© 2001 Djoko Setiono, SH., MA Posted: 22 December 2001
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
December 2001
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung
Jawab)
PERCEPATAN PEMBANGUNAN KAWASAN TIMUR INDONESIA:
Harapan dan Kenyataan
Oleh:
Djoko Setiono,
SH., MA
Nrp: C-526010184
E-mail: djsetiono@yahoo.com
ABSTRACT
Inequality development
and income distribution among Provinces, particularly between Eastern Indonesia
(Kawasan Timur Indonesia) and Western Indonesia (Kawasan Barat Indonesia) were
growing very fast and becoming worse to date.
Looking the
above situation, the Central Government by every means trying to overcome, and
putting the acceleration development of Eastern Indonesia through the
development of Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) as one of the
national policy. It is hope by accelerating the development of Eastern
Indonesia, will at least bring the benefit not only for Eastern Indonesia, but
also for Western Indonesia and for the whole nations.
Nevertheless,
the most prominent problems facing by the Central Government to date are, lack
of financial for development. It is understood that the impact of the global
recessions since 1997 has ruin the national economy and the revenue of the
Central Government, which are important for capitalize the development to the
whole country.
Therefore, the
purpose of this paper is trying to give a perspective on how the development of
Eastern Indonesia through KAPET and what policies should be taken into account
by the Central and Local Government in order to speed up the development of
Eastern Indonesia.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Secara administratif, Kawasan Timur Indonesia (KTI) meliputi 14
wilayah Propinsi yang membentang dari Kalimantan hingga Irian Jaya, kecuali
Bali. Dilihat dari aspek geografis luas wilayah KTI mencakup hampir 70% wilayah
Nusantara, dan hanya didiami oleh kurang lebih 20% total penduduk Indonesia.
Sementara, Jawa, Bali dan Sumatera dengan luas wilayah kurang lebih 30% dari
wilayah Nusantara dihuni oleh kurang lebih 80% total penduduk Indonesia.
Dengan wilayah yang luas sebagai di atas, dan ditambah dengan
melimpahnya kekayaan sumberdaya alam, maka sangat ironis sekali apabila KTI
harus menghadapi ketertinggalan pembangunan dan rendahnya tingkat kesejahteraan
masyarakat bila dibandingkan dengan Kawasan Barat Indonesia. Oleh sebab itu,
percepatan pembangunan KTI merupakan agenda penting dalam proses pembangunan
bangsa Indonesia. Selain untuk mengatasi persoalan ketimpangan pembangunan yang
begitu lebar, upaya tersebut merupakan langkah strategis untuk membangun
fondasi yang kokoh bagi pembangunan bangsa Indonesia di masa depan. Pentingnya
misi pembangunan tersebut, didasarkan pada kenyataan bahwa beratnya
permasalahan pembangunan yang dihadapi KTI, di satu pihak, dan besarnya potensi
pembangunan yang ada di kawasan tersebut, di lain pihak.
Atas dasar itu dan dalam upaya mengejar ketertinggalan
pembangunan KTI tersebut, Pemerintah menetapkan Pembentukan Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu melalui Keputusan Presiden Nomor: 89 Tahun 1996
sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Keputusan Presiden Nomor: 150
Tahun 2000 tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET). Keputusan
tersebut di atas merupakan langkah kebijakan Pemerintah untuk mengembangkan
kawasan-kawasan andalan di setiap propinsi di KTI. Mengingat keterbatasan dana
pembangunan, maka setiap Propinsi harus memilih sebuah kawasan andalan
prioritas, yaitu suatu kawasan atau daerah yang dapat dengan cepat berkembang
dan dengan sedikit dana investasi pemerintah.
KAPET ini selanjutnya diharapkan menjadi “pusat
pertumbuhan” atau “Growth Centre”, yang pada gilirannya akan mampu merangsang
pertumbuhan daerah-daerah sekitarnya (hinterlands) melalui apa yang dinamakan
efek penetesan ke bawah atau “trickle down effects”. Keberhasilan pembangunan
KAPET ini, diharapkan akan mampu menarik investor untuk menanamkan modalnya di
KTI dan sekaligus berfungsi sebagai promosi bagi para investor yang belum
menanamkan modalnya di KTI serta merangsang tumbuhnya bentuk-bentuk usaha
pendukung lainnya.
1.2 Tujuan Penulisan
Dengan mendasarkan pada kenyataan bahwa sumberdaya
alam yang begitu melimpah di KTI, maka tujuan penulisan ini adalah untuk
mengetahui:
1.
Apakah kebijakan
Pemerintah dengan menetapkan dan melaksanakan pembangunan KAPET sebagai Growth
Centre tersebut dapat diandalkan sebagai penggerak (prime mover) dan merangsang
pertumbuhan daerah sekitarnya?
2.
Kebijakan apa sebaiknya
diterapkan oleh Pemerintah dalam rangka percepatan pembangunan KTI dan
sekaligus memberikan manfaat atau nilai tambah bagi peningkatan kehidupan
masyarakat di KTI, yang pada gilirannya akan berimplikasi positif terhadap
pembangunan nasional serta memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
1.3 Sasaran
Sasaran yang ingin dicapai dalam tulisan ini adalah ingin menunjukkan bahwa pembangunan KAPET tidak akan berhasil apabila kawasan di sekitar KAPET tidak dibangun secara bersamaan. KAPET mungkin saja akan dapat tumbuh dan berkembang, akan tetapi tidak mempunyai linkage dengan daerah sekitarnya. Pembangunan KAPET tanpa memperhitungkan pembangunan dan pengembangan hinterland-nya, hanya akan menciptakan dan melestarikan KAPET sebagai “economic enclave” di wilayah yang bersangkutan.
II. KONDISI
KTI DEWASA INI
Seperti
telah diuraikan di atas, KTI dengan luas wilayah sekitar 70% dari seluruh
wilayah Indonesia, hanya dihuni oleh kurang lebih 20% total penduduk Indonesia.
Namun demikian, tidak seorang-pun yang dapat membantah bahwa sumberdaya alam di
KTI begitu besar. Bahkan, karena begitu besarnya, ada anggapan bahwa Indonesia di masa
mendatang akan sangat tergantung pada KTI.
Dengan perkataan lain, KTI merupakan sumber kehidupan
dan penghidupan Indonesia di masa datang. Paradigma di atas bukannya tidak
beralasan, sebab apabila melihat pada kenyataan yang ada, sumberdaya alam yang
disediakan oleh KTI baik di Kalimantan, Sulawesi dan Maluku, Nusa Tenggara
Timur sampai Irian Jaya, begitu melimpah ruah. Hanya saja pemanfaatannya belum
dilakukan secara optimal, karena keterbatasan kuantitas dan kualitas sumberdaya
manusia. serta kurangnya sarana dan prasarana yang tersedia.
Di samping itu, potensi sumberdaya alam
yang besar tersebut, sangat berkaitan erat dengan struktur ekonomi KTI yang
memberikan gambaran bahwa selama ini pengelolaan sumberdaya alam di KTI lebih
banyak pada proses (eksplorasi dan eksploitasi), sedangkan pengolahannya (baik
sekunder ataupun tertier) kebanyakan dilakukan di luar KTI. Sebagai contoh, PT.
Freeport Indonesia melakukan eksploitasi pertambangannya di Timika, akan tetapi
proses pengolahannya dilakukan di Gresik, Jawa Timur.
Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk
meningkatkan investasi di KTI dan apabila diperlukan proses pengolahan lebih
lanjut, maka hal itu harus dilakukan di daerah atau lokasi yang bersangkutan.
Dengan demikian, pada gilirannya selain diharapkan dapat meningkatkan pembangunan
ekonomi daerah yang bersangkutan, sekaligus dapat mendukung peningkatan ekonomi
nasional, yang hingga saat ini dirasakan sangat lambat pertumbuhannya.
Lambatnya arus investasi di KTI sehingga menyebabkan pembangunan KTI sangat
tertinggal dibanding KBI dapat diindentifikasi beberapa faktor utama
penyebabnya, antara lain yaitu: (1) terbatasnya sarana dan prasarana
(infrastruktur) seperti transportasi darat, laut dan udara dan telekomunikasi,
serta tersedianya tenaga listrik yang sangat berpengaruh terhadap berbagai
aspek yang dapat mendorong pertumbuhan misalnya, mengurangi minat investor
untuk menginvestasikan modalnya di KTI, meningkatnya biaya produksi, dan
menurunkan daya saing produk yang dihasilkan oleh KTI; (2) terbatasnya sarana
pendidikan dan tenaga pendidik yang berkualitas, yang berakibat terhadap
rendahnya kualitas SDM yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan KTI; (3)
terbatasnya kewenangan pengambilan keputusan seperti di bidang perbankan,
berbagai perijinan dan lain-lain di KTI, sehingga proses pengambilan keputusan
memakan waktu lama karena harus diputuskan oleh Pusat. Di samping itu, hal ini
menyebabkan tingginya biaya operasional dari para pengguna jasa tersebut; dan
(4) kondisi social dan keamanan di beberapa daerah yang belum kondusif, telah
menyebabkan keengganan investor untuk menanamkan modalnya di KTI.
Akibat dari semua faktor sebagai di atas,
menyebabkan produktivitas KTI sangat rendah. Dalam kondisi tidak ada hambatan
dalam mobilitas, modal cenderung akan mengalir ke daerah yang terbelakang
kemajuan perekonomiannya. Proses ini akan berlangsung hingga tercapai
keseimbangan produktivitas modal antar daerah. Namun demikian, di negara-negara
berkembang, modal bergerak ke arah yang sebaliknya. Pergerakan aliran modal berlangsung secara terus
menerus ke daerah yang maju. Untuk mencegah timbulnya ketidakseim-bangan
pembangunan yang makin besar, diperlukan re-alokasi investasi (yang besar) ke
daerah yang tertinggal.
Posisi Bulan Juni 2001
(dalam Rp. Miliar)
Propinsi |
Posisi Dana
Simpanan |
Posisi Kredit |
Selisih |
KALBAR |
5,515 |
1,790 |
3,725 |
KALTENG |
1,974 |
706 |
1,268 |
KALSEL |
4,038 |
1,734 |
2,304 |
KALTIM |
9,450 |
1,630 |
7,820 |
SULUT |
3,194 |
1,572 |
1,622 |
SULTENG |
1,724 |
733 |
911 |
SULSEL |
8,983 |
4,060 |
4,923 |
SULTENGGR |
1,119 |
460 |
659 |
NTB |
1,973 |
1,003 |
970 |
NTT |
2,349 |
703 |
1,646 |
MALUKU |
1,710 |
247 |
1,463 |
IRJA |
3,357 |
736 |
2,621 |
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa, kondisi KTI sulit
berkembang karena berbagai hambatan, sehingga mutlak diperlukan berbagai
langkah atau kebijakan Pemerintah untuk mengatasi ketertinggalan pembangunan
KTI. Dalam hubungan ini, sejak tahun 1996 yang lalu, Pemerintah Pusat telah
mengeluarkan kebijakan untuk membangun Kawasan-kawasan Andalan atau Growth
Centre di setiap Propinsi, yang diharapkan akan dapat menjadi ‘prime mover’
pembangunan di daerah yang bersangkutan sekaligus merangsang pertumbuhan daerah
sekitarnya (hinterlands-nya).
Namun demikian, sebelum menguraikan kebijakan yang dilaksanakan
oleh Pemerintah dalam mengatasi masalah tersebut, terlebih dahulu akan
diuraikan tentang Pusat Pertumbuhan atau Growth Centre, termasuk di dalamnya
pendapat yang pro dan kontra terhadap konsep pembangunan ini.
a. Growth
Centre: Pro dan Kontra
Untuk memajukan pembangunan daerah-daerah miskin dan
terbelakang, telah menyebabkan munculnya kebutuhan untuk mencari jalan yang
terbaik guna mempromosikan aktivitas perekonomian dan penciptaan lapangan kerja
di daerah-daerah miskin dan terbelakang tersebut, dan sekaligus upaya untuk
mengejar ketertinggalan pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Salah satu
respon atau jawaban Pemerintah Pusat untuk mengatasi permasalahan di atas,
adalah melaksanakan strategi yang dinamakan pembangunan pusat-pusat pertumbuhan
atau growth centre.[6]
Meskipun pembangunan growth centre ini bukan lagi merupakan
strategi yang baru, akan tetapi hingga saat ini selalu memperoleh perhatian
yang sangat besar dari para pengambil kebijakan maupun perencana baik di negara
maju ataupun negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Bahkan, growth center
dipercayai sebagai suatu strategi yang dapat mengatasi kesulitan dalam
melaksanakan percepatan pembangunan daerah. Di samping itu, dengan pembangunan
growth centre juga dimaksudkan untuk menarik perhatian para migran agar tidak
menuju atau pergi ke kota-kota besar atau metropolitan.[7]
Kebijakan pembangunan pusat-pusat pertumbuhan tersebut tidak
saja popular (pada tahun 1970-an), akan tetapi juga sangat dominan dalam setiap
kebijakan operational dalam perencanaan regional di negara maju maupun negara
berkembang. Upaya yang banyak dilakukan untuk mening-katkan perekonomian daerah
miskin dan kurang berkembang adalah dengan cara mengkonsentrasikan investasi
terutama di bidang industri pada pusat-pusat pertumbuhan tersebut.
