MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN KAWASAN PESISIR SECARA TERPADU

© 2001 Suzy Anna                                                                                             Posted   25 April 2001  (rudyct)

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Juni 2001

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

 

USULAN PENELITIAN

 

MODEL PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR DAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

SECARA TERPADU

 

 

 

 

 

Oleh :

 

SUZY ANNA

 

P31600019 – SPL

 

zuzyanna@bdg.centrin.net.id

 

 

 

 

 

KATA   PENGANTAR

 

 

 

          Suatu penelitian dapat dikatakan berhasil apabila mengandung nilai aplikasi yang dapat berguna bagi kemaslahatan umat manusia di dunia ini.  Artinya ada suatu nilai tambah,  jadi  tidak hanya penelitian untuk penelitian itu sendiri, namun penelitian yang sifatnya lebih kepada pencarian sesuatu yang baru yang dapat digunakan dalam hidup dan berkehidupan manusia dalam suatu nilai-nilai yang positif. Untuk sampai kepada tujuan tersebut, sudah barang tentu penelitian yang dibuat haruslah berdasarkan kepada permasalahan yang ada dan ditujukan untuk menjawab permasalahan tersebut.

          Berkaitan dengan hal tersebut, penulis memperhatikan bahwa salah satu aspek permasalahan dalam pengelolaan pesisir dan laut secara berkelanjutan adalah pencemaran perairan pesisir yang disebabkan oleh aktivitas manusia di lahan atasnya, yang biasanya dibawa melalui aliran sungai.  Menurut penulis untuk menjawab permasalah ini diperlukan suatu penelitian mengenai bentuk pola atau model pengelolaan kawasan pesisir dan aliran sungai secara terpadu, yang penulis anggap sebagai solusi yang paling tepat.

          Sebagai suatu penelitian, tentu saja diharapkan bahwa apa-apa yang akhirnya dihasilkan, dapat digunakan oleh seluruh stake holders yang berhubungan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan laut, sebagai bahan rujukan.

          Akhirnya tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Yth. Bapak Prof Dr. Ir.  Rudy C. Tarumingkeng dan  Bapak Prof Dr. Ir. Zahriahl Coto, yang telah memberikan bimbingan  pada mata kuliah Filsafat Ilmu, sehingga penulis dapat menyusun  bahan usulan penelitian  ini dalam sudut pandang filsafat ilmu.

 

I.        PENDAHULUAN

1.1.           Latar Belakang

Pemulihan krisis ekonomi dan mewujudkan bangsa Indonesia yang maju, makmur serta berkeadilan, sebagai keinginan kolektif seluruh komponen bangsa, memerlukan upaya secara terus-menerus di dalam menggali sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru, selain memelihara sumber-sumber pertumbuhan yang ada. 

Mengingat kemampuan pembangunan Indonesia masih berada pada tahap factor-driven economy (Porter, 1998), yakni proses pembangunan yang bertumpu pada pemanfaatan SDA (sumberdaya alam); sementara ketersediaan SDA di daratan semakin menipis, maka SDA kelautan menjadi tumpuan harapan untuk sumber pertumbuhan ekonomi baru Indonesia.  Apabila pemanfaatan dan pengelolaan SDA kelautan dilakukan dengan melalui penerapan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) yang tepat dan benar serta memperhatikan aspek-aspek efisiensi ekonomi, pemerataan hasil pembangunan, dan kelestarian (sustainability) dari SDA kelautan itu sendiri, maka pembangunan SDA kelautan tidak hanya dapat membantu Indonesia keluar dari krisis ekonomi, tetapi dapat menghantarkan bangsa ini menjadi maju, makmur, mandiri dan berkeadilan.  Penerapan IPTEK dan manajamen profesional secara sistematis dalam pembangunan SDA kelautan ini merupakan elemen utama bagi bangsa Indonesia untuk beralih dari tahap pembangunan yang berbasis pada factor-driven economy kepada basis innovation-driven economy atau knowledge-based economy (Thurow, 2000).

Baik dari sisi kemampuan penawaran (supply capacity) maupun permintaan, Indonesia memiliki potensi pembangunan kelautan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan yang sangat besar.  Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas laut (5,8 juta km2) sekitar tiga-perempat dari total luas wilayah Indonesia (7,7 juta km2), garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang kedua setelah Kanada), dan kandungan sumberdaya alam serta jasa-jasa lingkungan kelautan yang beragam serta berlimpah, Indonesia secara potensial sesungguhnya dapat menjadi negara maritim yang maju dan makmur.  Sementara itu, kecenderungan permintaan nasional maupun dunia terhadap barang dan jasa kelautan, seperti ikan dan seafood lainnya, pariwisata bahari, mineral dan energi,  dan jasa perhubungan laut, semakin meningkat.

Namun demikian, di balik prospek pembangunan yang cerah tersebut, terdapat berbagai gejala kerusakan lingkungan (termasuk pencemaran, overfishing, abrasi pantai, kerusakan fisik habitat pesisir, konflik penggunaan ruang, dan lain sebagainya) di kawasan-kawasan pesisir yang padat penduduk serta tinggi intensitas pembangunannya, seperti Selat Malaka, Pantai Utara Jawa, Makassar, dan sebagian Bali, pada tingkat yang telah mengancam kesinambungan pembangunan itu sendiri.  Sementara itu, kemiskinan yang masih melilit sebagian besar penduduk pesisir juga menjadi akibat sekaligus penyebab kerusakan lingkungan kawasan pesisir dan lautan.

Diantara sekian banyak fenomena kerusakan lingkungan pesisir, pencemaran dan sedimentasi merupakan salah satu permasalahan utama.  Pencemaran tidak hanya dapat mengakibatkan kematian dan penurunan produktivitas ikan serta biota laut lainnya, tetapi juga dapat membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi biota laut dan menurunkan nilai estetik serta pariwisata kawasan pesisir.  Padahal 85% dari biota laut tropis, termasuk Indonesia, kehidupannya sangat bergantung pada ekosistem pesisir (Berwick, 1983) dan 90% dari total hasil tangkapan ikan dunia berasal dari laut pesisir (coastal waters) (FAO, 1998).  Oleh karena itu, apabila pencemaran pesisir tidak segera ditanggulangi, maka kesinambungan pembangunan ekonomi di kawasan pesisir dan laut Indonesia akan terancam.

Dalam pada itu, 85% bahan pencemar yang terakumulasi di kawasan pesisir dan laut berasal dari daratan (UNESCO, 1993; UNEP, 1998).  Gambaran ini juga terjadi di Indonesia, khususnya Pantai Utara Jawa (PKSPL, 1997).  Dengan demikian, keberhasilan penanggulangan pencemaran kawasan pesisir dan laut sangat ditentukan oleh keberhasilan upaya pengelolaan pencemaran di daratan (lahan atas, upland areas).  Mengingat bahwa sebagian besar bahan pencemar maupun sedimen dari daratan sampai ke perairan pesisir dan laut melalui aliran air sungai, maka penyelesaian masalah pencemaran pesisir dan laut akan sangat tepat jika didekati melalui pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) dan Kawasan Pesisir secara Terpadu.

1.2.           Perumusan Masalah

Agar suatu penelitian dapat dilaksanakan secara tepat dan benar serta mencapai tujuan yang diharapkan, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah merumuskan permasalahan tentang topik penelitian secara tepat dan benar pula (Arikunto, 1998).

Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa kawasan pesisir[1] merupakan salah satu kawasan di permukaan bumi yang paling produktif dan memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) yang tinggi.  Lahan pesisir (coastal land) pada umumnya tersusun dari endapan alluvial, sehingga subur dan baik untuk kegiatan usaha pertanian.  Oleh karena itu dapat dimengerti, jika lumbung pangan (khususnya padi) Indonesia sebagian besar terdapat di dataran rendah pesisir, seperti sepanjang Pantai Utara Jawa, Pantai Timur Sumatera, dan lahan pesisir Propinsi Sulawesi Selatan.  Kawasan pesisir juga merupakan tempat bagi ekosistem dengan produktivitas hayati yang tinggi, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun (seagrass beds), dan estuaria.  Sementara itu, aliran unsur hara yang berasal dari daratan melalui aliran air sungai dan run-off membuat perairan pesisir (coastal waters) jauh lebih subur dan produktif dari pada perairan laut lepas.

Selain secara hayati produktif, kawasan pesisir juga menyediakan ruang (space) dengan aksesibilitas lebih tinggi bagi kegiatan transportasi dan kepelabuhanan serta ruang yang relatif mudah dan murah bagi kegiatan industri serta pembuangan limbah dibandingkan dengan ruang di daerah lahan atas.  Lokasi-lokasi pantai, terumbu karang, dan panorama alam yang indah banyak juga terletak di kawasan pesisir, sehingga kegiatan pariwisata bahari dan pantai, seperti Bunaken, Taka Bone Rate, Bandanaera, Gili Menok, Gili Air dan Gili Terawangan,  Pangandaran, dan Kepulauan Nias, berkembang di kawasan ini.

Dengan perkataan lain, kawasan pesisir sebenarnya merupakan kawasan pembangunan serba neka (multiple-use zone).  Kawasan pesisir, seperti Jakarta Utara dan Bali, biasanya digunakan untuk berbagai macam kegiatan pembangunan termasuk pertanian, perikanan tangkap, perikanan budidaya, kehutanan, pariwisata, kawasan industri, kawasan permukiman, pertambangan dan energi, dan transportasi. 

Fakta juga menunjukkan bahwa kawasan pesisir merupakan tempat konsentrasi penduduk yang paling padat. Sekitar 75% dari total penduduk dunia bermukim di kawasan pesisir. Dua pertiga dari kota-kota di dunia dengan penduduk lebih dari 2,5 juta jiwa terdapat di wilayah pesisir (UNESCO, 1993; Edgern, 1993 dalam Kay dan Alder, 1999). Bahkan sekitar 86% penduduk Australia, yang hanya memiliki daratan pesisir seluas 17% dari luas total benua ini, bertempat tinggal di kawasan pesisir (Southern Cross University, 1997). Keadaan serupa juga terjadi di Indonesia, dimana hampir 60% jumlah penduduk  dan kebanyakan kota-kota besar (seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan dan Makassar) menyebar di kawasan pesisir (Dahuri, et al.,1996).

Sehubungan dengan konsentrasi penduduk dan kegiatan pembangunan di kawasan pesisir, maka kawasan ini juga menerima tekanan lingkungan yang paling berat dibandingkan dengan kawasan lahan atas maupun laut lepas (open ocean).  Tekanan lingkungan yang terjadi di kawasan pesisir antara lain berupa konflik penggunaan ruang antar sektor pembangunan, overeksploitasi SDA, keruskan fisik habitat pesisir, pencemaran dan sedimentasi.  Diantara sekian banyak wujud kerusakan lingkungan tersebut, pencemaran dan sedimentasi merupakan permasalahan yang paling rumit dan membahayakan.  Kerumitan mengatasi permasalahan pencemaran dan sedimentasi disebabkan oleh karena sumber pencemaran dan sedimentasi bukan hanya berasal dari kegiatan-kegiatan manusia yang berada di dalam kawasan pesisir, tetapi justru lebih banyak bersumber dari berbagai kegiatan manusia di daratan lahan atas.  Dampak negatip pencemaran dan sedimentasi tidak hanya dapat menimbulkan kerugian ekonomis dan ekologis berupa penurunan produktivitas hayati perairan, kematian ikan dan biota laut lainnya, kerusakan atau penurunan nilai estetika, tetapi dapat membahayakan kesehatan bahkan kematian manusia yang memanfaatkan perairan pesisir atau mengkonsumsi biota laut (seafood).

Atas dasar deskripsi tentang keterkaitan ekologis antara ekosistem daratan lahan atas dengan kawasan pesisir melalui aliran air sungai serta bahan pencemar (pollutants) dan sedimen, maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian[2] sebagai berikut::

1.                                                                                          Berapa besar beban pencemaran (pollution load) yang berasal dari daerah lahan atas yang masuk ke dalam perairan pesisir dalam suatu sistem DAS (Daerah Aliran Sungai), untuk jenis pencemar organik (organic matter), unsure hara (nutrients), dan sedimen.

2.                                                                                          Variabel-variabel apa saja yang mempengaruhi besar-kecil nya beban pencemaran dari lahan atas terhadap perairan pesisir dalam  suatu sistem DAS.

3.                                                                                          Bagaimana dampak beban pencemaran dari daratan lahan atas terhadap kualitas perairan pesisir, yang tercermin pada konsentrasi bahan pencemar organik, unsur hara (N dan P), dan sedimen.

4.                                                                                          Bagaimana dampak penurunan kualitas perairan pesisir akibat beban pencemaran dari daratan lahan atas terhadap produktivitas hayati (perikanan) perairan pesisir termaksud.

1.3.           Hipotesis

Pada dasarnya hipotesisi dapat diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul dari penelitian (Kerlinger, 1978; Arikunto, 1998).  Oleh karena itu, hipotesis dapat juga dianggap sebagai pedoman kerja dalam penelitian.

Beranjak dari latar belakang permasalahan penelitian seperti diuraikan di atas, maka dapat disusun  hipotesis berikut:

1.       Penataan ruang DAS yang baik dan benar akan meminimalkan beban pencemaran yang berasal dari daratan lahan atas terhadap perairan pesisir.

2.       Semakin kecil beban pencemaran dari daratan lahan atas suatu DAS, maka kualitas perairan pesisir DAS tersebut akan semakin baik.

3.       Semakin baik kualitas perairan pesisir, maka produktivtias perikanan perairan  pesisir tersebut akan semakin tinggi.

1.4.           Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Atas dasar pertanyaan dan hipotesis penelitian di atas, maka penelitian ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan berikut:

1.       Untuk memperkirakan (to assess) beban pencemaran organik, unsur hara, dan sedimen dari daratan lahan atas terhadap ekosistem perairan pesisir  dalam suatu sistem DAS menurut beberapa skenario pembangunan (tata ruang dan jenis kegiatan pembangunan).

2.       Untuk mengetahui dampak beban pencemaran dari daratan lahan atas terhadap kualitas perairan pesisir suatu sistem DAS.

3.       Untuk mengetahui dampak perubahan kualitas perairan pesisir akibat masukan beban pencemaran dari daratan lahan atas terhadap produktivitas perikanan perairan pesisir tersebut.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan utama dalam perencanaan pembangunan kawasan pesisir dan DAS secara terpadu, sehingga hasil pembangunan dapat dicapai secara optimal dan lestari.

