@2001.
Ahmad Farhan
Posted:
3 Desember 2001
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pascasarjana/S3
Institut Pertanian
Bogor
Desember 2001
Dosen:
Prof. Dr Rudy C. Tarumingkeng
MENINGKATKAN EFISIENSI PENGGUNAAN AIR
DALAM RANGKA
MENGHADAPI KEKERINGAN PADA SAAT
TERJADI EL-NINO
Oleh:
G.22601004.1
Agroklimatologi
E-mail: farhan_aid@yahoo.com
Abstrak
Kemarau panjang di Indonesia terjadi umumnya terjadi pada saat berlangsungnya peristiwa El-nino. Pada saat itu frekwensi kejadian hujan dan curah hujan rendah. Berdasarkan sifat hujan pada saat anomali alam terjadi, musim kemarau di bawah normal berlangsung dari 72 100 %. Setiap kejadiaan kejadian kemarau panjang, areal tanam padi selalu mendapat terpaan kekeringan mulai dari lahan tadah hujan sampai lahan irigasi teknis tidak terkecuali lahan irigasi yang sumber airnya diperoleh dari waduk. Infestigasi di lapangan, ternyata sistem pengirigasian belum efisien dan sistem teknik budidaya belum mengacu pada azas hemat air. Perbaikan sistem pengirigasian melalui teknik irigasi intermiten, pergiliran penyaluran air dan irigasi terputus dengan tinggi genangan rendah (kurang dari 5 cm) serta perbaikan sistem pendistibusian air, mampu meningkatkan efisiensi penggunaan air dan peningkatan keramerataan pendistribusian air irigasi. Adopsi sistem olah tanah sederhana, olah tanah kering/basah mampu menekan penggunaan air sampai 200 mm atau setara 2000 m3 per ha per musim tanam. Sistem budidaya TABELA, gogorancah dan semai benih langsung, mampu meningkatkan efisiensi produksi dalam meningkatkan produktifitas air (kg gabah/m3 air). Intergrasi sistem penyaluran air, olah tanah dan budidaya akan meningkatkan tingkat keefisienan penggunaan air irigasi. Teknologi-teknologi tersebut dapat meningkatkan kesiapan menghadapi dampak kekeringan pada setiap berlangsungnya peristiwa kemarau panjang.
Kata kunci: Irigasi, Penditribusian,
efisiensi, Keringan, El-nino,
PENDAHULUAN
Intensifikasi melalui program Bimas
dan Sutpra Insus sejak tahun 1972 mampu meningkatkan produksi padi sampai
mencapai puncaknya pada tahun 1984; Indonesia untuk pertama kali mencapai
swasembada beras. Irigasi
yang merupakan sarana penting yang menunjang keberhasilan tersebut. Sumbangan irigasi sangat besar; air dalam
budidaya padi tidak hanya menentukan produktivitas tetapi menjadi penentu keberhasilan
aplikasi teknologi budidaya dan intensitas pertanaman (IP). Secara
parsial sektor irigasi menyumbang 16 % laju kenaikan produksi padi nasional
dari tahun 1972 1988 (Fagi, 1998).
Integrasi antara irigasi, varietas dan pupuk menyumbang peningkatan
produksi padi nasional sebesar 75 % (Abdurachman, et al., 1999).
Setelah tahun 1984, grafik
peningkatan produksi padi cenderung melandai, bahkan sangat berfluktasi; turun
pada saat terjadi kemarau panjang.
Peristiwa El-nino pada tahun 1994, mengakibatkan areal tanaman
padi mengalami kekeringan seluas 363.577 ha, 166.076 ha merupakan lahan sawah
irigasi (Justika Baharsyah, 1994).
Dampak kemarau panjang akibat peristiwa El-nino, yang menimpa lahan irigasi perlu diantisipasi,
mengingat 74 % dari produksi padi nasional berasal dari sawah irigasi (Justika
Baharsyah, 1996).
Pengelolaan air irigasi dewasa ini
menghadapi permasalahan komplek. Pertambahan penduduk yang masih tinggi harus
diikuti dengan peningkatan produksi padi, yang berarti akan meningkatkan
penggunaan air untuk sektor pertanian.
Sementara penggunaan air untuk irigasi telah mencapai 80 95 % dari
pemakaian air total (Pusposutarjo,1996).
Dilain pihak pertumbuhan industri dan perkotaan, meningkatkan permintaan
dan penggunaan air domestik yang sebagian dipasok dari air irigasi, sehingga
meningkatkan persaingan penggunaan air. Peningkatan
persaingan penggunaan air, belum sepunuhnya disertai dengan efisiensi
pemananfaatan dan penggunaan air.
Sistem pengairan continous flow mengakibatkan sebahagian aliran
terbuang ke laut sebelum dimanfaatkan secara optimal. Ukuran petak tersier yang tidak baku, kurang/tidak tersedianya
saluran kuarter menyebabkan penyaluran air antar petak, merupakan kendala dalam
optimalisi pendistribusian air irigasi (Hermanto et al, 1995).
Tantangan pengairan di masa yang akan datang akan semakin
komplek. Isu perubahan iklim global yang diduga berkaitan dengan peningkatan
frekuensi dan intensitas El-nino, mengakibatkan kuantitas dan permintaan air
cenderung berlawanan; kebutuhanan meningkat sementara pasokan cenderung
berkurang. Krisis moneter masih belum
berujung mengakibatkan perbaikan sarana irigasi dan pengadaan sumber air baru
mengalami hambatan.