Dengan cara ini diharapkan tidak saja daerah tersebut akan mampu
tumbuh dan berkembang, akan tetapi juga mampu merangsang pertumbuhan daerah
atau wilayah sekitarnya sebagaimana dinyatakan oleh pendukung kebijakan
pembangunan pusat-pusat pertumbuhan di atas. Boudeville misalnya, menyatakan
bahwa: “growth may be promoted in such regions by policies which plan the
greatest possible efficiency the development of growth centers through
mechanism of their propulsive industries”.[8]
Lebih lanjut Boudeville mengatakan bahwa pengaruh dari ‘propulsive industries’
yang dihasilkan oleh pusat-pusat pertumbuhan tersebut terhadap pertumbuhan
ekonomi regional yaitu: (1) dapat memberikan atau mampu meningkatkan hubungan
atau jalinan ekonomi yang sudah ada di daerah tersebut; (2) dengan meningkatnya
kemampuan produksi yang ada di daerah itu, akan mampu menarik lebih banyak lagi
industri-industri baru untuk berlokasi di daerah tersebut.[9]
Seperti telah diuraikan di muka, bahwa terhadap strategi ini
banyak silang pendapat atau perdebatan di antara para ahli. Niles Hansen misalnya,
mengatakan bahwa strategi di atas---khususnya di negara-negara
berkembang---mengalami banyak hambatan atau kegagalan, antara lain disebabkan
karena masalah ‘keuangan’ ternyata merupakan kendala yang terbesar bagi
berhasilnya pembangunan pusat-pusat pertumbuhan tersebut.[10]
Demikian pula halnya dengan Harry W. Richardson menyatakan bahwa
banyak dari negara-negara berkembang yang meninggalkan konsep pembangunan ini
karena ‘spread effects’ yang dihasilkan dan yang diharapkan mampu untuk
mengembangkan daerah sekitarnya ternyata tidak pernah terwujud dan hanya
menyerap sedikit sekali tenaga kerja.[11]
Pendapat ini, didukung pula oleh Budhy Tjahjati S. Soegiyoko yang mendasarkan
pengamatannya atas dampak pemba-ngunan industri di Lhok Seumawe, Aceh Utara
terhadap lingkungan sekitarnya. Dari pengamatannya, keterkaitan antara industri
besar tersebut dengan daerah sekitarnya dapat dikatakan tidak ada, sehingga
hanya menjadikan pembangunan Lhok Seumawe sebagai ‘enclave’ dan terisolir dari
wilayah sekitarnya. Lebih lanjut dijelaskan oleh Budhy bahwa, keadaan tersebut
terjadi karena kehidupan masyarakat di sekitar Lhok Seumawe masih tetap
berorientasi kepada ‘traditional agricultural sector’, sedangkan di Lhok
Seumawe sendiri terbangun penuh dengan teknologi modern yang mempunyai
karakteristik ‘capital intensive’.[12]
Kondisi seperti yang dialami seperti di Lhok Seumawe di atas,
juga dibenarkan oleh William G. Tyler yang menyatakan bahwa strategi ini
(growth centre) hanya memperbesar ketimpangan dan perbedaan regional. Karena
dalam kenyataannya, banyak industri-industri yang berada di dalam pusat-pusat
pertumbuhan tersebut tidak mempunyai kaitan (linkage) dan mengisolir dengan
tradisional sector yang ada di wilayah sekitarnya.[13]
Berbagai permasalahan yang timbul berkenaan dengan pusat-pusat
pertumbuhan di atas, telah mengundang pula pendapat beberapa ahli seperti
misalnya, D.K Forbes yang mengatakan bahwa apabila tujuan pokoknya untuk
mempromosikan kota-kota kecil dan mengembangkan daerah perdesaan, mengapa tidak
melakukan investasi langsung di kota-kota kecil dan daerah perdesaan yang
berada di sekitarnya.[14]
Demikian pula halnya dengan Dennis A. Rondinelli yang mengatakan bahwa: “the
development of small towns can play important role and have functions that not
only can stimulate the economy of the rural hinterlands but also can function
as centers of social transformation”.[15]
Selain itu, dengan pembangunan kota-kota kecil tersebut, juga berusaha
memperkuat hubungan atau keterkaitan antara urban-rural melalui pembangunan
agro-based industries dan meningkatkan hasil-hasil pertanian.
Harry W. Richardson dalam hal ini juga berpendapat bahwa
pembangunan kota-kota kecil tersebut pada dasarnya adalah berusaha untuk
memerangi atau mengatasi permasalahan secara langsung pada sumbernya dengan
menciptakan kondisi yang menarik, yang pada gilirannya akan mampu mengurangi
minat penduduk untuk meninggalkan kampung halamannya.[16]
Seirama dengan pendapat tersebut, Sumitro Maskun juga berpendapat bahwa untuk
menjembatani ketimpangan pembangunan antar daerah maupun desa-kota, perlu
adanya pusat-pusat perencanaan pengembangan desa (rural center planning) yang
mampu mendukung pembangunan desa secara terpadu terutama dari segi penetapan
kebijakannya.[17]
Namun demikian, dalam mengembangkan kota-kota kecil tersebut
juga tidaklah mudah dan banyak hal-hal yang perlu diperhatikan. Harry W.
Richardson misalnya, mengatakan bahwa ada beberapa hal yang sangat penting dan
perlu diperhatikan dalam upaya pengembangannya, pertama yaitu economic
development potential, kedua, yaitu inter-regional equity, dan yang ketiga,
yaitu location and spatial consistency.[18]
Sementara itu, Sumitro Maskun dalam hal ini menekankan perlunya untuk
mempertimbangkan sumber daya alam yang terdapat di daerah sekitarnya
(perdesaan) yang dapat mendukung tidak saja ekonominya, akan tetapi juga
pertumbuhan skill yang dimiliki oleh masyarakat perdesaan yang bersangkutan.[19]
Ditambahkannya lebih lanjut bahwa, dengan melihat hampir 80% desa-desa di
Indonesia masih bersifat agraris (pertanian), hendaknya industri yang akan
ditumbuhkan adalah industri yang mudah berkembang dan dapat memenuhi kebutuhan
ekonomi masyarakat desa seperti misalnya, jenis industri yang mengolah
hasil-hasil pertanian dan bilamana perlu tidak perlu mengolah hinga barang jadi
tetapi cukup setengah jadi tergantung tingkat teknologi yang dimilikinya.[20]
Barangkali hal ini pula yang menyebabkan Dennis A. Rondinelli mengatakan: “…if
these cities are given appropriate concentrations of investment, they will
perform more complexs economic and social functions”.[21]
Dalam kaitan ini, perlu dicatat bahwa dengan menumbuhkan industri-industri di
kota-kota kecil atau perdesaan tersebut, tidak berarti akan mengurangi atau
melemahkan industri-industri yang ada diperkotaan (atau di dalam Growth Centre),
akan tetapi sebaliknya dapat memperkuat kondisi keduanya karena akan saling
melengkapi dan mendukung satu sama lain.
b. Kebijakan Pemerintah
Lebih dari tiga dasawarsa, Pemerintah melaksanakan program
pembangunan nasional, telah banyak kemajuan dan manfaat yang dapat dirasakan
oleh masyarakat banyak. Namun demikian, dibalik keberhasilan tersebut, masih
banyak pula berbagai kekurangan dan kelemahan yang menyertainya. Salah satu
kekurangan dan kelemahan di tengah-tengah pertumbuhan pembangunan yang begitu pesat
tersebut, adalah terjadinya pertumbuhan yang tidak seimbang antar sector,
kesenjangan ekonomi antar golongan penduduk dan kesenjangan pembangunan antar
wilayah.
Secara regional, kesenjangan pembangunan tersebut terjadi antara
Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan Kawasan Barat Indonesia (KBI). Pengurangan
kesenjangan pembangunan antar wiliyah atau kawasan sebagai di atas akan sulit
dilakukan apabila proses perkembangan dibiarkan tanpa adanya intervensi
pemerintah. KTI yang sudah tertinggal akan semakin tertinggal apabila tidak ada
upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk mengatasinya. Atas dasar itu,
maka pada tahun 1996 Pemerintah mengeluarkan kebijakan pengembangan KTI
meliputi: (1) Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) di KTI; (2) Pemberian
Insentif Investasi; dan (3) Pengembangan Komoditas Tertentu.[22]
b.1 Pengembangan
KAPET.