 

 

II.   LANDASAN TEORI TENTANG KETERKAITAN EKOLOGIS ANTARA KAWASAN PESISIR DAN LAHAN ATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI

 

Kajian pendekatan keterkaitan ekologis antar ekosistem pesisir dan daerah aliran atas dalam penataan ruang wilayah yang berwawasan lingkungan memuat pengetahuan dari berbagai acuan, baik penelitian terdahulu maupun acuan lainnya yang berkaitan dengan topik penelitian.  Dimulai dengan pembahasan tentang batasan kawasan pesisir, dampak kegiatan pembangunan di kawasan hulu maupun di kawasan pesisir terhadap kawasan pesisir, peranan Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam kaitannya dengan topik penelitian yaitu pendekatan keterkaitan ekologis hulu-hilir.  Hal tersebut dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman tentang keunikan kawasan pesisir serta aspek-aspek yang mempengaruhi fungsi ekologis kawasan pesisir dan sejauh mana peran DAS dalam keterkaitan dengan hulu-hilir.  Kajian tersebut dilakukan untuk mengetahui aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang wilayah yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan serta sejauh mana internalisasi aspek lingkungan (faktor DAS dan kawasan pesisir) dalam praktek perencanaan tata ruang wilayah yang telah dilaksanakan selama ini.  Selanjutnya, hal-hal tersebut dipakai sebagai acuan bagi penulis dalam mengelaborasikan butir-butir penting yang berkaitan dengan topik penelitian dalam rangka mencapai tujuan penelitian.

 

2.1 Batasan Kawasan Pesisir

 

Menurut Hansom (1988), kawasan pesisir meliputi daratan yang mengelilingi benua (continents) dan kepulauan, merupakan perluasan daratan yang dibatasi oleh pengaruh pasang surut yang terluar dari suatu paparan benua (continental shelf).  Menurut Clark (1992), kawasan pesisir merupakan kawasan peralihan antara ekosistem laut dan daratan yang saling berinteraksi.  Oleh karena itu setiap aspek pengelolaan kawasan pesisir dan lautan secara terpadu, baik secara langsung maupun tidak langsung, selalu berhubungan dengan air.  Hubungan tersebut terjadi melalui pergerakan air sungai, aliran air limpasan (run-off), aliran air tanah (ground water), air tawar beserta segenap isinya (seperti unsur nutrien, bahan pencemar dan sedimen) yang berasal dari ekosistem daratan dan akhirnya akan bermuara di perairan pesisir.  Unsur dan senyawa kimiawi, termasuk bahan pencemar, juga dapat diangkut dari ekosistem daratan atau udara dan ditumpahkan ke ekosistem pesisir melalui air hujan.  Pola sedimentasi dan abrasi pantai juga ditentukan oleh pergerakan massa air. Pergerakan massa air juga mempengaruhi perpindahan biota perairan (plankton, ikan dan udang) dan bahan pencemar dari satu lokasi ke lokasi lainnya.

 

Beatley et al. (1994), dinyatakan bahwa berdasarkan kesepakatan internasional kawasan pesisir didefinisikan sebagai kawasan peralihan antara laut dan daratan.  Ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua (continental shelf). 

 

Menurut Coastal Committee of NSW (1994), wilayah pesisir merupakan wilayah yang mempunyai batas ke arah daratan sejauh 1 km dari garis pantai saat kedudukan muka air tertinggi dan ke arah laut lepas sejauh 3 mil.  Wilayah pesisir dibatasi oleh daratan yang masih dipengaruhi oleh proses laut dan menghasilkan sistem-sistem bentuk daratan dan ekologi yang unik (Verhagen, 1994; Sekretariat Proyek MREP, 1997).

 

Menurut Kay dan Alder (1999), batasan pesisir dapat ditentukan berdasarkan pendekatan ilmiah (scientific definition) dan pendekatan kebijakan (policy oriented definition).  Secara ilmiah, Ketchum (1972 dalam Kay dan Alder 1999), mendefinisikan bahwa kawasan pesisir merupakan pertemuan antara daratan dan lautan dengan batasan ke daratan dan lautan ditentukan oleh pengaruh daratan ke lautan dan pengaruh lautan ke daratan.  Berdasarkan kebijakan, pada umumnya batasan kawasan pesisir merupakan wilayah administratif, baik ke darat maupun ke laut, ataupun batasan yang ditentukan secara politis (Hilldebrand dan Norrena, 1992; Jones dan Westmacott, 1993).  Menurut Dahuri (2000), untuk kepentingan pengelolaan, batasan ke arah darat suatu wilayah pesisir dapat ditetapkan menjadi 2 jenis, yaitu batasan untuk wilayah perencanaan (planning zone) dan wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day to day management).  Apabila terdapat kegiatan pembangunan yang dapat menimbulkan dampak secara nyata (significant) terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir, maka wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan (hulu).  Oleh karena itu, untuk kepentingan perencanaan, batas wilayah pesisir ke arah darat dapat ditetapkan sangat jauh ke arah hulu, misalnya kota Bandung untuk kawasan pesisir DAS Citarum.  Jika suatu program pengelolaan wilayah pesisir menetapkan dua batasan wilayah pengelolaan (perencanaan dan pengaturan), maka wilayah perencanaan selalu lebih luas daripada wilayah pengaturan.

 

Batasan kawasan pesisir suatu negara dapat berbeda dengan negara lainnya karena setiap negara memiliki karakteristik lingkungan, sumberdaya dan sistem pemerintahan tersendiri. Perbedaan penentuan batas kawasan pesisir di beberapa negara dapat dilihat pada Tabel 2.1.

 

Tabel 2.1. Praktek Penentuan Batasan Kawasan Pesisir di Beberapa Negara

No

Negara/Negara Bagian

Batas ke Arah Darat

Batas ke Arah Laut

1.       

Brasilia

2 km dari garis RPT

12 km dari garis RPT

2.       

California

1972-1976

1977-sekarang

 

1000 m dari garis RPT

Batas arbitrer tergantung isu pengelolaan

 

3 mil laut dari  GD

3 mil laut dari  GD

3.       

Costa Rica

200 m dari garis RPT

Garis pantai saat RPR

4.       

Cina

10 km dari RPT

Sampai kedalaman laut/isobath 15 m

5.       

Ekuador

Batas arbitrer tergantung isu pengelolaan

BL

6.       

Israel

1-2 km tergantung jenis sumberdaya dan lingkungan

500 m dari garis pantai saat RPR

7.       

Afrika Selatan

1 km dari garis RPT

BL

8.       

Australia Selatan

100 km dari garis RPT

3 mil laut dari GD

9.       

Quennland

400 m dari garis RPT

3 mil laut dari GD

10.   

Spanyol

500 m dari garis RPT

12 mil laut/batas perairan teritorial

11.   

