© 2002
Dede R. Adawiyah Posted: 1 January 2002
Makalah Falsafah Sains (PPs
702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Januari 2002
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
(Penanggung Jawab)
EFEK
TRANSISI GELAS TERHADAP TEKSTUR BAHAN PANGAN
Oleh:
Dede
R. Adawiyah
PS. Ilmu Pangan, Nrp: P09600005
E-mail:
dede_adawiyah@yahoo.com
A.
PENDAHULUAN
Transisi gelas merupakan fenomena perubahan fase suatu bahan diantara
fase liquid dan solid. Konsep ini telah
lama dikenal di dunia polimer dan akhir-akhir ini fenomena tersebut
diaplikasikan pada bahan pangan untuk memprediksi sifat mekanis dan stabilitas
bahan pangan dan selalui dihubungkan dengan peranan air sebagai plasticizer.
Pada suhu rendah, polimer
amorf merupakan material gelas yang keras dan ketika dipanaskan akan meleleh
membentuk cairan yang encer. Akan
tetapi, sebelum pelelehan biasanya terjadi keadaan seperti karet (rubbery). Suhu dimana polimer gelas yang keras menjadi
materi dalam keadaan rubbery disebut suhu transisi gelas (Tg). Zone transisi difusi berada diantara keadaan
rubbery dan liquid. Transisi difusi
dari keadaan rubbery ke liquid biasanya spesifik untuk setiap sistem
polimer dan tidak terdeteksi pada spesies dengan berat molekul rendah seperti
air, etanol yang memiliki titik leleh yang tajam antara keadaan padatan dan
cairan.
Perbedaan yang nyata
antara bahan pangan dengan polimer sintetis amorf adalah pada komposisi
kimia-nya. Bahan pangan merupakan
campuran kompleks dari padatan dengan air, sedangkan polimer tersusun dari unit
yang berulang dari molekul yang terkarakterisasi dengan baik. Apa yang membuat bahan pangan terlihat
berbeda adalah dari tingkat keheterogenitas dalam komposisi kimia dan dominasi
keterlibatan air sebagai plasticizer.
Struktur amorf atau partially amorf dalam bahan pangan
terbentuk karena berbagai proses seperti baking, pemekatan, drum drying,
freeze drying, sprat drying dan ekstrusi yaitu proses yang memisahkan air
atau memekatkan suatu padatan. Pemisahan
pelarut air dengan evaporasi atau selama pembuatan permen atau pemisahan es
pada pembekuan menghasilkan suatu keadaan lewat jenuh dari solute-nya.
Pengaruh transisi gelas
pada bahan pangan sangat besar terutama terhadap sifat-sifat mekanis atau
tekstur bahan pangan (kerenyahan, kelengketan, kekakuan, pengempalan,
viskositas dan lain-lain). Selain itu sifat transisi gelas, yang dapat pula
dilihat sebagai parameter dari mobilitas air dari suatu bahan, memiliki
pengaruh terhadap aktivitas biologis lainnya seperti aktivitas enzim dan
pertumbuhan mikroorganisma dan secara langsung berpengaruh pula terhadap
stabilitas bahan pangan selama penyimpanan.
B. SUHU
Transisi Gelas BAHAN PANGAN
Suhu
transisi gelas adalah suhu dimana suatu polimer mengalami perubahan dari liquid
(yang mengalir, walapun mungkin sangat lambat) menjadi bentuk solid. Ross (1995) menyebutkan bahwa transisi gelas
merupakan transisi fase ordo ke dua yang terjadi pada kisaran suhu tertentu
dimana materi solid yang bersifat amorfous berubah menjadi keadaan liquid dan
kental. Suhu transisi gelas biasanya dinyatakan sebagai titik awal (onset)
atau titik tengah (midpoint) dari kisaran suhu transisi gelas. Pada transisi gelas terjadi perubahan yang
dramatis pada volume bebas, mobilitas molekuler dan sifat-sifat fisik yang
dapat dideteksi dengan perubahan sifat-sifat mekanis, thermal dan dielektrik.
Champion et al (2000)
menyatakan bahwa transisi gelas atau gllas-liquid transition (GLT) adalah nama yang diberikan
sebagai suatu fenomena ketika gelas dipanaskan sampai memiliki sifat seperti liquid
supercooled. Keadaan tersebut
merupakan suatu fenomena kinetika murni dimana energi kinetik tidak cukup untuk
melebihi energi potensial-nya yang dibutuhkan untuk menggerakan molekul satu
sama lain.
Pada suhu diatas Tg,
beberapa sifat fisik secara nyata dipengaruhi oleh peningkatan eksponensial
mobilitas molekuler dan penurunan viskositas.