Salah satu kebijakan pengembangan KTI yang diputuskan adalah
mengembangkan satu kawasan andalan di setiap propinsi yang disebut Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET).[23]
KAPET ini diharapkan dapat menjadi ‘Pusat Pertumbuhan’ yang pada gilirannya
mampu merangsang pertumbuhan wilayah sekitarnya (hinterlands) melalui apa yang
disebut ‘trickle down effects’. Pada KAPET-KAPET tersebut akan diprioritaskan
upaya-upaya pembangunan baik berupa pengembangan infrastruktur, pengembangan
sumberdaya alam, pengembangan sumberdaya manusia dan pengembangan kelembagaan.
Sesuai dengan maksud di atas, pendekatan pengembangan KAPET
dilakukan melalui (1) pendekatan yang berorientasi pada sumberdaya (resources
based oriented); (2) pendekatan yang berorientasi pada keunggulan ilmu
pengetahuan dan teknologi (knowledge based); (3) pendekatan yang meletakkan
manusia sebagai pusat pembangunan (people centered approach).[24]
Selanjutnya, melalui pendekatan tersebut, maka pengembangan KAPET diarahkan
sebagai:
(1)
Kawasan yang mempunyai
kegiatan ekonomi yang dapat menggerakkan pertumbuhan (prime mover) daerah;
(2)
Kawasan yang mempunyai
keterkaitan kuat dengan daerah lain, meliputi keterkaitan produksi, pemasaran
dan transportasi;
(3)
Kawasan yang memiliki
infrastruktur yang relatif lebih baik.
b.2 Pemberian
Insentif Investasi.
Keberhasilan
percepatan pembangunan KTI sangat tergantung pada pemanfaatan sumberdaya alam
yang melimpah, mengolah dan memasarkan produk-produk tersebut. Namun demikian,
perlu dicatat bahwa kegiatan sebagai di atas memerlukan dana investasi yang
besar. Dengan keterbatasan dana yang dapat disediakan oleh Pemerintah, maka
perlu diupayakan untuk memberikan rangsangan kepada dunia usaha dan masyarakat.
Rangsangan tersebut antara lain berupa pemberian bermacam-macam insentif atau
kemudahan-kemudahan kepada dunia usaha maupun masyarakat untuk menanamkan
modalnya di KTI.
Insentif-insentif sebagai di atas, dapat dikelompokkan kedalam
(1) Insentif yang berbentuk subsidi; (2) Insentif yang berupa keringanan pajak;
(3) Insentif yang berupa kemudahan administrasi; (4) Insentif yang berupa
pemberian kredit; dan (5) Insentif untuk menanggulangi mobilitas SDM.
b.3 Pengembangan
Komoditas Potensial.
Dari identifikasi
sumberdaya alam yang terdapat di KTI, diperoleh data bahwa paling tidak ada 7
(tujuh) sector (ekonomi) andalan yang dapat dikembangkan, antara lain yaitu:
sector pertanian tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, perikanan, kehutanan,
pariwisata, pertambangan dan industri. Apabila potensi sector ekonomi pada
masing-masing KAPET tersebut dijabarkan, maka gambarannya adalah sebagai
berikut:
KAPET
|
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
7 |
Sanggau |
|
X
|
|
X
|
X
|
|
|
Sejuta Lahan |
X
|
|
|
X
|
|
|
|
Batulicin |
|
X
|
X
|
X
|
X
|
X
|
X
|
Sasamba |
|
X
|
X
|
X
|
X
|
X
|
X
|
Manado.Bitung |
|
|
X
|
|
|
X
|
X
|
Batui |
X
|
X
|
X
|
|
|
|
X
|
Pare-Pare |
X
|
X
|
X
|
|
|
|
X
|
Bukari |
X
|
X
|
X
|
|
|
X
|
|
Seram (MAL) |
|
X
|
X
|
X
|
X
|
X
|
|
Biak (IRJA) |
|
|
X
|
|
|
X
|
X
|
Bima (NTB) |
X
|
X
|
X
|
|
|
|
X
|
Mbay
(NTT) |
X
|
|
X
|
|
|
|
X
|
Jumlah |
7 |
9 |
|
|
4 |
7 |
7 |
Catatan: Dikutip dari Hermawan Prasetya dan Aunur Rofiq
Hadi, ‘Strategi Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Di Kawasan Timur
Indonesia’. Table 9.2, dalam Djarwadi, Hermawan Prasetya, dan Sugeng Triutomo, Menoleh
Ke Timur: Pemikiran Kebijakan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia.Sekteratiat
DP-KTI.
Keterangan: 1=Pertanian Tanaman Pangan,
2=Perkebunan, 3=Perikanan, 4=Kehutanan, 5=Pertambangan, 6=Pariwisata,
7=Industri.
Dari
uraian di atas, secara singkat dapat disimpulkan bahwa kebijakan pengembangan
KTI terutama melalui pengembangan KAPET-KAPET tersebut adalah:
a.
Mempercepat
pertumbuhan pembangunan KTI dengan memusatkan aktivitas kegiatan perekonomian
dengan mengembangkan sector-sektor unggulan pada KAPET, yang diharapkan akan
dapat menjadi ‘prime mover’ pembangunan daerah, serta diharapkan akan dapat
menggerakkan perekonomian daerah sekitarnya.
b.
Merupakan keserasian
antara kebijakan yang menekankan pertumbuhan dan pemerataan, termasuk
mengembangkan keterkaitan (linkages) dengan daerah sekitarnya dalam upaya
pemerataan pembangunan;
c.
Pemberian insentif
investasi sebagai bagian upaya pemerintah untuk merangsang dunia usaha untuk
menanamkan modalnya di KTI.
Namun demikian, apabila melihat perkembangan pembangunan
KAPET-KAPET sebagai di atas sejak dicanangkan oleh Pemerintah pada tahun 1996
yang lalu hingga sekarang ini, ternyata antara harapan dan kenyataan yang
ingin diwujudkan sangat jauh berbeda. Pembangunan KAPET berjalan dengan
sangat lambat, bahkan beberapa diantaranya yang hingga saat ini tidak mampu
berkembang atau mengembangkan dirinya untuk menjadi ‘prime mover’ pembangunan
daerahnya. Mengapa demikian, dan bagaimana seharusnya, serta langkah-langkah
apa yang diperlukan, akan diuraikan dalam paparan berikut ini.
IV.
PELAKSANAAN PEMBANGUNAN KAPET.
a. Realita Pembangunan KAPET.
Seperti telah dikemukakan
dalam uraian di atas bahwa dalam perjalanannya, pembangunan KAPET-KAPET
tersebut ternyata tidak seperti yang diidam-idamkan. KAPET-KAPET yang ada belum
atau tidak tumbuh berkembang dengan baik, apalagi hinterlandnya, belum
tersentuh sama sekali guna mendukung
pembangunan KAPET-KAPET dimaksud. Ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak
benar di dalam pelaksanaannya.
