Pembangunan Berkelanjutan

© 2001. Tiene Rahma Prihatini

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

April 2001

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

 

Pembangunan Berkelanjutan, 
Konsep Ekonomi atau suatu Filosofi Kehidupan?

 

Oleh:

 

Tiene Rahma Prihatini

SPL 995211

tiene@indo.net.id

 

 

 

Pendahuluan

Pembangunan Berkelanjutan, Konsep Ekonomi

Sediaan Kapital Alami

Sumberdaya/Kapital dalam sistem

Perpekstif Ekonomi – Ekologi (Ecological Economics Perspectives)

Pembangunan Berkelanjutan Sebagai Filosofi Kehidupan
            Al Hijr 19-22
            The Western Man:

Daftar Pustaka

 

 

  

 

 

Pendahuluan

Istilah pembangunan berkelanjutan telah memasuki perbendaharaan kata para ahli serta masyarakat setelah diterbitkannya laporan mengenai pembangunan dan lingkungan serta sumberdaya alam.  Laporan ini diterbitkan oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan - PBB (UN World on Environment and Development - WCED) yang diketuai oleh Harlem Brundtland (Conrad, 1999) dimana dalam laporan tersebut didefinisikan istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development).  Adapun definisi pembangunan berkelanjutan tersebut adalah:

"Pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya."

Lebih jauh, dikatakan bahwa pada tingkat yang minimum, pembangunan berkelanjutan tidak boleh membahayakan sistem alam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi.

Pada tahun 1992, dalam Konperensi Bumi di Rio de Janeiro, pembangunan berkelanjutan menjadi tema yang umum yang mengkaitkan sejumlah konvensi yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan untuk melestarikan keanekaragaman hayati.  Konvensi ini diratifikasi oleh lebih dari 140 negara sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan dapat diterima di seluruh dunia.

Dalam Konperensi tersebut diproklamirkan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan adalah suatu tujuan yang operasional di seluruh dunia, baik di tingkat lokal, nasional, dan regional atau international.  Mengintegrasikan dan menyeimbangkan masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam mencapai tujuan menjadi syarat kehidupan di muka bumi ini.  Selain itu, pendekatan terpadu dan penyeimbangan dimensi sosial ekonomi dan lingkungan tersebut akan memerlukan cara dan perspektif baru dalam memproduksi, mengkonsumsi, menjalankan kehidupan (gaya hidup), serta pengambilan keputusan. Pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang revolusioner, dan hingga kini masih dalam perdebatan terutama mengenai upaya untuk mencapai keberlanjutan (sustainability) tersebut (www.un.org/rio+10/web_pages/rio+10_background.htm)

Secara harfiah, pembangunan berkelanjutan mengacu pada upaya memelihara/mempertahankan kegiatan membangun (development) secara terus menerus. Pembangunan selalu memiliki implikasi ekonomi, serta pada kenyataannya, pembangunan memiliki dimensi sosial dan politik yang kental. Pembangunan, dapat dikatakan sebagai vektor dari tujuan sosial dari suatu masyarakat (society), dimana tujuan tersebut merupakan atribut dari apa yang ingin dicapai atau dimaksimalkan oleh masyarakat tersebut.  Atribut tersebut dapat mencakup: kenaikan pendapatan per kapita, perbaikan kondisi gizi dan kesehatan, pendidikan, akses kepada sumberdaya, distribusi pendapatan yang lebih merata, dan sebagainya.  Sehingga konsep berkelanjutan dapat diartikan sebagai persyaratan umum dimana karakter vektor pembangunan tadi tidak berkurang sejalan dengan waktu (Pearce et al., 1992) . 

Meskipun konsep pembangunan berkelanjutan ini telah digunakan secara luas, pengertian definisi pembangunan berkelanjutan ini sangat beragam (Elliot, 1999, Pezzey, 1992, Pearce et al., 1989) .  Ada isu utama dalam definisi yang ditetapkan tersebut, yaitu:

1.      Definisi pembangunan berkelanjutan dari Komisi Brundtland tersebut mengedepankan isu kesetaraan (equity issue).  Dengan demikian, definisi ekonomi pembangunan berkelanjutan adalah sesuatu yang normatif (Hussen, 2000) .

2.      Definisi tersebut mengusulkan sesuatu dengan kriteria etik yang spesifik, yaitu bahwa pemenuhan kebutuhan kini tidak boleh mengorbankan pemenuhan kebutuhan yang akan datang.  Dengan demikian definisi berhadapan dengan masalah kesetaraan antar generasi (intergenerational equity) (Costanza, 1991b)

3.      Dengan mengedepankan masalah kesetaraan, Laporan Komisi Brundtland ini memicu pertanyaan validitas analisis ekonomi yang standard yang berdasar hanya pada efisiensi.

Kenyataan ini secara tidak sengaja memicu perdebatan dimana tergambarkan bahwa konsep ini terasa agak kabur dan sangat luas implikasinya.  Secara ekstrim, timbul pernyataan bahwa konsep ini tidak memiliki dasar analistis, dengan kata lain sebuah konsep tanpa makna dan kosong bobot analisisnya sehingga tidak dapat diterapkan dalam konteks ekonomi(Hussen, 2000, Elliot, 1999) . Kenyataan ini merupakan dasar dari penulisan makalah ini.  Makalah ini mencoba menelaah apakah istilah pembangunan berkelanjutan ini merupakan suatu istilah yang hanya sekedar masalah ekonomi makro atau lebih merupakan suatu filosofi dasar dalam kehidupan yang memang harus diterapkan.

