© 2001
Asriani Hasanuddin Posted: 27
Nov. 2001 [rudyct]
Makalah Falsafah Sains (PPs
702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
November 2001
Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
(Penanggung Jawab)
KAJIAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN MINYAK SAWIT MENTAH UNTUK PRODUKSI
EMULSIFIER MONO-DIASILGLISEROL DAN KONSENTRAT KAROTENOID
Oleh:
Asriani Hasanuddin
IPN / F 226010051
asri_ipn@yahoo.com
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guineensis,jacq.) merupakan komoditi non
migas yang telah ditetapkan sebagai salah satu komoditi yang dikembangkan
menjadi produk lain untuk ekspor.
Produksi kelapa sawit di Indonesia selalu mengalami peningkatan dari
tahun ketahun yang saat ini menempati urutan kedua produksi dunia setelah
Malaysia. Direktorat Jenderal
Perkebunan (1995) memperkirakan produksi minyak sawit pada tahun 2000 mencapai
7.465.000 ton dan pada tahun 2010 Indonesia akan menempati urutan pertama
produksi minyak sawit dunia dengan jumlah produksi 12.293.000 ton. Peningkatan produksi akan memberikan dampak
yang sangat berarti terhadap pendapatan masyarakat Indonesia pada umumnya
khususnya masyarakat petani sawit,jika peningkatan diikuti dengan upaya
peningkatan nilai ekonomi minyak sawit melalui peningkatan daya guna yang
menghasilkan produk yang bernilai ekonomi relatif tinggi. Karena itu perlu kajian kearah tersebut.
Ekstraksi dan perolehan kembali kandungan karotenoid minyak
sawit yang kadarnya berkisara antara 500 dan 1.000 ppm termasuk salah satu
upaya peningkatan nilai ekonomi minyak sawit mentah. Hal tersebut disebabkan karena karotenoid bernilai ekoomi relatif
tinggi dan dibutuhkan baik dalam industri pangan dan farmasi,maupun dalam
industri kosmetik (May,1994).
Karotenoid kelompok alfa dan beta karoten berperanan sebagai pencegah
defisiensi vitamin A (Muhilal, 1991),pencegah penyakit jantung koroner dan
kanker (Iwasaki dan Murakoshi, 1992) serta berperanana menghambat penuaan dini
(May, 1994). Hingga kini kebutuhan
karotenoid di Indonesia masih impor.
Selain karotenoid, mono-diasilgliserol termasuk produk
diversifikasi minyak yang bernilai ekonomi relatif tinggi dan mempunyai prospek
pasar yang cukup cerah pada era pasar global.
Krog (1990) memprediksi kebutuhan mon dan diasilgliserol sebagai
emulsifer pangan pada era pasar global berkisar 132.000 ton/tahun. Mono dan diasilgliserol dalam pengolahan
pangan digunakan sebagai emulsifier dalam pembuatan produk-produk pangan
berlemak seperti margarin, kacang mentega,roti,biskuit dan eskrim (Mettler dan
Seibel, 1995; Igoe dan Hui, 1996). Kebutuhan mono-diasilgliserol dalam negeri saat ini
masih impor.
Dengan pertimbangan potensi
minyak sawit,nilai ekonomi dan kebutuhan dalam negeri mono-diasilgliserol dan karotenoid, kiranya perlu upaya kajian
teknologi pengolahan minyak sawit yang dapat menghasilkan kedua jenis produk
tersebut. Salah satu teknik pengolahan
yang diharapkan dapat menghasilkan kedua jenis produk adalah penerapan teknik
etanolisis suhu ruang menggunakan etanol 95% yang diikuti dengan teknik
destilasi vakum tanpa dan dengan perlakuan pendahuluan .
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini direncanakan
berlangsung selama dua tahun . Untuk tahun pertama (yang dilaporkan )
penelitian bertujuan :
a. Melakukan
etanolisis minyak sawit pada berbagai rasio minyak/heksana yang bertujuan untuk menentukan rasio
minyak/heksan untuk produksi mono-diasilgliserol
b. Melakukan
etanolisis minyak sawit pada berbagai rasio etanol 95%/minyak dan pada berbagai
waktu reaksi yang bertujuan untuk menentukan rasio etanol / minyak pada
berbagai waktu reaksi untuk produksi mono-diasilgliserol.
c. Melakukan
etanolisis minyak sawit pada berbagai konsentrasi katalis NaOH pada berbagai
waktu reaksi yang bertujuan untuk menentukan konsentrasi katalis NaOH dan waktu
reaksi untuk, produksi mono-diasilgliserol.
d. Melakukan
etanolisis minyak sawit dalam reaktor berpengaduk dengan agitasi dan waktu
reaksi bervariasi yang bertujuan untuk menentukan kondisi produksi
mono-diasilgliserol dalam reaktor berpengaduk.