Apabila diperhatikan
ternyata banyak sekali faktor-faktor penyebabnya. Namun demikian, dalam hal ini
tidak akan diuraikan berbagai faktor yang menjadi penyebabnya, dan hanya akan diuraikan beberapa faktor yang
dianggap dominan, antara lain:
1)
Kurangnya atau tidak
adanya ‘keberpihakan’ (affirmative actions) dari Pemerintah Pusat bersama
lembaga-lembaga dibawahnya (Departemen/Instansi) dalam mendukung pengembangan
KAPET. Seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu, salah satu tanggung jawab
Pemerintah Pusat adalah membangun sarana dan prasarana (infrastruktur) yang
sangat diperlukan bagi pengembangan KAPET. Tanpa tersedianya infrastruktur yang
memadai seperti, fasilitas pelabuhan laut maupun udara, telekomunikasi, jalan,
dan lain-lain, maka dapat dipastikan selain menghambat pengembangan KAPET, juga
akan sangat sulit untuk dapat menarik investor agar menanamkan modalnya,
sekalipun Pemerintah Pusat telah mengeluarkan serangkaian kebijakan pemberian
insentif fiscal dan non fiskal bagi investor yang akan menanamkan modalnya di
KAPET.
2)
Hingga saat ini hampir
semua KAPET telah meminta (bahkan ‘merengek-rengek’) kepada Pemerintah Pusat
agar dapat dibangunkan pelabuhan laut, jaringan jalan raya dan telekomunikasi,
maupun tenaga listrik yang sangat diperlukan bagi pengembangan KAPET, namun
hasilnya dapat dikatakan tetap nihil. Sebagai contoh, KAPET MBAY di Nusa
Tenggara Timur, telah meminta Pemerintah Pusat agar dapat membantu pembangunan
infrastruktur, seperti pembangunan fasilitas pelabuhan laut, jaringan jalan
raya, telekomunikasi maupun tenaga listrik, namun demikian, hingga saat ini
belum terwujud. Demikian pula dengan KAPET Manado-Bitung, yang pada saat ini
telah mengadakan kerja sama pengangkutan barang (kontainer) dengan Singapura,
tidak dapat berjalan dengan baik, bahkan pada akhirnya terhenti setelah
berjalan tiga kali pengangkutan, karena Perusahaan Jakarta Loyd (BUMN)
menyatakan tidak bersedia lagi untuk menyediakan kapal pengangkut, dengan
alasan mengalami kerugian, mengingat jumlah kontainer yang diangkut tidak
memenuhi requirement seperti yang telah dijanjikan.
3)
Serupa dengan kasus di
atas, KAPET Pare-Pare yang saat ini sudah mengadakan perjanjian kerja sama
dengan TAWAO (Sabah, Malaysia) untuk pembelian beras sebanyak 600.000
Ton/bulan, Jagung sebanyak 300.000 Ton/bulan, Bawang Merah sebanyak 5.000
Ton/minggu, dan lain-lain, tidak mendapat ‘dukungan sarana kapal pengangkut’
sekalipun telah meminta dukungan Departemen Perhubungan untuk dapat
mengusahakan kapal-kapal pengangkutan dari perusahaan-perusahaan pelayaran di
bawah koordinasinya. Keadaan KAPET Pare-Pare di atas, diperburuk lagi dengan
tidak adanya dukungan dari Departemen Pertanian, khususnya berkenaan dengan
‘bangunan gedung Karantina Hewan’ yang terletak di dalam lokasi pelabuhan yang
mengganggu jalan masuk dan keluar Pelabuhan Pare-Pare. Kantor Karantina Hewan
di Pare-Pare hanya memberi ijin penggunaan sebagian lahan kepada Pelabuhan
Pare-Pare dalam waktu 5 (lima) tahun, sedangkan dari Depertemen Pertanian Pusat
hanya memberi ijin selama 2 (dua) tahun. Padahal pihak Pemerintah Kotamadya
(Walikota) bersedia untuk mengadakan ruislaag (tukar guling) bangunan tersebut
dengan tanah Pemerintah Kotamadya sekaligus pembangunannya dengan biaya
Pemerintah Kotamadya.
4)
Demikian pula halnya
dengan Pertamina, khususnya mengenai ‘harga’ untuk bahan bakar bagi kapal yang
akan berlayar lintas batas. Pertamina tetap mengenakan ‘tarif internasional’
bagi kapal-kapal berbendera Indonesia yang akan berlayar melintasi batas
wilayah dan tidak bersedia memberikan harga yang sama dengan harga bagi
keperluan pelayaran lokal.
Dari gambaran singkat
di atas, dapat dilihat bahwa selain tidak adanya ‘keberpihakan’ dari pemerintah
pusat, di samping tidak konsistennya kebijakan mengenai pengembangan KAPET.
Kondisi tersebut, masih ditambah lagi, dengan tidak adanya koordinasi maupun
dukungan dari Departemen/instansi terkait.
Barangkali, hal ini
dapat dimengerti, apabila melihat kondisi keuangan Pemerintah Pusat semenjak
terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan. Seperti diketahui bahwa kondisi
keuangan Pemerintah Pusat sebagaimana yang telah diajukan dan disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pemerintah Pusat akan mengalami defisit kurang
lebih sebesar Rp. 43 Triliun atau 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara itu,
perkiraan penerimaan negara sebesar Rp. 291,4 Triliun, sedangkan pengeluaran
sebesar Rp. 334,4 Triliun.[25] Defisit
sebagai di atas, akan ditutup dari pembiayaan dalam dan luar negeri. Dari dalam
negeri, akan diusahakan dari hasil privatisasi Badan Usaha Milik Negara dan
penjualan aset-aset di bawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Sedangkan
dari luar negeri, dana diharapkan akan didapat dari pinjaman baru CGI sekitar
Rp. 34,7 Triliun atau di dapat dari fasilitas penundaan pembayaran hutang luar
negeri Indonesia melalui Paris Club III, yang jumlahnya diperkirakan akan
mencapai sebesar Rp. 17, 6 Triliun.
Sementara itu, total
kewajiban hutang yang harus dibayar oleh Pemerintah Indonesia pada tahun
anggaran 2002 diperkirakan akan mencapai sebesar Rp. 120 Triliun atau meningkat
dibandingkan tahun anggaran 2000 sebesar Rp. 109 Triliun, yang terdiri dari
kewajiban hutang luar negeri sebesar Rp. 60 Triliun dan hutang dalam negeri
sebesar Rp. 60 Triliun. Kewajiban hutang luar negeri tersebut terdiri dari
cicilan pokok sebesar Rp. 40 Triliun dan bunga sebesar Rp. 20 Triliun.
Sedangkan kewajiban hutang dalam negeri merupakan kewajiban pembayaran bunga
obligasi sebagai akibat penerbitan surat hutang dalam restrukturisasi perbankan
oleh pemerintah sebesar Rp. 630 Triliun pada tahun 1999 dan 2000. Persoalan ini
tidak akan dibahas lebih lanjut dalam paper ini. Hal ini, semata-mata hanya
dimaksudkan untuk menunjukan betapa berat kondisi keuangan dan beban yang harus
ditanggung oleh Pemerintah, yang pada gilirannya akan sangat berpengaruh bagi
kelanjutan pembangunan nasional terutama pembangunan KTI.
b. Langkah-langkah Yang Diperlukan.
Dengan situasi
keuangan Pemerintah Pusat seperti di atas, pada dasarnya menuntut semua pihak
baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Swasta dan masyarakat untuk
mengupayakan sumber pembiayaan pembangunan KTI yang berkesinambung. Dengan
potensi sumberdaya alam KTI yang begitu besar, sebenarnya memberikan peluang
yang besar bagi KTI untuk membiayai pembangunannya sendiri. Peluang tersebut
semakin besar dalam era otonomi daerah dewasa ini. Pemberian wewenang otonomi
daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab yang diikuti dengan sistem
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, pada dasarnya kebutuhan
pembangunan daerah di KTI dapat dioptimalkan untuk penyediaan pelayanan publik
sesuai dengan kebutuhan.