Dalam mencapai tujuan makalah ini, dilakukan telaah literatur tentang pembangunan berkelanjutan.  Diharapkan makalah ini dapat memperdalam pemahaman penulis tentang konsep pembangunan berkelanjutan.  Makalah ini disajikan dengan sistematika yang dimulai dengan pendahuluan, yaitu deskripsi, definisi, serta interpretasi pembangunan berkelanjutan.  Kemudian, tinjauan pembangunan sebagai konsep ekonomi dilakukan dengan tujuan untuk melihat sejauh mana konsep ini dapat diaplikasikan.  Selanjutnya, tinjauan mengenai sumberdaya alam dalam sistemnya sebagai syarat pembangunan berkelanjutan dilakukan dalam konteks ekonomi – ekologi (ecological economics).  Sebagai penutup disajikan telaah konsep pembangunan berkelanjutan yang merupakan filosofi dasar kehidupan.

 

Pembangunan Berkelanjutan, Konsep Ekonomi

Dalam definisi ekonomi, modal dalam suatu sistem ekonomi adalah “cadangan” atau stok dari barang nyata (real), yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan barang (atau fungsi pemanfaatan) dalam kurun waktu mendatang (Serafy, 1991) .  Lebih lanjut, sumberdaya alam, yang merupakan cadangan barang dan jasa, serta memiliki kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa serta fungsi lain diklasifikasikan sebagai modal dalam faktor produksi (Marshall 1947 dalam Serafy 1991).  Alfred Marshal dalam (Serafy, 1991) , sangat memahami peran sumberdaya alam dalam kontribusinya kepada produksi.  Hal ini dicerminkan dalam prinsip bahwa sumberdaya alam dapat berkembang (atau memulihkan diri) secara perlahan.

Seperti telah dikemukakan di atas, kata “berkelanjutan” (sustainable) memiliki implikasi rentang waktu.  Pemanfaatan sumberdaya dapat dianggap berkelanjutan untuk rentang waktu tertentu, biasanya 10 hingga 20 tahun.  Namun demikian, rentang waktu ini sering pula dianggap tidak cukup mewakili istilah “berkelanjutan” (Conrad, 1999) .  Bila istilah “berkelanjutan” berarti “dapat dipertahankan secara ad infinitum”, pemanfaatan sumberdaya oleh masyarakat primitif sekalipun – yang berburu dan mengumpulkan (hunting-gathering) – tidak dapat dikategorikan berkelanjutan.  Hal ini berkaitan dengan konsep pembangunan (development) yang tidak mungkin dilakukan tanpa konsumsi.  Sehingga dalam kenyataannya, pembangunan berkelanjutan seringkali memiliki kontradiksi dalam pelaksanaannya. 

Arti berkelanjutan secara ekstrim dapat dikatakan sebagai keseimbangan statis, dimana dalam keseimbangan tersebut tidak terdapat perubahan, meskipun tentu saja terdapat perubahan dalam lokasi dari waktu ke waktu (Boulding, 1991, Pezzey, 1992) .  Berkelanjutan dapat pula berarti keseimbangan yang dinamis (Clark, 1989) yang memiliki dua arti yaitu: pertama, keseimbangan sistem yang mengalami perubahan, dimana parameter perubahan dalam keseimbangan tersebut bersifat konstan; yang kedua adalah keseimbangan suatu sistem yang setiap parameternya mengalami perubahan, sehingga setiap perubahan misalnya dalam populasi akan memicu restorasi nilai populasi awal tersebut.

Sumberdaya buatan, atau biasa disebut kapital fisik, kapital alami (sumberdaya alam), serta kapital manusia (yaitu sdm) bersama-sama berkontribusi kepada kesejahteraan umat manusia melalui dukungan terhadap produksi barang dan jasa dalam suatu proses ekonomi (Pearce et al., 1989) .  Termasuk ke dalam kapital buatan manusia/kapital fisik adalah mesin, peralatan, bangunan, alat, dan semua yang berkaitan dengan barang yang digunakan dalam proses produksi.  Kapital alami, yang berarti sumberdaya alam, digunakan sebagai input materi dan energi ke dalam input produksi, berfungsi sebagai “sink”untuk menampung emisi limbah yang dihasilkan oleh proses ekonomi, dan juga sebagai penyedia beragam jasa ekologis untuk mendukung dan memelihara proses produksi.  Sebagai contoh adalah daur ulang nutrisi, perlindungan terhadap daeerah aliran sungai, dan pengatur iklim.  Kapital manusia, atau sumberdaya manusia,  mencakup pengetahuan, ketrampilan, dan keahlian yang diperlukan untuk meningkatkan proses produksi serta untuk kegiatan riset dan pengembangan yang memicu inovasi teknologi.  Namun demikian, masing-masing sumberdaya ini memberikan kontribusi langsung kepada kesejahteraan manusia, sehingga hubungan sediaan kapital ini dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 1).

Dalam bagian selanjutnya, istilah kapital dan istilah sumberdaya, karena memiliki makna yang sama digunakan secara bergantian.

 

Gambar 1. Sediaan Kapital Total dan Kesejahteraan Manusia.
  (dari Pearce and Barbier, 2000) .

