© 2001 TRI
WIDIYANTO Posted 22 May 2001 (rudyct)
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Juni 2001
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir Zahrial Coto
PENDEKATAN BIOKONDISIONER DENGAN
BAKTERI FOTOSINTETIK ANOKSIGENIK (BFA) UNTUK PENGENDALIAN SENYAWA METABOLIK
TOKSIK DI TAMBAK UDANG
Oleh:
TRI WIDIYANTO
17600012/BIO
E-mail: triwidiyanto@limnologi.lipi.go.id
RINGKASAN
Aksiologi :
Pengendalian senyawa metabolit toksik (H2S, amonia dan nitrit) pada sistem tambak udang masih sulit dilakukan. Input tekhnologi belum memberikan hasil yang memuaskan dan hanya dapat dilakukan oleh pemodal besar (skala industri). Pendekatan biokondisioner dengan menggunakan motode bioaugmentasi bakteri fotosintetik anoksigenik (BFA) merupakan salah satu alternatif yang dapat dikembangkan untuk mengatasi masalah tersebut, tetapi masih membutuhkan kajian yang mendalam dan menyeluruh.
Ontologi :
Proses bioaugmentasi BFA pada sistem tambak berdasarkan pada beberapa karakteristik metabolisme dan fungsi ekologis dari kelompok BFA tersebut. Secara ekologis BFA tersebar dalam habitat air yang mempunyai kandungan oksigen dan intensitas cahaya yang rendah. Kondisi ini banyak terjadi pada dasar perairan dan akumulasi senyawa metabolit toksik pada sistem tambak juga terjadi pada dasar tambak yang kandungan oksigennya rendah.
Hipotesis :
Ho. :
Tidak terdapat isolat BFA yang mampu digunakan sebagai agen
biokondisioner senyawa metabolit toksik pada
sistem tambak udang
H1. : Terdapat isolat BFA yang dapat digunakan
sebagai agen biokondisioner
senyawa metabolik toksik pada sistem tambak
udang.
Teleologi :
Mencari isolat BFA yang mempunyai potensi tinggi sebagai biokondisioner senyawa metabolit toksik di tambak udang.
Epistemologi :
Langkah-langkah yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut meliputi : Isolasi dan karakterisasi BFA, identifikasi isolat BFA, uji kemampuan reduksi senyawa metabolit toksik skala laboratorium dan skala pilot, uji viabilitas isolat BFA skala pilot.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bakteri fotosintetik anoksigenik (BFA) merupakan kelompok bakteri yang hidup pada sistem perairan (laut, estuarin dan tawar). BFA bersifat fototrofik, mampu hidup pada kandungan oksigen rendah dan memanfaatkan gelombang sinar infra merah untuk mengeksitasi membran fotosistem dalam proses fotosintesisnya. Aktivitas fotosintetik tidak menggunakan air sebagai donor elektron, sehingga tidak dihasilkan oksigen dalam proses tersebut. Hal ini berbeda dengan fotosintesis yang dilakukan oleh plankton dan tumbuhan tinggi, yang menggunakan H2O sebagai donor elektronya. Sebagai donor elektron digunakan oleh kelompok BFA adalah senyawa organik dan anorganik seperti H2S, nitrit, FeS dan ammonia. Pada sistem perairan kelompok BFA hidup pada dasar / sedimen yang kandungan oksigennya rendah dan banyak terjadi akumulasi senyawa metabolik toksik.
Pendekatan biokontrol merupakan salah satu
alternatif pengendalian penurunan tingkat kualitas air pada sistem budidaya
tambak tersebut. Pemanfaatan kelompok bakteri untuk pengendalian senyawa toksik
dan tidak mudah terdegradasi sudah mulai
dikembangkan semenjak tahun 1960. Mekanisme ini mengandalkan kemampuan
metabolisme mikroba dalam kondisi ekstrim dan hubungan interaksi antar mikroba
dan lingkungannya. Proses bioremidiasi ini dapat dilakukan dengan : 1).
Pengkayaan, yaitu merangsang pertumbuhan atau aktivitas BFA di dalam sistem
perairan budidaya. 2) bioaugmentasi, yaitu dengan menginokulasikan mikroba
(BFA) ke dalam lingkungan tambak tersebut.
Kemampuan beberapa isolat BFA dalam
memanfaatkan senyawa toksik tersebut mengindikasikan potensi yang cukup baik
sebagai biokondisioner. Pada sistem budidaya perairan (tambak udang) senyawa
tersebut dihasilkan dari proses dekomposisi senyawa organik yang berasal dari
sisa pakan dan feces oleh mikroorganisme pada kondisi oksigen yang rendah atau
terjadi proses mineralisasi yang berjalan tidak sempurna. Proses tersebut
banyak terjadi pada sistem perairan budidaya yang tidak mengindahkan kemampuan
daya dukung dan memaksakan target produksi.
Indonesia
merupakan negara penghasil udang ke tiga di dunia dengan potensi sumberdaya
lahan yang sangat luas. Namum saat ini kondisinya tidak menggembirakan, data
produksi Nasional terus memperlihatkan penurunan yang cukup berarti, dari
100.000 ton (1994), menjadi 80.000 ton (1996) dan 50.000 ton (1998). Penurunan
kualitas air menjadi salah satu penyebab utama dalam masalah tersebut. Tekanan
terhadap lingkungan tersebut berasal dari dalam sistem itu sendiri maupun dari
luar sistem. Penumpukan bahan organik (sisa pakan, feces udang dan self purification tidak berjalan) akan
merangsang pertumbuhan (blooming)
mikroorganisme plankton dan penyakit (bakteri, jamur, protozoa dan virus),
serta akan dapat meningkatkan produk senyawa metabolit toksik (H2S,
Nitrit, Ammonia).
Input teknologi sampai saat ini masih belum memberikan hasil yang cukup memuaskan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sering sekali usaha tersebut dilakukan hanya memindahkan problem dari satu tempat ke tempat lain, yang pada akhirnya terjadi penurunan kualitas pada suatu ekosistem yang luas, baik skala lokal maupun regional. Hal ini sudah dapat teramati pada ekosistem perairan di sepanjang pantai laut jawa. Hampir semua perairan di daerah tersebut kurang menguntungkan untuk usaha budidaya udang windu. Wabah serangan penyakit dan produksi senyawa metabolik toksik dikeluhkan oleh banyak pengusaha/petani. Oleh karena itu perlu adanya usaha pengendalian secara holistik dengan melihat kerangka ekolologis yang lebih luas.
Salah
satu langkah tersebut adalah dengan cara menghilangkan atau mengkondisikan
senyawa metabolit toksik menjadi bentuk
lain yang tidak berbahaya bagi organisme air (udang), serta mengurangi
terjadinya proses eutrofikasi yang berlebihan. Beberapa kelompok BFA mempunyai
kemampuan untuk melakukan hal tersebut, tetapi
masih perlu dilakukan pengkajian secara menyeluruh dan mendalam. Hal ini
menyangkut : kemampuan daya reduksinya, jumlah populasi yang optimal, jenis apa
saja, bagaimana interaksinya dengan organisme lain yang ada di sistem tambak
dan lingkungan serta faktor-faktor yang mendukungnya. Data-data tersebut adalah
merupakan dasar untuk pengembangan model pendekatan biokondisioner senyawa
toksik pada sistem tambak udang.