Mobilitas molekuler dan viskositas berhubungan dengan transformasi
structural yang tergantung terhadap waktu, misalnya stickiness, collapse
dan kerenyahan. Pada suhu diatas Tg,
peningkatan mobilitas molekul akan menaikkan kemampuan difusi yang selanjutnya
menyebabkan kristalisasi dari komponen pangan amorf (Ross, 1995).
Menurut Jackson (1997), struktur kimia sangat mempengaruhi
transisi gelas (terutama dihubungkan dengan mobilitas). Peningkatan polaritas rantai utama
meningkatkan Tg. Demikian juga berat
molekul mempengaruhi Tg dengan nyata dimana pada berat molekul yang lebih rendah
terjadi kelebihan volume bebas, dan ketika berat molekul meningkat, konsentrasi
ujung rantai menurun sampai pada suatu keadaan dimana volume bebas menjadi
dapat diabaikan.
Levine dan Slade (1988) yang dikutip oleh Baik et
al (1997) menyatakan bahwa suhu transisi gelas (Tg) adalah spesifik untuk
masing-masing senyawa dan tergantung dari volume bebas, derajat polimerisasi,
geometris molekuler, kristalinitas dan berat molekul dari polimer.
Air dalam system polimer pangan dapat berfungsi
sebagai plasticizer maupun antiplasticizer pada kisaran kadar air
yang rendah sampai intermediet.
Plastisasi air dapat diamati dari penurunan suhu transisi gelas dengan
meningkatnya kandungan air, contohnya adalah pada pati gandum, gluten dan
lignin (Gambar 1). Sifat elastis dari
glutenin, gliadin dan zein meningkat dalam zone reaksi yang terjadi diatas Tg
dari protein yang diplastisasi oleh air ketika mobilitas molekuler cukup untuk
membentuk ikatan disulfida dan termosettling dari bahan. Glutenin ditemukan memiliki keadaan fisik
yang rubbery, structured flow, dan
pelunakan. Structured flow dan keadaan lunak terjadi sebagai hasil dari
penurunan viskositas diatas Tg.
Gambar
1. Suhu transisi gelas sebagai fungsi
dari kadar air pada pati gandum, gluten dan
lignin (Chirife dan Buera, 1994)
Prediksi
penurunan Tg sebagai akibat dari plastisasi air berguna untuk mengevaluasi
pengaruh komposisi bahan pangan terhadap Tg, karena perubahan transisi gelas
berhubungan dengan perubahan umur simpan dan kualitas.
Persamaan Gordon-Taylor (pers. 1) terbukti
berguna untuk fiiting data eksperimen dari Tg dan komposisi dari gula
amorf, maltodekstrin, protein sereal dan bahan pangan. Persamaan 1 dapat digunakan untuk memperoleh
nilai konstanta, k, dengan data eksperimen Tg untuk sampel dengan berat fraksi
solid, w1, dan air, w2. Suhu transisi
gelas dari padatan anhidrous, Tg1, dapat diperoleh dengan percobaan dan Tg2 =
-135oC sering digunakan untuk air amorf.
w1Tg1 + kw2Tg2
Tg = (1)
w1 + kw2
w1DCp1lnTg1
+ w2DCp2lnTg2
ln Tg = (2)
w1DCp1
+ w2DCp2
Persamaan
Gordon-Taylor berhubungan dengan persamaan Couchman-Karasz (2) dengan k = DCp2/DCp1
yang dapat digunakan untuk memprediksi plastisasi bahan pangan oleh air. DCp1 biasanya diperoleh
dengan DSC (Differential Scaning Calorimetry). Kisaran suhu Tg, seringkali melebar dan DCp
menurun dengan menurunkan kandungan air dan dapat menyebabkan masalah pada
pengamatan Tg dari biopolimer. DCp dilaporkan pada air amorf bervariasi
dari 34 sampai 1,94 J/goC.
Pada bahan pangan dengan
kadar air rendah dan memiliki struktur gelas, mobilitas molekul tergantung dari
suhu dan derajat plastisasi oleh air.
Mobilisasi molekul terjadi ketika suhu meningkat sampai diatas Tg atau
kadar air yang terkandung cukup untuk menekan Tg sampai dibawah suhu
kamar. Mobilitas tersebut mempengaruhi laju reaksi akibat terjadinya
peningkatan difusi diatas Tg.