Washington State

Batas perencanaan

Batas pengaturan

 

Batas darat dari negara pantai 61 m dari garis RPT

 

3 mil laut dari GD

3 mil laut dari GD

 

 

Keterangan :

RPT = Rata-rata Pasang Tinggi (mean high tide)

RPR = Rata-rata Pasang Rendah (mean low tide)

GD   = Garis Dasar (coastal baseline)

BL    = Belum ditetapkan

 

 

Dengan demikian, kawasan pesisir memiliki peran dan fungsi ekologis yang penting, terutama bagi kepentingan pemijahan di daerah estuari yang sangat kaya akan unsur hara dan plasma nutfah, asuhan maupun pembesaran sumberdaya perikanan, persinggahan satwa burung pada saat migrasi maupun bagi kepentingan sistem penunjang kehidupan lainnya.  Selain itu, kawasan pesisir juga memiliki fungsi perlindungan bagi daerah belakangnya (hinterland).  Komponen kawasan pesisir yang memiliki fungsi lindung penting antara lain adalah hutan mangrove, gunung pasir (dune) dan lahan basah (wetlands).  Selain berfungsi sebagai tempat berlindung dan sumber makanan bagi berbagai jenis biota laut dan pantai (ikan, udang, kepiting, burung, dan lain-lain), hutan mangrove, dune dan wetlands juga berfungsi untuk menahan sedimentasi dari hulu, mereduksi konsentrasi zat-zat pencemar, menahan laju abrasi yang disebabkan oleh gelombang laut serta banjir sehingga kerusakan komponen pesisir akan mengakibatkan penurunan keanekaragaman hayati, juga dapat menyebabkan penurunan kualitas lingkungan kawasan pesisir dan daerah belakangnya.

 

Berdasarkan uraian tentang batasan kawasan pesisir di atas, dapat disimpulkan bahwa ekosistem pesisir yang terdiri atas komponen daratan dan lautan merupakan suatu ekosistem dinamis yang saling berkaitan.  Hal-hal tersebut hendaknya dapat menjadi pertimbangan penting dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan pesisir untuk kemudian juga dikaitkan dengan konteks penataan ruang wilayah yang berwawasan lingkungan.

 

Pendekatan keterpaduan pemanfaatan dan pengelolaan kawasan menjadi sangat penting, sehingga diharapkan dapat terwujud suatu one plan and one management serta perhatian terhadap pembangunan yang berkelanjutan dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang terintegrasi, baik berdasarkan aspek ekologis, ekonomis maupun sosial (Darwanto, 2000).

 

 

2.2 Dampak Kegiatan Pembangunan terhadap Kawasan Pesisir

 

Berdasarkan sumber (asal) kejadiannya, maka kerusakan lingkungan di kawasan pesisir dapat berasal dari luar maupun dari dalam wilayah pesisir itu sendiri.  Hal ini disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa wilayah pesisir merupakan lokasi utama berbagai kegiatan sektor pembangunan (bersifat multi-use), antara lain perikanan, pariwisata, industri, pertambangan, perhubungan dan konservasi laut.  Semakin besar intensitas kegiatan pembangunan, maka terjadi pula peningkatan eksploitasi sumberdaya alam yang bersifat multi-use tersebut, sehingga terjadi konflik kepentingan yang memicu kerusakan lingkungan (Dahuri, 2000; Nugroho, 2000).

 

Menurut Dahl (1993), sebagian besar permasalahan lingkungan yang menyebabkan kerusakan kawasan pesisir dan laut merupakan akibat dari kegiatan-kegiatan di darat. Kerusakan lingkungan di kawasan pesisir tersebut disebabkan oleh akumulasi limbah yang dialirkan dari daerah hulu melalui Daerah Aliran Sungai.  Penurunan kualitas lingkungan kawasan pesisir terjadi apabila jumlah limbah telah melebihi kapasitas daya dukungnya.  Berbagaii penelitian menunjukkan bahwa sekitar 80% bahan pencemar yang ditetapkan di laut berasal dari kegiatan manusia di daratan (UNCED, 1992; UNEP, 1990; Norrena dan Wells, 1990).

 

Prinsip-prinsip dalam perencanaan dan pengembangan kawasan pesisir diatas disesuaikan dengan kondisi karakteristik suatu kawasan pesisir yang berbeda dengan karakteristik wilayah daratan, yang berciri sebagai berikut (Ditjen P3K, 2000):

 

a.           Kawasan pesisir merupakan multiple-use zone yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.  Sejalan dengan hal tersebut, kawasan pesisir laut juga memiliki multi resources dan bersifat common property resources dan memiliki open access untuk semua yang berkepentingan.

b.           Beberapa habitat di kawasan pesisir mempunyai “atribut ekologis” (spesies endemik, spesies langka, key stone species, dan lain-lain) dan “proses-proses ekologis” (daerah pemijahan, daerah asuhan, alur migrasi biota dan lain-lain) yang menentukan daya dukung lingkungan kawasan pesisir dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.

c.            Seluruh limbah dan sedimen yang berasal dari daratan (kawasan hulu) akan mengalir dan berakumulasi di kawasan pesisir.

d.           Sifat fluida perairan laut mengakibatkan penataan ruang di kawasan pesisir tidak dapat dilakukan secara tegas (rigid) seperti pengkaplingan dan peruntukan lahan di darat.

e.           Dikaitkan dengan UU Penataan Ruang, maka wilayah perairan laut yang merupakan kewenangan Kabupaten/kota meliputi sepertiga kewenangan propinsi (12 mil) dan kewenangan nasional berada di luar batas perairan propinsi atau wilayah ZEE.

 

Secara garis besar gejala kerusakan lingkungan yang mengancam kelestarian sumberdaya pesisir dan lautan di Indonesia antara lain meliputi: pencemaran, kerusakan habitat penting (mangrove dan terumbu karang), penurunan produktivitas perikanan akibat penangkapan berlebihan, penurunan aset keindahan dan budaya serta bencana alam (badai dan banjir).  Sebagai contoh, luas hutan mangrove di Indonesia sekitar 4,25 juta Ha dan saat ini telah mengalami kerusakan secara cepat (Kompas, 28 Februari 2000).  Hutan mangrove tersebut telah berubah menjadi tambak, sawah, areal pertanian, perkebunan dan pemukiman.  Selain itu, sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat bergantung pada jaringan sistem terumbu karang yang luas.  Terumbu karang merupakan aset ekologis dan produktif utama di Indonesia karena berfungsi sebagai tempat hidup bagi ikan-ikan karang, pemecah gelombang dan objek wisata bahari.  Perlindungan dan pengelolaan terumbu karang yang berkelanjutan penting bagi kegiatan perikanan, pariwisata, suaka alam dan perlindungan darah pasir.  Luas terumbu karang Indonesia diperkirakan mencapai 60.000 km2, namun hanya 6% dalam kondisi sangat baik, 31,5% dalam kondisi sedang dan selebihnya dalam kondisi buruk.  Selain itu, peristiwa banjir dan kekeringan merupakan bencana alam yang silih berganti di suatu wilayah atau daerah.  Hal ini bisa terjadi karena DAS telah gagal memenuhi fungsinya sebagai penampung air hujan, penyimpanan dan penyalur air tersebut ke sungai-sungai (Sarief, 1988).

 

2.3 Peran DAS dalam Keterkaitan Ekologis Hulu-Hilir

 

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu cekungan geohidrologi yang dibatasi oleh daerah tangkap air dan dialiri oleh suatu badan sungai.  DAS merupakan penghubung antara kawasan daratan di hulu dengan kawasan pesisir, sehingga pencemaran di kawasan hulu akan berdampak pada kawasan pesisir.  DAS meliputi semua komponen lahan, air dan sumberdaya biotik yang merupakan suatu unit ekologi dan mempunyai keterkaitan antar komponen.  DAS mempunyai banyak sub-sistem yang juga merupakan fungsi dan bagian dari suatu konteks yang lebih luas (Clark, 1996).  Dalam suatu ekosistem DAS terjadi berbagai proses interaksi antar berbagai komponen yakni tanah, air, vegetasi dan manusia (Mangundikoro, 1985).