Mengatasi kondisi seperti itu, upaya bagaimankah yang dapat
dilakukan dalam jangka pendek untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air
irigasi ?, sehingga intensifikasi dan perluasan areal tanam/panen dapat
terlaksana, dampak kemarau panjang dapat direduksi, yang pada akhirnya
kemantapan pangan nasional dapat terjaga.
Untuk mendukung kestabilan pangan nasional, peningkatan IP
dan perluasan areal tanam/panen harus mengacu pada sistem budidaya padi hemat
air. Terdapat dua kemungkinan untuk meningkatkan intensitas dan luas areal
tanam/panen yaitu: meningkatkan efisiensi penggunaan air, atau meningkatkan
suplai air yang tersedia. Alternatif
pertama dapat dilakukan dengan meningkatkan efisensi penggunaan air. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meningkan
produksi padi tanpa menambah kuantitas penggunaan air melalui tata guna air dan
manajemen teknologi budidaya.
Alternatif kedua menuntut penambahan sumber air dan jaringan irigasi
baru, sehingga membutuhkan infestasi yang cukup besar, merupakan pilihan sulit
untuk dilaksanakan dalam jangka pendek.
Berbagai cara dapat
ditempuh untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi yang menyangkut
fisik, bioteknik dan institusional menjadi tujuan penulisan makalah ini. Pembahasan diperkaya dengan ilustrasi kondisi-kondisi yang sedang berlaku di
lapangan sekarang ini. Diharapkan kendala-kendala pengoptimalisasi pemanfaatan
air dan sumber air dapat diindentifikasi dan dicarikan alternatif
keluarannya.
CURAH HUJAN DAN
KEKERINGAN PADA SAAT TERJADI PERISTIWA EL-NINO
Beberapa kasus peristiwa alam di akhir melenium kedua telah
memperlihatkan gejala yang memperkuat kebenaran isu perubahan iklim global,
sehingga isu tersebut tidak dapat dipandang dengan sebelah mata, meskipun belum
semua ahli menyakininya. Peristiwa
El-nino akrab dengan kekeringan di sebahagian wilayah di bumi, terutama di Asia
baik dialami dalam skala regional, nasional atau kawasan. El-nino pada penutup abat ke 20 terjadi pada
tahun 1997; datang lebih awal dari kejadian-kejadian sebelumnya dengan
intensitas lebih kuat, sehingga berpengaruh lebih luas terhadap kekeringan
(Winarso, 1997). Integrasi kerusakan
alam yang sangat memprihatinkan dengan perkembangan iklim dewasa ini cenderung
meningkatkan tingkat dan lamanya kekeringan berlangsung. Setelah KTT bumi 1982, kecenderungan
pengurangan kuantitas air di muka bumi telah diangkat menjadi isu penggurunan
(disertifikasi) dalam konferensi UN Convention on Combating Dissertifikation
(Winarso, 2001).
Analisis sifat hujan, menunjukkan kemarau panjang umumnya
terjadi pada peristiwa El-nino.
Kekeringan yang terjadi berkisar 72 100 % di bawah normal, dan tingkat
kekeringan lebih besar dari 90 % di bawah normal terjadi pada saat El-nino
1982, 1987, 1991, 1994 dan 1997, serta pada tahun-tahun tersebut kekeringan
disertai dengan kebakaran hutan (Winarso, 2000).
Dalam skala regional, Dati II Ngawi
Jawa Timur mengalami pengurangan rata-rata ch untuk periode musim kemarau pada
peristiwa el-nino 1994 dan 1997
mencapai 520 mm atau 26 % dari kondisi normal (Farhan, 2001). El-nino kurang berpengaruh terhadap
pengurangan curah hujan dan lamanya pengaruh tersebut berlangsung singkat di
Nangro Aceh Darussalam (Setiawan, 1998).
Hal ini disebabkan daerah tersebut terletak dekat equator.
Peristiwa El-nino menyebabkan bulan kering untuk kegiatan tanam
padi di Dati II Ngawi bertambah menjadi 8 bulan (April November), sehingga
musim kemarau menjadi lebih panjang selama 2 bulan (Farhan dan Kartaadmadja,
2001). Perpanjangan musim kemarau merupakan salah satu dampak dari peristiwa
El-nino (Winarso, 1997). Pengurangan ch
pada bulan April, memberi dampak cukup besar karena pada masa tersebut tanaman
berada dalam fase vegetatif/awal reproduktif, yang merupakan fase-fase sangat
berpengaruh terhadap hasil padi apabila tanaman mengalami sejumlah hari cekaman
(stress days) (Farhan, 1999).
Areal padi yang mengalami kekeringan pada peristiwa El-Nino 1997 di Dati
II tersebut adalah seluas 11.487 ha (Farhan, 2001). Perpanjangan kemarau sampai bulan November mengakibatkan
keterlambatan tanam MH I tahun berikutnya atau terjadi kekeringan pada areal
yang petaninya terlanjur tanam.
