© 2001
Diniah Posted
28 Desember 2001
Makalah Falsafah Sains (PPs
702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Desember 2001
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung
Jawab)
TRAWL :
Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan sumberdaya perikanannya
yang potensial dikembangkan. Satu komoditi perikanan yang penting adalah udang.
Udang bernilai niaga tinggi, telah banyak menyumbang devisa bagi negara,
dan sebagian besar masa hidupnya berada di dasar perairan. Di perairan
Indonesia lebih banyak dijumpai jenis-jenis udang dari famili Penaeidae, terutama
genus Penaeus, diantaranya adalah Penaeus merguiensis.
Penyebaran
udang di Indonesia hampir meliputi seluruh perairan Indonesia, mulai dari
perairan barat Indonesia hingga ke perairan di sebelah timur. Hal ini ditunjukkan dengan luasnya
penyebaran alat penangkap udang yang sering digunakan oleh nelayan Indonesia.
Alat penangkap udang di
Indonesia cukup beragam, mulai dari yang tradisional hingga yang modern,
diantaranya garuk udang, trammel net, dogol, jaring klitik, trawl atau
pukat harimau yang kini di Indonesia disebut sebagai pukat udang. Dari sekian
jenis alat penangkap udang, yang paling efektif digunakan hingga saat ini
adalah trawl. Namun peroperasian trawl di Indonesia telah dilarang.
Aziz (1996) menyatakan bahwa hampir di seluruh
perikanan udang di dunia menggunakan trawl sebagai alat penangkap udang yang
efisien. Sejak tahun 1969, trawl telah banyak digunakan untuk menangkap udang
di Indonesia secara komersial. Usaha penangkap udang menggunakan trawl di
Indonesia telah berkembang pesat sejak tahun 1970-an. Hal ini menimbulkan
dampak yang negatif bagi dunia perikanan Indonesia, diantaranya terjadi
benturan-benturan dengan nelayan tradisional yang tidak mampu memiliki trawl.
Akhirnya pada tahun 1980, untuk menghilangkan keresahan sosial akibat
beroperasinya trawl dikeluarkanlah Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia
(Keppres) Nomor 39 Tahun 1980 tentang penghapusan jaring trawl (Lampiran 1).
Hal-hal yang menjadi bahan
pertimbangan hingga Keppres tersebut keluar adalah dalam rangka :
(1)
pelaksanaan pembinaan kelestarian
sumberdaya ikan dasar ;
(2)
mendorong peningkatan produksi yang
dihasilkan oleh para nelayan tradisional ;
(3)
menghindarkan terjadinya
ketegangan-ketegangan sosial.
Namun
hingga akhir tahun 2001 ini keresahan di kalangan nelayan kecil tetap saja
terjadi. Apakah
hal ini juga sebagai akibat dari beroperasinya trawl di perairan Indonesia.
Beberapa tahun terakhir ini Indonesia
telah mengalami krisis multi dimensional. Dahuri (2001) mengemukakan bahwa
khusus mengatasi krisis perekonomian, perlu revitalisasi dan penciptaan
sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru. Indonesia memiliki potensi sumberdaya
kelautan dan perikanan yang besar sebagai sumber pertumbuhan ekonomi yang
diharapkan dapat membantu perekonomian keluar dari krisis.
Program
pemerintah dalam sub sektor perikanan diantaranya berusaha mengentaskan
kemiskinan masyarakat pantai dan meningkatkan devisa negara non migas. Udang merupakan salah satu komoditi perikanan yang berpotensi untuk mensukseskan program
tersebut. Peningkatan produksi udang diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan nelayan dan devisa negara. Peningkatan produksi perlu diupayakan
dengan mengaktifkan penangkapan udang menggunakan alat penangkap udang yang
lebih produktif dan lebih efisien.
Peningkatan produksi udang belum dapat menjamin udang Indonesia
masuk ke dalam pasar dunia. Keberlanjutan volume dan biaya produksi yang rendah
dapat membantu untuk bisa bersaing di pasaran dunia. Selain itu, harus dapat
menentukan jenis alat penangkap udang yang efisien. Masalahnya Keppres No. 39
tahun 1980 masih berlaku saat ini, berarti penggunaan trawl tetap terlarang di
Indonesia.