1.3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai suatu metode
untuk mengolah minyak sawit mentah dalam menghasilkan emulsifier
mono-diasilgliserol beserta konsentrat karotenoid, dan dapat memberikan
iinformasi yang penting dalam
memanfaatkan minyak sawit mentah menjadi sumber emulsifier dan
konsentrat karotenoid khususnya kepada pihak yang bergelut dibidang industri
pangan maupun terhadap masyarakat umum.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Minyak Sawit
Minyak sawit kasar (crude palm oil, CPO) mengandung sekitar 500
– 700 ppm karoten dan merupakan bahan pangan sumber karoten alami
terbesar. Oleh karena itu CPO berwarna merah jingga. Disamping itu jumlahnya juga cukup tinggi . Minyak sawit ini diperoleh dari mesokarp
buah kelapa sawit melalui ektraksi dan mengandung sedikit air serta serat
halus,yang berwarna kuning sampai merah dan berbentuk semi solid pada suhu
ruang. Dengan adanya air dan serat
halus terasebut menyebabkan minyak sawit mentah tidak dapat langsung digunakan sebagai bahan pangan
maupun non pangan (Naibaho, 1988).
Bentuk semi solid minyak sawit mentah disebabkan olh kandungan
asam lemak jenuh yang tinggi, sebagaimana tersaji pada tabel 1. Pada tabel
tersbut teramati sekitar 50 persen asam lemak yang ada merupakan asam lemak
jenuh dengan komponen utama asam palmitat, sekitar 40 persen asam lemak tidak
jenuh tunggal (asam oleat) dan sekitar 10 persen asam lemak tidak jenuh jamak
(asam linoleat). Asam palmitat bentuk
bebas dan bentuk terikat sebagai monopalmitin,dipalmitin dan tripalmitin
memiliki titik leleh yang relatif tinggi ( di atas 60oC), sehingga pada suhu
ruang senyawa terasebut berbentuk padat (Belitz dan Grosh, 1987).
Tabel 1.
Komposisi asam lemak minyak sawit mentah (May,1994; Pantzaris,1997)
Jenis asam lemak |
Persen komposisi |
Asam laurat (C12:0) |
0 – 0,4 |
Asam meristat (C14:0) |
0,6 – 1,7 |
Asam Palmitat (C16:0) |
41,1 – 47,0 |
Asam stearat (C18:0) |
3,7 – 5,6 |
Asam oleat (C18:1) |
38,2 – 43,6 |
Asam linoleat (C18:2) |
6,6 – 11,9 |
Asam linolenat (C18:3) |
0,0 – 0,6 |
Warna kuning sampai merah minyak sawit mentah disebabkan oleh
kandungan pigmen karotenoid .
Karotenoid ini terdiri atas 5 persen xantofil dan 95 persen karoten yang
menurut Maclellan (1983) 62 persen merupakan beta karoten, 29 persen alfa
karoten dan 4 persen gamma karoten.
Alfa dan beta karoten dalam bahan pangan berperanan sebagai pemberi
warna dan prekursor vitamin A (provitamin A)(Mapiratu,1990). Alfa dan beta karoten dilaporkan berperanan
untuk mencegah penyakit jantung koronen dan penyakit kanker serta berfungsi
menghambat penuaan dini (May, 1994).
2.2. Emulsifier Mono dan Diasilgliserol
Mono dan diasilgliserol dalam industri pangan digunakan sebagai
emulsifier pada pengolahan margarine, mentega kacang (peanut butter),
whitener,pudding,roti, biskuit dan kue-kue kering berlemak lainnya (Malundo dan
Resurreccion, 1994; Igoe dan Hui, 1996).
Dilaporkan oleh Twillman dan White (1988) bahwa monoasilgliserol
memperbaiki reologi adonan dan memperpanjang masa simpan tekstur tortila
jagung. Monoasilgliserol dalam adonan
bereaksi dengan amilopektin membentuk senyawa kompleks yang berperanan
memperbaiki adonan,volume dan tekstur roti serta memperpanjang masa simpan
produk roti (Huang dan White, 1993), lemak rendah kalori dapat mensubsitusi 35
persen lemak dalam adonan dengan adanya emulsifier mono dan diasilgliserol pada
tingkat kepekatan 0,5 persen.