Penelitian ini bertujuan :
1.
Mencari isolat BFA dari perairan sistem tambak
2.
Seleksi dan karakterisasi isolat BFA (morfologi,
fisiologi, biokimia dan genetika)
3.
Menganalisis isolat BFA terleseksi dalam menurunkan
senyawa metabolit toksik skala laboratorium
dan skala pilot
4.
Menganalisis
viabilitas dan daya kompetisi isolat BFA dengan mikroba penyebab penyakit
terseleksi skala laboratorium dan pilot.
5.
Menganalisis profil kualitas air sistem tambak dan
pertumbuhan udang dengan pendekatan biokondisioner skala lipot.
1.3. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
Ho. :
Tidak terdapat isolat BFA yang mampu digunakan sebagai agen
biokondisioner senyawa toksik pada sistem
tambak udang
H1. : Terdapat isolat BFA yang dapat digunakan
sebagai agen biokondisioner
metabolik toksik pada sistem tambak udang.
2.1. Bakteri
Fotosintetik Anoksigenik (BFA)
Bakteri
fotosintetik adalah merupakan kelompok bakteri yang mampu melakukan sintesa ATP
dengan menggunakan energi sinar matahari. Sebagai sumber karbon dalam proses
tersebut ada yang memanfaatkan CO2 (bersifat fotoautotrof) dan
senyawa organik yang biasa disebut fotoheterotrof Sumber elektron dalam
mekanisme tersebut akan menimbulkan produk samping yang berbeda. Beberapa
kelompok bakteri tersebut ada yang memanfaatkan H2O sebagai donor
elektronnya sehingga menghasilkan oksigen, kelompok ini disebut fotosintetik
oksigenik. Sedangkan kelompok lainnya memanfaatkan senyawa organik atau
anorganik sebagai donor elektronnya, misal H2S sehingga akan
dihasilkan sulfur atau bukan oksigen sebagai hasil sampingannya. Kelompok tersebut
biasanya disebut fotosintetik anoksigenik (Atlas dan Bartha, 1998; Brock dan
Madigan 1991).
BFA
hidup tersebar pada sistem perairan laut, tawar dan estuaria serta sering
tumbuh pada daerah interface sedimen
dan air. Kondisi habitat tersebut biasanya masih terdapat cahaya yang tembus
yang dibutuhkan untuk melakukan proses fotosintesisnya dan mempunyai kandungan
oksigen terlarut yang rendah (Brock dan Madigan, 1991). Lingkungan tersebut
biasanya banyak mengandung H2S, yang merupakan hasil metabolit dari
bakteri pereduksi sulfat atau proses mineralisasi yang berjalan tidak sempurna
(Boyd dan Fast, 1992).
Pfennig
dan Truper (1989) mengelompokkan BFA menjadi dua yaitu bakteri hijau dan
bakteri ungu. Bakteri ungu terdiri dari tiga famili yaitu : Chromatiaceae
(bakteri ungu sulfur), Ectothiorhodospirillaceae dan Rhodospirilaceae (bakteri
ungu non sulfur). Sedangkan bakteri hijau terdiri dari dua famili, yaitu
Chlorobiaceae (bakteri hijau sulfur) dan Chloroflexaceae (bakteri hijau
berfilamen multiselluler). Bakteri ungu sulfur dan hijau sulfur menggunakan H2S
sebagai donor elektron untuk sintesa metabolitnya dengan sumber karbon CO2.
Hidrogen sulfida akan dioksidasi menjadi sulfat, proses ini analog dengan
proses fotosintesis pada tanaman. Elemen sulfur yang dihasilkan diakumulasikan
oleh bakteri sulfur dan pada saat habis, elemen tersebut akan dioksidasi
menjadi sulfat. Selain itu beberapa bakteri ungu baik sulfur maupun non-sulfur
mampu menggunakan H2 sebagai donor elektronnya. Sedangkan bakteri
ungu non-sulfur juga dapat menggunakan senyawa organik sebagai donor
elektronnya.
Cahaya
CO2 + H2S (CH2O) +
H2O + 2S
Tumbuhan
Cahaya
CO2 + H2O (CH2O) +
H2O + O2
Oksidasi sulfur
3CO2 + 2S
+ 5H2O 3(CH2O) + 2H2SO4
Cahaya
CO2 + 2CH3 CHOHCH3 (CH2O)+ H2O + 2CH3COCH3
Bakteri
fotosintetik anoksigenik pada umumnya memproduksi pigmen karotenoid. Kandungan
pigmen tersebut berhubungan dengan kenampakan isolat biakan bakteri. Beberapa
jenis karotenoid yang terkandung antara lain : lycopen, spirilloxantin, okenon dan hidroksisferoidenon. Pigmen tersebut adalah bakterioklorofil
(bkhl.) yang merupakan salah satu penyusun sistem membran fotosintetik.. Sedangkan
bagian karotenoid berfungsi sebagai penangkap dan pengatur cahaya yang
dibutuhkan. Kandungan karoten ini merupakan salah satu ciri karakteristik yang
dimiliki oleh kelompok BFA
Sistem
membran fotosintetik BFA mempunyai tiga macam bentuk, yaitu : lamella atau
gelembung, klorosome dan menyebar (Brock dan Madigan, 1991). Pada bakteri hijau
mempunyai membranfotosintetik pada membran sitoplasma dan dalam klorosome
sedangkan pada bakteri ungu terdapat pada membran intrasitoplasma (Zuber, 1986;
Pfennig dan Truper, 1989). Membran intrasitoplasma mengandung komplek antena
penangkap cahaya dan pusat reaksi (Lee dan Kaplan, 1992). Familia
Rhodospirillaceae dan Chromatiaceae mempunyai tiga komplek antena penangkap
cahaya dengan absorbsi maksimum yang berbeda, yaitu komplek B870, B800-850 dan B800-820. Rhodospirillum dan Rhodopseudomonas hanya mempunyai satu komplek antena penangkap
cahaya, yaitu B870 atau B1020. Sedangkan Rhodobacter
sphaeroides mempunyai dua, yaitu B870 dan B800–850 (Zuber, 1986). Pola spektra
absorbansi juga dapat membantu untuk mengidentifikasi anggota kelompok BFA.
Bakteri
ungu sulfur mempunyai pigmen karotenoid, sehingga isolatnya memperlihatkan
warna : jingga coklat, merah coklat atau ungu dan metabolisme utamanya adalah
fotoautotrof. Proses ini menggunakan H2S sebagai donor elektronnya
dan bersifat anaerobik obligat. Beberapa genus bakteri yang termasuk dalam
kelompok tersebut adalah : Chromatium,
Thiocapsa, Thiocystis, Thiospirillum, Amoebobacter, Lamprobacter, Lamprocystis,
Thiodyction dan Thiopedia
(Pfennig dan Truper, 1989).