1.
Untuk mengoptimalkan
potensi sumberdaya yang besar tersebut sehingga mampu berperan dalam
pengembangan perekonomian di KTI dan sekaligus untuk mengurangi ketimpangan
pembangunan, diperlukan langkah-langkah kebijakan yang mampu mengakumulasi dan
mengerahkan dana dari semua sumber untuk membiayai kebutuhan pembangunan di
kawasan tersebut.
2.
Dengan melihat kondisi
yang ada di KTI, maka langkah pokok yang perlu dilakukan adalah:
·
upaya yang dapat
mengerahkan dan mengalokasikan dana pembangunan bagi penyediaan infrastruktur
kebutuhan dasar masyarakat yang sekaligus dapat memperluas kesempatan kerja.
·
perlu dikembangkan dan
ditingkatkan peranan lembaga perbankan daerah, dalam hal ini Bank Pembangunan
Daerah (BPD), secara proaktif difungsikan sebagai lembaga guarantor untuk
pemberian kredit sehingga disparitas hubungan antara tabungan masyarakat dengan
kredit yang disalurkan kepada masyarakat tidak terjadi di masa yang akan
datang, dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip prudential banking. Akan
tetapi yang jelas, upaya-upaya mempermudah akses antara dunia usaha dan
perbankan mutlak harus dilakukan.
·
dalam kaitannya dengan
keterbatasan modal yang dimiliki oleh BPD, pada dasarnya dapat diatasi dengan
memberikan tambahan atau suntikan modal baik dari penyertaan modal perbankan
swasta nasional atau dari kredit komersial luar negeri yang diusahakan oleh
pemerintah daerah.
·
tidak kurang
pentingnya dalam hal ini adalah peningkatan profesionalisme BPD dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang memerlukan, dalam arti BPD harus
mampu mengembangkan pelayanannya hingga ke tingkat desa.
3.
Di samping itu,
penyediaan sarana dan prasarana, baik untuk kebutuhan dasar masyarakat maupun
peningkatan aktivitas produksi serta pemasaran memerlukan keterlibatan semua
komponen, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta maupun masyarakat,
sesuai dengan peran dan tanggung jawab masing-masing.
·
Pemerintah Daerah,
-
Sebagai pihak yang lebih memahami dan mengetahui
kebutuhan pelayanan masyarakat di daerahnya, diharapkan mampu memberdayakan
sumber-sumber pembiayaan pembangunan yang dapat memberikan pelayanan publik
secara optimal, di samping harus mampu pula dalam meningkatkan nilai tambah
kekayaan sumber daya daerah secara berkesinambungan.
-
Ini mengandung arti
bahwa dana pembangunan daerah (APBD) tidak hanya diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan pelayanan bagi penduduk yang ada saat ini, tetapi juga harus
dialokasikan guna memperbesar kekayaan daerah yang dibutuhkan oleh generasi
pada masa yang akan datang.
-
Untuk tercapainya tujuan
tersebut, keuangan daerah harus mampu berfungsi sebagai instrumen kebijakan dan
instrumen manajemen pembangunan daerah. Melalui kedua fungsi tersebut
diharapkan bahwa dana pembangunan daerah mampu meningkatkan pembangunan
daerahnya sendiri dengan memberdayakan secara maksimal peran serta swasta dan
masyarakat dalam pembangunan serta memadukan pembangunan daerahnya dengan
percepatan pembangunan KTI.
·
Pemerintah Pusat,
-
sebagai wujud “keberpihakan
(affirmative actions)” dan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, harus
mampu mengalokasikan dana secara tepat sasaran dalam mendorong pembangunan di
setiap daerah, dan sekaligus untuk merekat pembangunan antar daerah tersebut
menjadi suatu kawasan yang terintegrasi.
-
Efisiensi dan efektivitas
pemanfaatan dana yang bersumber dari pemerintah pusat tersebut, selain membutuhkan
kerangka kebijakan percepatan pembangunan KTI yang tepat, juga memerlukan
adanya koordinasi dan komitmen bersama dari semua jajaran pemerintahan di pusat
untuk berupaya mensukseskan tujuan pembangunan tersebut. Oleh sebab itu, adanya
keberpihakan dari setiap jajaran pemerintahan pusat untuk mengimplementasikan
kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempercepat
pembangunan KTI, sangatlah penting artinya.
-
Selain itu, peranan penting
dari alokasi dana pembangunan pemerintah tersebut juga harus mampu menjadi daya
tarik bagi swasta dan masyarakat untuk berperan dalam membiayai percepatan
pembangunan KTI. Partisipasi swasta dan masyarakat tersebut dibutuhkan dalam
berbagai bentuk yang saling menguntungkan. Dalam hal ini, dana tersebut
dikerahkan dan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan sumber modal usaha bagi
masyarakat atau pihak-pihak yang memerlukan, dan juga untuk membiayai investasi
kegiatan produksi serta penyediaan infrastruktur.
-
Tidak kalah penting artinya
dalam hal ini adalah bahwa dalam merealisasikan dan meningkatkan peran serta
swasta dan masyarakat dalam percepatan pembangunan KTI, yaitu selain perlunya
implementasi kebijakan yang tepat (eksternalitas investasi bagi swasta dan
masyarakat), juga harus didukung oleh pelayanan jasa perbankan yang kondusif.
Untuk itu, perlu dilakukan kebijakan yang dapat menjadikan perbankan (terutama
yang beroperasi di KTI) mampu menjadi “agent” pembangunan dalam
percepatan pembangunan KTI. Sesuai dengan semangat otonomi daerah saat ini, pemberdayaan
‘lembaga perbankan daerah’ sebagai agent pembangunan daerah harus ditingkatkan.
Sehingga, keberpihakan pemerintah untuk memberdayakan perbankan daerah di KTI
merupakan salah satu langkah yang harus dilakukan dalam percepatan pembangunan
kawasan tersebut. Bahkan, bilamana mungkin, dana simpanan masyarakat yang
tersimpan pada Bank-bank di KTI dapat dialokasikan kembali seluruhnya untuk
kepentingan pembangunan KTI dan tidak ditarik ke Pusat.
4.
Dalam kaitannya dengan
pembangunan KAPET, barangkali benar apabila Pemerintah Pusat seharusnya
terlebih dahulu memberikan perhatian bagi pembangunan kawasan di sekitar KAPET.
Hal ini bukan berarti pembangunan KAPET harus ditinggalkan. Pembangunan KAPET
tetap berjalan sesuai dengan kemampuan keuangan yang dapat disediakan. Dasar
pemikirannya adalah, apabila kawasan pendukungnya tidak dibangun, maka
pembangunan KAPET akan sama saja tidak ada artinya. Oleh sebab itu, kebutuhan
untuk melaksanakan pembangunan atau memperkuat pertumbuhan kawasan di sekitar
KAPET, tampaknya mutlak perlu dilakukan, agar tidak mengalami kejadian
sebagaimana dialami oleh KAPET Manado-Bitung yang tidak mampu memenuhi
requirement produk yang akan dijual ke Singapura. Dengan perkataan lain
pembangunan KAPET harus seiring dengan pembangunan perdesaan di sekitar KAPET.