Mono - diasilgliserol terbentuk dari reaksi antara gliserol
dengan triasilgliserol (minyak). Reaksi
tersebut dikenal dengan nama reaksi gliserolisis. Reaksi ini dapat berlangsung dengan katalisis
alkali (gliserolisis cara kimia) maupun dengan biokatalis lipase (gliserolisis
cara enzimatik). Studi pendahuluan
telah menunjukkan bahwa gliserolisis dengan cara kimia dengan cara etanolisis
minyak sawit mentah dalam pelarut heksana (rasio heksana/minyak sawit 1:1 v/v)
menggunakan etanol 95 persen dan katalis natrium hidroksida 1 persen atas dasar
berat minyak dapat diterapkan untuk produksi mono-diasilgliserol dan konsentrat
karotenoid. Indikasi tersebut dicirikan
oleh keberhasilan pemisahan produk reaksi yang menghasilkan mono-diasilgliserol
dalam bentuk padat dan karotenoid dalam bentuk cair berwarna merah pekat. Analisis
rendemen dan fraksi masa mono-diasilgliserol dalam produk bentuk padat
menunjukkan rendemen produksi mencapai 25,37 persen dengan fraksi masa
mono-diasilgliserol dalam produk mencapai 87,91 persen. Rendemen produksi diharapkan dapat menigkat
pada penggunaan komposisi campuran dan kondisi reaksi yang sesuai. Demikian pula fraksi masa
mono-diasilgliserol dapat meningkat pada penggunaan teknik pemisahan yang
tepat.
2.3. Konsentrat Karotenoid Minyak Sawit dan
Mono-diasilgliserol
Konsentrat karotenoid minyak sawit adalah produk yang berkadar
karotenoid relatif tinggi yang dihasilkan dari suatu proses ekstraksi dan
perolehan kembali karotenoid minyak sawit.
Produk tersebut masih mengnadung komponen lain selain karotenoid yang
jenis dan jumlahnya sangat bergantung pada teknik pengolahan yang
diterapkan. Ekstraksi karotenoid secara
langsung seperti adsorpsi dan ekstraksi cair-cair akan menghasilkan konsentrat
karotenoid yang mengandung minyak atau triasilgliserol (TAG), sedangkan
ekstraksi yang diawali dengan perubahan komponen TAG seperti hidrolisis,
saponifikasi dan tranesterifikasi atau alkoholisis akan menghailkan konsentrat
karotenoid yang mengandung komponen lain seperti asam lemak bebeas, mono dan
diasilgliserol serta senyawa ester asamlemak untuk proses transesterifikasi
(Sulaswatty,1998).
Transesterifikasi atau alkoholisis minyak sawit mentah yang
diikuti dengan destilasi menghasilkan konsentrat yang berkadar karotenoid
relatif lebih tinggi dibandingkan yang diikuti dengan adsorpsi. Akan tetapi adsorpsi tanpa diawali dengan
alkoholisis menghasilkan konsentrat yang berkadar karotenoid relatif lebih
rendah dibandingkan dengan adsorpsi yang diawali dengan alkoholisis.
Alkoholisis minyak secara kimia menghasilkan produk yang selain
mengandung senyawa ester asam lemak,juga mengandung senyawa moo dan
diasilgliserol. Mono dan diasilgliserol
(MAG dan DAG) merupakan produk antara yang konsentrasinya ditentukan oleh
berbagai faktor seperti jenis dan kadar air alkohol, suhu dan waktu reaksi,
konsentrasi katalis dan rasio alkohol/minyak.
Metanol lebih reaktif dibandingkan dengan etanol, sehingga penggunaan
metanol menghasilkan mono dan diasilgliserol yang relatif lebih rendah
dibandingkan dengan penggunaan etanol pada kondisi reaksi yang sama (Freedman
et al., 1984; Fillieres et al., 1995; Filippis,1995). Demikian pula makin tinggi suhu reaksi dan makin lama waktu
reaksi, makin rendah pula kadar mono dan diasilgliserol dalam produk reaksi
(Fillieres,1995). Rasio alkohol/minyak
selain berpengaruh terhadap kadar mono dan diasilgliserol, juga berpengaruh
terhadap komposisi triasilgliserol,mono dan diasilgliserol.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat
dan Waktu.