 

Ekonomi seringkali didefinisikan sebagai ilmu pengalokasian sumberdaya di antara pihak-pihak yang berkepentingan (Clark, 1989) .  Tujuan ekonomis dari alokasi sumberdaya (alam) adalah efisiensi, yaitu mendapatkan hasil yang tertinggi dari pemanfaatan dan ekstraksi sumberdaya tersebut.  Sumberdaya diasumsikan tidak terbatas karena kemajuan teknologi dan preferensi individual dipandang sebagai “given” dan merupakan faktor dominan. Dengan demikian, dalam kerangka ekonomi, pembangunan berkelanjutan  merupakan suatu kerangka yang statis dan mengacu pada konsep keseimbangan (steady state) sebagai perangkat optimisasi (Daly, 1991) .  Dalam elaborasi lebih jauh, steady state mengacu pada karakteristik sistem sumberdaya alam dimana laju produksi/ekstraksi dibatasi pada aliran komponen sistem dan sediaan sumberdaya alam tidak berubah sepanjang waktu (Burt and Cummings, 1977) .  Optimisasi statis kemudian dikembangkan untuk menggambarkan trade-offs yang tercakup dalam alokasi sumberdaya, antara konsumsi (pemanfaatan) dan sediaan (stocks).  Berlawanan dengan hal di atas, karakteristik dari sumberdaya alam adalah dinamis, demikian pula halnya dengan implikasi sosial dari pemanfaatan sumberdaya.  Dengan demikian, ekstraksi optimal dari sumberdaya alam secara inheren adalah dinamis.

Pada kenyataannya, efisiensi tidak dapat menjadi ukuran suatu pembangunan yang berkelanjutan.  Dalam ukuran ekonomi, pembangunan berkelanjutan seperti dijabarkan dalam Gambar 1, sediaan total dari sumberdaya digunakan dalam sistem ekonomi menentukan kesempatan ekonomi yang luas, yang juga berarti jaminan kesejahteraan bagi generasi kini dan yang akan datang. Seringkali, efisiensi ekonomi dan sustainability dianggap memiliki obyektif yang sama, yaitu menyinambungkan pembangunan dengan memastikan bahwa generasi yang akan datang memiliki kesempatan ekonomi yang sama. Sehingga efisiensi ekonomi (intertemporal) merupakan isu utama pembangunan berkelanjutan. Meskipun suatu pembangunan dapat bersifat efisien secara ekonomi dan berkelanjutan pada saat yang sama, efisiensi tidak menjamin sustainability.  Dengan demikian, bila kegiatan pembangunan ekonomi bertujuan berkelanjutan dan efisien, alokasi optimal dari sumberdaya ekonomi dan lingkungan (yaitu alam) harus memenuhi kriteria yang bertujuan untuk mencapai kedua objektif ini.

Dalam kacamata ekonomi, dengan titik berat pada efisiensi, yang menjadi masalah bukanlah pada kondisi deplesi sumberdaya alam yang tidak dapat dikembalikan (irreversibility), tapi lebih pada bagaimana generasi mendatang dapat menerima kompensasi akibat kehilangan sediaan sumberdaya alam tersebut.  Dapat dikatakan bahwa efisiensi ekonomi memiliki kriteria yang berbeda dengan konsep sustainability (Pearce and Barbier, 2000) .  Masyarakat harus menentukan alokasi terbaik –“how best” –  dari pemanfaatan sediaan sumberdaya total hari ini untuk meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan, serta berapa banyak sumberdaya total ini harus ditabung, atau bahkan ditimbun, untuk esok hari, bagi kesejahteraan generasi yang akan datang.  Namun demikian, selain berapa banyak dan alokasi agregat total dari sediaan kapital yang menjadi komponen kunci, komposisi dari ketiga kapital tersebut dalam pemanfaatannya memegang peran yang sama pentingnya.  Sebagai contoh, pembangunan ekonomi telah memicu akumulasi kapital fisik dan kapital manusia, tetapi di lain pihak mengakibatkan deplesi dan degradasi kapital alami.  Dengan deplesi sediaan kapital, dimana sediaan ini tidak dapat dikembalikan ke kondisi awalnya, memiliki implikasi yang detrimental pada kesejahteraan generasi yang akan datang.

Dalam paradigma ekonomi yang ada dan dapat diterima pada saat ini, pembangunan berkelanjutan dapat diterjemahkan sebagai pemeliharaan kapital.  Ada empat variasi kebijakan mengenai pembangunan berkelanjutan:

1.      Kesinambungan yang sangat lemah (very weak sustainabillity) atau “Hartwick-Solow sustainability”, yang hanya mensyaratkan  kapital dasar total yang harus dipelihara.. Kesinambungan ini dapat dicapai dengan memastikan bahwa tingkat/laju  konsumsi berada di bawah Hicksian income, dimana Hicksian income ini didefinisikan sebagai tingkat konsumsi maksimum yang dapat membangun kondisi masyarakat yang lebih sejahtera di akhir perioda pembangunan dibandingkan dengan kondisi awalnya. Diasumsikan natural capital dapat disubsitusi dengan kapital buatan manusia (man-made capital) tanpa batas.  Dengan kata lain, deplesi sumberdaya alam tidak diperhitungkan dalam penilaian kegiatan ekonomi (Harnett, 1998) .

2.      Kesinambungan yang lemah (weak sustainability), yang mensyaratkan pemeliharaan kapital total, dengan kendala bahwa modal alami yang penting (critical natural capital) dilestarikan.  Misalnya: bila sumberdaya air dan keragaman spesies merupakan hal yang penting bagi stabilitas ekosistem, sumberdaya tersebut tidak dapat dikorbankan bagi alasan-alasan pertumbuhan ekonomi.