Tingkat suplai air irigasi menggambarkan hubungan jumlah air irigasi yang disalurkan dengan kebutuhan konsumtif tanaman untuk mengetahui kelebihan, kecukupan atau kekurangan air dalam suatu kawasan pengairan. Informasi tersebut dipelajari melalui nilai relative water supply (RWS). Nilai RWS, merupakan rasio antara suplai air (Water Supply, WS) dengan kebutuhan air konsumtif (Water Demand, WD). Nilai RWS > 1 menyatakan suplai air lebih besar dari kebutuhan konsumtif tanaman, RWS = 1, berarti Water Supply = Water Demand dan merupakan keadaan idial, sedangkan RWS < 1 menunjukkan suplai air tidak mencukupi kebutuhan konsumtif tanaman.
Hasil pengukuran di areal terser BBd2ki daerah irigasi
Macan hulu seksi UASA Binong Perum Jasa Tirta II, didapatkan perbedaan cukup
besar nilai RWS pada lokasi hulu, tengah dan hilir mulai tanam sampai 40 hari
setelah tanam (Farhan, 1999). Sawah
pada lokasi hulu memiliki nilai RWS jauh lebih besar dari satu, sawah di lokasi
tengah sedikit di atas satu dan sawah di lokasi hilir sedikit di bawah
satu. penggunaan air irigasi di areal
persawahan lokasi hulu tersier BBd2ki sangat boros, sedangkan sawah
lokasi tengah dan hilir relatif efisien.
Pengamatan di areal pengairan waduk Pondok Dati II Ngawi juga memperlihatkan keadaan yang sama (Farhan dan Kartaatmadja, 2001). Dalam skala areal sekunder, pendistribusian air irigasi belum merata antara lokasi hulu, tengah dan hilir. Sistem pendistribusian air dan fasik jaringan irigasi merupakan faktor dominan. Pengaturan pembagian air irigasi masih kurang sempurna; penyadapan di areal tersier lokasi hulu cenderung berlebihan.
Dari beberapa penelitian dan studi kepustakaan, secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi belum optimalnya pendistribusian air irigasi adalah sebagai berikut: (a) ketersediaan air di saluran dan kekurang pedulian petani di hulu terhadap kebutuhan air untuk petani hilir (b) kondisi fisik saluran irigasi masih kurang memadai, (c) kebiasaan petani menggunakan sistem pengairan mengalir dengan genangan yang cukup tinggi, (d) petugas pengatur pintu air, P3A dan ulu-ulu belum efektif mengatur pembagian air irigasi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Fagi et al. (1988), yaitu kehilangan air yang cukup besar terjadi akibat kurang berfungsinya pintu-pintu air dan petani memasukkan air ke petak tersier secara berlebihan.
Efisiensi penggunaan air berkaitan erat dengan efisiensi
penyaluran dan sistem pengairan. Pendistribusian air irigasi dari sumbernya ke
petak-petak sawah mengalami sejumlah kebocoran melalui rembesan, evaporasi dan
evapotraspirasi. Rembesan air meningkat pada saluran yang kurang mendapat
perawatan.
Kehilangan air sepanjang saluran cukup besar, dan
pengaliran antar petak menyebabkan efisiensi penggunaan air lebih
kecil dari 50 % (Hermanto et al., 1995). Tingkat Kehilangan air di Jaringan irigasi waduk Sempor; di
saluran induk, sekunder dan tersier berturut-turut; 7 25 %, 2,54 11,82 %
dan 10 % . Sementara di Jaringan irigasi waduk
Wadaslintang 5,4- 13,9 %, 8,4 - 10,2 % (Anonymous,2000).
Sistem pengairan kontiu dengan
tinggi genangan melebihi 5 cm, mengakibatkan efisiensi pemanfaatan air irigasi
berkisar 50 65 %, sedangkan target yang diharapkan 59 73 % (Pusposutardjo,
1996).
Upaya peningkatan efisiensi
pemakaian air dalam bidang pertanian dapat dilakukan antara lain dengan
mengubah sistem penyaluran dan pemberian air yang didukung oleh pemilihan jenis
tanaman, masa tanam dan manajemen yang tepat (Hermanto et al., 1995). Beberapa langkah yang memungkinkan untuk
dilakukan atau disosialisakan di tingkat usaha tani dikemukakan dalam uraian
berikut.
Tanaman padi merupakan tanaman
yang membutuhkan banyak air. Akar tanaman
ini mampu bertahan dari genangan 3 4 minggu.
Meskipun demikian, genangan air bukan syarat hidup dari tanaman
tersebut. Hasil penelitian pengairan
macak-macak malah meningkatkan produksi padi, sehingga memberi harapan untuk
merintis penerapan teknik budidaya padi hemat air.