Penelitian
ini direncanakan akan berlangsung selama 2 tahun dan dilaksanakan di
Laboratorium Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu dan
Laboratorium Biokimia Fateta Institut Pertanian Bogor.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan dasar yang digunakan dalam
penelitian mencakup : minyak sawit mentah (CPO). Bahan lain yang digunakan adalah bahan pembantu yang terdiri atas
bahan kimia untuk analisis, dan medium reaksi . Bahan tersebut antara lain
heksan,dietil eter,asam formiat,gas nitrogen, natrium sulfat anhidrat,plat TLC
silikagel G 60 F 254. Bahan kimia yang
digunakan semuanya pro analisis dari E.Merck.
Peralatan yang digunakan mencakup :
neraca analitik, oven, mesin kocok (shaker), hot plate , Chamber, rotari vakum
evaporator,dan alat – alat gelas lain yang umum digunakan dalam Laboratorium
Kimia.
3.3. Metode Penelitian
a. Pengaruh Rasio Minyak Sawit Mentah / Pelarut Heksana
Reaksi etanolisis minyak sawit mentah
pada suhu ruang tidak dapat berlangsung dengan baik. Hal tersebut disebabkan karena minyak sawit mentah pada suhu
ruang berbentuk semi solid. Oleh karena
itu perlu dilakukan perubahan bentuk dari semi solid menjadi bentuk cair
melalui penggunaan pelarut heksana.
Selain itu, penggunaan heksana mempermudah pemisahan etanol sisa beserta
komponen minyak sawit larut dalam etanol.
Permasalahan yang timbul adalah
jumlah heksana yang memberikan kondisi reaksi yang baik. Untuk itu dicoba digunakan heksana pada
berbagai rasio minyak/heksana, yaitu rasio minyak heksana (v/v):10:2,5 (A); 10
: 5 (B) ; 10 ; 7,5 (C) ; 10 : 10 (D); 10 : 12,5 (E) dan 10 :15 (F). Semua
perlakuan diulang dua kali.
Reaksi
etanolisis berlangsung mengikuti diagram alir yang tersaji pada gambar 1 yang tersaji berikut. Untuk perlakuann ini akan digunakan campuran
reaksi yang terdiri atas 100 mlminyak sawit mentah, heksana sesuai perlakuan,
50 ml larutan natrium hidroksida 2% dalam etanol 95%. Reaksi berlangsung pada suhu ruang selama dua menit. Fraksi masa komponen triasilgliserol (TAG), asam lemak bebas (FFA), etil ester
(EE) dan monoasilgliserol (MAG) +
diasilgliserol (DAG) dalam produk
reaksi dianalisis menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
(Mappiratui, 1994). Rasio
minyak/heksana yang menghasilkan fraksi masa MAG + DAG tertinggi digunakan
untuk perlakuan selanjutnya.
b. Pengaruh
Rasio Etanol / Minyak pada Berbagai Waktu Reaksi
Perlakuan ini dimaksudkan untuk mendapatkan rasio etanol / minyak yang
menghasilkan mono-diasilglisrol relatif tinggi pada kisaran waktu reaksi yang
luas. Berdasarkan sasaran tersebut akan
diterapkan raio etanol / minyak (v/v) :0,25: 1 (A), 0,5 : 1 (B), 0,75 : 1 (C),
1 : 1 (D), 1,25 : 1 (E) dan 1,5 : 1 (F).
Pengamatan fraksi masa komponen TAG,FFA,EE, MAG + DAG relatif tinggi
pada daerah waktu yang relatif luas digunakan pada percobaan selanjutnya.
c. Pengaruh Konsentrasi Katalis NaOH pada
Berbagai Waktu Reaksi
Perlakuan ini dimaksudkan untuk
mendapatkan konsentrasi katalis NaOH yang menghasilkan rendemen MAG + DAG
relatif tinggi pada daerah waktu reaksi
yang relatif luas. Untuk maksud
tersebut akan diterapkan konsentrasi NaOH masing-masing 0,25% (A); 0,50% (B);
0,75% (C); 1,0% (D); 1,25% (E) dan 1,50% (F) atas dasar berat minyak. Pengamatan fraksi masa komponen TAG, FFA, EE, DAG + MAG dilakukan
setiap satu menit selama 8 menit.