 

Gunawan (1991) membagi komponen-komponen DAS menjadi 2 yaitu:

 

1.      Lingkungan fisik, meliputi:

a)     Bentuk wilayah (topologi, bentuk dan luas DAS, dan lain-lain);

b)     tanah (jenis tanah, sifat kimia/fisik, kelas kemampuan, kelas kesesuaian dan lain-lain)

c)      air (kualitas dan kuantitas air, dan lain-lain);

d)     vegetasi/hutan (jenis, kerapatan, penyebaran dan lain-lain).

2.      Manusia, meliputi:

a)     jumlah manusia

b)     kebutuhan hidup

 

Peningkatan jumlah manusia - khususnya yang tinggal di sekitar DAS - akan diikuti oleh peningkatan kebutuhan hidup yang dipenuhi melalui pemanfaatan sumberdaya alam (yang merupakan bagian dari lingkungan fisik). Kedua hal tersebut akan mempengaruhi perubahan perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

 

Perubahan perilaku yang bersifat negatif akan menimbulkan tekanan terhadap lingkungan fisik, yang memiliki keterbatasan dikenal sebagai daya dukung lingkungan (DDL). Jika tekanan semakin besar maka daya dukung lingkungan pun akan menurun.

 

Sungai sebagai komponen utama DAS mempunyai beberapa definisi yaitu (Haslam, 1992): a) Sungai atau aliran sungai adalah suatu jumlah air yang mengalir sepanjang lintasan di darat menuju ke laut sehingga sungai merupakan suatu lintasan di mana air yang berasal dari hulu bergabung dan menuju ke satu arah yaitu hilir (muara); b) sungai merupakan suatu tempat kehidupan perairan yang membelah daratan. Sungai merupakan bagian siklus hidrologi yang terdiri dari beberapa proses: a) evaporasi/penguapan air; b) kondensasi dan c) presipitasi. Berdasarkan siklus hidrologi, diketahui bahwa jumlah air tawar yang ada di bumi mencapai 1.384.120.000 km3, tetapi yang tersedia untuk kehidupan hanya 0,14% atau ±  193 juta km3, di mana 50% dari jumlah tersebut berada di danau dan 2,75 juta km3 berada di sungai (Soerjani, 1997).

 

Menurut Sulasdi (2000), sungai mempunyai potensi seimbang yang ditunjukkan oleh daya guna sungai tersebut antara lain untuk pertanian, energi, dan lain-lain. Sungai juga mampu mengakibatkan banjir, pembawa sedimentasi, pembawa limbah (polutan dari industri, pertanian, pemukiman dan lain-lain). Oleh karena itu, pengelolaan DAS ditujukan untuk memperbesar pemanfaatannya dan sekaligus memperkecil dampak negatifnya.

 

Menemukenali permasalahan DAS dilakukan melalui suatu pengkajian komponen-komponen DAS dan penelusuran hubungan antar komponen yang saling berkaitan, sehingga tindakan pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan tidak hanya bersifat parsial dan sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan akibat yang ditimbulkan. Salah satu persoalan pengelolaan DAS dalam konteks wilayah adalah letak hulu sungai yang biasanya berada pada suatu kabupaten tertentu dan melewati beberapa kabupaten serta daerah hilirnya berada di kabupaten lainnya. Oleh karena itu, daerah-daerah yang dilalui harus memandang DAS sebagai suatu sistem terintegrasi. Artinya tanggung jawab perilaku terhadap sungai tidak dapat hanya dibebankan kepada kabupaten yang mempunyai hulu sungai, namun merupakan tanggung jawab bersama (Sulasdi, 2000).

 

Supriadi (2000) menyatakan bahwa kawasan hulu mempunyai peran penting yaitu selain sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke daerah hilirnya bagi kepentingan pertanian, industri dan pemukiman (water provision for regional economy), juga berperan sebagai pemelihara keseimbangan ekologis untuk sistem penunjang kehidupan. Dalam terminologi ekonomi, daerah hulu merupakan faktor produksi dominan yang sering mengalami konflik kepentingan penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, pemukiman dan lain-lain. Kemampuan pemanfaatan lahan hulu sangat terbatas, sehingga kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada daerah hilir. Konservasi daerah hulu perlu mencakup aspek-aspek yang berhubungan dengan produksi air dan konservasi itu sendiri. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air (cathment ecosystem) yang merupakan rangkaian proses alami suatu siklus hidrologi yang memproduksi air permukaan dalam bentuk mata air, aliran air dan sungai. Menurut Sugandhy (1999: 117-118), jika dihubungkan dengan penataan ruang wilayah, maka alokasi ruang dalam rangka menjaga dan memenuhi keberadaan air, kawasan resapan air, kawasan pengamanan sumber air permukaan, kawasan pengamanan mata air, maka minimal 30% dari luas wilayah harus diupayakan adanya tutupan tegakan pohon yang dapat berupa hutan lindung, hutan produksi atau tanaman keras, hutan wisata, dan lain-lain.

 

Dengan demikian, dalam rangka pemeliharaan keseimbangan alamiah dan siklus air, maka vegetasi hutan di daerah hulu menjadi sangat penting. Di lain pihak, keberadaan hutan di daerah hulu tersebut banyak dipengaruhi oleh pola-pola pemanfaatan lahan (local specific land uses) yang berhubungan dengan perilaku masyarakat dalam pemanfaatan lahan, sehingga kepentingan masyarakat juga harus dimasukkan sebagai faktor kunci dalam kebijakan pengelolaan lahan hulu. 0leh sebab itu pengalokasian sumberdaya lahan hulu untuk kepentingan pembangunan harus didasari kecermatan perhitungan-perhitungan kepentingan tangkapan air yang meliputi karakteristik fisik, penggunaan lahan yang ada, kepentingan masyarakat dan komitmen terhadap kepentingan pembangunan berkelanjutan. Pengalokasian sumberdaya tersebut sangat berkaitan erat dengan perencanaan pemanfaatan ruang, sehingga perencanaan tata ruang yang baik berarti efisiensi pengalokasian sumberdaya lahan untuk optimalisasi kepentingan penggunaan lahan. Hal inilah yang dirasakan masih kurang. Selama ini metodologi perencanaan DAS kurang memperhatikan aspek-aspek yang mengintegrasikan berbagai kepentingan kegiatan pembangunan, misalnya antara kepentingan pengembangan pertanian, kepentingan industri, kepentingan daya dukung lingkungan (ecological demands) (Rondinelli, 1981 dalam NGO Vision, 2000).

 

Selain komponen hulu, pada DAS terdapat suatu bagian yang berada di daerah transisi antara darat dan laut yang biasa disebut sebagai lahan basah (wetlands). Menurut Sloan (1983 dalam laporan MREP, 1996) di Indonesia terdapat ± 3,8 juta Ha hutan bakau, wetlands dan sistem pasang surut lainnya. Seperti aliran sungai, maka lahan basah ini pun mempunyai fungsi ekologis yang penting yaitu sebagai tempat reproduksi spesies, proses air, pencegah banjir, pengenceran dan konversi bahan-bahan terlarut atau sebagai tempat daur ulang karbon. Sebagian zat-zat pencemar yang berasal dari hulu sungai dan tiba pada lahan basah dapat dikonversi di sini karena terletak di hilir sungai. 0leh karena itu perubahan bentang alam pada lahan basah harus mempertimbangkan dan memperhatikan fungsi ekologis lahan basah tersebut.