Bakteri
sulfur hijau secara morfologis memperlihatkan kenampakan berwarna hijau atau
kecoklatan, hal ini karena mengandung pigmen karotenoid. Kelompok ini dapat
mengasimilasi CO2 menjadi senyawa komplek dengan elektron donor
berasal dari sulfida atau sulfur. Elemen sulfur yang terbentuk disimpan dalam
bentuk granula ekstrasellular. Beberapa genus mempunyai vakuola gas (genus pelodyction), dan lainya tidak
punya, seperti Chlorobium dan Chlorospeudomonas (Overman et al., 1991).
Thiorhodovibrio winogradsky merupakan
spesies BFA yang ditemukan pada dasar perairan litoral bergaram. Spesies ini
diisolasi dari danau Mahoney Kanada dan dari sedimen kondisi anoksigenik.
Bakteri tersebut tumbuh pada kondisi pH 7,2 dengan salinitas 2,2 sampai dengan
3,2 % Na Cl (Overman et al.,
1992). Sedangkan kelompok BFA yang mampu
hidup pada perairan yang banyak mengandung oksigen terlarut dan penetrasi
cahaya yang cukup adalah genus Erytrobacter dan dalam lingkungan anaerobik melakukan
fotoreduksi CO2 dengan mengoksidasi H2S menjadi S0
(Atlas dan Bartha, 1998).
Keragaman
yang cukup tinggi dari kelompok BFA ini secara morfologis dan fisiologis sulit
untuk dibedakan antar galur. Pemisahan molekul DNA dengan metode Pulsed Field Gel Electrophoresis (PFGE)
adalah merupakan salah satu cara untuk membedakan antar galur bakteri.
Mekanisme pemotongan DNA oleh beberapa enzim restriksi biasa disebut mekanisme
schizotipe dan hasilnya lebih diskriminatif. Howard et al., (1992) menggunakan schizotipe
untuk membedakan antar galur pada Listeria
monocytogenes, L. ivanovii dan L.
seeligeri. Suwanto dan Kaplan (1989) menggunakan 4 macam enzim restriksi
untuk memotong genom Rhodobacter
sphaeroides, yaitu : AseI, SpeI, DraI dan AnaBI.
Pengendalian / pengolahan senyawa polutan cair sudah banyak dikembangkan, terutama untuk limbah-limbah industri berat. Dalam mekanisme tersebut dipadukan antara yang bersifat fisik, kimia dan biologi. Model tersebut misalnya melalui aktivated sludge, oksigenasi, trikling filter, submerger filter, dan biofilter. Penguraian senyawa polutan tersebut memang jarang dapat dilakukan oleh satu mikroorganisme saja. Degradasi tersebut biasanya merupakan rangkaian dari proses yang saling berurutan dan pada setiap kondisi membutuhkan organisme yang spesifik atau dibutuhkan interaksi dari beberapa organisme untuk dapat melakukan degradasi dengan baik/sempurna.
Biokondisioner
adalah merupakan salah satu cara mengkondisikan senyawa kimia yang bersifat toksik
menjadi bentuk lain yang tidak berbahaya, melalui aktivitas metabolisme
organisma (biologis). Proses tersebut melibatkan aktivitas biodegradasi.
Sedangkan proses serupa tetapi untuk mengendalikan organisme lain yang
menimbulkan hama / penyakit biasa disebut dengan biokontrol. Kedua proses
tersebut adalah merupakan bagian dari usaha bioremidiasi lingkungan senyawa
limbah yang tidak berguna atau yang membahayakan kehidupan organisma.
Pengendalian melalui mekanisme tersebut relatif murah, aman dan tidak memberikan
efek samping (Wisjnuprapto, 1996).
Pengendalian
melalui proses biokondisioner atau bikontrol yang sudah mulai dikembangkan pada
budidaya tambak udang antara lain : penggunaan bakteri fotosintetik untuk
mengatasi terjadinya blooming plankton,
khlorella untuk menekan serangan bakteri Vibrio
harveyi (Martinus et al., 1994).
Pemanfaatan bakteriofage untuk mendeteksi Vibrio
harveyi (Pellon et al., 1995).
Pemanfaatan bakteriofage untuk menekan pertumbuhan Vibrio vulnificus (Gudina et
al., 1990).
Udang
windu merupakan organisme air yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Melalui
gema PROTEKAN (Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan) pada tahun 2003
ditergetkan akan mendapatkan dana sebesar US$ 10,19 milyar dari sektor
perikanan dan udang windu diharapkan dapat menyokong devisa sebesar US$ 6,75
milyar (Basoeki, 2000). Besaran tersebut sesuai dengan produksi sebanyak 60.000
ton udang (Harris, 2000). Dilihat dari luasan tambak yang ada, yaitu sekitar
40.000 Ha., maka target tersebut tidak terlalu berlebihan dan mengingat
potensi wilayah yang dapat dikembangakan
untuk industri tersebut masih sangat tinggi.
Usaha/industri
tambak udang windu mulai berkembang pesat pada dekade tahuan 1980. Usaha
tersebut memberikan devisa yang cukup baik serta membuka lapangan kerja baru
bagi Indonesia. Hal tersebut tidak
berlangsung lama karena pada sekitar tahun 1990 kondisinya sudah tidak
menggembirakan. Serangan penyakit dan lambatnya pertumbuhan serta munculnya
metabolik toksik (amonia, nitrit dan H2S) adalah suatu permasalahan
yang sering atau banyak dikeluhkan oleh para pengusaha/petani dan sampai saat
ini masih belum dapat diatasi secara tuntas. Permasalahan tersebut pada awalnya
banyak terjadi pada sistem intensif, sedangkan sistem ekstensif dan semi
intensif tidak, tetapi pada akhirnya timbul pada seluruhnya. Pengurangan padat
penebaran adalah merupakan langkah yang banyak dilakukan oleh para
pengusaha/petani tambak saat ini dan relatif membantu dalam menjaga
kelangsungan produksi.
Fast (1992)
mengemukakan bahwa dalam usaha budidaya udang dikelompokkan menjadi empat (4)
sistem, yaitu : sistem ekstensif, semi intensif, intensif dan ultra intensif.
Beberapa faktor utama yang membedakan model tersebut antara lain : target
produksi, padat penebaran, jenis dan jumlah pakan, sumberdaya manusia yang
tersedia dan input teknologi yang digunakan. Potensi keuntungan optimal setiap
Kg udang adalah sistem budidaya secara semi intensif. Sedangkan potensi
keuntungan perluasan yang paling tinggi adalah dari sistem budidaya secara
intensif. Sampai saat ini sistem ultra intensif masih belum diaplikasikan
karena membutuhkan SDM dan komplesitas yang sangat tinggi.
Beberapa
faktor penting yang perlu diperhatikan dalam budidaya udang windu meliputi :
kualitas air, indukan/benur, pakan dan penyakit. Kisaran nilai beberapa
parameter kualitas air dapat dilihat pada Tabel 1. Udang membutuhkan
pakan yang tinggi akan protein (Deshimaru dan Shigueno, 1972), rendah
karbohidrat protein tinggi hingga mencapai 50% (Chambel, 1991 dalam Rosas et al. 2000).
Udang Windu.