Selain dugaan merusak habitat dan daerah penangkapan ikan,
permasalahan lain akibat dari trawl adalah timbulnya ketegangan sosial antara
nelayan trawl dan nelayan non-trawl. Hasil tangkapan sampingan yang tinggi juga
merupakan masalah tersendiri dalam perikanan trawl. Hal-hal tersebut tentunya
perlu dicarikan penyelesaiannya.
Die et al. vide
Aziz (1996) menyatakan bahwa ditemukan 81 jenis udang Penaeid di seluruh
perairan Indonesia, 46 jenis diantaranya sering tertangkap oleh nelayan
Indonesia. Naamin (1984) menyatakan bahwa ada sembilan jenis udang yang
bernilai niaga tinggi, yaitu Penaeus merguiensis. P. indicus, P.
chinensis, P. monodon, P. semisulcatus, P. latisulcatus,
Metapenaeus monoceros, M. ensis dan M. elegans. Udang
bersifat bentik, hidup di permukaan dasar laut. Famili Penaeidae menyukai
daerah terjadinya percampuran antara air sungai dan air laut, dengan dasar
berlumpur atau dasar perairan yang agak keras berupa lumpur berpasir (Naamin,
1984).
Udang jerbung (Penaeus sp.)
di perairan selatan Jawa memijah sepanjang tahun dengan puncak pemijahan pada
bulan November-Februari dan April-Mei (van Zalinge dan Naamin vide Suman,
1999). Puncak musim pemijahan di perairan Tanjung Karawang terjadi pada
bulan Maret dan Desember (Martosubroto vide Suman, 1999).
Menurut Dall et al. vide Suman (1999), pemijahan
udang jerbung biasanya terjadi pada malam hari. Juvenil yang hidup di daerah
estuaria menguburkan diri selama siang hari di dasar perairan yang lunak untuk
menghindari gangguan predator sampai tumbuh menjadi udang muda. Udang muda akan
mencapai kematangannya di laut yang lebih dalam di perairan pantai, selanjut akan
bertelur. Naamin vide Adnyana (1992) mengemukakan bahwa udang Penaeid
hidup normal selama 12 bulan, namun kadang-kadang mencapai dua tahun.
Daerah penyebaran udang penaeid hampir terdapat di sepanjang
pantai di perairan Indonesia, terutama di daerah yang masih dipengaruhi oleh
muara sungai sampai kedalaman 30-40 meter dengan dasar perairan berlumpur dan
berpasir (Naamin vide Adnyana, 1992). Penyebaran udang meliputi seluruh
wilayah perairan, dari pantai barat Sumatera sampai Pulau Aru, perairan Arafura
dan pantai barat Irian Jaya. Perairan Arafura memiliki
potensi yang lebih baik dibandingkan perairan lainnya.
Ada beberapa produk hukum yang berkaitan dengan
perikanan trawl, diantaranya adalah Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia
No. 39 tahun 1980 dan No. 85 tahun 1982, Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
503/Kpts/Um/7/1980 dan No. 607/Kpts/Um/9/76. Kesemuanya belum dapat meredam
keresahan nelayan kecil maupun konflik yang terjadi diantara nelayan.
Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres)
No. 39 tahun 1980 tentang penghapusan jaring trawl. Pasal 1 ayat 1 berisi
tentang “menghapuskan kegiatan penangkapan ikan menggunakan jaring trawl secara
bertahap”. Pasal 2 mengemukakan bahwa terhitung mulai tanggal 1 Juli 1980
sampai tanggal 1 Juli 1981 kapal perikanan yang mempergunakan jaring trawl
dikurangi jumlahnya, sehingga seluruhnya tinggal menjadi 1000 buah. Sejak trawl
dihapus, keluarlah Surat Keputusan Presiden No. 85 tahun 1982 yang membolehkan
pukat udang beroperasi di perairan Indonesia, namun terbatas di wilayah timur
Indonesia.
“Surat Keputusan Menteri Pertanian (SK Mentan) No.