Sistem pengairan continous flow
merupakan teknik pengairan yang tergolong boros. Kebutuhan air sekitar 1.200 mm/ha/musim pada tingkat efisiensi 80
%, dan meningkat dengan berkurangnya efisiensi. Teknik pengairan intermiten 4 5 hari pada tanah aluvial di
daerah Pantura tidak menyebabkan terjadi hari cekaman air; membutuhkan air 800
900 mm/ha/musim, sehingga menghemat air 30 40 % dan meningkatkan efisiensi
pemakaian pupuk urea 25 50 % (Justika Baharsyah dan Fagi, 1995). Pengeringan selama 10 hari menjelang
pembungaan mampu mengurangi penggunaan air irigasi sampai 25 % dan meningkatkan
produksi padi sebesar 20 % (Partowijoto, 2001)
Pergiliran penyaluran air mampu menekan tingkat keborosan air di
areal persawahan lokasi hulu saluran dan meningkatkan kemerataan
pendistribusian air dalam satu kawasan pengairan, sehingga tingkat efisiensi
air dilokasi hulu meningkat dan mengurangi devisit air di lokasi
berikutnya. Di areal pengairan waduk
Pondok Dati II Ngawi Jawa Timur, pergiliran air antara saluran tersier yang
berada dalam satu saluran sekunder, mampu mendistribusikan air melebihi
kebutuhan tanaman (RWS > 1) untuk ± 70 % areal sekunder; lebih baik
dibandingkan dengan periode sebelum pergiliran dilakukan yang hanya mencapai
kurang dari 50 % areal sekunder (Farhan dan Kartaatmadja, 2001). Kekurangan air untuk ± 30 %
areal sekunder di lokasi hilir masih memugkinkan diatasi, mengingat di lokasi
hulu nilai RWS > 1. Salah satu opsi
yang mungkin dilakukan adalah dengan memperluas areal servis pada pergiliran
periode I, sehingga areal pengirigasian untuk periode pergiliran ke II lebih
kecil dan peluang air sampai ke hilir lebih besar. Peraturan penyadapan air lebih diperketat; dengan tidak
membolehkan areal tersier-areal tersier di lokasi hulu sekunder untuk menyadap
air di luar dari jadwal yang ditetapkan.
Pintu-pintu tersier diperbaiki, sehingga mampu menyekat air secara baik.
Sistem pergiliran penyaluran air
irigasi dapat direalisasikan karena aktifnya Himpunan Pengguna Air
(HIPPA). Penyadapan air irigasi dari
saluran sekunder dan penyalurannya ke petak-petak tersier dilakukan oleh
kelompok-kelompok HIPPA. Tidak adanya campur tangan petani pemilik sawah memudahkan
pengaturan pendistribusian air dan pembagian air antar petak relatif merata.
Pergiliran penyaluran air pada
saat terjadi El-nino 1997 di daerah irigasi Macan hulu seksi UASA Binong Perum
Jasa Tirta II, mampu menyelamatkan sebahagian besar areal padi dari total areal
seluas 3.246 ha pada masa tanam MK I dari puso (Farhan, 1999). Debit irigasi pada saat tersebut sekitar 500
ltr/detik, jauh lebih kecil dari debit normal.
Keberhasilan gilir giring yang dilakukan pada saat tersebut ditunjang
oleh kerja sama yang sangat baik antara petugas pengairan dan P3A. Aktifitas pengaturan penyaluran dan pembagian air dilakukan siang malam.
Perencanaan pola dan waktu tanam
serta realisasinya sangat membantu mereduksi pengaruh kekeringan pada areal
tanam padi. Sebagai ilustrasi diberikan
contoh pola dan waktu tanam yang telah disusun di daerah pengairan waduk Pondok
Dati II Ngawi, Jawa Timur (Gambar 1).
Curah hujan berpotensi untuk mencukupi kebutuhan konsumtif tanaman padi
pada masa tanam MH I, sehingga kebutuhan air tambahan melalui irigasi atau
pompa air tanah relatif kecil. Masa
tanam MH II, air irigasi dibutuhkan pada periode 10 hari terakhir bulan April
(fase vegetatif aktif) sampai akhir bulan Mai (fase reproduktif). Bulan Juni air tambahan tidak dibutuhkan
lagi, karena tanaman memasuki pase pematangan.
Suplemen air sangat dibutuhkan pada masa tanam MK, mulai dari pengolahan
tanah sampai fase reproduktif. Masa
tanam MK padi ditanam pada areal sawah yang persediaan airnya mencukupi dan
palawija di areal lainnya.
Kedaan tersebut berlaku pada keadaan
iklim normal maupun iklim ekstrim pada saat terjadi peristiwa El-nino. Kemarau panjang pada saat peristiwa El-nino
secara umum terjadi pada pertengahan tahun.
Pengaruh El-nino terhadap pengurangan curah hujan mulai terjadi pada
akhir April. Kekeringan di areal tanam
padi mulai terasa sejak awal Mai. Pada
bulan Mai tanaman masa tanam MH II sebahagian dalam fase reproduktif dan
sebahagian dalam fase pematangan.
Tanaman yang telah memasuki fase pematangan tidak terpengaruh oleh
pengurangan suplai air, sedangkan tanaman yang pada saat tersebut sudah
memasuki fase akhir reproduktif, pengaruh berkurangnya ch cenderung tereduksi.
Oleh sebab itu jadwal dan pola tanam yang disusun dengan memperhatikan sebaran
hujan seperti pada Gambar 1, secara tidak langsung dapat memperkecil dampak
kemarau panjang terhadap areal tanam padi dan mengurangi penggunaan air irigasi
sehingga efisiensi penggunaan air irigasi akan meningkat.