No. |
Parameter |
Satuan |
Pemeliharaan
awal |
Pemeliharaan
ahir |
1. |
Salinitas
a,b. |
Mg/L |
20
- 30 |
15
– 25 |
2. |
Temperatur
b |
OC |
25
- 30 |
25
– 30 |
3. |
PH
air b |
|
7,0
– 9,0 |
7,0
– 9,0 |
4. |
DO
b |
Mg/L |
3,5
- jenuh |
3,5
– jenuh |
5. |
BOD
b |
Mg/L |
12 |
12 |
7. |
H2S
c |
Mg/L |
Maksimum
0,25 |
Maks.
0,25 |
8. |
Ammonia
b |
Mg/L |
0,25 |
0,25 |
9. |
Kecerahan
b |
Cm |
25
- 35 |
25
– 35 |
Keterangan.
a. Lester dan Pante (1992)
b. Boyd dan Fast (1992)
c. Shigueno (1975).
Penyakit
adalah merupakan hal sangat mengganggu kelangsungan usaha budidaya. Beberapa jenis
virus penyebab penyakit antara lain :
Hematopancreatic Parto like Virus (HPV), Baculovirus Midgut Gland Necrosis
Virus (BMNV), Type C Baculovirus (TCBV). Sedangkan bakteri penyebab
penyakit didominasi oleh kelompok Vibrio
sp, Aeromonas, Pseudomonas dan Flavobacterium (Lightner, 1993;
Lavilla-Pitogo et al.,1992; Nash et al., 1992). Sekitar 90 % bakteri
penyebab penyakit pada udang adalah genus Vibrio dan biasa disebut dengan
penyakit kunang-kunang (udang menyala). Spesies vibrio penyebab penyakit antara
lain : V. harveyi, V. vulnificus, V.
parahaemoliticus, V. alginoliticus, V. splendidus dan V. Anguilarum (Lavilla-Pitogo, et
al., 1991; Zafran, et al., 1994).
Usaha
penaggulangan penyakit cukup banyak meliputi : penggunaan bakteri biokontrol
atau probiotik untuk mengurangi penggunaan antibiotik, sehingga mengurangi
pencemaran lingkungan (Tjahjadi, et al.,
1994), melalui mekanisme transgenik, dengan menggunakan gen cecropin betha yang diisolasi dari ulat
sutra Udang transgenik yang mengandung rekombinan cecropin akan mempunyai
aktivitas litik yang tinggi terhadap bakteri patogen (Chen, 2000).
Pada
sistem budidaya secara intensif senyawa metabolit toksik (amonia, nitrit dan H2S)
sangat berpengaruh terhadap perkembangan udang di tambak. H2S
dihasilkan dari reduksi garam-garam sulfat dan desulfurilasi senyawa organik.
Konsentrasi H2S dalam sistem perairan berbanding terbalik dengan
senyawa an-ion amonia pada pH yang berbeda ( Boyd dan Fast, 1992). Toksisitas
senyawa tersebut berbeda untuk setiap umur atau perkembangan udang (Shigueno,
1975; Wardoyo dan Djokosetyanto, 1988; Chin dan Chen, 1987). Senyawa amonia
digunakan sebagai sumber energi oleh kelompok bakteri autotrof aerobik.
Akumulasi amonia akan menimbulkan terjadinya
metabolit antara, yaitu nitrit yang menyebabkan kematian dan menghambat
pertumbuhan udang. Toksisitas ammonia terhadap udang windu juga bervariasi dan
tergantung pada beberapa parameter kualitas air lainnya seperti pH, suhu dan
salinitas (Chen, et.al., 1989; Kou
dan Chen, 1991; Chen dan Kou, 1992). Ammonia juga mempengaruhi terhadap
konsumsi oksigen oleh udang (Chen dan Lin, 1995). Akumulasi senyawa organik
sangat berpengaruh terhadap kandungan senyawa metabolik toksik termasuk amonia
dan nitrit (Hargreaves, 1998).
Penelitian
ini akan dilakukan selama 8 bulan pada Nofember 2002 sampai dengan Agustus
2003. Lokasi penelitian di Lab. Biokimia dan Mikrobiologi PAU IPB Bogor, Lab.
Mikrobiota dan Lab. Basah Puslit Limnologi LIPI, serta Lab. Biologi Molekuler
SEMEO Biotrop Bogor. Sampel air diambil dari lingkungan tambak udang di sekitar
pantai utara (Pantura) Jawa.
Bahan
penelitian hidup yang digunakan meliputi : isolat BFA, yang diisolasi dari
perairan tambak sekitar Pantura jawa, isolat bakteri penyebab penyakit pada
udang (Vibrio harveyi, V. alginoliticus dan Aeromonas). Isolat tersebut merupakan
koleksi dari Puslit Limnologi LIPI, PAU Biotek IPB dan BPAP Jepara. Anakan
udang windu untuk uji tambak skala pilot diambil dari petani atau Hatchery di sekitar Pelabuhan Ratu.
Media
yang akan digunakan adalah Sea Water
Complete (SWC) dengan komposisi : 5 gram bakto pepton, 1 gram ekstrak
khamir, 3 ml gliserol, 250 aquades, 750 air laut dan 15 gram agar (media cair
tanpa agar). Medium minimal Sistrom (Leuking et al., 1978) dan medium Thiosulfat
Citrate Bile Sucrose Agar (TCBSA) Oxoid. Air laut digunakan untuk uji
kompetisi dan reduksi skala pilot. Bahan lainnya yang digunakan dalam
karakterisasi fisiologi, biokimia dan genetik isolat BFA.
Peralatan
yang akan digunakan meliputi : Anaerobic Jar BBL (Oxoid) lengkap dengan
generator gas, katalis dan indikator redoks. HACH Spektrofotometer DR 2000, Water Quality Cheker Horiba U –10,
sentrifus mikro HERAEUS sepatek labofuge 200, kolam uji coba dan aquarium.
Peralatan untuk karakterisasi isolat BFA (fisiologi, biokimia dan genetika)
serta tabung reaksi berpenutup.
Kegiatan yang akan dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan meliputi : isolasi BFA, karakterisasi isolat BFA, uji reduksi senyawa metabolik toksik, uji kompetisi dengan mikroba penyebab penyakit udang, uji viabilitas BFA di lingkungan tambak (skala pilot), dan pengamatan tingkat kualitas air / pertumbuhan udang pada sistem tambak skala pilot.
Sumber
isolat yang diambil dari setiap lokasi tambak adalah pada bagian sedimen dan
air. Tambak udang dipilih yang masih beroperasi dan menerapkan sistem intensif
atau semi intensif. Pengambilan ditekankan pada lokasi yang tinggi kandungan
senyawa metabolik toksiknya, yaitu pada bagian lumpur sedimen yang kondisinya
relatif rendah oksigen.
Satu
gram tanah sedimen atau air dimasukkan ke dalam medium SWC 50 % di dalam tabung
berpenutup ukuran 1,5 x 18 cm. Kemudian diinkubasi pada suhu ruang (29 – 310C) di depan lampu
tungsten 40 watt, dengan jarak sekitar 30 cm. Pertumbuhan dan warna kultur
diamati setelah 6-7 x 24 jam inkubasi dan perubahan warna (merah kecoklatan –
hijau) menunjukkan adanya pertumbuhan.