 

Dengan demikian, sesuai dengan posisinya DAS merupakan penghubung antar kawasan daratan di hulu dengan kawasan pesisir. Sungai merupakan komponen penting dari suatu DAS yang memiliki potensi manfaat - sebagai salah satu sumber air baku - sekaligus mampu mengakibatkan banjir, sedimentasi maupun pembawa limbah lainnya. Karena sifatnya yang mengalir dari hulu ke hilir, maka dampak dari suatu kegiatan di hulu akan juga dirasakan di hilir, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan ekologis hulu - hilir dari suatu DAS.

 

2.3.1 Pengaruh Kegiatan Manusia terhadap Kualitas Sungai

 

Kualitas sungai merupakan indikator kondisi sungai apakah masih dalam keadaan baik atau tercemar. Pencemaran sungai didefinisikan sebagai perubahan kualitas suatu perairan akibat kegiatan manusia, yang pada gilirannya akan mengganggu kehidupan manusia itu sendiri ataupun mahluk hidup lainnya (Kupchella dan Hyland, 1993). Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh senyawa yang masuk ke aliran sungai yang bergerak ke hilir bersama aliran air atau tersimpan di dasar, berakumulasi (khususnya pada endapan) dan suatu saat dapat juga terjadi pencucian atau pengenceran. Senyawa tersebut (utamanya yang beracun) berakumulasi dan menjadi suatu konsentrasi tertentu yang berbahaya bagi mata rantai kehidupan (Haslam, 1992).

 

Menurut Miller (1991) terdapat 2 bentuk sumber pencemar, yaitu:

 

a.      Point Sources; merupakan sumber pencemar yang membuang efluen (limbah cair) melalui pipa, selokan atau saluran air kotor ke dalam badan air pada lokasi tertentu. Misalnya pabrik, tempat-tempat pengolahan limbah cair (yang menghilangkan sebagian tapi tidak seluruh zat pencemar), tempat-tempat penambangan yang aktif dan lain-lain. Karena lokasinya yang spesifik, sumber-sumber ini relatif lebih mudah diidentifikasi, dimonitor dan dikenakan peraturan-peraturan.

b.      Non-point sources;  terdiri dari banyak sumber yang tersebar yang membuang efluen, baik ke badan air maupun air tanah pada suatu daerah yang luas. Contohnya adalah limpasan air dari ladang-ladang pertanian, peternakan, lokasi pembangunan, tempat parkir dan jalan raya. Pengendalian sumber pencemar ini cukup sulit dan membutuhkan biaya yang tinggi untuk mengindentifikasi dan mengendalikan sumber-sumber pencemar yang tersebar tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pendekatan terpadu dengan penekanan pada pencegahan pencemaran. Pencegahan tersebut dapat dilakukan salah satunya melalui penataan ruang yang baik (Miller, 1991: 249).

 

Beberapa jenis kegiatan utama yang menimbulkan pencemaran sungai antara lain (Haslam, 1992):

 

1.      Kegiatan domestik; termasuk di dalamnya kegiatan kesehatan (rumah sakit) dan food additives (seperti bahan pengawet makanan) serta kegiatan-kegiatan yang berasal dari lingkungan permukiman baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Efluen yang dibuang biasanya berupa pencemar organik, tapi ada juga berupa senyawa inorganik, logam, garam-garaman (seperti deterjen) yang cukup berbahaya karena bersifat patogen.

2.      Kegiatan industri; mempunyai banyak sekali variasi; bisa berupa efluen organik (dari pabrik makanan dan dapat juga dari industri minyak dan petrokimia). Sedangkan efluen inorganik dihasilkan oleh pabrik-pabrik baja, mobil atau industri berat lainnya; partikel dan debu dapat dihasilkan oleh kegiatan industri pertambangan. Bisa juga berupa pencemaran panas, misalnya dari pembangkit tenaga listrik.

3.      Kegiatan pertanian; terutama akibat penambahan pupuk dan pembasmi hama, di mana senyawa-senyawa yang terdapat di dalamnya tidak mudah terurai walaupun dalam jumlah yang sedikit, tetapi justru aktif pada konsentrasi yang rendah. Selain itu, sedimen termasuk pencemaran yang cukup besar ketika teljadi penebangan pohon-pohonan, pembuatan parit-parit, perambahan hutan dan lain-lain. Belum lagi, efluen organik yang dihasilkan oleh petemakan dapat menyebabkan pencemaran yang cukup serius.

 

Untuk lebih jelasnya, sumber pencemaran di wilayah pesisir dan lautan dapat dilihat pada Tabel II.2  berikut ini.

 

Tabel II.2.  Sumber Pencemar di Wilayah Pesisir dan Lautan

 

Pencemar

(Pollutant)

Sumber

Pertanian

Limbah Cair

Limbah Cair Perkotaan

Pertambangan

Budidaya perikanan

Industri

Pelayaran

Sedimen

···

··

···

···

·

 

·

Nutrien

···

···

··

 

··

·

 

Logam beracun

·

·

·

···

 

···

·

Zat kimia beracun

·

··

·

·

·

··

·

Pestisida

···

·

·

 

·

 

 

Organisme exotic

 

 

 

 

·

 

··

Organisme patogen

 

···

·

 

 

 

·

Sampah

·

·

···

 

 

·

··

Bahan-bahan penyebab turunnya oksigen terlarut

·

···

··

 

··

·

 

 

···           : Sumber terbesar

··             :  Sumber moderat

·              :  Sumber terkecil

Sumber    :  Brodie (1995) dalam Dahuri (1996)

 

Menurut Haslam (1992: 13-14) dan Hayward (1992: 168-171), zat pencemar sungai dapat dibagi dalam 8 jenis utama, yaitu :

 

1.      Organisme patogen (bakteri, virus dan protozoa)

2.      Limbah organik biodegradable (limbah cair domestik, limbah pertanian, limbah pertemakan, limbah rumah potong hewan, limbah industri).

3.      Bahan inorganik yang larut dalam air (asam, garam, logam berat dan senyawa-senyawanya, .anion seperti sulfida, sulfit dan sianida).

4.      Zat hara tanaman (garam-garam nitrat dan fosfat yang larut dalam air), yang berasal dari penguraian limbah organik seperti limhah cair atau pelepasan pupuk nitrat, yang jika berlebihan dapat mengakihatkan eutrofikasi.

5.      Bahan-hahan kimia yang larut dan tidak larut (minyak, plastik, pestisida, pelarut, PCB, fenol, formaldehida dan lain-lain). Zat-zat tersebut merupakan penyebab yang sangat beracun bahkan pada konsentrasi yang rendah (< 1 ppm).

6.      Sedimen (suspended solid); merupakan partikel yang tidak larut atau terlalu besar untuk dapat segera larut. Kecenderungan sedimen untuk tinggal di dasar air tergantung pada ukurannya, rasio aliran (flow rate) dan besarnya turbulensi yang ada pada suatu badan air. Partikel diantara 1 mm dan 1 hm tetap dapat "melayang" dalam air, yang disebut colloidal solid dan air yang banyak mengandung colloidal solid terlihat seperti air susu. Jumlah sedimen mempengaruhi turbiditas air, dan kualitasnya mempengaruhi warna.

7.      Zat-zat / bahan-bahan radioaktif

8.      Pencemaran termal; biasanya dalam bentuk limbah air panas yang berasal dari kegiatan suatu pembangkit tenaga. Pencemaran ini dapat mengakibatkan naiknya temperatur air, meningkatkan rasio dekomposisi dari limbah organik yang biodegradable dan mengurangi kapasitas air untuk menahan oksigen.