Pola Tanam
Baku :
:
ps masa pertumbuhan ps masa pertumbuhan ps
masa pertumbuhan
MH I MH II MK I
(padi) (padi) (padi dan palawija)
Gambar 1. Suplai air curah
hujan (RN) + irigasi (Qn) dalam periode sepuluh harian dan pola tanam baku di
kawasan pengairan waduk Pondok daerah
Dati II Ngawi, Jawa Timur.
ps = pengolahan tanah dan
sebar benih, WD = Kebutuhan konsumtif tanaman berdasarkan perhitungan Oldeman
(Farhan dan Kartaatmadja, 2001).
Semua daerah di Indonesia sebenarnya telah
menyusun pola dan waktu tanam sesuai dengan kondisi hidrologis
masing-masing. Akan tetapi di
daerah-daerah irigasi yang bersumber dari waduk, untuk menghindari puncak penyaluran
air, perhatian lebih ditekankan pada keadaan debit waduk dari pada curah hujan
dan pola sebarannya. Keadaan tersebut
bertentangan dengan prinsip pengairan yang seharusnya air irigasi digunakan
sebagai suplemen pada saat curah hujan tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumtif
tanaman. Akibatnya pertimbangan
tersebut rentan terhadap kekeringan, sebab bagaimanapun persediaan air
permukaan sangat dipengaruhi oleh curah hujan sebagai sumber air terbesar di
daerah tropik.
Sebagai contoh
Perum Jasa Tirta II membagi golongan air sampai 4 golongan dengan interval masa
tanam 15 hari untuk setiap golongan.
Pembagian golongan air sampai 4 golongan di areal pengairan Perum Jasa
Tirta II dengan interval 15 hari sehingga menyababkan keterlambatan tanam 2
bulan di areal golongan 4 perlu ditinjau kembali. Kurang kedisiplinan petani mematuhi jadwal
tanam mengakibatkan keterlambatan tanam di pengairan waduk Juanda mencapai 4
bulan (berkembang menjadi 8 golongan air), sebanding dengan satu masa
tanam.
Pergeseran waktu tanam yang cukup besar
berdampak pada berkurangnya pemanfaatan curah hujan efektif pada sebahagian
areal tanam, sehingga mengurangi efisiensi pemanfaatan air irigasi. Selain itu tanaman yang ditanam terlambat
sangat rentan dari terpaan kekeringan pada peristiwa El-nino (Gambar 1). Waktu
tanam pada areal golongan I ditetapkan pada bulan Oktober; keterlambatan 2
bulan menyebabkan areal pada golongan 4 baru tanam pada bulan Desember,
sehingga curah hujan Oktober dan November tidak termanfatkan di areal ini, akan
lebih parah lagi untuk areal yang
mengalami keterlambatan tanam sampai 4 bulan.
Menyadari keadaan tersebut dan sulitnya melakukan pendistribusian air
serta mengatasi terjadinya kekeringan terutama untuk areal di lokasi hilir
saluran, kepala seksi UASA Patrol bertekat untuk menata kembali jadwal tanam
pada masa tanam 2000/2001, sehingga mendekati pada jadwal yang telah ditetapkan
(wawancara pribadi).
Kebutuhan
air untuk kegiatan pengolahan tanah sempurna dan melumpur, paling sedikit 200 mm/ha/musim. Tanaman padi mengkonsumsi air untuk satu musim tanam sekitar 676 mm/ha
pada musim hujan (MH) dan 736 mm/ha pada musim kemarau (Fagi, 1998).
Pada saat terjadi El-nino, aplikasi teknologi
budidaya hemat air di tingkat operasional menjadi salah satu solusi yang
diharapkan mampu mengatasi keterbatasan persediaan air, mempercepat waktu tanam
dan panen.
a. Pengolah tanah hemat air
Di kawasan irigasi teknis, umumnya pengolahan tanah dilakukan secara
sempurna dan melumpur. Tanah baru diolah setelah beberapa
hari air merendam petak sawah. Waktu pengolahan tanah dibutuhkan 21 28 hari (Saptana, et al.,
2000). Sistem olah tanah tersebut
kurang tepat dilaksanakan pada saat kekurangan air, karena membutuhkan air
relatif banyak dan waktu yang relatif lama
(Farhan et al., 2001).
Rekomendasi teknik olah tanah sempurna dalam INSUS paket-D perlu
disempurnakan. Ketentuan tentang pengolahan tanah sempurna
sampai melumpur dalam paket-D perlu ditinjau kembali, terutama pada masa tanam
MK (Fagi, 1998).
Percepatan tanam pada kondisi persediaan air terbatas dapat diatasi melalui teknologi olah tanah, antara lain Olah Tanah Minimum (minimum tillage, OTM) dan Tanpa Olah Tanah (zero tillage, TOT). OTM merupakan cara pengolahan tanah yang hanya membutuhkan satu kali rotari. Apabila populasi gulma banyak, maka sebelum tanah di rotari terlebih dahulu gulma dibasmi dengan herbisida. Dua hari kemudian, aplikasi herbisida diulangi (spot spray) apabila terdapat gulma yang tidak terkena herbisida pada saat aplikasi pertama. Dua hari berikutnya sawah dapat dirotari dan diratakan untuk siap ditanam. Teknik OTM membutuhkan waktu persiapan lahan antara 8 11 hari.