Dari
media kultur yang tumbuh diambil satu ose dan diinokulasikan secara kuadran
pada cawan petri media SWC Agar.
Kemudian diinkubasi pada anaerobic jar di depan lampu tungsten 40 watt
dengan jarak yang sama seperti tahap awal. Pengamatan dilakukan setelah 6 – 7 x
24 jam inkubasi. Apabila belum didapatkan koloni yang terpisah dilakukan
ulangan tahap ini sampai didapat koloni terpisah. Koloni yang terpisah
ditumbuhkan pada media SWC Agar dan ditumbuhkan pada anaerobik jar dan koloni
ini yang akan digunakan sebagai isolat untuk uji selanjutnya.
Isolat
murni BFA dikultur pada media SWC agar diinkubasi pada suhu ruang selama 3 x 24
jam di depan lampu tungsten. Kultur tersebut dideteksi produksi enzim amilasenya.
Deteksi enzim amilase digunakan medium SWC yang dimodifikasi dengan ditambahkan
larutan amilum / pati sebanyak 4 gram/L (Dhawale, et al., 1982).
Isolasi
enzim amilolitik; sebanyak 1 mL isolat BFA yang positif diinokulasikan pada
erlenmeyer yang berisi 20 ml media SWC cair modifikasi (Dhawale, et al., 1982). Kultur diinkubasi pada
suhu ruang, selama 3 x 24 jam sambil dikocok dengan seker pada kecepatan 225
rpm. Suspensi kultur disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm., selama 5 menit,
supernatan diambil untuk dilakukan uji aktivitas amilolitik.
Sebanyak 3
mL supernatan dimasukkan dalam tabung reaksi yang berisi : 2 mL larutan buffer
dan 1 mL larutan pati 6 %. Kemudian diikubasi pada suhu 370C dalam
interval waktu : 0, 10, 20, 30, 120, 180 dan 240 menit. Pemberhentian reaksi
enzimatik dalam interval waktu tersebut dilakukan dengan ditambahkan larutan
asam HCl 1N sebanyak 0,5 mL. Sebagai
kontrol adalah diinokulasikan supernatan isolat BFA yang tidak menghasilkan
enzim amilase dalam larutan buffer. Analisis aktivitas hidrolisis dilakukan
dengan methode spektrofotometri, diukur nilai absorbansinya pada panjang
gelombang 660 nm (Wahlefeld, 1974). Larutan blanko yang digunakan adalah
larutan pati yang ditambah dengan air. Data absorbansi tersebut dimasukkan
dalam kurva standar, yang dibuat dengan konsentrasi amilum berbeda, yaitu : 0%;
0,2%; 0,4%; 0,6%; 1,0%; 1,4% dan 1,5%.
Deteksi
adanya enzim proteolitik dilakukan tiga kali ulangan untuk masing-masing isolat
menggunakan dasar metode Durham et. al.,
(1987). Inkubasi dilakukan pada suhu ruang, di depan lampu tungsten 40 watt
selama 3 x 24 jam. Medium yang digunakan adalah SWC agar yang ditambah dengan
susu skim sebanyak 10 %. Masing-masing isolat murni BFA diinokulasikan dengan
cara ditotol dengan menggunakan tusuk gigi steril kedalam medium SWC agar
tersebut. Setelah diinkubasi selama 3 x 24 jam diamati. Hasil positif
diperlihatkan adanya zona bening yang terbentuk dan hasil negatif tidak
terdapat zona bening.
Isolat BFA
yang memberikan hasil positif dilanjutkan dengan uji aktivitas enzim
proteolitiknya. Disiapkan sebanyak 50 mL media cair SWC dalam labu erlenmeyer
dan diinokulasikan sebanyak 5 ml isolat BFA. Diinkubasi pada suhu ruang di
depan lampu tungsten 40 watt selama 3 x 24 jam. Suspensi kultur isolat BFA
tersebut disentrifugasi (Hitachi SCP-85H) pada kecepatan 6.000 x g, selama 10
menit pada suhu 40C. Supernatan yang diperoleh digunakan untuk
pengukuran aktivitas enzim proteolitik.
Pengukuran
aktivitas enzim proteolitik dilakukan berdasarkan metode Horikoshi (1971).
Sebanyak 1 mL supernatan isolat BFA dimasukan dalam tabung reaksi yang berisi 5
mL subtrat (larutan kasein Hammerstein 0,6% dalam larutan penyangga Na2 B4O-Na
OH 1,23 x 10-2 M), yang telah diekuilibrasi selama 5 menit dalam
penangas air, suhu 500C. Kemudian diinkubasi selama 20 menit dan
reaksi dihentikan dengan ditambahkan larutan asam trikhloroasetat sebanyak 5 mL
dan dibiarkan selama 30 menit. Sebagai kontrol adalah subtrat yang sama tetapi
ditambah dengan larutan trikhloroasetat sebelum ditambahkan supernatan isolat
BFA. Suspensi tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 15.000 x g selama 10
menit suhu ruang. Supernatan yang diperoleh diukur absorbansinya dengan
spektrofotometer pada pajang gelombang 275 nm dengan menggunakan tirosin
sebagai standar (0, 20, 40, 60, 80, 100, 120, 140, 160, 180 dan 200 mg/L). Aktivitas spesifik
diukur berdasarkan aktivitas enzim per 1 miligram protein yang terkandung dalam
1 mL filtrat biakan. Kandungan protein dalam filtrat biakan diukur dengan
metode Bradford (1976).
Isolat
murni BFA dikultur pada media SWC cair, diinkubasi pada suhu ruang selama 5 x
24 jam di depan lampu tungsten. Suspensi isolat BFA diambil sebanyak 1,5 mL dan
dimasukkan ke dalam tabung mikro. Kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 5000
rpm selama 2 menit, supernatan dibuang. Untuk memperbanyak pellet ke dalam
tabung mikro ditambahkan lagi 1,5 mL suspensi isolat BFA dan dilakukan sentrifugasi
serta dibuang supernatannya. Masing-masing pellet BFA diresuspensikan dengan
110 ml larutan
Glukosa-EDTA dan didiamkan pada suhu ruang selama 10 menit. Selanjutnya
ditambahkan larutan (10% SDS, dH2O steril dan 4 N NaOH) sebanyak 200 mL ke dalam masing-masing
isolat BFA dan dihomogenkan sampai terjadi lisis sel. Diinkubasi selama 10
menit pada suhu dingin (di atas es). Masing-masing tabung ditambahkan larutan
KAc/Hac dingin sebanyak 150 mL,
diinkubasi selama 10 menit di atas es.
Dilakukan
sentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama 3 menit, supernatan diambil
(dipindahkan) ke dalam tabung mikro yang baru dan steril. Selanjutnya
ditambahkan 0,5 mL campuran phenol : CHCl3 : Isoamilalkohol
(25:24:1) di vortek sampai terbentuk suspensi dan disentrifugasi pada kecepatan
5000 rpm selama 5 menit. Supernatan yang terbentuk dipindahkan kedalam tabung
mikro steril (diusahakan sebanyak mungkin, tetapi jangan terkontaminasi dengan
larutan phenolnya). Ditambahkan 1 mL ethanol absolut dingin kepada masing-masing
supernatan BFA, dicampur dan diinkubasi pada suhu –200C selama
minimal 10 menit. Selanjutnya disentrifugasi pada 5000 rpm selama 5 menit,
supernatan dibuang. Pellet dicuci, ditambah dengan 700 mL etanol 70%, hanya sebentar
lalu ethanol dibuang. Pellet dikeringkan di dalam vacum evaporator selama 20 menit (sampai terlihat
bening/transparan).