 

Selanjutnya komposisi dan konsentrasi suatu senyawa kimia yang ada pada suatu efluen dapat berubah pada saat dimasukkan ke dalam badan air akibat proses alamiah yaitu (Kupchella, 1993) :

 

1.      Pengenceran; tergantung pada banyaknya volume dan rasio aliran suatu badan air.

2.      Sedimentasi; sedimen yang cukup banyak akan menghalangi terjadinya fotosintesis.

3.      Biodegradas; mikroba akan menggunakan bahan organik biodegradable, karbohidrat dan protein sebagai makanan.

4.      Transformasi kimia; terjadi dalam tubuh suatu organisme. Untuk memprediksi dampak ekologis suatu pembuangan zat pencemar, maka diperlukan pengetahuan dan pemahaman tentang perubahan tersebut.

 

Menurut Haslam (1992) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dampak pencemaran sungai, yaitu :

 

1.      Kemampuan pengenceran pencemaran

2.      Konsentrasi terlarut pada sungai

3.      Jenis polusi

4.      Struktur fisik sungai

 

Pencemaran, selain berdampak pada manusia, baik berupa limbah maupun sedimentasi yang terjadi di kawasan pesisir, dapat pula mempengaruhi kegiatan perikanan diantaranya (Dahuri, 1996):

 

a.      Penurunan kandungan oksigen dalam perairan (anoxic) yang menyebabkan pembatasan habitat ikan (khususnya ikan dasar dekat pantai), perubahan komunitas air dan dominasi proses dekomposisi anaerobik.

b.      Eutrofikasi perairan yang menyebabkan pertumbuhan alga tidak terkendali (blooming algae ), contohnya pada peristiwa red tide yang menimbulkan keracunan pada ikan.

c.      Terakumulasinya limbah logam berat beracun (Hg) yang menimbulkan kematian pada ikan.

 

Penurunan kualitas sungai yang mencapai kondisi tercemar banyak diakibatkan oleh ulah manusia. Secara alamiah memang terjadi juga penurunan kualitas sungai akan tetapi biasanya masih berada pada batas daya dukung lingkungan. Sedangkan yang diakibatkan oleh ulah manusia dapat melampaui batas daya dukung lingkungan sehingga perlu upaya agar hal tersebut tidak terjadi.

 

 

2.3.2 Pengaruh Kegiatan Manusia terhadap Erosi dan Sedimentasi

 

Pola pemanfaatan lahan yang berbeda, diusahakan secara terencana atau tanpa rencana, akan menimbulkan dampak yang berbeda pula. Pada dasarnya permasalahan pengembangan DAS erat kaitannya dengan masalah sosial ekonomi, pengembangan wilayah, penggunaan lahan dan kebutuhan air. Sandi (1982), mengungkapkan bahwa pemanfaatan lahan yang direncanakan akan membentuk pola pemanfaatan optimal yang mengakibatkan :

 

a)     pengurangan frekuensi debit

b)     pengurangan erosi tanah

c)      pengurangan kandungan lumpur sungai

d)     kelestarian dan pengoptimalan produktivitas lahan

e)     peningkatan kesejahteraan masyarakat.

 

Sedangkan menurut Gunawan (1991), penataan lahan yang tidak terencana akan membentuk pola pemanfaatan lahan tidak optimal yang berdampak pada:

 

a)     peningkatan erosi

b)     banjir dan kekeringan

c)      penurunan kualitas lingkungan

d)     penurunan produktivitas lahan

e)     kesenjangan pendapatan masyarakat dan kemiskinan

f)        konflik penggunaan lahan. 

 

Proses sedimentasi, menyebabkan pendangkalan pada sungai, saluran, waduk dan pinggiran laut, merupakan ciri yang paling menonjol dari tidak berfungsinya DAS dengan baik. Dampak negatif sedimentasi terhadap biota perairan pesisir secara garis besar dapat diketahui melalui mekanisme tertentu. Pertama, penutupan tubuh biota laut, terutama yang hidup di dasar perairan (benthic organisme) seperti hewan karang, padang lamun dan rumput laut, oleh bahan sedimen. Akibatnya, biota-biota tersebut akan susah bemapas dan akhimya mati lemas (asphyxia). Kedua, peningkatan kekeruhan air, sehingga menghalangi penetrasi cahaya ke dalam air dan mengganggu kehidupan organisme yang memerlukan cahaya, terutama komunitas yang berada dalam kisaran kedalaman yang memungkinkan bagi komunitas tersebut untuk hidup, contohnya padang lamun (seagrass) yang akan terganggu pertumbuhannya bila kekurangan cahaya (Dennis, 1987).

 

Menurut Arsyad (1989) terdapat banyak faktor yang menentukan apakah manusia akan memperlakukan dan mengusahakan tanahnya secara bijaksana, sehingga tidak menimbulkan kerusakan tanah dan peningkatan laju erosi tanah. Faktor-faktor tersebut antara lain: sistem penguasaan tanah ; luas tanah yang diusahakan ; status penguasaan tanah; tingkat pengetahuan dan penguasaan teknologi ; dan infrastruktur serta fasilitas kesejahteraan.

 

Dengan demikian – sama halnya dengan pencemaran - dapat dikatakan bahwa sedimentasi dapat terjadi secara alamiah tapi juga akibat kegiatan manusia.

 

Sedimentasi secara alamiah tersebut diperburuk oleh ulah manusia dalam membentuk pola pemanfaatan lahan yang tidak dalam batas-batas daya dukung lingkungan.

 

 

 

 

III.                METODA PENELITIAN

 

Pada dasarnya metoda penelitian meliputi kerangka pendekatan masalah (penelitian), teknik pengumpulan data, dan analisis data.  Kerangka pendekatan masalah disusun atas dasar perumusan masalah, hipotesis, dan tujuan penelitian yang telah diuraikan pada Bab I.

 

3.1.           Kerangka Pendekatan Masalah

 

Untuk mencapai tujuan penelitian sebagaimana diuraiakan pada Bab I, maka secara sistematis pendekatan masalah penelitian mengikuti alur pikir kerangka pendekatan sistem seperti disajikan pada Gambar 3.1.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 3.1.    Kerangka Pendekatan Sistem dalam Penelitian Keterkaitan Ekologi antara Daratan dan Perairan Pesisir dalam Suatu Sistem DAS

 

 

Dalam hal ini sistem DAS dan perairan pesisir dibagi menjadi 3 subsistem ruang, yaitu: (1) subsistem lahan atas, (2) subsistem lahan pesisir, dan (3) susbsistem perairan pesisir.  Sebagai suatu sistem, badan air sungai suatu DAS mendapatkan masukan bahan pencemar berasal dari kegiatan pembangunan (manusia) yang berada di sepanjang kawasan DAS, dan mendapat masukan sedimen bergantung pada tata ruang yang tercermin pada penutupan vegetasi dan program konservasi lahan di sepanjang DAS.

 

Beban pencemaran dan sedimen, yang berasal dari kegiatan-kegiatan pembangunan dan masuk ke dalam badan sungai serta akhirnya berakumulasi di perairan pesisir, akan mempengaruhi kualitas perairan pesisir dan produktivitas perikanan perairan tersebut.