Konsentrasi katalis NaOH yang menghasilkan rendemen MAG + DAG relatif
tinggi pada daerah waktu yang relatif luas digunakan pada percobaan
selanjutnya.
d. Pengaruh
Agitasi Reaktor Sistem Batch Pada Berbagai Waktu Reaksi
Perlakuan
ini dimaksudkan untuk mendapatkan kondisi reaski (nilai agitasi) yang dapat
diterapkan untuk produksi mono-diasilgliserol . Untuk maksud tersebut akan digunakan reaktor berpengaduk
kapasitas 2 liter yang dilengkapi dengan kontrol agitasi. Tingkat agitasi yang diterapkan adalah 300
rpm (A0, 400 rpm (B), 500 rpm (C), dan 600 rpm (D). Waktu reaksi yang diterapkan untuk pengamatan akan ditentukan
kemudian berdasarkan hasil percobaan sebelumnya.
e. Analisis Komponen MAG dan DAG
Analisis komponen MAG dan DAG dalam
produk reaksi etanolisis dilakukan dengan menggunakan metode Kromatografi Lapis
Tipis Preparatif. Pelaksanaan analisis
komponen MAG dan DAG adalah sebagai berikut
(Mappitau,1994) ;
Produk reaksi etanolisis yang telah
terpisah dan telah bebas pelarut ditotolkan pada plat TLC silika gel G 60 F254
dengan penotolan yang melebar (0,5 cm) dan memanjang (18 cm). Plat TLC yang telah ditotoli sampel
selanjutnya dielusi dalam chamber dengan eluen campuran heksana/dietil
eter/asam formiat 80 : 20 : 2 (v/v/v) selama 2,5 jam. Noda yang terpisah pada plat TLC ditampakkan menggunakan penampak
noda uap iondium, kemudian dikerik dan diekstraksi menggunakan pelarut dietil
eter untuk noda MAG dan heksana/dietil
eter untuk noda DAG. Ekstrak yang
diperoleh dibebaskan dari pelarut menggunakan gas nitrogen yang disempurnakan
melalui pemanasan dalam oven analitik suhu 100oC (sampai berat ekstrak
konstan). Ekstrak yang beratnya telah
konstan ditimbang dengan timbangan analitik,kemudian fraksi masa komponen MAG
dan DAG ditentukan dengan menggunakan persamaan :
Berat komponen X
Fraksi masa (%) komponen X =
---------------------- X 100 %
Berat total komponen
Di mana
Komponen X = MAG dan DAG
Total komponen =
komponen MAG dan DAG
IV. DAFTAR PUSTAKA
Direktorat
Jenderal Perkebunan. 1995. Masih 10
Tahun untuk menjadi nomor satu dunia di
dalam surat kabar Kompas Rabu, 26 Juli 1995, Jakarta.
Freedman,
B;E.H. Pryde dan T.L. Mounts, 1985.
Variables affecting the yiels of
fatty esters from transesterified vegetable oils. JAOCS. 61 (10) 130 – 136.
Igoe, R.S. dan
Y.H.Hui. 1996. Dictionary of Food Ingridients.
Chapman dan Hall. New York.
Iwasaki, R dan
M. Murakoshi . 1992. Palm Oil Yields Carotene For World
Markets. Oleochemicals,INFORM, Vol.3, Febr. P,210 – 217.
Krog,N.J.
1990. Food Emulsifier and Their Chemical and Physical Properties. In Food Emulsions, (Ed) K.Larsson and S.E.
Friberg,P. Marcel Dekker,New York.
Maclellan,M.,
1983. Palm Oil. JAOCS,60 (2): 368 – 378
Mappiratu, 1990.
Produksi Beta Karoten Pada Limbah Cair Tapioka Dengan Kapang Oncom Merah.
Thesis Pascasarjana, IPB.
May,C.Y. 1994.
Palm oil carotenoids food and nutrition Bulletin 15(2):130 – 136.
Mettler,E dan
W.Seibel. 1995. Optimizing Of Rye Bread
Recipes Containing Mono-diglyceride,Guar Gum,
and Carboxymethylcellu-
lose Using a Maturograph and Use
Ovenrise Recorder. Cereal Chem. 72(1): 109 – 115.
Muhilal,
1991. Minyak Sawit Suatu Produk Nabati
Untuk Penanggulangan Archelosklerosis dan Penundaan Proses Penuaan. Prosiding
Seminar Nilai Tambah Minyak Kelapa Sawit Untuk Meningkatkan Derajat Kesehatan.
Jakarta.
Naibaho,P.M.
1988. Pemisahan Karotena (Provitamin A) Minyak Sawit Dengan Metode
Adsorpsi . Disertasi S-3,FPS,IPB,Bogor.
Sulaswatty,A.
1998. Karakteristik Pemekatan Beta-Karoten
Minyak Sawit Dengan Teknik Fluida
CO2 Superkritik. Disertasi S-3,FPS, IPB,Bogor.
Twillman,T.J.
dan P.J. White. 1989. Influence Of Monoglycerides On The Textural Shelf
Life and Dough Rheology Of Corn
Tortillas. Cereal Chem.65 (3): 253 – 257.