Pellet
DNA plasmid yang telah terisolasi kemudian didigesti dengan menggunakan enzim EcoRI dan SalI, serta sebagai markernya 1 Kb leader. Potongan DNA plasmid di
running dengan minigel elektroforesis agaros pada 110 mA, 50 Volt, selama 2,5
jam, dalam larutan 1xTAE. Untuk melihat jalannya elektroforesis ditambahkan
blue juice kedalam masing-masing DNA plasmid isolat BFA. Setelah selesai
running dilakukan pewarnaan dengan
ethidium bromida. Gel yang mengandung potongan DNA plasmid dilihat di bawah UV– transiluminator dan difoto dengan
kamera polaroid.
Isolat
murni BFA dikultur pada media SWC cair, diinkubasi pada suhu ruang selama 5 x
24 jam di depan lampu tungsten sehingga diperkirakan sudah mencapai kepadatan
kultur 108 sel/mL. Satu mililiter suspensi bakteri dibuat sisipan
gel (gel insert) diisolasi DNA
genomnya dan didigesti dengan enzim AseI menggunakan methode seperti yang
dilakukan oleh Suwanto dan Kaplan (1989)
Dibuat gel
agarose untuk running dengan cara malarutkan 1 gram higt melting agarose ke dalam 100 ml 0,5 TBE (50 mM buffer
Tris-Borat; 0,1 mM EDTA). Kemudian gel agarose dicetak dalam cetakan ukuran 14
x 12 x 1 cm3 dan didinginkan pada suhu ruang. Dimasukan sisipan gel
ke dalam sumur-sumur gel dan celah-celah yang masih tampak tertutup dengan 1,5
% LMA dalam 1 x TE. Potongan genom dipisahkan dalam alat Pulse Field Gel Electroforosis (PFGE) dengan menggunakan buffer 0,5
x TBE pada tegangan listrik 5,4 volt/cm2, suhu 140C
dengan waktu pulsa 10 – 100 detik selama 18 jam.
Gel hasil elektroforesis tersebut direndam dalam larutan 1 mg/ml etidium bromida selama 10 menit, selanjutnya di bilas dengan akuades selama 20 – 30 menit. Hasil gel tersebut diamati di bawah UV transluminator dan difoto dengan kamera polaroid di bawah sinar ultra violet pada panjang gelombang 302 nm.
Jumlah pita
yang terbentuk dan jarak migrasinya dari tiap-tiap potongan DNA diukur.
Kemudian ditentukan bobot molekul DNA kromosom dengan cara membandingkan dengan
DNA standar yang dielektrofoseris bersamaan. Kemudian dilihat kekerabatannya
antar galur isolat BFA dengan model dendrogram yang menggunakan analisis sidik
gerombol (cluster analysis) melalui
program komputer Numerical Taxonomy
System (Rohlf, 1990).
Isolat murni BFA dikultur pada media SWC cair pada suhu ruang selama 5 x 24 jam didepan lampu tungsten 40 watt. Sebanyak 1 ml isolat tersebut diinokulasikan kepada media SWC dengan kandungan H2S sebanyak 1 mg/mL, yaitu dengan cara melarutkan 1 M Na2S (7 – 10) H2O. Kemudian diinkubasi selama 90 jam pada suhu ruang. Masing-masing tabung diukur kadar S= , pH dan temperatur media. Percobaan ini dilakukan tiga kali ulangan untuk setiap isolat dan dibuat kontrol yang tidak diinokulasi dengan isolat BFA. Pengukuran dilakukan dengan HACH Spektrofotometer DR 2000 yang berdasarkan metode biru methilen (Cleseri, et al., 1989) dengan standar deviasi 0,0003 mg/L S= dan kapasitas pengukuran 0,0 – 0,6 mg/L S=.
Sebagai langkah awal untuk skrining kemampuan hidup isolat BFA pada beberapa tingkatan senyawa nitrit. Masing-masing isolat murni BFA ditumbuhkan pada 10 ml media cair SWC di tabung reaksi yang mengandung nitrit sebanyak 1, 2, 3 dan 4 ppm. Dengan jalan ditambahkan larutan standar kalium nitrit (KNO2). Sebanyak 100 ml suspensi BFA diinokulasikan dalam media SWC cair tersebut. Kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 5 x 24 jam. Pertumbuhan isolat diamati berdasarkan tingkat kekeruhan media dan sebagai kontrol media yang tidak diinokulasi isolat BFA setiap isolat dilakukan tiga kali ulangan (triplo). Isolat BFA yang mampu tumbuh pada media yang mengandung nitrit 4 ppm dilanjutkan dengan uji kemampuan reduksi nitrit tersebut.
Sebanyak 10
ml media cair SWC dengan kandungan nitrit 4 ppm dimasukan ke dalam tabung
reaksi berulir. Kemudian diinokulasikan 100 ml isolat BFA terseleksi dan diinkubasi pada suhu ruang selama
5 x 24 jam di depan lampu tungsten 40 watt. Konsentrasi nitrit dihitung
berdasarkan metode kolorimetri dengan jalan memisahkan media dengan koloni sel
BFA terlebih dahulu. Diambil 5 ml media dan ditambahkan 0,1 ml sulfanilamid dan
0,1 ml NED (N-1-Naphtyl ethylen diamin
dihidrochlorid). Kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 540
nm dengan spektrofotometer. Sebagai kontrol media yang tidak diinokulasi dengan
isolat BFA. Selanjutnya dianalisis kemampuan isolat BFA dalam mereduksi senyawa
nitrit.
Sebanyak
5 ml media cair SWC 10 % dimasukkan ke dalam tabung reaksi bepenutup, kemudian
diinokulasikan 1 ml isolat BFA terseleksi (yang mampu mereduksi senyawa
metabolit toksik) dengan kepadatan 104 sel/ml dan bakteri penyebab
penyakit sebanyak 1 ml dengan kepadatan 102 sel/ml. Suspensi
tersebut kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 5 x 24 jam dalam kondisi
mikroaerofilik. Sebagai kontrol diinokulasikan masing-masing ioslat BFA dan
bakteri penyebab penyakit secara terpisah. Kemudian dianalisis daya
kompetisinya dan dilihat populasi dari masing-masing isolat bakteri uji.
Deteksi populasi isolat BFA dengan menumbuhkan pada media agar SWC secara anaerobik
(Anaerobik jar), sedangkan untuk mendeteksi bakteri penyebab penyakit (Vibrio)
ditumbuhkan pada media TCBSA di cawan petri dan diinkubasi pada suhu ruang.
Metode tersebut didasarkan pada jumlah koloni yang tumbuh pada media (Coloni Unit Forming) dan jumlah koloni
yang representatif dari setiap kultur adalah antara 30 – 300 koloni.