TOT merupakan
salah satu bentuk persiapan tanah yang telah dimulai sekitar tahun 1960-an dan
berkembang sekitar 1970-an (Watson dan Allen, 1985). Dengan sistem ini tanah tidak diolah dengan cara
konvensional seperti dicangkul, ditraktor atau digaru sehingga cocok untuk
konservasi. Herbisida digunakan untuk
mematikan sisa-sisa tanaman musim lalu atau gulma.
Penggunaan herbisida Paraquat Gramoxone memiliki sistem kerja
kontak sehingga tidak residual di dalam tanah dan tanaman pokok, pada sistem
TOT mampu mengurangi penggunaan air sekitar 15 % dan mengurangi waktu olah
tanah sekitar 14 hari tanpa mengurangi hasil padi (Kartaatmadja, at al.,
1999). Konsumsi air dalam satu periode tanam akan lebih
hemat apabila sistem TOT dikombinasikan dengan sistim pengairan
intermiten. Kombinasi sistem tanam TOT
dengan selang pemberian air 3 hari sekali memberikan nilai efisiensi produksi
tertinggi, yaitu 4,3 kg gabah/m3 air (Kartaatmadja et al.,
1999).
Disebahagian kabupaten Aceh Barat,
sistim tanam TOT tanpa menggunakan herbisida telah lama dilaksanakan di areal
sawah irigasi pedesaan. Rumput yang
tumbuh setelah sawah diberakan, dibabat dan dibakar kemudian sawah
digenangi. Setelah tanah jenuh dan
lunak, dilakukan penanaman dengan menggunakan alat Ukee Kameeng,
yaitu suatu alat dibuat dari kayu berbentuk tongkat dan ujungnya menyerupai
kuku kambing. Alat tersebut berfungsi untuk menusuk benih ke dalam tanah. Belum
diperoleh laporan ilmiah tentang efektifitas dan produktifitas padi yang di
tanam dengan cara tersebut.
Di areal pengairan waduk Cipancuh kecamatan Haurgeulis, kabupaten Indramayu,
pengolahan tanah dilakukan dalam keadaan lembab. Petani-petani segera mengolah tanah sejak terjadi hujan kedua di
awal musim hujan. Persemaian dilakukan dalam keadaaan
kering. Air irigasi dari waduk baru
disalurkan ketika benih akan ditanam. Sistem olah tanah kering selain mengurangi konsumsi air irigasi
juga mengatasi perbedaan waktu tanam antara sawah di lokasi hulu dengan sawah
di lokasi hilir saluran.
b.
Tenik budidaya padi sawah hemat air
Teknologi-teknologi budidaya padi hemat air yang telah
ditemukan di kebun percobaan maupun telah diuji coba di tingkat areal petani
dapat segera disuluhkan untuk sosialisasinya.
Teknologi yang telah turun menurun dilakukan petani di beberapa lokasi
spesifik, terutama dari daerah-daerah yang kekurangan air, perlu dikaji ulang
untuk memperkaya teknologi budidaya padi sawah hemat air, sehingga adopsi
teknologi tersebut memberi peluang mengatasi kekurangan air pada saat
berlangsungnya peristiwa El-nino (Farhan, 2000).
Kondisi hidrologis pada saat terjadi kemarau panjang lebih kering dari
pada dalam kondisi iklim normal. Tanaman
padi berpeluang mengalami jumlah hari cekaman air lebih lama dari resistansi
cekaman kekurangan air masing-masing varietas.
Jumlah hari cekaman air yang dialami tanaman dalam batas tertentu,
tergantung pada ekofisiologis dan varietas, dapat menimbulkan keragaman
produksi padi (Chandra et al., 1988, Farhan, 1999).
Masalah lain yang berhubungan dengan
kondisi keterbatasan persediaan air adalah terlambatnya penyaluran air irigasi
ke areal persawahan di lokasi hilir saluran.
Pada musim kemarau jadwal tanam
bergeser 1 8 minggu (Fagi, 1998).
Beberapa cara tanam yang dapat memperkecil pengaruh kekurangan air atau
keterlambatan penyaluran air ke lokasi hilir, antara lain sebar benih langsung,
gogorancah dan TABELA.
Di Pantura
pulau Jawa, hasil percobaan kombinasi teknik olah tanah kering dengan sebar
benih langsung dalam baris (row seeding) dari padi varietas IR-28, IR-38
dan IR-64, memberikan hasil lebih tinggi dari pada tanam pindah dengan teknik
olah tanah sempurna (Fagi,1998).
Kombinasi yang lain juga telah diwarisi oleh sebahagian besar petani
kabupaten Aceh Besar; pengolahan tanah kering dipadukan dengan sistim sebar
benih langsung, memantapkan kesinambungan usaha budidaya padi di daerah
tersebut, walaupun curah hujannya kurang dari 2000 mm/tahun.
Sistim tanam benih langsung
(TABELA) tidak membutuhkan masa penyesuaian seperti pada cara tanam pindah,
sehingga megurangi umur tanaman 10 15 hari (Anonymous, 1998). Pengurangan umur memberi arti untuk
minimalisasi penggunaan air. Pengunaan
air untuk evapotranspirasi dan perkolasi pada budidaya padi di sawah beririgasi
yang kandungan liatnya lebih besar dari 60 %, sebesar 7,5 8,5 mm/hari
(Farhan, 1999), maka pengurangan umur 10 hari mampu mengurangi konsumsi air 75
85 mm/musim setara dengan 750 850 m3/ha dan 112,5 127,5
mm/hari setara 1.125 1.275 m3/ha apabila pengurangan umur tanaman
mencapai 15 hari. Reduksi penggunaan
air sejumlah tersebut sangat berarti dalam kondisi menghadapi kemarau panjang,
terlebih-lebih adanya kecenderungan pengurangan jumlah air sekarang ini.
