penginderaan atau refleksi. Penginderaan merupakan proses alat indera memperoleh kesan tentang peristiwa-peristiwa di luar
dirinya. Kesan-kesan tersebut tersimpan dalam diri manusia saling berasosiasi. Peristiwa
tersebut disebut persepsi, dan hasil dari persepsi adalah pengetahuan (complex
idea). Jiwa adalah kumpulan dari kemampuan-kemampuan yang ada dalam gagasan
yang kompleks.
q
Aksiologi
Setiap orang bertindak berdasarkan keinginan mencapai kebahagiaan.
Kebahagiaan merupakan dasar dari kemerdekaan. Kesukaan untuk berlawanan dengan
kebajikan adalah suatu manisfestasi pertimbangan yang salah. Karakteristik dari liberalisme adalah
keyakinan tentang harmoni antara kepentingan perorangan dan umum.
b.
Konsep Pendidikan
q
Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang berwatak atau
berkebajikan, yaitu manusia yang dapat mengendalikan segala perasaan
kecenderungan dan berbuat semata-mata berdasarkan pikiran sehat. Manusia yang
berwatak memiliki ciri-ciri, antara lain: bijaksana dalam mengambil keputusan,
cermat dalam berbuat, dan sungguh-sunguh dalam berpikir.
q
Kurikulum Pendidikan
Pembentukan kepribadian atau watak melalui pendidikan jasmani (men
sana in corpore sano), pendidikan moral yang tertuju pada pengembangan pengendalian perasaan oleh akal sehat, dan
pendidikan intelektual yang tertuju pada pengembangan kemampuan berpikir sehat.
q
Metode pendidikan
Pendidikan adalah pembiasaan
intelektual, moral dan fisik. Belajar adalah latihan. Latihan
intelektual terdiri dari tiga tahap, yaitu: latihan penginderaan, latihan
pengingatan, dan latihan berpikir. Belajar atau latihan harus berdasarkan pada
minat dan pemberian ganjaran bagi yang berhasil.
q
Peranan peserta didik dan pendidik
Pendidikan berpusat pada pendidik, peserta didik pasif. Pendidik
mempunyai kekuasaan yang mahabesar dalam proses belajar mengajar.
q
Tokoh-tokoh Pendukung
John Locke, Johann
Haeinrich Pestalozzi, Johann Frederich Herbart.
5. Aliran
Pragmatisme
q
Metafisika
Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan fisik. Segala sesuatu dalam alam dan kehidupan adalah berubah. Hakekat segala
sesuatu adalah perubahan itu sendiri.
Hidup adalah suatu proses pembaharuan diri yang terus berlangsung dalam
interaksinya dengan lingkungan.
q Humanologi
Manusia adalah hasil adalah
hasil evolusi biologis, psikologis dan sosial. Hal ini mengandung pengertian
bahwa setiap manusia tumbuh secara berangsur-angsur mencapai
kemampuan-kemampuan biologis, psikologis dan sosial.
q Epistemologi
Pengetahuan adalah relatif dan terus berkembang. Pengetahuan
yang benar diperoleh melalui pengalaman. Karakteristik pengalaman merupakan
suatu peristiwa aktif-pasif, dan pengukuran nilai suatu pengalaman terletak
pada persepsi hubungan-hubungan atau kontinuitas yang menyebabkan pengalaman
tersebut meningkat. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang ternyata berguna bagi kehidupan. Pengetahuan
adalah alat atau instrumen untuk berbuat.
q
Aksiologi
Ukuran tingkah laku perseorangan dan sosial ditentukan secara
eksperimental dalam pengalaman-pengalaman hidup. Dengan demikian tidak ada
nilai absolut.