Ditumbuhkan
isolat BFA terseleksi dalam media cair SWC selama 5 x 24 jam pada suhu ruang.
Susupensi isolat BFA tersebut dimasukkan sebanyak 1 ml kedalam 30 ml media cair
SWC 10 % pada tabung reaksi berulir ukuran 2,5 x 18 cm2. Kemudian
diinkubasi pada ruang tertutup plastik hitam, yang dikondisikan seperti pada
sistem perairan tambak ukuran lebar 80 cm, panjang 100 cm dan tinggi 75 cm.
Diatas ruang tersebut diberi lampu tungten 40 watt. Penyinaran dilakukan
sebanyak 12 jam terang dan 12 gelap. Tabung reaksi di letakan secara terbalik
sehingga dapat berdiri dengan tegak.
Pertumbuhan
sel BFA di amati setiap hari mulai dari hari ke nol sampai hari ke 7 .
Penentuan jumlah sel BFA dihitung dengan metode cawan sebar (Most Propability Number) dengan beberapa
tingkat pengenceran yang sesuai. Media yang digunakan untuk penghitungan koloni
adalah media SWC Agar. Pengujian ini dilakukan dengan tiga kali ulangan untuk
setiap isolat. Jumlah koloni dalam setiap cawan sebar yang representatif adalah
antara 30 sampai dengan 300 koloni.
Isolat
BFA yang diuji pada tahap ini merupakan isolat terseleksi yang mampu mereduksi
senyawa metabolit toksik, menghambat pertumbuhan bakteri penyebab penyakit
udang dan mempunyai viabilitas yang baik pada uji skala laboratorium. Sebelum dilakukan uji ini isolat BFA
terseleksi dibuat mutan Rifampicin
resisten pada konsentrasi 50 mg/mL. Hal
ini digunakan sebagai penanda dalam pendeteksian isolat di lapangan.
Dibuat
media SWC agar yang mengandung rifampisin 50 mg/mL. Kemudian
diinokulasikan sebanyak 100 ml kultur
BFA dengan kepadatan sekitar 105 sel/mL dan disebar merata. Kultur
diinkubasi pada suhu kamar selama 5 x 24 jam. Isolat BFA yang tumbuh adalah
merupakan isolat yang telah mengalami mutasi terhadap antibiotik rifampicin.
Inokulasikan isolat BFA Rif resisten ke dalam media cair SWC yang mengandung
rifampicin 50 mg/mL.
Isolat tersebut dilakukan perbanyakan secara bertingkat sampai pada volume
kultur mencapai 2000 ml. Stok kultur tersebut digunakan untuk uji kelangsungan
hidup pada sistem tambak skala pilot.
Dibuat
sistem tambak skala laboratorium dengan bak fiber glas volume 1,5 m3.
Air digerakkan dengan pompa submersible kapasitas 10 L/menit dan diaerasi.
Dasar kolam dilapisi tanah sedimen dengan ketebalan sekitar 10 cm. Volume air
kolam dibuat sebanyak 1000 L dengan salinitas 20 %. Kemudian ke dalam kolam
tersebut di masukan benur udang windu PL 30 sebanyak 40 ekor.
Ke dalam
sistem tambak tersebut diinokulasikan isolat BFA terseleksi (Rif. resisten)
sebanyak 1000 ml. Diamati pertumbuhan
isolat BFA tersebut pada interval waktu tertentu ( 6 , 12, 18, 24, 48, 72 dan
96 jam). Deteksi populasi isolat BFA dilakukan dengan menghitung jumlah sel
dengan metode Most Probability Number (MPN).
Media yang digunakan adalah media SWC agar yang mengandung rif. 50 mg/mL. Jumlah koloni dalam
setiap cawan sebar yang representatif adalah antara 30 sampai dengan 300
koloni. Beberapa parameter kualitas air diamati (pH, salinitas, suhu, ammonia,
nitrit, H2S dan populasi bakteri lain). Sebagai data pembanding
adalah dari model sistem tambak, dengan perlakuan yang sama tetapi tidak
diinokulasikan isolat BFA Rif resisten. Deteksi isolat BFA pada bak kontrol
dilakukan terhadap yang Rif resisten maupun yang tidak. Media yang digunakan
adalah media SWC Agar dan Media SWC Agar + Rifamphisin 50 mg/mL.
Disiapkan
model tambak sistem intensif kapasitas 30 m3, dengan padat penebaran
40 ekor / m2, umur benur PL 30. Kemudian dibuat suspensi kultur
isolat BFA Rif resisten (penanda) dalam media SWC cair 10 %. Hal ini untuk
aklimatisasi kandungan nutrien di sistem perairan tambak yang relatif rendah
dari pada media kultur. Kedalam sistem kolam tersebut diinokulasi suspensi
isolat BFA Rif. Resisten sebanyak 10 L, dengan kepadatan sel sekitar 106
sel/mL. Pemberian suspensi isolat BFA tersebut dilakukan 1 kali setiap 2 minggu
dari pertama kali tebar sampai umur udang 2 bulan. Memasuki umur 3 bulan
pemberian isolat BFA dinaikkan frekwensinya, menjadi 1 kali setiap minggu.
Deteksi keberadaan BFA uji di lingkungan dilakukan setiap minggu, dengan
menggunakan metode pengukuran jumlah unit koloninya. Pengaruh isolat BFA
(mikroba uji) dapat dilihat dari profil kandungan senyawa toksik, yang
dibandingkan dengan kontrol (tanpa introduksi suspensi isolat BFA). Sebagai
data pendukung diamati parameter kualitas air dan pertumbuhan udang (bobot dan
panjang badan). Beberapa parameter kualitas air yang diukur meliputi :
kandungan oksigen terlarut, salinitas, suhu, nitrit, H2S, ammonia,
kecerahan dan kepadatan fitoplankton.
Kemampuan
isolat BFA berkompetisi dengan bakteri penyebab penyakit dilihat dari populasi
bakteri tersebut pada perairan tambak percobaan dan dibandingkan dengan
populasinya di kolam kontrol. Khusus untuk bakteri kelompok Vibrio sp ditumbuhkan langsung pada
media selektif TCBSA, dengan beberapa
pengenceran bertingkat. Jumlah koloni yang representatif dalam satu cawan petri
adalah sekitar 30 – 300 koloni.
Apriyanto,
A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarwati dan S. Budiyanto. 1989. Analisis
Pangan. Penerbit IPB. Bogor.
Atlas,
R.M. and R. Bartha. 1998. Microbial ecology. Fundamental and Applications.The
Benjamin/Cumming Publ. Co. California.
Avnimelech,
Y. 1999. Carbon and nitrogen ratio as a control element in aquaculture system.
Aquaculture. 176 : 227 – 235.
Basoeki, D.M., 2000. Sumbangan subsektor budidaya udang dalam pencapaian target protekan 2003. Sebuah Studi Kasus di TIR Terpadu. PT. Central Pertiwi Bahari. Saresehan Aquakultur Nasional. Bogor.
Boyd, A.W. and A.W. Arlo. 1992. Pond monitoring and management. In. Fast, A.W. and Lester L.J. (Eds). Marine Shrimp Culture : Principles and Practices, pp. 497 - 514.