Gambar 2. menunjukkan pengaruh transisi
gelas terhadap stabilitas dan kecepatan perubahan mekanis dan kebusukan. Dari gambar tersebut terlihat bahwa
peningkatan laju reaksi yang nyata terjadi diatas Tg, sedangkan dibawah Tg laju
reaksi terjadi sangat rendah. Hal
tersebut berhubungan dengan adanya pengontrolan terhadap difusi dan mobilitas
molekul air.
Ross (1987)
mendapatkan hubungan linear antara aktivitas air (aw) dan Tg. Hubungan linear diperoleh pada kisaran aw
0,1 sampai 0,8, tetapi pada kisaran keseluruhan hubungan tersebut adalah
sigmoidal. Hubungan antara Tg dan aw
pada suhu konstan merupakan metode sederhana untuk memprediksi pengaruh RH
terhadap Tg selama penyimpanan.
Prediksi tersebut berguna untuk mengevaluasi stabilitas berbagai bahan
pangan berkadar air rendah, seperti bubuk makanan, cereal dan snack.
Gambar 2. (A)
Pengaruh transisi gelas terhadap stabilitas dan laju perubahan mekanis dan
kerusakan, (B) Pengaruh plastisasi
air dan penurunan Tg sampai dibawah suhu kamar terhadap laju
perubahan mekanis dan kerusakan (Ross et al., 1996)
Ketika suhu material gelas meningkat melalui
kisaran suhu transisi gelas-liquid, terjadi perubahan mendadak pada beberapa
sifat fisik yaitu: peningkatan entropy dan kapasitas panas serta penurunan
rigiditas dan viskositas. Transisi gelas berhubungan dengan zone
dimana viskositas suatu bahan mencapai nilai 1010-1012 Pa.s.
(Gambar 3.).
Gambar
3. Perubahan sifat reologi pada transisi gelas-liquid
(Champion et al., 2000)
Kontribusi transisi gelas terhadap sifat mekanis
bahan pangan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap tekstur produk. Laju perubahan sifat mekanis dinyatakan
sebagai waktu relaksasi yang
didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan untuk recovery kondisi
kesetimbangan setelah mengalami gangguan terhadap satu sifat mekanis
tertentu.
Persamaan Williams-Landel-Ferry (WLF) dapat
digunakan untuk menjelaskan hubungan empiris ketergantungan perubahan mekanis
polimer amorf terhadap suhu pada daerah diatas Tg.
-C1(T To)
Log aT = (3)
C2 + (T To)
Dimana aT adalah
waktu relaksasi, C1 dan C2 adalah konstanta, dan To merupakan suhu reference,
dalam hal ini digunakan Tg. Menurut
Ross dan Kokini (1996), persamaan 1 tersebut
dapat diaplikasikan pada kisaran suhu dari Tg sampai Tg + 100oC. Penggunaan To pada Tg + 50oC
selain To = Tg lebih disukai.
Model lain yang biasa digunakan untuk memprediksi
ketergantungan terdahap suhu adalah persamaan Vogel-Tammann-Fulcher (VTF) dan
persamaan power law.
Sifat mekanis yang dipengaruhi oleh kondisi
transisi gelas adalah kekakuan (stiffness), kelengketan (stickiness),
pengempalan (caking), kerenyahan (crispness) dan kerusakan
struktur (collapse). Perubahan fisik lainnya seperti kristalisasi dan agglomerasi
berhasil dijelaskan dan diprediksi menggunakan konsep GLT dengan basis Tg
sebagai suhu reference.
Transformasi fisik teramati terjadi diatas suhu Tg dan secara kinetik
dikontrol oleh laju aliran seperti viskositas (pada collapse, caking
dll) atau oleh difusi jarak panjang dari molekul (pada kristalisasi). Gambar 4. menggambarkan prediksi kisaran
viskositas yang mempengaruhi perubahan fisik dengan basis suhu pengamatan
menggunakan pendekatan evolusi viskositas dari WLF pada bahan sukrosa. Yang perlu dicatat, adalah bahwa nilai
prediksi viskositas tergantung pada karakteristik waktu dari metode yang
digunakan untuk memonitor perubahan.