b. Konsep Pendidikan
q
Tujuan pendidikan
Pendidikan adalah hidup,
pertumbuhan sepanjang hidup, proses rekonstruksi yang berlangsung terus
dari pengalaman yang terakumulasi dan sebuah proses sosial. Tujuan pendidikan
adalah memperoleh pengalaman untuk
berguna memecahkan masalah-masalah baru dalam kehidupan perorangan dan
bermasyarakat. Tujuan pendidikan tidak ditentukan dari luar kegiatan
pendidikan, tetapi terdapat dalam setiap proses pendidikan. Oleh karena itu tidak ada tujuan umum pendidikan atau tujuan akhir
pendidikan.
q Kurikulum Pendidikan
Kurikulum berisi
pengalaman-pengalaman yang telah teruji serta minat, dan kebutuhan anak. Pendidikan
liberal yang menghasilkan pemisahan antara pendidikan umum dengan pendidikan
praktis/vokasional.
q
Metode Pendidikan
Berpikir reflektif atau metode pemecahan masalah merupakan metode
utamanya, terdiri atas langkah-langkah sebagai berikut: (a) penyadaran suatu
masalah, (b) observasi kondisi-kondisi yang hadir, perumusan dan elaborasi
tentang suatu kesimpulan, dan (c) pengetesan melalui eksperimen
q
Peranan peserta didik dan pendidik
Peserta didik adalah sebuah organisme yang rumit, yang mampu
tumbuh. Pendidik mengawasi dan membimbing pengalaman belajar tanpa terlalu
banyak mencampuri urusan minat kebutuhan peserta didik.
q
Tokoh-tokoh Pendukung
J. Dewey dan Heard Kilpatric.
6. Aliran
Neopositivisme
q
Metafisika
Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan yang diungkap oleh
ilmu-ilmu kealaman. Bentuk kenyataan yang sebenarnya adalah sebuah jaringan
hubungan sebab-akibat yang berlangsung dalam waktu dan tempat atau spatio
temporal-causal network.
q
Humanologi
Manusia merupakan satu kesatuan
jiwa dan tubuh (monistik). Manusia adalah homo sapiens sehinga
merupakan: (a) animal symbolicum, yaitu binatang yang memiliki bahasa yang
mempunyai aturan-aturan sintaksis, semantis dan pragmatik, dan, (b) animal
rationale, yaitu mempunyai kemampuan berpikir ilmiah atau berpikir tersusun
sistematis, dan berpikir reflektif kritis atau memperkirakan dasar pemikiran.
q
Epistemologi
Sumber pengetahuan adalah penginderaan. Penginderaan hanya dapat
menangkap peristiwa-peristiwa tinggal dan material. Pengetahuan merupakan hasil
pengolahan dengan menggunakan logika
induktif terhadap fakta hasil penginderaan. Logika tersusun dari aturan-aturan
sintaksis. Pernyataan tidak semalanya mempunyai makna. Sebuah pernyataan
mempunyai makna apabila: (a) dapat dibuktikan kebenarannya secara
intersubjektif atau pembuktian mudah dilakukan sekurang-kurangnya dua orang,
dan (b) berdasarkan hukum-hukum sintaksis bahasa atau hukum-hukumpenyusunan
bentuk kalimat.
q
Aksiologi
Tidak mengakui nilai absolut tetapi menolak pula nilai yang
bersifat subjektif seperti yang berlaku dalam nilai estetis. Nilai yang ada adalah
nilai yang bersifat bio-psikologis ekonomik historis. Dasar tingkah laku moral adalah pengetahuan ilmiah
serta cinta dan simpati manusia. Pertimbangan-pertimbangan moral yang tertanam
dalam diri pribadi melalui proses pendidikan dan sosialisasi menjadi dasar
kemauan bebas dalam menentukan pilihan norma-norma yang tertanam dalam
kebiasaan-kebiasaan berfungsi motivatif bersifat mewajibkan.
b. Konsep Pendidikan
q
Tujuan pendidikan
Tujuan-tujuan pendidikan
bersifat sosial atau tak langsung adalah membentuk sebuah masyarakat yang
demokratis dan sebuah pemerintahan dunia yang didasarkan pada prinsip-prinsip
moral humanisme ilmiah, moral yang bersifat biopsiko-sosiochonomik sehingga
mengacu pada kebutuhan-kebutuhan, kepentingan-kepentingan dan gagasan-gagasan
manusia yang tumbuh dalam peradaban manusia. Tujuan-tijuan pendidikan yang
bersifat individual adalah
mengembangkan kepribadian yang didalamnya membantu pertumbuhan intelektual dan
moral.