503/Kpts/Um/7/1980 tentang langkah-langkah pelaksanaan penghapusan jaring trawl
tahap pertama” melengkapi Keppres No. 39/1980 di atas. Di dalam SK Mentan ini
telah ditetapkan perincian mengenai jaring trawl. Menurut SK Mentan, jaring trawl adalah jenis-jenis
jaring berbentuk kantong yang ditarik oleh sebuah kapal bermotor dan
menggunakan alat pembuka mulut jaring yang disebut gawang (beam) atau
sepasang alat pembuka (otter board) dan jaring yang ditarik oleh dua
buah kapal bermotor. Dijelaskan lebih lanjut jenis-jenis jaring trawl dikenal
dengan nama-nama pukat harimau, pukat tarik, tangkul tarik, jaring tarik,
jaring trawl ikan, pukat Apollo, pukat langgai, dan sebagainya.
Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 607/Kpts/Um/9/76 tentang
Jalur-jalur penangkapan ikan. Ada empat jalur penangkapan ikan yang telah
ditetapkan dalam SK Mentan ini, yaitu :
(1)
Jalur penangkapan I, adalah perairan
pantai selebar tiga mil laut yang diukur dari garis titik terendah pada waktu
air surut ;
(2)
Jalur penangkapan II, adalah perairan
selebar empat mil laut yang diukur dari garis luar jalur penangkapan I ;
(3)
Jalur penangkapan III, adalah
perairan selebar lima mil laut yang diukur dari garis luar jalur penangkapan
II;
(4)
Jalur penangkapan IV, adalah perairan
di luar jalur penangkapan III.
Selanjutnya,
kaitan antara ketetapan jalur penangkapan tersebut dengan unit penangkapan
trawl adalah
(1)
Jalur penangkapan I tertutup bagi
semua jenis jaring trawl ;
(2)
Jalur penangkapan II terbuka untuk
jaring trawl dasar berpanel (otter board) dengan panjang tali ris
atas/bawah-nya kurang dari 12 meter ;
(3)
Jalur penangkapan III terbuka
untuk jaring trawl dasar dan melayang berpanel (otter board) dengan panjang
tali ris atas/bawah-nya kurang dari 20 meter ;
(4)
Jalur penangkapan IV terbuka bagi
semua jenis kapal dan alat penangkapan yang sah, terkecuali pair (bull)
trawl hanya boleh beroperasi di perairan Samudera Indonesia.
Alat penangkap udang yang paling efektif saat ini masih diakui
adalah trawl. Pengganti trawl di Indonesia adalah alat tangkap pukat udang.
Pukat udang (Gambar 1) adalah sejenis trawl yang dilengkapi dengan alat
penyaring atau filter untuk meloloskan tangkapan yang tidak dikehendaki.
Namun penambahan filter ini juga menambah beban bagi nelayan yang
mengoperasikan pukat udang. Sementara di bagian barat Indonesia digunakan trammel
net untuk menangkap udang. Die et al. vide Aziz (1996)
menyatakan bahwa daya tangkap rata-rata trammel net hanya sekitar satu
per empat puluh dari daya tangkap rata-rata trawl. Kedua jenis alat penangkap
udang tersebut juga mempunyai kelemahan selain keunggulannya.
Gambar 1. Konstruksi Pukat Udang
Merujuk pengertian trawl dalam SK Mentan No. 503/Kpts/Um/7/1980,
konstruksi pukat udang adalah sama dengan trawl, bentuk kantong juga cara
pengoperasiannya, hanya pada pukat udang terdapat alat penyaring yang disebut By-catch
Excluder Deviced (BED). Dengan metode pengoperasian yang sama, tentunya
dampak yang ditimbulkan terhadap habitat dan daerah penangkapan juga relatif
sama.
Jumlah unit penangkapan trawl atau pukat udang berfluktuasi
selama periode 1975-1999 (Gambar 2) dengan kecenderungan trawl menurun tajam
dan kecenderngan pukat udang yang menaik. Pukat udang mulai tercatat dalam
statistik perikanan Indonesia sejak tahun 1983. Produksi udang pun berfluktuasi
seiring dengan fluktuasi unit penangkapan udang, produksi udang dari trawl
cenderung menurun dan produksi pukat udang cenderung menaik (Gambar 3). Jumlah
trawl tertinggi terjadi pada tahun 1980 dan menghasilkan tangkapan udang
tertinggi pula, namun terjadi penurunan dalam rasio Catch Per Unit Effort (CPUE).