3.      Kesinambungan yang kuat (strong sustainability) mensyaratkan bahwa tidak ada substitusi bagi modal alami (natural capital), karena natural capital ini memperkuat kesejahteraan manusia dan degradasi natural capital tersebut dapat dikembalikan kondisinya ke kondisi awal.  Kesinambungan yang kuat mensyaratkan pemeliharaan kapital total, dengan kendala  bahwa agregrat kapital total harus dilestarikan

4.      Kesinambungan yang sangat kuat (very strong sustainability) mensyaratkan bahwa kesinambungan sistem ekologi adalah esensi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.  Pembangunan yang bergantung pada sumberdaya (resource-dependent “development”) diperbolehkan, namun demikian, pertumbuhan yang bergantung pada sumberdaya (resources-dependent “growth”) tidak dapat dibenarkan.  Interpretasi ini mensyaratkan pemisahan setiap komponen dari natural capital.  Pada kenyataannya, very strong sustainability lebih merupakan sistem daripada suatu konsep ekonomi.

Pembangunan berkelanjutan dapat dijabarkan dalam gambar berikut:

 

Gambar 2. Sumberdaya Alam dan Pembangunan Berkelanjutan (dari Pearce and Barbier, 2000) .

 

Dari pembahasan di atas, konsep ekonomi pembangunan berkelanjutan lebih merupakan suatu karakter sistem ekonomi daripada suatu konsep yang dapat diaplikasikan secara langsung.  Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan bukan hanya berfokus pada kapital fisik, alami, dan manusia yang merupakan substitusi atau komplemen, tetapi lebih kepada keputusan pengelolaan sumberdaya dalam kondisi ketidakpastian (uncertainty) maupun irreversibility.

 

Sediaan Kapital Alami

Suatu pembangunan, agar dapat berkelanjutan, memiliki suatu persyaratan minimum yaitu bahwa sediaan kapital alami (natural capital stock) harus dipertahankan sehingga kualitas dan kuantitasnya tidak menurun dalam suatu rentang waktu (Pearce, 1992).  Pemanfaatan sumberdaya alam sebagai natural capital adalah suatu proses substraksi dan/atau penambahan materi dari dan kepada sistem alam (Gunawan, 1994) .  Proses ini kemudian menyebabkan perubahan ke dalam setiap komponen sistem alam tersebut yang berakibat pada perubahan kondisi alami dari sumberdaya.

Dalam sisi skala waktu pemanfaatan relatif terhadap siklus regenerasi atau pemulihan sediaan, sumberdaya alam biasanya dikelompokkan menjadi dua kategori: Sumberdaya tidak pulih dan sumberdaya pulih (Tietenberg, 2000, Hussen, 2000) .  Keduanya memiliki karakteristik yang spesifik, sehingga, bila konsep sumberdaya sebagai “bahan bakar” pembangunan pola pemanfaatnya menjadi kunci dari suatu pembangunan yang berkelanjutan.  Sumberdaya yang tak pulih adalah sumberdaya yang laju pemulihannya sangat lambat sehingga sumberdaya tesebut tidak dapat memulihkan stok/sediaannya dalam waktu yang ekonomis (Conrad, 1999, Tietenberg, 2000) .  Tanpa daur ulang pemanfaatannya, sumberdaya tak pulih akan habis bila dimanfaatkan.  Misalnya, penambangan tembaga akan berakibat pada habisnya sediaaan dan cadangan tembaga tersebut.  Tanpa pemanfaatan ulang tembaga yang telah diekstraksi, cadangan tambang tembaga akan nihil. Sumberdaya pulih dibedakan dengan sumberdaya tak pulih berdasarkan pada kemampuan pemulihan alami yang dimiliki sumberdaya ini yang lajunya tak dapat diabaikan.  Di samping itu, siklus pemulihan ini dapat kembali memperbesar jumlah sediaan yang berkurang akibat pemanfaatannya (Tietenberg, 2000) .  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, meskipun terbatas, aliran pemanfaatan sumberdaya ini dapat dipertahankan secara terus menerus.  Volume dan kelanjutan aliran pemanfaatan beberapa siklus sumberdaya alam yang pulih sangat tergantung pada manusia.  Misalnya, penangkapan ikan yang berlebihan akan mengurangi sediaan ikan secara alami yang lebih lanjut dapat menurunkan laju peningkatan alami dari populasi ikan tersebut.  Jenis sumberdaya pulih yang lain, seperti energi surya, aliran pemanfaatannya tidak tergantung manusia.

Tietenberg (2000) menyatakan bahwa sumberdaya pulih memiliki keterbatasan dalam siklus pemulihan itu sendiri.  Holling (1997) mengungkapkan bahwa keberlanjutan sistem ekologis harus menjadi pertimbangan utama karena hal ini berkaitan dengan ketersediaan sumberdaya (pulih) tersebut.  Holling (1997) lebih lanjut mengelaborasikan konsep fungsionalitas dari sistem ekologis ini dengan siklus pemulihan sumberdaya pulih tersebut.  Konsep fungsionalitas ekosistem tersebut dapat dilihat pada gambar berikut (Gambar 3).

 

Gambar 3. Fungsionalitas Sistem Ekologi (Holling et al., 1997).

 

Dalam model ini, suatu sistem akan mengikuti suatu alur dimana sistem tersebut berubah dari tahap eksploitasi, dimana pada tahap ini kolonisasi terjadi setelah suksesi terjadi dalam suatu lokasi sistem yang terganggu (disturbed) atau lokasi yang baru (pionir), ke tahap konservasi.  Dalam tahap konservasi sistem telah mencapai tahap klimaks dan memerlukan suatu konsolidasi.  Setelah tahap konservasi, sumberdaya menjadi berlimpah dan struktur biomas menjadi “dewasa”sehingga dapat melepaskan akumulasi energi dan nutrien yang ada dalam ambang.  Nutrien dan energi yang dilepaskan kemudian tersedia bagi tahap eksploitasi selanjutnya (Holling et al., 1997) .

Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, kedua karakter tersebut berpengaruh pada ketersediaan sumberdaya sebagai natural capital stock  yang menjadi bahan bakar pembangunan. Mempertahankan sediaan kapital alami memiliki makna yang beragam.  Konsep ini dapat diterapkan pada sumberdaya pulih.  Bagi sumberdaya tak pulih, konsep ini tidak relevan, karena pada laju pemanfaatan positif dengan nilai minimum sekalipun akan mengurangi cadangan/sediaan sumberdaya alam.  Pengelolaan sumberdaya pulih memiliki tantangan yang berbeda dengan pengelolaan sumberdaya tak pulih.  Dalam pemanfaatan sumberdaya tak pulih, tantangan terbesar terletak pada alokasi sediaannya yang terus menerus berkurang dari satu generasi ke generasi lain sebelum mencapai transisi kepada kepulihan sumberdaya tersebut.  Di lain pihak, pengelolaan sumberdaya alam pulih mencakup pemeliharaan aliran sumberdaya alam yang berkelanjutan secara efisien. Dengan demikian, dalam pengelolaan sumberdaya pulih siklus regenerasi sediaan cadangan tersebut menjadi penting.

 

Sumberdaya/Kapital dalam sistem

Suatu sistem, dapat dikatakan terbuka atau tertutup bergantung pada jumlah jenis dan klasifikasi input dan output dari dan keluar sistem tersebut (Grant et al., 1997) .  Sistem terbuka memiliki implikasi bahwa struktur sistem terjadi dalam dalam suatu  koridor input dan output.  Sistem tertutup output dari seluruh komponen sistem terhubung dengan input dari komponen sistem yang lain.  Dalam skala manusia, sistem kebumian dapat dikatakan suatu sistem yang tertutup, dimana energi, materi, serta informasi selalu dalam aliran keseimbangan.  Dunia ekonomi atau dapat disebut “ekonosfer” dapat dianggap sebagai bagian atau subset dari sistem bumi – “world set” yang merupakan seluruh objek dari seluruh diskursus yang ada di bumi (Boulding, 1996) .

Manusia pada umumnya tidak dapat merasakan ketertutupan sistem ini, karena pada kenyataannya tidak ada suatu subsistem kebumian – biosfer, geosfer, dan “ekonosfer” – yang tidak mengalami input dari luar atau mengeluarkan output dari sistem tersebut (Boulding, 1996) .  Seperti dalam telaah terdahulu, status atau kondisi ekonosfer dapat dikatakan sebagai kapital total dimana kapital total ini merupakan subjek pertukaran dalam suatu sistem.  Sediaan kapital total ini adalah suatu sistem yang terbuka dalam arti bahwa sediaan kapital total ini memiliki input dan output.  Input yang berupa produksi yang mampu menambah sediaan kapital total dan output berupa konsumsi yang mensubstraksi sediaan tersebut.  Dari sudut pandang materi, stok mengalir dari suatu set yang bersifat non-ekonomi ke dalam set ekonomi dalam suatu proses produksi.  Demikian pula produk residual dikeluarkan dari sistem ekonomi pada saat nilainya menjadi nihil (Boulding, 1996) .

Dengan demikian, ekonosfer dapat dilihat sebagai proses menumpukan materi dari hasil penemuan dan substraksi sumberdaya alam, serta di lain pihak sebagai proses dimana buangan sistem yang tidak layak digunakan dilepaskan ke dalam reservoir non-ekonomi (i.e., ruang alam) dan tidak kembali dimasukkan ke dalam pertukaran sistem.  Analogi yang sama dapat diterapkan ke dalam sistem energi dan informasi berkaitan dengan aliran sistem materi, meskipun aliran informasi sering kali sulit untuk di”lacak”.  Aliran sistem informasi juga merupakan suatu sistem terbuka yang terkait, meskipun tidak sepenuhnya, dengan transformasi materi dan energi (Jacobs, 2000) .

Dari sudut pandang manusia, pengetahuan, merupakan yang terpenting dari ke tiga sistem di atas (sistem materi, sistem energi, dan sistem informasi).  Signifikansi materi hanyalah sebagai objek pengetahuan manusia dalam suatu ekonosfer dan sosiosfer.  Kapital manusia, human knowledge, dapat dianggap sebagai sediaan pengetahuan yang dibutuhkan sehingga materi atau natural capital dapat berarti bagi ekonosfer dan sosiosfer tadi (Jacobs, 2000) .  Kumulasi pengetahuan, adalah kunci bagi perkembangan manusia, terutama dalam perkembangan ekonomi, dimana termasuk dalam istilah pengetahuan atau knowledge ini adalah struktur kognitif yang utuh – termasuk valuasi atau penilaian serta citra atau images dari dunia nyata. 