Pertumbuhan intelektual tertuju untuk mencapai kematangan berpikir
yang mencerminkan kebajikan-kebajikan utama dalam kemampuan ilmiah yang mempunyai ciri: (a) berpikir jernih, (b)
penyimpulan yang mantap dan tepat, (c)
mempunyai kesesuaian faktual dan reabilitas, (d) objektivitas, (e)
rasionalitas dalam bertingkah laku, (f) rasionalitas moral, yaitu: setia pada
prinsip keadilan, kesamaan dan bebas dari paksaan dan kekerasan.
Perkembangan moral bertujuan agar individu memiliki: sikap ilmiah,
sikap humanis, sikap sosial berdasarkan rasa cinta kepada sesama manusia.
q
Kurikulum Pendidikan
Mengutamakan pendidikan intelektual (ilmu-ilmu kealaman, sosial
dan pendidikan teknologi, matematika, pendidikan bahasa) dan pendidikan moral. Pendidikan moral untuk mengembangkan kebajikan: (a) sikap
berusaha mencapai kesempurnaan diri, (b) sikap adil, (c) sikap jujur, tidak
memihak, (d) sikap mengakui kesamaan antara sesama manusia.
q
Metode pendidikan
Pengajaran ilmu dipraktekan sebagai seni. Pengajaran ilmu untk
hal-hal pokok diajarkan melalui eksperimen/latihan intelektual. Pendidikan moral
diajarkan melalui pembiasaan moral
berdasarkan prinsip otonomi fungsional, dengan cara atau proses, yaitu: (a)
seseorang menerima nilai-nilai dari luar melalaui belajar dari ilmu dan/atau
yang diperkenalkan orang lain melalui teladan dan/atau perintah. Nilai-nilai
ini merupakan nilai pinjaman yang
bersifat instrumental atau dapat dipakai sebagai alat penolong smentara dalam
mempertimbangkan apakah suatu tindakan
akan dilakukan atau tidak, dan (b) melalui penggunaan nilai-nilai pinjaman
yang bersifat sementara
berangsur-angsur menjadi nilai-nilai yang diakui sebagai milik sendiri yang
mantap tertanam menjadi dasar pertimbangan moral sesuatu tindakan.
q
Peranan peserta didik dan pendidik
Peserta didik kurang
dilengkapi dengan instink, tetapi mempunyai kemampuan terpendam yang
memungkinkan dirinya untuk berpikir pada tingkatan yang tertinggi. Peserta
didik tidak hanya pasif menerima bantuan, tetapi aktif melakukan latihan dan peniruan. Para pendidik bertugas: (a) melatih
intelektual dan vokasional, (b) menyajikan informasi secara sistematis, (c)
membimbing. Dalam pendidikan moral sebagai pembentukan kesadaran moral atau
pembentukan superego, pendidik berperan sebagai: (a) memberi ganjaran, dan (b)
memberi hukuman.
q
Tokoh-tokoh Pendukung
Herbert Feigl, Kenneth Burke, dan Jonas F. Soltis.