Gambar 4. Kinetika
ketergantungan perubahan fisik terhadap T-Tg
(Champion,
2000)
Sensitivitas perubahan mekanis terhadap suhu
tergantung dari arah gerakan dan dapat dinyatakan dengan energi aktivasi
(Ea). Ketika suhu diatas Tg, unit-unit
molekul atau struktural (elemen yang
terulang dari suatu polimer) dapat bergerak secara bebas satu sama lain karena
ada cukup energi bebas. Energi aktivasi
berhubungan dengan energi interaksi minimum antar unit dan tidak tergantung
pada suhu (perilaku Arrhenius terhadap sifat-sifat dinamis). Dalam liquid supercooled, ada
peningkatan energi interaksi yang menginduksi gerakan koperatif dari
molekul. Energi aktivasi dipengaruhi oleh perubahan suhu dari interaksi molekuler dan variasi energi
bebas. Nilainya meningkat ketika suhu
menurun, dipertahankan tinggi mendekati nilai Tg: biasanya nilainya dari 200
sampai 400 kJ/mol. Nilai yang lebih
tinggi biasanya ditemukan pada biopolimer daripada dalam bahan yang tersusun
dari molekul yang kecil. Organisasi
molekul dalam bahan sangat tergantung pada suhu diatas Tg tetapi relatif stabil
dibawah Tg (molekul berada dalam keadaan isokonfigurasional dimana pengaruh
kooperatif menjadi pembatas). Didalam
keadaan gelas, perubahan sifat dinamik mengikuti hukum Arrhenius kembali,
dengan energi aktivasi lebih rendah
daripada T>Tg tetapi tetap tinggi.
1.
Viskositas
Kondisi gelas dari
material amorf diperkirakan memiliki viskositas yang sangat tinggi yaitu pada
1012 Pa.s (Ross, 1995). Hal
ini diperkuat oleh Champion et al (2000) yang menyatakan bahwa transisi gelas
berhubungan suhu dimana viskositas mencapai nilai 1010 1012 Pa.s.
Diatas Tg,
ketergantungan suhu dari viskositas
liquid supercooled dijelasakan dengan persamaan Arrhenius. Beberapa ekspressi, yang paling popular
untuk menjelaskan ketergantungan terhadap suhu dari sifat dinamik diatas suhu
transisi glas adalah persamaan Vogel-Tammann-Fulcher (VTF) (persamaan 4) dan
Williams-Lander-Ferry (WLF) (persamaan 5):
hT = h0exp(BT0/(T T0) (4)
log(hT/hTg) = C1(T Tg)/(C2 + (T Tg)) (5)
di mana hT dan hTg adalah viskositas pada T dan Tg, sedangkan h0, B, T0, C1 dan C2 adalah
koefisien fenomenologikal. Menurut
Peleg (1992) yang dikutip oleh Ross et
al. (1996), penggunaan Tg sebagai suhu reference dengan nilai konstanta
universal untuk C1 dan C2 masing-masing adalah 17,44 dan 51,6.
Lebih lanjut Ross (1995) menjelaskan bahwa
viskositas solid amorfous bahan pangan ditentukan oleh suhu dan kadar air. Plastisasi yang disebabkan oleh perubahan
suhu atau kadar air selama pengolahan pangan atau penyimpanan dapat diamati
dari perubahan tekstur. Viskositas pada
kadar air rendah diperkirakan konstan, seperti yang terlihat pada Gambar 6.
untuk bahan laktosa karena efek plastisasi air tidak cukup untuk menurunkan Tg
sampai dibawah suhu kamar. Viskositas
lactosa dalam keadaan gelas konstan (» 1012 Pa.s),
tetapi kemudian penurunan Tg sampai dibawah suhu kamar akibat peningkatan
aktivitas air sampai 0,37 menyebabkan penurunan viskositas yang dramatis. Untuk mendapatkan hubungan antara aktivitas
air, kadar air dan Tg digunakan model sorpsi isotermis GAB dan persamaan Gordon
dan Taylor.
Gambar 5. Pengaruh aw dan
suhu transisi gelas terhadap viskositas lactosa pada suhu 24oC
(Ross, 1995)
2. Kelengketan
dan Pengempalan
Bubuk bahan pangan menjadi lengket dengan meningkatnya suhu atau kadar air. Penyebab utama kelengketan adalah plastisasi
permukaan partikel sehingga terjadi ikatan interpartikel dan pembentukan
kluster. Sedangkan pengempalan bubuk
bahan pangan terutama disebabkan oleh penyerapan air dan fusi interpartikel.
Menurut Downtown (1982) yang dikutip oleh Ross et al.(1996), partikel
dari bubuk amorf menjadi lengket jika terdapat cairan dalam jumlah yang cukup
dan dapat mengalir membentuk jembatan
antar partikel yang cukup kuat.
Kelengeketan merupakan sifat
bubuk amorf yang tergantung pada waktu.
Viskositas dalam keadaan gelas sangat tinggi dan waktu kontak antara
partikel sangat lama untuk dapat membentuk jembatan atau ikatan. Penurunan viskositas yang dramatis pada
daerah transisi gelas menyebabkan penurunan waktu kontak dan menyebabkan
pelengketan atau pengempalan.