Sitem TABELA juga mampu mempercepat
waktu panen, sehingga perbedaan waktu panen dalam suatu kawasan dapat diperkecil. Sesuia dengan uraian sebelumnya, Sjamsudin
dan Karama (1996) berpendapat, sistim TABELA yang dipadukan dengan TOT atau
pengolahan tanah kering dan pengairan terputus, perlu dikaji dalam skala luas
dan disuluhkan kepada petani untuk menerapkannya dengan penuh kesadaran dan
keyakinan.
Curah
hujan efektif (che) untuk tanaman pangan diartikan sebagai jumlah curah hujan
yang langsung dapat digunakan tanaman atau yang tersimpan melalui peningkatan
lengas tanah di sekitar perakaran.
Curah hujan dalam setiap kejadiaannya atau dalam periode tertentu tidak
semua efektif dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumtif tanaman. Perbedaan kondisi lapangan dan cuaca/iklim
mempengaruhi tingkat efektifitas curah hujan.
Antara areal pertanian atau antara tanaman yang satu dengan yang
lainnya, perhitungan che tidak sama.
Akan tetapi semua para ahli sepakat bahwa sistem pengirigasian yang
memperhitungkan che mampu menekan jumlah penggunaan air irigasi.
Meskipun semua kawasan pengairan
telah memperhitungkan che sesuai dengan kondisi fisik tanah, topografi dan
cuaca/iklim di masing-masing areal servis, akan tetapi secara umum pemanfaatan
che belum optimal dapat dilakukan (Farhan, 1999 dan Farhan dan Kartaatmadja
2001). Penyaluran air irigasi tetap
dilakukan meskipun che mencukupi kebutuhan konsumtif tanaman. Kendala operasional penyaluran air irigasi
sesuai dengan kebutuhan di lapangan antara lain disebabkan sistem informasi
belum otomatis dan pengawasan di lapangan kurang ketat (Subari dan Baskoro,
1998) serta koordinasi lembaga yang berwenang untuk pengaturan dan pemakai air
relatif masih rendah.
Berhubungan dengan peristiwa El-nino, pemanfaatan che bukanlah pada saat peristiwa tersebut berlangsung, sebab pada saat tersebut kejadian hujan talah langka dan intensitas curah hujan rendah. Pemanfaatan che lebih ditekankan pada periode sebelumnya. Sehubungan dengan itu, pemanfaatan che untuk mengurangi dampak kemarau panjang hanya memungkinkan pada areal irigasi yang bersumber dari waduk. Che memungkinkan menghemat pengeluaran air dari waduk. Peningkatan kuantitas air tersimpan di waduk dapat digunakan untuk masa tanam yang akan datang, memperluas areal tanam MK, meningkatkan indek pertanaman pada saat iklim normal atau meningkatkan kesiapan menghadapi kemarau panjang akibat anomali iklim El-nino.
Tulisan ini dirasakan masih kurang didukung oleh data-data dari penelitian yang konferhensif. Meskipun demikian diharapkan dapat menjadi suatu bahan renungan atau masukan yang memberi inspirasi untuk penelitian lanjutan. Oleh sebab itu kelemahan-kelamahan dari tulisan ini sangat perlu dikaji kembali melalui penelitiaan adaptif. Sebagai tulisan yng berusaha melemparkan ide-ide atau pemikiran awal, adanya saran-saran yang kontruktif sangat diharapkan untuk memperbaiki bahkan memperluas wawasan yang telah ada.
Abdurachman, A., I. Las, A. Hihayat dan E. Pasandaran
1999. Optimalisasi Sumber Daya lahan
dan Air Untuk Pembangunan Pertanian Tanaman Pangan. Dalam: Simposium
penelitian tanaman pangan IV. Tonggak
kemajuan teknologi produksi tanaman pangan.
Konsep dan strategi peningkatan produksi pangan. PUSLITTAN-Badan
LITBANGTAN. Bogor, 22 24 November 1999. Pp. 28 54.
Anonymous. 2000.
Laporan Utama; Studi Optimalisasi Pemanfaatan Air Waduk Wadaslintang dan
Waduk Sempor. Balai pengelolaan sumber
daya air wilayah sungai Progo ogowonto luk ulo. Kotoarjo.
Candra, D., K. C.
Das dan N. L. Meena.
1988. Influence of planting
method and irrigation practices on rice water requitment. IRRI, Fhillipines. P. 13:25,
Fagi, A. M., I. Syamsiah dan D. Setiobudi. 1988. Efisiensi Penggunaan Air Pada Tanaman
Pangan. Penelitian Tanaman
Pangan, Buku 2. Puslitbang Tanaman
Pangan, Bogor.
Fagi, A. M.
1998. Hasil Penelitian Utama
Untuk Mendukung Pengembangan Lahan Sawah Beririgasi. Puslitbang Tanaman Pangan,
Bogor.