IV. STRATEGI PEMBERDAYAAN
PENGUNGSI
Mencermati kondisi Maluku dengan
diberlakukannya keadaan darurat sipil hingga saat ini, maka upaya pemberdayaan
masyarakat pengungsi lebih efektif jika didasarkan pada perspektif elitist (pendekatan eksternal) dan perspektif post-strukturalis (pendekatan internal)
disamping upaya untuk menemu-kenali penyebab ketidak-berdayaan pengungsi yang
disebabkan oleh kombinasi faktor daya dan ketimpangan, seperti daya untuk
menentukan pilihan hidup, daya untuk mendefinisikan kebutuhan hidup, daya untuk
berekspresi, daya untuk meningkatkan aksesibilitas terhadap kelembagaan, daya
untuk meningkatkan sumberdaya, dan daya untuk meningkatkan aktivitas ekonomi;
ketimpangan struktural dan ketimpangan personal.
Untuk memberdayakan komunitas
pengungsi, diperlukan suatu skenario pemecahan masalah yang didasarkan pada perspektif elitist dan
perspektif post-strukturalis. Menurut Jim Ife (1995) upaya pemberdayaan pengungsi
ditempuh melalui tiga strategi, yaitu: (1)
upaya pendidikan dan pembangkitan kesadaran, (2) upaya kebijakan dan
perencanaan, dan (3) gerakan aksi
sosial-politik.
1.
Pemberdayaan
masyarakat pengungsi melalui upaya pendidikan dan pembangkitan kesadaran.
Menurut pandangan post-strukturalis faktor yang paling esensial
dalam upaya pemberdayaan masyarakat adalah faktor pendidikan. Coombs (1973)
mengemukakan bahwa ada tiga jenis pendidikan, yaitu pendidikan formal,
pendidikan informal dan pendidikan nonformal.
Pendidikan formal adalah kegiatan yang
sistematis, berstruktur, bertingkat, berjenjang mulai dari sekolah dasar sampai
dengan perguruan tinggi dan yang setaraf dengannya; termasuk didalamnya kegiatan studi yang berorientasi akedemis
dan umum, program spesialisasi, dan latihan profesional yang dilaksanakan dalam
waktu yang terus menerus. Selaras dengan konsep ini, dapat dikatakan bahwa
masalah pendidikan anak-anak pengungsi merupakan masalah yang sangat vital dan
krusial, karena jika tidak ditangani secara sistematis, berencana dan
berkesinambungan akan mengakibatkan masalah yang serius bagi generasi mendatang
(lost-generation). Pemberdayaan pengungsi melalui pendidikan formal mendapat
perhatian yang cukup besar dari pemerintah. Salah satunya melalui program
layanan Pendidikan Alternatif Maluku
(PAM) yang diselenggarakan oleh pemerintah bekerjasama dengan kurang lebih 90
LSM lokal dari kedua komunitas. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya,
tetapi intervensi program ini telah
memberikan nilai tambah tersendiri bagi sekolah, guru, orangtua, LSM dan
khususnya siswa sendiri melalui kegiatan PMTAS, proses belajar dan
pembelajaran, KIT dan rekreasi untuk mengejar ketertinggalan kualitas
pendidikan, serta kegiatan trauma konseling untuk memulihkan kondisi psikologis
siswa. Walaupun terlalu dini untuk
menilai perubahan pengetahuan, keterampilan, dan kondisi psikologis,
tetapi intervensi program ini secara keseluruhan telah memberikan pengaruh yang cukup bermakna bagi pengembangan
pengetahuan, sikap dan keterampilan siswa. Selain itu, pemerintah diharapkan
dapat membuat kebijakan pembebasan semua jenis
pungutan biaya sekolah terhadap semua anak pengungsi. Untuk
mengefektifkan pencapaian tujuan pendidikan formal tersebut, maka aliran
filsafat pendidikan neoposivitesme dapat digunakan.