Hasil tangkapan utama trawl atau pukat udang adalah jenis Penaeus
merguiensis dan Penaeus monodon. Masalah yang ditimbulkan akibat
pengoperasian trawl diantaranya adalah kerusakan habitat dan daerah pemijahan
udang. Andai kata hal ini terjadi, tentu produksi udang Indonesia akan terus
menurun dari tahun ke tahun. Walau jumlah unit penangkapan trawl atau pukat
udang berfluktuasi, produksi kedua jenis udang tersebut tetap meningkat dengan
koefisien determinasi relatif tinggi (Gambar 4). Hal ini dapatlah ditentukan
sebagai salah satu bukti bahwa pengoperasian trawl atau pukat udang tidak
merusak habitat dan daerah pemijahan udang.
Perkembangan
trawl 1975-1982 Perkembangan
pukat udang 1983-1999
Gambar 2. Jumlah Unit Penangkapan Udang di Indonesia Tahun
1975-1999
Produksi udang 1975-1982 Produksi udang 1983-1999
Gambar 3. Produksi Udang Indonesia
Tahun 1975-1999
Gambar 5 menunjukkan bahwa selama periode 1975-1999 CPUE dari Penaeus
merguiensis, Penaeus monodon juga udang keseluruhan cenderung
meningkat, walaupun dengan koefisien determinasi yang relatif kecil. Hal ini
menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya udang dalam periode 1975-1999 tidak
mengganggu pemulihan stok udang di perairan Indonesia, khususnya menyangkut
penggunaan trawl selama periode 1975-1982. Agak berbeda dengan jenis udang yang
lain, jika dilihat kecenderungan CPUE Penaeus merguiensis secara
terpisah untuk trawl dan pukat udang, maka CPUE untuk trawl cenderung meningkat
dan menurun untuk pukat udang, walaupun dengan kemiringan yang tidak tajam.
Satu lagi bukti bahwa dengan trawl tidak mengganggu proses pemulihan stok Penaeus
merguiensis.
Produksi Penaeus merguiensis
1975-1999 Produksi Penaeus monodon
1975-1999
Gambar 4. Produksi Penaeus
merguiensis dan Penaeus monodon tahun 1975-1999
CPUE Penaeus merguiensis
1975-1999 CPUE Penaeus monodon
1975-1999 CPUE Penangkapan Udang di Indonesia
1975-1999
Gambar 5. CPUE Penangkapan Penaeus
merguiensis, Penaeus monodon
dan Udang di Indonesia Tahun
1975-1999
Aziz (1996) mengemukakan bahwa pada umur enam bulan umumnya
udang penaeid sudah dewasa dan siap memijah, serta mempunyai fekunditas yang
tinggi. Satu ekor udang dewasa bisa menghasilkan ratusan ribu telur. Pemulihan
stok udang yang cepat dimungkinkan, karena udang berumur pendek dan cepat
dewasa. Masa hidup udang yang berkisar 1-2 tahun, jika udang tidak tertangkap,
maka setelah umur 2 tahun udang akan mati sia-sia.
Perikanan udang
terkenal di Amerika, seperti Teluk Meksiko, telah menggunakan trawl sebagai
alat penangkap udang sejak awal tahun 1990-an. Perikanan udang di Australia
dimulai pada tahun 1980-an, dilakukan di sepanjang pantai timur dan barat serta
Teluk Carpentaria, telah menggunakan trawl. Trawl di Malaysia disebut sebagai
pukat tunda, telah digunakan sebagai alat penangkap udang sejak tahun 1960-an.
Amerika dan Australia merupakan dua negara yang sangat memperhatikan
lingkungan. Andaikata pengoperasian trawl merusak sumberdaya dan lingkungan,
maka di kedua negara tersebut tentu trawl telah dilarang beroperasi. Hingga
saat ini, di Amerika, Australia dan Malaysia, trawl tetap boleh dioperasikan
untuk menangkap udang. Tampaknya alat ini memang merupakan alat penangkap udang
komersial yang paling efektif (Aziz, 1996).