Pengetahuan memegang peran yang sangat dominan dalam subsitusi kapital dalam pembangunan berkelanjutan.  Hal ini berpengaruh pada keberadaan sistem energi dan materi yang lebih berperan sebagai objek.  Pengetahuan berpengaruh pada perilaku manusia dalam menentukan substitutability dan komposisi sediaan total kapital yang dimanfaatkan dalam kegiatan ekonomi.  Pengetahuan ikut menentukan inovasi untuk mengekstraksi, mendukung efisiensi input dan output, serta mengurangi dampak dari kegiatan sistem ekonomi.  Namun demikian, pengetahuan tidak dapat merubah kondisi sediaan kapital alami yang menjadi komponen penting dari total kapital dalam pembangunan berkelanjutan, kecuali melalui perubahan perilaku dalam pengambilan keputusan dalam pemanfaatan sumberdaya.  Sebagai contoh, kemajuan teknologi perkapalan tidak akan meningkatkan produktivitas perikanan pada saat sediaan ikan di laut telah berkurang; atau jenis state-of-the-art chainsaw tidak dapat meningkatkan produk kayu gelondongan pada saat hutan telah terbabat habis.

 

Perpekstif Ekonomi – Ekologi (Ecological Economics Perspectives)

Dari kenyataan di atas, sistem ekonomi dan sistem ekologi merupakan hal yang dapat dianggap sebagai sebab dan akibat.  Dalam konteks sistem kebumian yang menyeluruh, sistem ekonomi dan ekologi merupakan bagian dari sistem kebumian tersebut.  Pendekatan ekonomi-ekologi (ecological economics) mencakup telaah yang sistematis dan menyeluruh mengenai hubungan sistem ekonomi dan sistem ekologi (Costanza, 1991).  Dalam prinsip dasarnya, ekonomi-ekologi melingkup karakter sistem ekonomi dan ekologi yang kompleks, adaptif, serta “hidup” yang harus dipelajari dalam sistem yang terpadu dan co-evolving.  Pendekatan ekonomi-ekologi dalam telaah ekonomi berbeda dengan telaah ekonomi neoklasikal dalam hal (Hussen, 2000) :

1.      Dalam ekonomi-ekologi, proses kehidupan ekonomi dipandang sebagai bagian dari subsistem dari sistem ekologis.  Karakteristik pertukaran materi dan energi antara subsistem ekosistem dan subsistem ekonomi merupakan menjadi acuan utama.

2.      Berkaitan dengan butir pertama, produksi (yang tidak lain adalah transformasi energi dan materi) dipandang sebagai titik awal dari kegiatan ekonomi (Ayres, 1978) .  Seperti telah dikemukakan dalam bagian terdahulu, faktor proses produksi adalah aliran bahan mentah, energi, dan informasi, serta proses fisik dan biologis dalam sistem ekologi (ekosistem) yang esensial sebagi pendukung kehidupan.  Dengan demikian, ekosistem merupakan sumber utama dari seluruh input materi terhadap subsistem ekonomi (i.e., ekonosfer).  Dalam konteks ini, alam bisa dianggap sebagai sumber kekayaan (wealth) (Hussen, 2000) .  Lebih jauh, dalam pendekatan ekonomi-ekologi terdapat makna keterbatasan ekosistem alami dalam kemampuannya dalam regenerasi dan asimilasi yang timbul dari hukum fisika yang mengatur transformasi materi dan energi (Georgescu-Roegen, 1993 dalam (Hussen, 2000) .  Dengan demikian, sumberdaya alam tidak dapat dianggap sebagai tanpa batas.

3.      Dalam fokus produksi (transformasi materi dan energi), digunakan prinsip termodinamika dan prinsip ekologis dalam menentukan “batas” dari peran sumberdaya alam dalam proses ekonomi (Costanza, 1991a) . Karena setiap transformasi memerlukan energi dan tidak ada pengganti energi, pendekatan ekonomi-ekologi cenderung untuk meninggikan nilai sumberdaya energi dalam proses ekonomi dan dalam ekosistem secara keseluruhan (Odum and Odum, 1976) .

4.      Fokus lain dari ekonomi-ekologi adalah faktor produksi komplementer (Serafy, 1991) .  Seluruh input dalam proses produksi dipandang sebagai komplemen, dan bukan sebagai pengganti (substitute).   Hal ini timbul dari kenyataan bahwa kapital fisik dan manusia tidak dapat menciptakan kapital alami.  Deplesi kapital alami tidak dapat dipecahkan dengan substitusi kapital alami oleh kapital fisik dan/atau manusia. Sediaan ikan dan hutan di atas merupakan contoh yang sangat tepat dalam hal ini.

5.      Pentingnya “skala” yang mengacu pada ukuran subsistem ekonomi relatif terhadap ekosistem global (Daly, 1991) .  Saat ini subsistem ekonomi telah sedemikian besarnya sehingga menyebabkan tekanan yang signifikan terhadap kapasitas ekosistem yang terbatas dalam mendukung berlangsungnya proses dalam subsistem ekonomi.  Dengan demikian, dalam perspektif ekonomi-ekologi, pencarian skala yang optimal, hal yang terpenting dan harus dilakukan pertama adalah pemahaman terhadap batas biofisik terhadap pertumbuhan ekonomi (Daly, 1996) .

 

Pembangunan Berkelanjutan Sebagai Filosofi Kehidupan

Ada empat komponen utama yang terurai dari pembahasan konsep pembangunan berkelanjutan yang telah dilakukan, yaitu:

Efisiensi dalam alokasi.  Pembangunan berkelanjutan memiliki implikasi yang lebih luas dari sekedar efisiensi alokasi yang menjadi fokus utama ekonomi neoklasikal dari kelangkaan sumberdaya.  Pembangunan berkelanjutan juga mengedepankan isu keadilan, kesetaraan, dan distribusi.  Isu tersebut memiliki dimensi waktu yang seringkali melibatkan manusia dengan generasi yang berbeda.  Di samping itu kesejahteraan, bukan hanya kesejahteraan manusia, menjadi faktor utama dalam tujuan konsep ini

Batas biofisik.  Pembangunan berkelanjutan berkaitan erat dengan batasan biofisik.  Dinamika sumberdaya alam yang memiliki siklus tersendiri, dimana sistem sumberdaya alam terkait erat dengan sistem yang lebih besar, yaitu siklus kebumian.