Pendidikan informal adalah proses yang
berlangsung sepanjang usia sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap dan
keterampilan dan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman hidup sehari-hari,
pengaruh lingkungan termasuk didalamnya adalah pengaruh kehidupan keluarga,
hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar,
perpustakaan dan media massa. Dalam kaitannya dengan masyarakat pengungsi,
peranan lembaga keagamaan dan LSM dapat melaksanakan pendidikan rakyat melalui
kegiatan pendampingan usaha, konsultasi, dan bimbingan/konseling dalam
memulihkan sikap mental pengungsi yang mengalami hal-hal yang traumatik. Untuk
mengefektifkan pencapaian tujuan pendidikan informal tersebut, maka aliran
filsafat pendidikan empirisme dapat digunakan.
Pendidikan nonformal adalah setiap
kegiatan terorganisasi dan sistematis diluar sistem persekolahan yang mapan,
dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih
luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu didalam
mencapai tujuan belajarnya. Dalam kaitannya dengan masyarakat pengungsi, maka
pemerintah, lembaga keagamaan,
perguruan tinggi, LSM dan stakeholder lain dapat melakukan
penyuluhan secara terpadu melalui berbagai metode pendidikan orang dewasa dalam
rangka upaya rekonsiliasi dengan masyarakat akar rumput (grass-root) dan penyuluhan pengembangan
ekonomi keluarga pengungsi. Disamping itu dapat pula dilakukan
pelatihan-pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan pengungsi secara
berkesinambungan. Materi kegiatan
pelatihan dapat berkaitan dengan masalah HAM, demokrasi, gender, ekonomi
rakyat, advokasi, hukum adat, jurnalistik, lingkungan hidup, dan
masalah-masalah aktual lainnya. Kegiatan lain seperti: seminar, semiloka, lokakarya,
magang dan sebagainya dapat dilakukan dengan LSM “Jakarta” dan LSM
International dalam rangka menciptakan efek-pengganda (multiplier effect). Untuk mengefektifkan
pencapaian tujuan pendidikan nonformal tersebut, maka aliran filsafat
pendidikan idealisme, realisme, empirisme dan pragmatisme dapat digunakan.
Kegiatan pendidikan tersebut bertujuan
untuk membangkitkan kesadaran berpikir kritis dan analitis terhadap struktur
yang menindas, meningkatkan kinerja
pengungsi untuk dapat bertindak proaktif sehingga mampu berekspresi dalam
membentuk budaya publik dan mampu bernegosiasi dengan para elitis. Dengan
demikian pemberdayaan pengungsi melalui jalur pendidikan formal, informal dan
nonformal dalam rangka pengembangan kapasitas (capacity
building) merupakan program yang sangat vital dan strategis untuk
memberdayakan pengungsi sehingga pada gilirannya mereka bisa memperjuangkan
hak-haknya secara pribadi atau secara kolektif.
2.
Pemberdayaan
masyarakat pengungsi melalui kebijakan dan perencanaan
Mengacu pada perspektif elitis (Penguasa
Darurat Sipil Daerah/PDSD) terhadap pemberdayaan, maka para elitis memiliki power yang kuat untuk memberdayakan masyarakat
pengungsi melalui berbagai kebijakan
dan perencanaan yang berkaitan dengan faktor power
dan disadvantaged, antara lain:
Kebijakan terhadap pilihan hidup
pengungsi, yaitu PDSD dapat memfasilitasi dan memberikan jaminan keamanan bagi
pengungsi yang telah memutuskan kehidupannya untuk kembali ke kampung
halamannya, seperti pengungsi Desa Poka, Desa Rumahtiga, Desa Waai, Kesui, Desa
Iha, dan komunitas pengungsi lainnya.
Perencanaan proses pemulangan ini
diupayakan selekas mungkin sehingga tidak menimbulkan ketimpangan personal yang
baru, seperti: kekecewaan, kesediaan, frustasi, stress, depresi, kemabukan,
kejahatan, dan sebagainya; dan muculnya
ketimpangan struktural yang baru, seperti: pemiskinan massal, pengangguran,
pembodohan, ketertinggalan, terciptanya generasi marginal/kuli yang akhirnya
melahirkan generation
lost dan social lost.