Sticky point digunakan untuk menjelaskan kelengketan yang
dinyatakan dengan adanya penurunan viskositas sampai mencapai 107
Pa.s. Suhu sticky point menurun dengan
meningkatnya kadar air dan seiring dengan Tg, dan viskositas kritis berhubungan
dengan viskositas dari bahan amorf pada suhu sekitar 10 20oC
diatas Tg. Sticky point dari
bubuk bahan pangan menurun dengan menurunnya berat molekul, dan produk dengan
Tg yang rendah juga memiliki sticky point pada suhu yang lebih rendah. Bahan pangan yang mengandung monosakarida
tinggi seperti juice buah, memiliki nilai Tg rendah dan stabilitasnya meningkat
dengan penambahan senyawa yang akan meningkatkan nilai Tg. Maltodekstrin dengan dekstrose equivalent
yang cukup rendah sering digunakan untuk menurunkan stickiness dan
meningkatkan stabilitas bahan pangan (Ross, 1995).
3. Kerenyahan
Kerenyahan merupakan kriteria mutu penting dari
berbagai produk sereal dan snack.
Kerenyahan bahan pangan berkadar air rendah dipengaruhi oleh kandungan
airdan akan hilang karena adanya plastisasi struktur fisik oleh suhu atau
air. Nelson dan Labuza (1993) yang
dikutip oleh Ross (1995) menyatakan bahwa cereal kering memiliki tekstur yang
renyah dalam keadaan gelas, tetapi plastisasi akibat peningkatankadar air atau
suhu menyebabkan terjadinya perubahan material menjadi keadaan karet atau rubbery
sehingga produk menjadi lembek (sogginess). Aw kritis dimana terjadi kehilangan
kerenyahan berbeda-beda untuk produk yang berbeda, tetapi terjadi pada aw 0,35
dan 0,50. Hilangnya kerenyahan sebagai akibat transisi gelas terjadi selama
penyimpanan ketika kadar air atau aw kritis terlewati dan menurunkan Tg bahan
sampai dibawah suhu kamar (Gambar 6 dan 7.).
Penilaian kerenyahan dilakukan menggunakan analisis sensori dan
pengukuran objektif.
Gambar 6. Hubungan Tg, aw dan kadar air pada model snack hasil
ekstrusi.
Kerenyahan hilang pada Tg dibawah 24oC (Ross, 1995)
Gambar 7.
Prediksi dengan WLF sebagai fungsi dari aw pada model
extruded snack dan
penerimaan terhadap
kerenyahan (Ross et al., 1996)
DAFTAR PUSTAKA
Baik,
M.Y., K.J. Kim, K.C. Cheon, Y.C. Ha dan W.S. Kim. Recrystallization Kinetics and Glass Transition of Rice Starch
Gel System. J. Agric. Food Chem 45:
4242-4248
Buera,
M.P. and M. Karel. 1994.
Effect of physical canges on rates of nonenzimatic browning and related
reactions. Food Chemistry 52 : 167 173
Champion,
D, M.Meste dan D. Simatos. 2000. Toward an improved understanding of glass
transition and relaxations in foods: molecular mobility in the glass transition
range. Trends in Food Science and
Technology Vol 11 : 41 55
Chang,
Y.P, P.B. Cheah, dan C.C. Seow. 2000.
Plasticizing Antiplasticizing Effect of Water on Physical Properties
of Tapioca Starch Films in The Glassy State.
Journal of Food Science Vol 65(3) : 445-451
Chirife,
J. dan M. P. Buera. 1994. A Critical Review: Water Activity, Glass
Transisition ang Microbial Stability in Concentrated/Semimoist Food
Systems. Journal of Food Science vol.
59(5) : 921-927
Kumar,
A.. dan R.K. Gupta. 1998. Fundamentals of Polymers. The McGraw-Hill Co. New York.
Kou,
Y., P.F. Molitor dan S.J. Schmidt.
1999. Mobility and Stability
Characterization of Model Food System Using NMR, DSC and Conidia Germination
Techniques. Journal of Food Science
64(6): 950-958.
Ross,
Y.H. 1995. Glass Transition-Related Physicochemical Changes in Foods. Food Technology, October : 97-102.
Ross,
Y.H., M. Karel and J.L. Koluni.
1996. Glass transition in low
moisture and frozen foods: Effect on shelf life and quality. Food Technology, November:
Ruan,
R., Z. Long, P. Chen, S. Almaer dan I.Taub.
1999. Pulse NMR Study of Glass
Transition in Maltodextrin. Journal of
Food Science 64(1): 6 -9