Farhan,
A. 1999. Kinerja Pendistribusiaan Air
Irigasi Serta Pengaruh Lokasi dan Pupuk N Terhadap Produksi Padi. Tesis PPs-IPB program studi agroklimatologi,
Bogor.
_______ . 2000. Penerapan Teknik Tanam Padi Sawah Sesuai Kondisi Spesifik Lokasi. Prosiding seminar nasional penelitian dan pengembangan pertanian di lahan rawa 25 27 juli 2000 di Wisma Jayaraya Cipayung Bogor Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu ISDP. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
_______ . 2001. Pengaruh El-Nino Terhadap
Kekeringan Di Areal Tanam Padi Dan Modifikasi Yang Dilakukan Petani Dalam
Menghadapi Kemarau Panjang (Suatu tinjauan kasus di Dati II Ngawi Jawa
Timur). (Makalah belum
dipublikasikan). Bogor.
Farhan, A., S. Praja dan I. Prasadja. 2001. Teknik Terapan Percepatan Tanam Untuk
Mengantisipasi Kekurangan Air Di Kawasan Irigasi Teknis. Bahan seminar antisipasi El-Nino; implementasi budaya hemat
air di Indonesia pada tanggal 21 22 Pepruari 2001di Hotel Salak Bogor.
Farhan, A. dan Kartaatmadja 2001. Pengkajian Peluang Peningkatan Efisien Air
Irigasi Yang Bersumber Dari Waduk. j.
Saint Teks edisi khusus Oktober 2001. universitas Semarang. Pp.641-652.
Hermanto, Sumaryanto dan E.
Pasandaran. 1995. Pengelolaan
sumberdaya dalam Rangka Menunjang Pemantapan Swasembada Pangan. Prosiding Simposium Meteorologi Pertanian IV
di Yogyakarta 26 28 Januari 1995, PP:48 54.
Justika Baharsyah, S. 1996. Sambutan ketua Pengurus Pusat PERAGI dan PERHIMPI. Prosiding sminar nasional Gerakan Hemat Air
11 Juli 1995, Jakarta. P:vii - xii.
Justika Baharsyah, S. dan Fagi A. M. 1996. Konsepsi dan Impimentasi Gerakan Hemat
Air. Prosiding simposium meteorologi
pertanian IV 26 28 Januari 1995, Yogyakarta. Pp.35-47.
Kartaatmadja, S., A. Farhan, D. Setiobudi, A. S. Wityanara dan T. S. Kadir. 1999. Keterkaitan antara cara Pengolahan Tanah, Pemupukan, dan Pengendalian Penyakit Tanaman Dengan Pengololaan Air Irigasi. Laporan proyek penelitian ARMP II (belum diplubikasikan). Balai Penelitian Padi, bekerja sama dengan Proyek Pembinaan Keembagaan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balitbangtan Pertanian, Sukamandi.
Posposutardjo, S. 1996.
Rancang Bangun dan Sistem Jejaring Irigasi, Serta Agihan Air dalam
Kaitannya dengan Gerakan Hemat Air.
Prosiding Seminar Nasional Gerakan hemat Air. Kerja sama Lemhanas, Perhimpi,
Peragi dan Perhepi, Jakarta, P:85 - 100.
Partowijoto, A. 2001. Himpunan Makalah Seminar Teknik Tanah dan Air (19998 2000), Edisi ke-3, Bogor.
Sjamsudin, E dan. A. S. Karama. 1996. Budidaya Hemet Air
dan Panen Hujan. Proseding Seminar
Nasional Gerakan Hemat Air, tanggal 11 Juli 1996, Jakarta. Pp. 69 75.
Setiawan, E. B. 1998.
Studi pengauh Monsun dan El-nino Southern Ocillation (ENSO) Terhadap
Curah Hujan di Aceh. Skripsi IPB-FMIPA
jurusan Agrometeorologi, Bogor.
Subari dan D.
Baskoro. 1998. Perencanaan dan Pengaturan Air Irigasi
dengan Bantuan Sistem Komputer dan Komunikasi di Daerah Irigasi Way
Sekampung. Informasi Teknik: Balai Penelitian Irigasi, departemen Pekerjaan Umum,
Bekasi. 2 : 53.
Saptana, Sumaryanto, Hendiarto, R. S. Rivai, Sunarsih, A. murtiningsih dan V. Siagian. 2000. Rekayasa Optimalisasi Alokasi Air Irigasi dalam Rangka Peningkatan Produksi Pangan dan Pendapatan Petani (Tahap II). Puslit PSE Pertanian, BADAN LITBANG, Bogor.
Watson, G. A. and H. P. Allen. 1985. Limited Tillage Around the Word. In A. F. Wiese (Ed.) Limited Tillage Systems. Weed Science Society of America, USA. Pp:175 210.
Winarso, P. A. 1997. Karakteristik Gejala Alam El Nino Dan
Dampaknya. Makalah seminar ALGAS 3
November 1997, di hotel Ibis, Jakarta.
Winarso, P. A. 2001.
Analisis kondisi Kekeringan ditinjau dari Perkembangan Musim dan Prospek
Prakiraan Kekeringan di Indonesia untuk tahun 2002. BMG, Jakarta.