Bagaimanapun proses pemberdayaan pengungsi
tidak akan efektif dan cenderung mubazir jika dilakukan di tempat pengungsian,
karena rendahnya aksesibilitas dan tidak dimilikinya kontrol terhadap
sumberdayanya. Sebaliknya program pemberdayaan akan semakin efektif jika dilakukan
pada sumberdaya yang dimilikinya atau
di negeri asalnya. Oleh karenanya, kebijakan dan perencanaan pemulangan
pengungsi ke tanah tumpah darahnya
harus mendapat prioritas pertama dari PDSD. Masyarakat pengungsi berhak
untuk memilih dan menentukan sikap hidup yang lebih baik (better living). Masyarakat pengungsi berhak
meminta PDSD untuk mengembalikan kembali “kedaultannya” yang dirampas oleh
kelompok perusuh.
Kebijakan dan perencanaan yang berkaitan
dengan: (1) institusi keamanan, yaitu PDSD seyogianya menempatkan aparat
keamanan yang teruji kenetralannya, seperti: pasukan gabungan (YONGAB),
“pembebasan desa” yang dihuni oleh para perusuh, pelibatan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan pengorganisasian masyarakat (Community
Organizing), pelibatan pengungsi dalam pembuatan barak; (2)
pembenahan institusi ekonomi, seperti: menyediakan modal usaha, pasar, kebijakan harga, peningkatan
aksesibilitas pengungsi terhadap lembaga keuangan formal (Bank), dan sebagainya;
(3) pembenahan institusi pemerintah pusat, pembenahan sarana dan prasarana
persekolahan, kesehatan, kesejahteraan sosial, dan berbagai fasilitas lainnya
yang dibutuhkan.
Sukses tidaknya strategi ini terletak
ditangan PDSD. Jika masyarakat telah siap untuk kembali, siap untuk diberdayakan, maka tidak ada alasan
lagi bagi PDSD untuk menunda-nunda atau mengkambing-hitamkan masyarakat bahwa
mereka belum siap, keamanan belum kondusif, dan lain sebagainya karena PDSD
memiliki “super power” untuk
melakukan segalanya.
Untuk menghindari bias pemberdayaan, maka
program emergensi, rehabilitasi/pemulihan dan pemberdayaan seyogianya dilakukan
melalui suatu aksi sosial secara partisipatif, yang dimulai dari tahap
perencanaan (identifikasi masalah, penentuan prioritas masalah, dan disain
program), pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta menikmati hasil. Menurut
Robert Chambers (1996) salah satu metode yang dianggap cukup efektif untuk
mendisain program bersama komunitas pengungsi adalah metode PRA (Participatory Rural Apprasial).
Falsafah yang terkandung di dalam metode
ini adalah agar mereka dapat menolong diri sendiri dan orang lain (Helping people to help themselves and others). Selain itu masyarakat diberikan power untuk mendefinisikan kebutuhannya secara
mandiri dan didampingi oleh pendamping lapangan. Dengan demikian setiap
instrumen yang diberikan melalui proyek/program hanya bersifat stimulus atau
perangsang. Dengan kata lain instrumen yang diberikan bukan hanya dalam
artian memberikan pancing, tetapi lebih
daripada itu mengajarkan mereka cara membuat alat pancing; menunjukkan kepada
mereka dimana tempat pemancingan dan bagaimana caranya mengetahui tempat pemancingan.