Pemerintah telah
menentukan jalur penangkapan dan penutupan beberapa daerah penangkapan bagi
unit penangkapan ikan tertentu melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
607/Kpts/Um/9/76. Pengaturan jalur penangkapan tersebut cukup jelas, semua
jenis trawl terlarang di jalur penangkapan I, sementara di jalur penangkapan II
hanya trawl kecil yang diperbolehkan beroperasi. Keresahan yang terjadi,
diantaranya akibat terjadi pelanggaran jalur penangkapan, sehingga merugikan
nelayan-nelayan pengguna jenis alat
tangkap lain yang beroperasi di jalurnya, terutama nelayan kecil yang
tingkat kemampuan operasional unit penangkapannya masih terbatas. Andai
pengoperasian trawl tetap berlangsung di jalur penangkapan yang seharusnya,
rasanya keresahan ini dapat diminimumkan. Demikian pula penerapan
perairan-perairan yang tertutup bagi trawl. Oleh karena itu, salah satu cara
mengurangi keresahan tersebut adalah melakukan pengawasan yang lebih ketat dan
memberikan sanksi bagi pelanggar aturan yang berlaku.
Dengan
telah jelasnya daerah pemijahan dan pembesaran udang secara alami, maka
penutupan daerah penangkapan udang untuk saat tertentu dapat dilakukan, atau
dengan membatasi musim penangkapan udang. Aziz (1996) mengemukakan bahwa di
beberapa negara bagian Australia telah dilakukan penutupan daerah penangkapan
udang, dengan maksud untuk memberi kesempatan agar udang muda dapat tumbuh dan
berkembang hingga ukuran yang layak tangkap dan atau hingga ukuran pasar. Hal ini tentunya dapat
juga diterapkan di Indonesia. Beberapa pakar telah menyatakan bulan-bulan
berlangsungnya musim pemijahan udang. Saat musim pemijahan udang berlangsung,
perairan tersebut tertutup sementara untuk kegiatan penangkapan udang. Setelah
musim pemijahan berlalu, dapat dinyatakan perairan tersebut terbuka kembali.
Jika dikaitkan dengan
ketentuan jalur penangkapan yang telah ada, maka penutupandaerah penagkapan
udang tidak perlu terjadi. Karena secara umum daerah pemijahan udang berada di
jalur penangkapan I, dengan sendirinya di wilayah trawl dilarang telah terbatas
usaha penangkapan udangnya. Lagi-lagi
yang penting adalah pengawasan yang lebih ketat, sumberdaya manusia yang lebih
berperan dalam hal ini.
Pembatasan jumlah unit penangkapan udang di suatu perairan dapat
pula dilakukan untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan. Berkaitan dengan hal
ini, maka pertama yang perlu diketahui adalah daya dukung dari setiap wilayah
perairan. Angka potensi dan total tangkapan udang yang diperbolehkan (total
allowable catch) perlu diinformasi dengan jelas, setelah itu baru
menentukan jumlah unit penangkapan udang yang dapat beroperasi. Data akurat dan
informasi yang jelas sangat menentukan untuk menunjang program ini. Jika
melihat Gambar 3-5 bahwa produksi udang terus meningkat dan CPUE juga cenderung
meningkat, tampaknya peluang kegiatan penangkapan udang masih tetap terbuka
luas.
Jumlah unit penangkap udang yang diperbolehkan di suatu perairan
dapat berbeda antara satu perairan dengan perairan lainnya. Hal ini tergantung
pada daya dukung masing-masing perairan. Bahkan untuk suatu perairan dengan
daya dukung tertentu dapat dilakukan pembatasan dimensi kapal yang
diperbolehkan beroperasi. Kembali lagi yang sangat diperlukan dalam hal ini
adalah data akurat dan informasi yang jelas.
Pemberdayaan nelayan
bermodal kecil dalam pengoperasian trawl juga merupakan satu pemikiran lain.