Bradford, M.M., 1976. A rapid and sensitive method for the quantitation of microgram quantities of protein utilizing the principle of protein-dye binding. Anal. Biochem. 72 : 248 – 254.
Brock, T.D. and M.T.
Madigan. 1991. Biology of Microorganisms. Prentice Hall. New Jersey.Buccanan,
E.R. and N.E. Gibbon. 1974. Bergeys manual of determinative bacteriology.
Williems and Welkins Co. Baltimore.
Chen, J-C. and C-Y. Lin. 1995. Respon of oxygen consumtion, ammonia-N excretion and urea-N excretion of Penaeus chinensis exposed to ambient ammonia at salinity and pH levels. Aquaculture. 136 : 243 – 255.
Chen, J-C. and Y-Z. Kou. 1992. Effect of ammonia on growth and molting of Penaeus japonicus juveniles. Aquaculture. 104 : 249 – 260.
Chen, T.T. 2000. Aquaculture biotechnology and fish disease. In. Hardjito (Eds). Resources Studies. IPB. Jakarta. Indonesia. P. 3 – 8. International Symposium on Marine Biotechnology. Centre for Coastal and Marine.
Deshimaru, O. and Shigueno, K. 1972. Introduction to the artificial diet for prawn Penaeus indicus. Aquaculture. 1 : 115 – 174.
Dhawale, R.M., J.J. Wilson, G.G. Kochatourians and W.M. Ingledew. 1982. Improved method for detection of starch hidrolysis. Appl. Environ. Microbial. 44 (3) : 747 – 750.
Durham, D.R., D.B. Stewart and E.J. Stellwag. 1987. Novel alkaline and heat stable serine proteases from alkalophilic Bacillus sp. Strain GX6638. J. Bacteriol. 169 (6) : 2762 – 2768.
Fast, A.W. 1992. Penaeid growth systems : An Overview. In. Fast, A.W. and Lester L.J.(Eds). Marine Shrimp Culture : Principles and Practices, pp. 345 – 354.
Hargreaves, J.A. 1988. Nitrogen biogeochemistry of aquaculture pond. Aquaculture. 166 : 181 – 212.
Horikoshi, K. 1971. Production of alkaline enzymes by alkaliphilic microorganism : alkaline protease produced by Bacillus No. 221. Agric. Biol. Chem. 35 (9) : 1407 – 1414.
Howard, P.L., K.D. Harsono and J.B. Luchansky. 1992. Differentiation of Listeria monocystis, L. innocua, L.ivanovii and L. sceligeri by pulsed field gel electrophoresis. App. Environ. Microbiol. 58 : 709 – 712.
Lavilla-Pitogo, R.C., M.C.L. Baticados, E.R. Cruz-Lacierda and L.D.
dela Pena. 1990. Occurrence of luminous bacteria diseases of Penaeus monodon Larvae in Philipines.
Aquaculture. 91 : 1 – 13.
Lee, J.K. and S. Kaplan.1992. Cis-acting regulatory elements involve in oxygen and light control of puc operon transcription in Rhodobacter sphaeroides. J.Bacteriol.174 : 1146-1157
Lightner, D.V., 1993. Diseases of cultured Penaeid Shrimp.. In. Vey, P.J. Handbook of Mariculture : Crustacean Aquaculture. CRC. Press. Inc. Florida. P. 343 – 487
Menavesta, P., W.Worrowattanamateekul, T. Latcha and
J.S. Clark. 1993. Corection of Balck tiger prawn (P. monodon Fab.) coloration by astaxanthine. Aquaculture
Engineering. 12 : 203 – 213
Nash, G., C. Nithimathachoke, C. Tungmandi, A. Arkarjamorn, P. Prathanpipat and P. Ruamthaveesub. 1992. Vibriosis and its control in pond-reared Penaeus monodon in Thailand. In. M. Syariff, R.P. Subangsinghe and J.R. Arthur (Eds). Diseases in Asian Aquaculture I. Asian Fisheries Sociaty. Manila. p. 143 – 155.
Overman, J., S.Lehman and N. Pfennig. 1991. Gas
vesicle formation and buoyancy regulation in Pelodictyon phaeoclathtiforme. (Green sulfur bacteria). Arch.
Microbiol. 157 : 29 – 37.
Overman, J., U. Fisher and N. Pfennig. 1992. A new purpel sulfur bacterium from saline litoral sediment Thiorodhovibrio winograski. Arch. Microbiol. 157 : 329 – 355
Pellon, W., R.J. Siebeling, J Simonson and R.B. Lutfig. 1995. Isolation of bacteriophage infection for Vibrio vulnificus. J. Curren Microbiol. 30 (6) : 331 – 336.
Pfennig, N. and H.G. Truper. 1989. Anoxygenic phototrophic bacteria. In. J.T. Staley, M.P. Bryant, N. Pfennig and J.G. Holt. (Eds). Bergeys Manual of Systematic Bacteriology. William and Wilkins. Baltimore.
Rohlf, F.J. 1990. NTSYS-pc numerical taxonomi and multivariate analysis system. Applied Biostatistics Inc. New York.
Rosas, C., G.Cuzon, G.Gaxiola, L. Arena, P. Lemariire, C. Soyez and A.VanWormhoudt. 2000. Influence of dietary carbohidrat on the metabolism of juvenile Litopenaeus stylirostris. J. Exp. Mar. Biol. And Eco. 249 : 181 – 198.
Shigueno, A. 1975. Shrimp culture in Japan. Association for International Technical Promotion. Tokyo.
Suwanto, A. 1993. Tehnik percobaan dalam genetika molekuler. Jurusan Biologi. Fak. MIPA. IPB. Bogor.
Suwanto, A and S. Kaplan. 1989. Physical and
genethic mapping of Rhodobacter
sphaeroides 2.4.1 genom : genom size, fragment, identification and gene
location. J. Bacteriol. 171 : 5850 – 5859.
Tjahjadi,M.R., S.I. Angka. and A. Soewanto. 1994. Isolation and evaluation of marine bacteria for biocontrol of luminous bacterial disease in tiger shrimp larvae (Penaeus monodon Fab.). Asian Pasific Journal of Molecular Biology and Biotechnology. 2(4) : 347 – 352.
Wahlefeld, A.W. 1974. Determination whit coloured insoluble subtrat. In. Method of Enzymatic Analysis. (Eds). Bergmeyer. Academic Press. New York. P. 894 – 898.
Wisjnuprapto. 1996. Bioremidiasi. Manfaat dan pengembangannya. Dalam P. Citroreksoko, A. Setiana, M.A. Subroto dan D. Tisnadjaja (Eds). Peranan Bioremidiasi dalam Pengelolaan Lingkungan. Puslitbang Bioteknologi LIPI. Cibinong Bogor. P. 173 – 185.
Zafran, D. Rosa and K.A. Suhareni. 1994. Isolation and characteristhics of Vibrios isolated from diseased tiger prawn, Penaeus monodon reared in an intensive system in Negara Brakish Water Ponds. Bali. J. Penelitian Budidaya Pantai. 10 (1) : 115 – 121.