Cara lain yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan keberdayaan pengungsi, yaitu membentuk aliansi, KSM (Kelompok
Swadaya Masyarakat), atau LSM transformatif menjadi suatu kekuatan masyarakat
sipil (civil society) untuk mempengaruhi PDSD (kaum elitis), DPRD (kaum
politisi), kaum akademisi dengan berbagai agenda/wacana. Disamping itu
pengungsi juga dapat berafiliasi dengan dengan sejumlah aktivis LSM
reformis/transformis dan kaum akedemisi melalui kiat “permainan bilyard” dengan
DPRD sehingga mereka dapat melakukan pressure
secara terus-menerus kepada PDSD dan
PDS di pusat untuk mensolusi masalah pemberdayaan pengungsi. Jika DPRD tidak
mampu mengakomodir tuntutan pengungsi terhadap PDSD, maka mereka akan
kehilangan kredibilitas dan akuntabilitas publik.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dibuat
suatu simpulan bahwa pemberdayaan pengungsi merupakan suatu upaya yang sangat
manusiawi, urgen, strategis, dan kompleks untuk dilaksanakan secara
komprehensif. Hal ini dikarenakan oleh sifat dimensionalnya, seperti
keterkaitan dimensi psikologis, sosial, ekonomi, budaya, hukum, keamanan, dan
sebagainya. Untuk itu dalam menangani program pemberdayaan pengungsi tidak
dapat dilakukan secara parsial, sektoral atau terkotak-kotak, tetapi sebaliknya
secara holistik, simultan dan partisipatif. Segala
bentuk egoisme sektoral, mencari popularitas semu, mencari keuntungan tertentu,
serta segala sikap arogansi birokrasi perlu dikesampingkan.
Keberhasilan
program pemberdayaan masyarakat pengungsi Maluku tergantung pada komitmen semua
organisasi akar rumput dan para stakeholder
pembangunan untuk menjadikan program
tersebut sebagai suatu gerakan moral.
Diyakini sungguh bahwa segala sesuatu dimuka bumi ini ada
masanya, ada waktunya. Ada waktu untuk mengungsi, ada waktu untuk kembali dari
tempat pengungsian. Ada waktu untuk menjadi PDSD, ada waktu untuk tidak menjadi
PDSD. Ada waktu untuk menjadi anggota dewan perwakilan rakyat (DPRD), ada pula
waktu untuk tidak menjadi anggota DPRD. Ada waktu untuk menjadi akademisi, ada
waktu pula untuk tidak menjadi akademisi. Karena segala sesuatu ada waktunya,
maka selagi diberi waktu, diberi posisi, diberi jabatan, pergunakanlah semuanya
itu untuk memberdayakan pengungsi, untuk membentuk suatu kehidupan masyarakat
Maluku yang lebih damai, sejahtera, dan mandiri. Jika tidak demikian, maka waktulah yang akan
membawa semua stakeholder pembangunan
di Maluku ke pengadilan abadi.
Chambers,
R., 1995. Poverty and Livelihoods: Whose
Reality Counts? Dalam Kartasasmita, G., 1996. Pembangunan Untuk Rakyat:
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Cides. Jakarta.
__________, 1996. PRA
Participatory Rural Appraisal-Memahami Desa Secara Partisipatif. Kanisius. Yogyakarta.
Coombs, 1973. New Path to
Learning. New York: International Council
for Educational Development.
Friedman, F., 1992. Empowerment:
The Politic of Alternative Development. Cambridge:Blackwell.
Henderson, Stella van Petten, 1959. Introduction to
Philosophy of Education. The University of Chicago Press. Chicago.
Ife, J., 1995. Community
Development: Creating Community-Vision, Analysis and Practice. Longman. Australia.
Kartasasmita,
G., 1996. Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan
Pemerataan. Cides. Jakarta.
Mudyahardjo,
R., 2001. Filsafat Ilmu Pendidikan. Suatu Pengantar.PT. Remaja Rosdakarya.
Bandung.
Samloy,
R., 2001. Suara Maluku Tanggal 31 Mei
Sudjana, D. S., 2000. Pendidikan Luar Sekolah. Wawasan Sejarah
Perkembangan Falsafah Teori Pendukung Asas.Falah Production. Bandung.
Sumodiningrat, G. 1996.
Memberdayakan Masyarakat. Kumpulan
Makalah tentang Inpres Desa Tertinggal. Penakencana Nusadwipa. Jakarta.