Kegiatan ini dapat dilakukan dengan cara memberi modal kepada nelayan kecil
atau perusahaan penangkapan udang dengan sistem inti-plasma. Namun demikian
perlu disertai dengan beberapa kegiatan yang menunjang keterampilan nelayan,
diantaranya pelatihan-pelatihan berorganisasi, cara pengelolaan keuangan, untuk
meningkatkan keterampilan dalam mengoperasikan alat penangkap udang dan alat
bantu penangkapannya agar lebih efisien dan efektif, menambah wawasan nelayan tentang
legalitas kegiatan perikanan, dan sebagainya. Pembentukan kelompok kecil atau
bahkan dapat dilakukan pembentukan kelompok nelayan dalam skala besar yang
pengorganisasiannya melibatkan pemerintah. Selain itu perlu juga dipersiapkan
perangkat hukum yang berwibawa agar pemanfaatan sumberdaya udang selalu
menguntungkan dan tetap menjamin kelestarian sumberdaya dan lingkungan.
Pemberdayaan nelayan
juga dapat dilakukan dalam rangka pengamanan wilayah perairan. Sejumlah nelayan
diberikan keterampilan khusus untuk diberdayakan dalam rangka membantu tugas
pengawasan di laut. Namun penyelesaian hukum tetap dilakukan oleh aparat yang
berwenang di darat.
Hasil tangkapan sampingan atau by-catch dari trawl atau
pukat udang telah menjadi masalah tersendiri dalam kegiatan perikanan ini.
Volume hasil tangkapan sampingan yang jauh lebih besar dari hasil tangkapan
utama umumnya tidak dapat tertampung lagi dalam armada penangkapan udang,
sehingga satu-satunya jalan adalah dengan membuangnya ke laut. Sumiono dan
Sadhotomo (1985) mengemukakan bahwa penggantian alat tangkap trawl oleh pukat
udang dapat menekan volume hasil tangkapan sampingan hingga 42,5 % dan ikan
hidangan berkurang 50 %, sedangkan persentase hasil tangkapan utama (udang)
relatif sama.
Naamin (1984)
menyatakan bahwa hasil tangkapan sampingan terdiri lebih dari 60 jenis ikan,
namun sebagian besar adalah ikan yang berkualitas dan bernilai niaga rendah.
Biaya simpan atau biaya angkut ikan hasil tangkapan sampingan ke tempat
pendaratan ikan diduga akan lebih besar dari nilai ikan itu sendiri. Oleh
karena itu, tidak dapat disalahkan jika pilihan nelayan adalah membuang hasil
tangkapan sampingannya ke laut.
Pemikiran lain adalah memanfaatkan hasil tangkapan sampingan
sebagai bahan baku tepung ikan. Tepung ikan adalah salah satu sumber makanan
ternak yang berprotein tinggi, Indonesia masih mengimpor tepung ikan. Hal yang
perlu dipertimbangkan adalah cara pengalihan hasil tangkapan sampingan dari
armada trawl atau pukat udang ke pabrik tepung ikan. Oleh karena pabrik yang
memerlukan bahan baku, maka seyogyanya personal pabriklah yang mengambilnya ke
lokasi armada penangkapan udang sebelum hasil tangkapan sampingan tersebut
dibuang ke laut, sehingga biaya pun ditanggung oleh pabrik.
Menurut Aziz (1996),
matinya hasil tangkapan sampingan yang diperoleh merupakan langkah yang
bijaksana dalam pengosongan ruang ekosistem.
Ikan dan udang hidup bersama-sama dalam satu ruang ekosistem, sehingga
pengosongan ikan yang bernilai rendah dapat memberikan kesempatan yang lebih
besar bagi udang yang bernilai lebih tinggi untuk menempati ruangan yang lebih
luas dan untuk memperoleh makanan yang lebih banyak. Dengan kata lain,
pengurangan ikan bernilai rendah berarti mengurangi predator dan kompetitor
bagi udang yang hidup di ekosistem tersebut. Dengan berkembangnya udang lebih
banyak, maka nilai keseluruhan ekosistem tersebut juga akan meningkat.
Perikanan adalah suatu
kegiatan ekonomi. Nikijuluw (1996) mengemukakan bahwa masalah perikanan adalah masalah
manusia yang merupakan sentral kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, tujuan
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan harus didasarkan pada
memaksimumkan manfaat ekonomi dan sosial.
Pomeroy dan Williams vide Nikijuluw (1996) mengemukakan
bahwa dimana pun kegiatan perikanan dilaksanakan, paling tidak ada tiga
kriteria ekonomi yang harus digunakan sebagai dasar evaluasi keberhasilan
mekanisme atau strategi pengelolaan sumberdaya, yaitu :
(1)
produktivitas
dan efisiensi. Istilah efisiensi bukanlah hal baru, melainkan sudah merupakan
tujuan ;
(2)
keberlanjutan.