 

3.2.           Pengumpulan Data

 

Beranjak dari kerangka pendekatan masalah di atas, maka jenis-jenis data yang harus dikumpulkan meliputi sebagai berikut:

 

1.      Jenis dan kuantitas limbah dari setiap sumber pencemar (kegiatan pembangunan) yang berada di kawasan DAS, dan berapa persen yang masuk ke dalam badan sungai.

2.      Tata ruang (tata guna lahan/land use) kawasan DAS, terutama yang menyangkut vegetation coverage.

3.      Laju erosi tanah dan laju sedimen yang masuk ke dalam badan sungai.

4.      Morfologi, topografi, dan geologi sungai.

5.      Arus, kedalaman, dan debit air sungai.

6.      Curah hujan dan kondisi klimatologi relevan lainnya.

7.      Jumlah dan kepadatan penduduk.

8.      Kualitas air perairan sungai dan pesisir

9.      Produktivitas perikanan perairan pesisir.

Data tersebut dapat diperoleh melalui pengumpulan data sekunder dan melalui pengumpulan data primer dengan cara survei atau penelitian lapang.

 

3.3.           Analisis Data

 

Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem (system approach), yang menghubungkan antara berbagai kegiatan pembangunan di sepanjang DAS, badan air sungai, dan perairan pesisir.  Sementara itu, faktor penghubung (integrating factor atau currency) nya adalah limbah dan sedimen yang mengalir melalui aliran sungai ke dalam peraian pesisir DAS tersebut.

Dengan menggunakan peta DAS, tujuan-1 akan dicapai melalui metoda Rapid Pollution Assessment (UNEP, 1989) atas data primer dan sekunder.  Tujuan-2 akan didekati dengan menggunakan pemodelan simulasi (simulation modeling) dengan perangkat lunak Stella atau Power Sim atas dasar model “a development-environment scenario” (UNEP/MAP/PAP/ 1999).  Tujuan-3 akan dicapai melalui hubungan regresi antara beban pencemaran yang berasal dari DAS dengan kualitas air (konsentrasi bahan pencemar) dan produktivitas perikanan di perairan pesisir.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Arikunto, Suharsimi.  1998.  Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek.  PT. Rineka Cipta. Jakarta.

 

Beatley T, et al. 1994. An Introduction to Coastal Zones Management, Island Press, Washington DC.

 

Berwick, N.K. 1983.  Guidelines for the Analysis of Biophysical Impacts to Tropical Coastal Marine Resources. The Bombay Natural History Society Centenary Seminar Conservation in Developing Countries.  Bombay. India.

 

Clark J.R. 1992. Integrated Management of Coastal Zones, FAO Fisheries

 

_______. 1996. Coastal zone Management Handbook, Lewis Publisher, New York, USA.

 

Dahuri, R. 2000. Permasalahan Pengelolaan Lingkungan Kawasan Pesisir , Journal Ekologi dan Pembangunan No.4 Agustus 2000, PPSDAL -LP Unpad.

 

Dahuri, R., Jacub Rais, S.P. Ginting, H.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu; PT. Pradnya Paramita, Jakarta, Indonesia.

 

Darwanto, H. 2000. Mekanisme Pengelolaan Penataan Ruang Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil serta Hubungannya dengan RTRWN; RTRWP, RTRW Kabupaten/Kota; makalah disampaikan pada Temu Pakar "Konsep Pengembangan Wilayah Pesisir, Pantai dan Pulau-pulau Kecil melalui Pendekatan Ruang, Ditjen P3K, DKP , Jakarta 10 Oktober 2000.

 

Haslam, S.M, 1992.  River Pollution; An Ecological Perspective, Belhaven Press, London, UK

 

Hayward, G. 1992.  Applied Ecology, Thomas Nelson and Sons, London, UK

 

Hildebrand, LP and E.J. Norrena. 1992. Approaches and Progress Toward Effective ICZM, Marine Pollution Bulletin 25 ( 1-4 ), 94-97.

 

Hodgson, G. dan J.A. Dixon. 1988. Logging versus Tourism in Palawa : an Environmental and Economic Analysis, East West Environment and Policy Institute, Honolulu, USA.

 

Jones, V and S. Westrnacott (eds). 1993. Management Arrangements for the Development and Implementation of Coastal Zone Management Programmes, World Coast Conference 1993, The Netherlands.

 

Kay, R dan J. Alder.  1999. Coastal Planning and Management, E & FN SPON,  London dan New York.

 

Kupchella C.E dan M.C. Hyland. 1993. Environmental Science, Living Within The System of Nature, Prentice Hall, New Jersey, USA.

 

Miller G. T. 1991. Environmental Science; Sustaining the Earth, Wadswort Publishing Co; California, USA

 

NG0 Vision. 2000. Toward People Oriented River Basin Management: An NGO Vision, makalah pada Linggarjati Environmental Meeting, 9-13 November 2000.

 

Porter, M.E.  1998.  The Competitive Advantage of  Nation.  MacMillan Press, Ltd.  London.

 

Soerjani, M. et al. (eds), 1987. Lingkungan: Sumberdaya Alam dan Kependudukan Dalam Pembangunan, UI Press, Jakarta.

 

Sugandhy, A. 1999. Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

 

Sulasdi, W.N. 2000. Potensi Sumberdaya Kelautan Non-Perikanan Serta Pola Pemanfaatannya Dalam Perspektif Penataan Ruang Wilayah Pesisir dan Laut: Suatu Kaftan Pada Skala Makro Menggunakan Konsep Klasifikasi, Standarisasi dan Spesifikasi ; makalah disampaikan pada Temu Pakar "Konsep Pengembangan Wilayah Pesisir, Pantai dan Pulau-pulau Kecil melalui Pendekatan Ruang, Ditjen P3K, DKP , Jakarta 10 Oktober 2000.

 

Supriadi, D.  2000. Uplands Management: Cases of Cimanuk and Cisanggarung River Basin, makalah pada Linggarjati Environmental Meeting, 9-13 November 2000.

 

Thurow, L.C.  2000.  Building wealth.  The New Rules for Individuals, Companies, and Nations in a Knowledge-based Economy.  Harper Business Publ., New York.

 

UNEP. 1990. GESAMP, The State of the Marine Environment. UNEP Regional Seas Report No. 115. UN Environmental Program, Nairobi, III pp.

 

UNEP/MAP/PAP.  1999.  Conceptual Framework and Planning Guidelines for Integrated Coastal Area and River Basin Management.  Split, Priority Actions Programme.

 

Waldichuk, M. 1988. The Nature and Extent of Marine Contaminatjon Caused by Land-based Sources in Canada, Proceedings of Canadian Conference on Marine Environmental Quality.

 

 



[1] Sampai saat ini belum ada definisi (batasan) kawasan pesisir (coastal zone) yang baku, tetapi terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa kawasan pesisir adalah suatu kawasan peralihan antara ekosistem daratan dan lautan.  Seberapa jauh batas ke arah darat dan ke arah laut belum disepakati dan, mungkin, tidak akan pernah ada kesepakatan tentang batsan jarak ini, karena akan sangat bergantung pada kondisi biofisik kawasan pesisir itu sendiri serta tujuan pengelolaannya.  Sementara ini, definisi kawasan pesisir yang berlaku di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut kawasan pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Dahuri, et al., 1996).

[2] Pertanyaan penelitian adalah hal-hal yang belum diketahui yang berkaitan dengan permasalahan yang hendak dicari jawaban (pemecahan) nya melalui penelitian (Gani, 1987).