Selama ini, banyak anggapan bahwa desa
atau perdesaan adalah lambang kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan,
haruslah dihilangkan. Dengan melakukan pembangunan daerah perdesaan di wilayah
KAPET diharapkan selain akan dapat memberikan dukungan kepada KAPET juga akan
berdampak bagi kemajuan ekonomi masyarakat di daerah perdesaan tersebut.
Meskipun banyak pendapat negatif mengenai pembangunan desa, seperti yang
dikatakan oleh Richard Rodha bahwa pembangunan desa hanya akan membawa penderitaan
dan menambah kesengsaraan masyarakat desa.[26]
Pendapat seperti ini, jelas tidak dapat dibenarkan. Sri-Edi Swasono misalnya
mengatakan bahwa penderitaan dan kesengsaraan masyarakat desa pada dasarnya
terjadi karena pihak yang miskin atau lemah posisi ekonominya, tidak mampu
menahan nilai tambah atas produk primer yang dihasilkannya karena tersedot oleh
pihak lain yang kuat ekonominya.[27]
Di samping itu, keadaan tersebut juga dikarenakan adanya pemusatan dana-dana
dari daerah ke pusat dalam jumlah yang besar, sehingga mengurangi kemampuan
daerah untuk memupuk kekuatan ekonominya dalam menghadapi
penyempitan-penyempitan.[28]
Labih lanjut dikatakan oleh yang bersangkutan bahwa “…proses kemiskinan bukan
saja dapat terjadi dalam artian si miskin menjadi lebih miskin secara absolut,
tetapi juga dalam artian melebarnya kesenjangan dan ketidakadilan dalam
pembagian nilai tambah secara mencolok”.[29]
Dalam hubungan ini, tampaknya sangat
menarik untuk menggarisbawahi yang dikatakan oleh bekas Presiden Tanzania,
Julius Nyerere dalam World Conference On Agrarian Reform and Rural Development,
pada tahun 1979, bahwa “…an effective attack on world poverty can only be made
by going directly to the rural areas and dealing with the problems…A policy of
rural development is a policy of national development”.[30]
Pendapat ini senada dengan pendapat
Sumitro Maskun yang mengatakan bahwa pembangunan desa secara langsung akan
menyentuh kepentingan masyarakat desa yang paling dasar dan manfaatnya dapat
dirasakan oleh setiap anggota masyarakat.[31]
Namun demikian, untuk melaksanakan pembangunan perdesaan tersebut diperlukan
upaya-upaya antara lain: (1) adanya keinginan (political will) dari pemerintah
untuk melihat desa sebagai sasaran utama dan merupakan prioritas dalam
pembangunan nasional; (2) adanya perencanaan pembangunan yang mempunyai dampak
langsung terhadap pengurangan kemiskinan yang masih dialami oleh sebagian besar
masyarakat di perdesaan; (3) pengadaan sarana utilitas dan fasilitas social
ekonomi perdesaan seperti listrik, jalan dan lain-lain perlu ditingkatkan; (4)
perlu diberikan bantuan teknis bagi mekanisme kehidupan perdesaan, baik yang
berupa dana maupun bimbingan, penyuluhan serta pendidikan keterampilan; (5)
perlu diberikan perlindungan terhadap hasil-hasil pembangunan pertanian yang
telah ada di persedaan yang berupa perlindungan terhadap persaingan, pemasaran,
harga dan kualitas produksi, dan lain-lain.[32]
Dengan demikian,
apabila kondisi perdesaan (atau kota-kota kecil) di wilayah KAPET dapat
terbangun dengan baik maka dukungan terhadap KAPET akan sangat besar sekali.
Dengan perkataan lain pembangunan KAPET akan berhasil apabila pembangunannya
dilakukan secara serentak dengan pembangunan wilayah sekitarnya.
V. KESIMPULAN
DAN SARAN.
Percepatan pembangunan KTI merupakan kebijakan
pembangunan nasional yang mempunyai implikasi terhadap penciptaan fondasi
pembangunan secara kokoh bagi peningkatan kesejahteraan bangsa Indonesia secara
keseluruhan. Salah satu kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah Pusat untuk
mempercepat pembangunan KTI adalah dengan melaksanakan pembangunan ‘kawasan
andalan’ di setiap Propinsi atau yang dinamakan Kawasan Pengembangan Ekonomi
Terpadu (KAPET). Pembangunan KAPET tersebut diharapkan dapat menjadi ‘prime
mover’ bagi pembangunan KTI dan mampu memberikan rangsangan kepada wilayah
sekitarnya (hinterland) untuk tumbuh dan berkembang melalui apa yang dinamakan
‘trickle down effects’. Untuk mencapai misi pembangunan tersebut merupakan
pekerjaan yang besar dan membutuhkan dana yang ‘tidak sedikit’. Dalam kondisi
perekonomian Indonesia dewasa ini, maka beban yang harus ditanggung Pemerintah
Pusat tampaknya semakin berat. Sehingga, diperlukan pengerahan dan
pengalokasian dana dari semua sumber untuk percepatan pembangunan KTI secara
efisien dan efektif.
Dalam memdayagunakan dana dari setiap sumber pembiayaan
pembangunan, diperlukan langkah konkrit dari Pemerintah Pusat untuk
memfungsikan keuangan pemerintah tersebut sebagai instrumen kebijakan dan
instrumen manajemen pembangunan daerah yang terekat dalam pembangunan KTI serta
pembangunan nasional secara keseluruhan. Artinya, pembiayaan pembangunan yang
bersumber dari pemerintah tersebut harus mampu memberikan pelayanan masyarakat
secara maksimal yang mencakup penyediaan pelayanan kebutuhan dasar dan penciptaan
kondisi untuk mendorong peranserta swasta dan masyarakat dalam pembangunan.
Sesuai dengan semangat otonomi daerah, pembiayaan pembangunan
yang bersumber dari daerah diharapkan mampu menjadi motor penggerak utama bagi
percepatan pembangunan KTI. Pemerintah daerah harus mampu mengelola keuangan
daerah yang dapat memaksimalkan pembangunan di daerahnya serta sekaligus
mensinkronisasikan pembangunan tersebut untuk percepatan pembangunan KTI.
Oleh sebab itu, di dalam melaksanakan pembangunan KAPET sangat diperlukan
adanya koordinasi yang kuat antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
serta melibatkan peranan Swasta dan masyarakat. Satu hal yang perlu dicermati
oleh para pembuat kebijakan yaitu agar dalam membangun KAPET hendaknya
sekaligus pula dilakukan pembangunan kawasan di sekitar KAPET. Sebab, apabila
kawasan di sekitar KAPET tidak dibangun maka pembangunan KAPET tidak akan ada
artinya, karena KAPET akan terbangun tanpa dukungan kawasan di sekitarnya.
Dengan perkataan lain, agar supaya KAPET dapat tumbuh dan berkembang, perlu ada
‘linkages’ dengan kawasan di sekitarnya, sehingga tidak menjadikan KAPET
sebagai ‘economic enclave’ di daerahnya.
Di samping itu, untuk keberhasilan pembangunan KAPET diperlukan
adanya ‘keberpihakan (affirmative actions) Pemerintah Pusat’ melalui
lembaga-lembaga di bawahnya (Departemen/Instansi terkait). Tanpa adanya
keberpihakan, percepatan pembangunan KTI hanyalah angan-angan belaka.