Istilah keberlanjutan telah banyak diketahui orang, upaya untuk melakukan
pembangunan berkelanjutan di Indonesia sudah merupakan suatu komitmen, baik
pihak pemerintah maupun swasta ;
(3)
pemerataan.
Hal ini masih merupakan hal baru, khususnya dalam konteks perikanan laut masih
sulit untuk direalisasikan.
Friksi antara nelayan trawl dan nelayan non-trawl tidak hanya
terjadi di Indonesia. Aziz (1996) mengemukakan bahwa hal ini juga terjadi di Australia. Namun
hal ini dapat diatasi dengan baik.
Keresahan yang terjadi diantara nelayan
trawl dan non-trawl diantaranya adalah akibat tidak dipatuhinya aturan yang
berlaku, sehingga nelayan non-trawl merasakan dirugikan. Konflik antar nelayan
terjadi di banyak pusat pendaratan ikan. Sarjono vide Nikijuluw (1996)
menyatakan bahwa keluarnya Keppres No. 39 tahun 1980 merupakan kulminasi dari
upaya-upaya pemerintah untuk meredam gejolak sosial yang timbul diantara
nelayan.
Setelah 21 tahun Surat Keputusan tersebut diberlakukan, ada lagi
masalah baru yang akibatnya sama yaitu keresahan nelayan kecil dan konflik
diantara nelayan. Di beberapa wilayah perairan Indonesia telah banyak
beroperasi alat-alat penangkap udang sejenis trawl tetapi dengan nama yang
berbeda. Konflik nelayan di Cilacap dengan membakar jaring arad misalnya,
berdasarkan metode pengoperasiannya jaring arad dapat dikategorikan sebagai
trawl. Demikian pula kasus lampara dasar di sebagian Sulawesi Selatan dan
perairan Indonesia lainnya. Kusumastanto (Nikijuluw, 1996) mengatakan bahwa
sumberdaya perikanan Indonesia bersifat akses terbuka, artinya siapa pun yang
berminat bisa memanfaatkan sumberdaya itu. Masalah trawl ini merupakan salah
satu konsekwensi dari perikanan laut Indonesia yang bersifat akses terbuka.
Kompetisi yang tinggi
diantara sesama nelayan bertujuan untuk menambah pemasukan bagi nelayan itu
sendiri. Nelayan menggunakan alat penangkap udang jenis lain yang dimodifikasi
agar lebih efektif, atau merupakan modifikasi dari alat penangkap udang yang telah
dilarang. Kegiatan tersebut menurut Nikijuluw (1996) merupakan suatu respon
untuk memperoleh tambahan hasil.
Ada beberapa halangan non-konvensional dalam pelaksanaan suatu
pengelolaan perikanan, yaitu geografi dan demografi, kelembagaan, internasional
dan budaya (Marr vide Nikijuluw, 1996). Nelayan kecil dengan pendidikan
yang rendah dapat merupakan kendala dalam pengelolaan perikanan.Begitu pula
dengan kelembagaan yang tidak jelas wewenang dan tanggungjawabnya, serta
ketiadaan koordinasi antar lembaga.
Trawl telah dilarang beroperasi di perairan Indonesia dengan
berbagai alasan, diantaranya :
(1)
merusakan habitat dan daerah
pemijahan udang ;
(2)
menghindarkan terjadinya
ketegangan-ketegangan social ;
(3)
Hasil tangkapan sampingan yang jauh
lebih banyak dari hasil tangkapan utama.
Berdasarkan data hasil tangkapan dan jumlah unit penangkapan
udang selama 22 tahun pada 1975-1999 tidak terlihat bukti ilmiah bahwa
pengoperasian trawl dapat mengganggu proses pemulihan stok udang di perairan.