Pengetahuan.  Pembangunan berkelanjutan menuntut  terjaganya kesinambungan ekologis (ecological sustainability) yang terkait erat dengan pengetahuan – knowledge.  Masalah kesinambungan ekologis memerlukan telaah yang mendalam, berkaitan dengan sistem sosial dan sistem nilai dalam masyarakat, dalam konteks keinginan manusia (human preference).  Gaya hidup, sangat menentukan tingkat konsumsi dari komponen agregat kapital, dan kemudian berpengaruh kepada tingkat produksi agregat kapital tersebut.  Akumulasi knowledge dapat diharapkan sebagai peningkatan etika dan moral masyarakat sebagai pelaku dalam proses ekonomi.

Ketidak pastian.  Pembangunan berkelanjutan selalu berkaitan dengan proses pengambilan keputusan dalam kondisi yang penuh ketidak pastian.  Komponen sistem yang selalu berubah, materi – energi – informasi, memicu ketidak pastian ini.  Perubahan komponen tersebut akan berakibat pada perubahan teknologi, income, dan preference.  Masalahnya bukan berada pada isu apakah perubahan itu terjadi atau tidak, tetapi lebih pada bagaimana dan kapan perubahan itu terjadi, serta lebih jauh, implikasi perubahan terhadap ketersediaan sumberdaya di masa datang.

Dari keempat butir di atas, dapat disimpulkan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak dapat dilihat sebagai konsep efisiensi ekonomi semata.  Sistem ekonomi merupakan sistem yang dinamis yang memiliki komponen input dan output yang dinamis pula.  Proses dalam sistem ekonomi merupakan bagian dari sistem yang lebih besar yaitu sistem kebumian yang bersifat tertutup. Output dari sistem ekonomi dapat merupakan input terhadap komponen sistem bumi yang lain, demikian seterusnya..  Sistem tertutup yang tidak memiliki cadangan sumberdaya atau ruang bagi buangannya.  Dengan demikian, manusia harus menempatkan dirinya dalam suatu siklus sistem ekologis dan sistem geologis dimana sistem tersebut mampu melakukan reproduksi yang terus menerus tanpa input energi dari luar (Boulding, 1996) .  Sehingga dapat dikatakan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan memiliki komponen filosofis dalam kehidupan manusia.

Pengaruh pandangan ini sangat besar terhadap perilaku konsumsi manusia serta terhadap ukuran keberhasilan konsep pembangunan berkelanjutan ini.  Dalam pandangan efisiensi yaitu pandangan bumi sebagai sistem terbuka, sukses ekonomi diukur dalam jumlah atau besar koridor sistem dari faktor produksi, yang input sebenarnya merupakan bagian yang diekstraksi dari cadangan material dan objek nonekonomis, serta bagian lain merupakan output ke dalam suatu reservoir pencemaran (sink).  Makin besar input dan output (i.e., konsumsi dan produksi), makin tinggi nilai kesuksesannya.

Dalam pandangan sebaliknya, faktor produksi bukan suatu tujuan dan diupayakan untuk menjadi minimal.  Ukuran keberhasilan prinsip pembangunan berkelanjutan ini sama sekali bukan produksi dan konsumsi, tetapi karakteristik, luas, kualitas, dan kompleksitas dari sediaan kapital total (total capital stock), termasuk kondisi fisik dan mental manusia/masyarakat dan yang menjadi bagian dari sistem.  Dalam pandangan ini, yang menjadi isu utama adalah pemeliharaan sediaan, serta perubahan teknologi yang merupakan tujuan dasar penghematan sediaan kapital total merupakan suatu peningkatan manfaat.  Hal ini beranjak dari kenyataan bahwa pertumbuhan subsistem ekonomi dibatasi oleh ekosfer (ecological sphere) yang terbatas dan tidak bertambah.

Konsep pembangunan berkelanjutan, meskipun masih sulit untuk didefinisikan dan diinterpretasikan secara tegas, memiliki makna filosofi ekonomi yang mendalam dan sangat berkaitan dengan kelestarian, baik produksi dan konsumsi.  Pembangunan berkelanjutan memiliki implikasi optimalisasi dua atau lebih tujuan secara bersamaan, yang berarti penurunan jumlah produksi maupun konsumsi.  Hal ini mensyaratkan perubahan fundamental dalam dogma pertumbuhan ekonomi konvensional, dimana ethos berkelanjutan dapat diterapkan secara sungguh-sungguh.  Sehingga dalam penerapannya, konsep ini memerlukan pendekatan lebih menyeluruh.  Pembangunan berkelanjutan, sebagai filosofi dasar kehidupan menuntut perubahan nilai-nilai etika dalam kehidupan ekonomi agar pemanfaatan sumberdaya alam yang secara total terbatas jumlahnya secara sukarela selalu ditekan pada tingkat optimum.

Sebagai penutup, berikut adalah sitiran dari ayat Al Qurán surat Al Hijr (19-22)

yang berkaitan dengan siklus sumberdaya alam yang berada dalam keseimbangan serta sikap manusia terhadap sumberdaya alam tersebut yang telah diatur dalam Islam, serta sitiran dari Bertrand de Jouvenel, filosofer politik dari Perancis dalam yang mengkarakterisasi “Western man” yang dapat dianggap sebagai deskripsi ahli ekonomi modern yang bertolak belakang dengan interaksi manusia dan sumberdaya alam dalam konsep ekonomi Budhisme (Scumacher, 1996) .