[1]
BPS, 1999, Statistik
Indonesia 1999. Tabel 11.15, Hal. 567.
[2]
BPS, 1999, Ibid,
Tabel 9.2.20 dan Tabel 9.2.22. Hal. 466 dan 468.
[3]
Dikutip dari KADIN
Sulawesi Selatan, Pokok-pokok Pikiran Pengembangan Ekonomi Kawasan Timur
Indonesia, Manado, 01 September 2001, yang diajukan kepada Menko Bidang
Perekonomian, Halaman 1.
[4] Kadin Sulawesi Selatan, Ibid.
[5]
Lihat Sadono Sukirno,
1982, Beberapa Aspek Dalam Persoalan Pembangunan Daerah. Lembaga
Penerbit Fak. Ekonomi, Univ. Indonesia. Hal.16.
[6] Hingga saat ini pengertian
mengenai “pusat pertumbuhan (growth centre)” ini masih merupakan perdebatan di
antara para ahli.
Menurut Charles Gore, inti dari strategi ini
(growth centre) tidak lain adalah untuk mengusahakan pertumbuhan daerah
(regional) maupun daerah perdesaan (rural areas) dengan cara membangun dan
mempromosikan aktivitas industri di wilayah tersebut. Untuk jelasnya, lihat
Charles Gore, 1984, Region In Question: Space, Development Theory and
Regional Policy, Methuen, London.
[7]
Lihat Niles M. Hansen,
1972, “Criteria for a Growth Centre Policy” dalam Antoni Kuklinski (ed), Growth
Poles and Growth Centre in Regional Planning, Mouton, the Hague, Hal. 103.
[8]
Dikutip dari Charles
Gore, 1984, Op.cit, Hal. 93.
[9]
Lihat Niles Hansen,
1972, Op.cit.
[10]
Niles Hansen, 1972, Ibid.
[11]
Harry W. Richardson,
1978, ‘Growth Centres, Rural Development and National Urban Policy: A Defence’.
International Regional Science Review, Vol. 3, No. 2, Hal. 134. Lihat
juga dalam Harry W. Richardson and Margaret Richardson, 1975, ‘The Relevance of
Growth Centres Strategies to Latin America’. Economic Geography”, Vol.
51, Hal. 163-178.
[12]
Untuk mengetahui lebih
detail diskusi masalah pembangunan Lhok Seumawe ini, dapat dilihat dalam Budhy
Tjahjati S. Soegiyoko, 1982, ‘The Impact of Development of Large Scale
Industrial Projects. The Case of Lhok Seumawe Industrial Zone’. Prisma, No. 39, Hal. 61-75. Barangkali juga benar
apabila dikatakan bahwa JABOTABEK, GERBANGKERTOSUSILO, dan JABOPUNCUR sebagai
growth centre. Diskusi mengenai pro dan kontra terhadap masalah ini banyak
dijumpai dalam berbagai tulisan para ahli, terutama mengenai dampak yang
ditimbulkannya.
[13]
William G. Tyler,
dikutip dari Ed. B. Prantilla, 1981, ‘Regional Development Policy in the
Context of National Development’ dalam Ed. B. Prantilla (ed), National
Development and Regional Policy, Maruzen Asia, Hal. 7; Lihat juga dalam
Charles Gore, 1984, Op.cit; John Friedman, 1966, Regional Development
Policy. MIT Press, Cambridge Mass, Ch. 1 & 2, Hal. 5-38.
[14]
D.K. Forbes, 1984, The
Geography of Underdevelopment. Crom Helm. Hal. 116.
[15]
Dennis A. Rondinelli,
1980, ‘Balance Urbanization, Regional Integration and Development Planning in
Asia’. Ekistics No. 284, Hal. 331-345; Lihat juga dalam Dennis A.
Rondinelli, 1983, Secondary Cities in Developing Countries: Policies for
Diffusing Urbanization. Sage Publication, Beverly Hills/London/New Delhi.
[16]
Harry W. Richardson,
1981, ‘National Urban Development Strategies in Developing Countries’. Urban
Studies 18. Hal. 274.
[17]
Sumitro Maskun, 1993, Pembangunan
Masyarakat Desa. Azas, Kebijaksanaan dan Manajemen. M.W Mandala Yogyakarta. Hal. v-xxiii. Menurut Sumitro Maskun, yang
dimaksud dengan Rural Centre Planning dapat berupa kota-kota kecil, kota
kecamatan ataupun desa-desa yang memiliki tipe-tipe pelayanan tertentu. Untuk
lebih jelasnya, lihat buku yang bersangkutan dengan judul sebagai di atas.
[18]
Lihat Harry W.
Richardson, 1987, ‘Goals of National Urban Policy: The Case of Indonesia’ dalam
Fuchs et.al (ed), Urbanization and Urban Policies in Pasific Asia,
Westview Press, Boulder and London. Hal. 283.
[19]
Sumitro Maskun, 1993, Op.cit.
Hal. 93-96.
[20]
Sumitro Maskun, 1993, Ibid.
Hal. 103.
[21]
Dennis A. Rondinelli,
1983, Op.cit. Hal. 206.
[22]
Lihat Hermawan
Prasetya dan Djarwadi, 2000, ‘Kebijakan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia’
dalam Djarwadi, Hermawan Prasetya, dan Sugeng Triutomo, Menoleh Ke Timur:
Pemikiran Kebijakan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia. Sekretariat Dewan Pengembangan Kawasan
Timur Indonesia.
[23]
Berdasarkan Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) di seluruh Indonesia terdapat 111 kawasan andalan
yang diharapkan dapat berperan sebagai growth centre, dan 56 diantaranya
terdapat di KTI. Dari 56 kawasan andalan tersebut, selanjutnya di seleksi
sehingga menjadi 13 kawasan andalan (prioritas), dimana pada setiap propinsi
memiliki satu kawasan andalan. Dewasa ini KAPET yang ada di KTI tinggal 12
KAPET, karena satu Kapet diantaranya yaitu Betano-Natabora-Viqueque, yang
berada di Timor Timur, yang saat ini bukan merupakan bagian wilayah Republik
Indonesia.
[24] Lihat Hermawan Prasetya dan
Djarwadi, 2000, Ibid. Hal. 59.
[25] Dikutip dari Bahan RAKOR Bidang Perekonomian (Unpublished Data), tanggal 24 Oktober 2001.
[26]
Richard Rhoda, 1983,
‘Rural Development and Urban Migration: Can We Keep Them On The Farm? International
Migration Review, Vol. 17. Hal. 34-64.
[27] Sri-Edi Swasono, 1993,
‘Beberapa Strategi Ganda: Penanggulangan Kemiskinan dan Kesenjangan’. Harian Pelita, 24 September 1993. Hal. 4 dan 9.
[28] Sri-Edi Swasono, 1993, Ibid.
[29] Sri-Edi Swasono, 1993,Ibid.
[30]
Dikutip dalam Michael
P. Todaro and Jerry Stilkind, 1981, City Bias and Rural Neglect: The Dilemma
of Urban Development. The Population Counsil Inc. Hal. 33.
[31]
Sumitra Maskun, 1993, Op.cit.
Hal. 25.
[32]
Sumitro Maskun, 1993, Ibid.
Hal.