Keresahan nelayan kecil dan konflik antar nelayan yang terjadi lebih banyak
disebabkan oleh terjadinya pelanggaran atas aturan yang berlaku, diantaranya
pelanggaran tentang jalur penangkapan ikan dan penggunaan alat penangkap udang
yang dimodifikasi sehingga mirip trawl. Berkaitan dengan hal ini faktor
pengawasan yang masih kurang, sehingga perlu dilaksanakan lebih ketat dan
penerapan sanksi yang lebih berat pagi pelanggar. Hasil tangkapan sampingan
yang jauh lebih banyak tidak terlalu
menjadi masalah bagi ekosistem, disisi lain ikan tersebut dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku tepung ikan. Pemberdayaan nelayan kecil dalam pengoperasian
alat penangkap udang yang efektif dapat dicoba guna meningkatkan pendapatan
nelayan.
Oleh karena
permasalahan perikanan trawl ini merupakan masalah manusia, bukan masalah
sumberdaya, maka titik penyelesaiannya pun harus dimulai dari manusia itu
sendiri. Alat penangkap udang yang paling efektif hingga saat ini masih trawl,
oleh karena itu dapatkah kiranya pemerintah dan para pakar perikanan terkait
untuk mengkaji ulang dengan cermat dan mempertimbangkan peninjauan kembali
terhadap Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1980
tentang penghapusan jaring trawl.
Kepustakaan
Adnyana, I.M.K.1992. Studi Tentang Stok Udang Jerbung di Laut
Arafura dan Sekitarnya. Skripsi (tidak dipublikasikan). Program Studi Ilmu
Kelautan, Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor, Bogor. 97 hal.
Aziz, K.A. 1996. Pukat
Harimau Sebagai Salah Satu Alat Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Makalah dalam
Diskusi Ilmiah Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di ZEE Indonesia dan Permasalahan
Pukat Harimau di Indonesia. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
8 Januari 1996. 9 hal.
Dahuri, R. 2001. Kebijakan dan Program Pembangunan Sektor Kelautan
dan Perikanan untuk Kemakmuran dan Kemajuan Bangsa Indonesia. Disampaikan dalam Seminar Sehari Tanggal
15 Juni 2001.
Naamin, N. 1984. Dinamika Populasi Udang
Jerbung (Penaeus merguiensis de Man) di Perairan Arafura dan Alternatif
Pengelolaannya. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor,
Bogor. 281 hal.
Nikijuluw, V.P.H. 1996. Penghapusan Pukat Harimau dan
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. Makalah dalam Diskusi Ilmiah
Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di ZEE Indonesia dan Permasalahan Pukat Harimau di
Indonesia. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor, Bogor. 8 Januari 1996.
5 hal.
Suman, A. 1999. Tingkah Laku Ikan dengan Perikanan Udang
Jerbung. Karya Ilmiah (tidak dipublikasikan). Program Studi Teknologi Kelautan,
Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 28 hal.
Sumiono, B. dan B. Sadhotomo. 1985. Perbedaan Hasil Tangkapan Pukat Udang dan Trawl di
Perairan Teluk Bintuni, Irian Jaya. Laporan Penelitian Perikanan Laut No. 33.
Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta. Hal. : 61-64.
Lampiran 1. Kutipan Beberapa
Pasal dari Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 39 Tahun 1980
tentang penghapusan jaring trawl.
Pasal 1:1, Menghapuskan kegiatan penangkapan ikan yang
menggunakan jarring trawl secara bertahap.
Pasal 1:2, Dalam pengertian jarring trawl termasuk pula alat
penangkap ikan yang dipergunakan, yang perinciannya akan ditetapkan lebih
lanjut.
Pasal 2, Terhitung mulai tanggal 1 Juli 1980 sampai tanggal 1
Juli 1981 kapal perikanan yang menggunakan jarring trawl dikurangi jumlahnya,
sehingga seluruhnya tinggal menjadi 1000 (seribu) buah.
Pasal 6:2, Menteri Pertanian mengatur lebih lanjut tentang :
(a) perincian mengenai jarring trawl ;
(b) pelaksanaan penghapusan/pengurangan kapal-kapal trawl ;
(c) cara pembaharuan perizinan kapal-kapal trawl yang belum terkena
penghapusan/pengurangan.
Pasal 7:1, Untuk memperkecil penurunan produksi udang sebagai
akibat penghapusan kapal-kapal perikanan yang menggunakan jarring trawl, maka
program udang nasional perlu ditingkatkan pelaksanaannya