Al Hijr 19-22

19. Dan bumi kami hamparkan dan Kami pancangkan gunung-gunung dan Kami tumbuhkan di atasnya tiap segala sesuatu dengan berimbang.

20. Dan Kami sediakan disana berbagai sumber kehidupan untukmu dan untuk mereka yang rezekinya bukan menjadi tanggung jawabmu.

21. Dan segala sesuatunya (sumber dan) pembendaharaannya (yang tak kunjung habis) ada pada Kami, dan yang Kami turunkan hanya dalam ukuran tertentu.

22. Dan Kami tiupkan angin yang menyerbuki kemudian Kami turunkan hujan dari langit, yang dengan itu kami beri kamu air, meskipun bukan kamu yang menjaga penyimpannya (mengatur siklusnya).

 

The Western Man
He tends to count nothing as an expenditure, other than human effort; he does not seem to mind how much mineral water he wastes and far worse, how much living matter he destroys.  He does not seem to realize at all that human life is a dependent part of an ecosystem of many different forms of life.  As the world is ruled from towns where men are cut off from any form of life other than human, the feeling of belonging to an ecosystem is not revived.  This results in a harsh and improvident treatment of things upon which we ultimately depend, such as water and trees.”

 

DAFTAR PUSTAKA

Ayres, R. U. (1978), Application of Physical Principles to Economics In Resources, Environment, and Economics: Application of the Materials/Energy Balance Principle(Ed, Ayres, R. U.) John Wiley, New York.

Boulding, K. E. (1991), What Do We Want to Sustain?: Environmentalism and Human Evaluation In Ecological Economics: The Science and Management of Sustainability(Ed, Costanza, R.) Columbia University Press, New York, pp. 22-31.

Boulding, K. E. (1996), The Economics of the Coming Spaceship Earth In Valuing the Earth - Economics, Ecology, Ethics(Eds, Daly, H. E. and Towsend, K. N.) MIT Press, Cambridge, MA., USA, pp. 297-309.

Burt, O. R. and Cummings, R. G. (1977), Natural Resources Management, the Steady State, and Approximately Optimal Decision Rules, Land Economics, 57, 1-22.

Clark, J. M. C. a. C. W. (1989) Natural Resources Economics, Notes and Problem, Cambridge University Press, New York.

Conrad, J. M. (1999) Resource Economics, Cambridge University Press, Cambridge.

Costanza, R. (1991a), Assuring Sustainability of Ecological Economic Systems In Ecological Economics: The Science and Management of Sustainability(Ed, Costanza, R.) Columbia University Press, New York, pp. 331-341.

Costanza, R. (Ed.) (1991b) Ecological Economics: The Science and Management of Sustainability, Columbia University Press, New York.

Daly, H. E. (1991), Elements of Environmental Macroeconomics In Ecological Economics: The Science and Management of SustainabilityColumbia University Press, New York, pp. 32-46.

Daly, H. E. (1996) Beyond Growth, Beacon Press, Boston.

Elliot, J. A. (1999) An Introduction to Sustainable Development, Routledge, New York.

Grant, W. E., Pedersen, E. K. and Marin, S. L. (1997) Ecology and Natural resources Management: System Analysis and Simulation, John Willey & Sons, New York.

Gunawan, I. (1994) A Methodological Approach to Sustainable Resources Utilization in Indonesia:  Integrating Geographic Information Systems, Mathematical Modeling, and Expert Systems, Unpublished Dissertation, College Station, TX.

Harnett, W. J. (1998), Sustainable Development: A Test of Good Government, .

Holling, C. S., Schindler, D. W., Walker, B. W. and Roughgarden, J. (1997), Biodiversity in the functioning of ecosystem: an ecological sythesis In Biodiversity Loss: Economic and Ecological issues (Eds, Perrings, C., Maller, k.-G., Folke, C., Holling, C. S. and Jansson, B.-O.) Cambridge University Press, New York, pp. 44-83.

Hussen, A. M. (2000) Principles of Environmental Economics: Economics, Ecology, and Public Policy, Routledge, New York.

Jacobs, J. (2000) The Nature of Economies, The Modern Library, New York.

Odum, H. and Odum, E. (1976) Energy Basis for Man and Nature, MacGraw - Hill, New York.

Pearce, D. and Barbier, E. (2000) Blueprint for Sustainable Economy, Earthscan Publications, London.

Pearce, D., Barbier, E. and Markandya, A. (1992) Sustainable Development - Economics and Environment in the Third World, Edward Elgar Publishing, Hants, England.

Pearce, D. W., Markadya, D. and Barbier, E. B. (1989) Blueprint for a Green Economy, Earthscan Publication, London.

Pezzey, J. (1992) Sustainable Development Concepts: An Economic Analysis, the World Bank Publication, Washington D.C.

Scumacher, E. F. (1996), Buddhist Economics In Valuing the Earth (Eds, Daly, H. E. and Townsend, K. E.) The MIT Press, Massachusets, pp. 173 - 181.

Serafy, S. E. (1991), The Environment as Capital In Ecological Economics: The Science and Management  of Sustainability(Ed, Costanza, R.) Columbia University Press, New York, pp. 168 - 175.

Tietenberg, T. (2000) Environment and Natural Resources Economics, Addison-Wesley, Reading, Massachusetts.