KAJIAN FALSAFAH SAINS TENTANG

© 2001  SURYA NATAL TAMBING                                                         Posted   26 Apr 2001  (rudyct)

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Juni 2001

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

 

 

 

PERANAN BIOTEKNOLOGI INSEMINASI BUATAN

DALAM PEMBINAAN PRODUKSI PETERNAKAN :

Suatu tinjauan filsafat sains

 

 

 

 

 

 

Oleh::

 

SURYA NATAL TAMBING

NRP. P11600007

nathan251266@hotmail.com

 

 

 

 

 


KATA PENGANTAR

 

            Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Bapa di Surga atas berkat dan pimpinanNyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul "Peranan Bioteknologi Inseminasi Buatan Dalam Pembinaan Produksi Peternakan: Suatu Tinjauan Filsafat Sains ". Penulisan makalah ini merupakan salah satu prasayarat yang harus dipenuhi dalam mata kuliah Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS 702), Program Pasacasarjana-IPB.

            Disadari ataupun tidak ternyata penerapan bioteknologi inseminasi buatan (IB) pada ternak telah memberikan sumbangsih yang cukup besar dalam pembinaan produksi peternakan di Indonesia walaupun hasilnya masih berfluktuasi dari tahun ke tahun. Penerapan bioteknologi IB sampai saat ini masih saja menimbulkan reaksi di kalangan masyarakat penggunanya, yaitu peternak di pedesaan. Oleh karena itu, tugas seorang ilmuwan adalah mengkaji bioteknologi tersebut ditinjau dari aspek filsafat sains. Penulis mencoba untuk mempelajari peranan bioteknologi ini melalui pendekatan ontologi, epistemologi, aksiologi, bioetika dan ekologi kultural.

            Sepatutnyalah penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. DR. Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MSc. (Penanggung Jawab Mata Kuliah Pengantar Ke Falsafah Sains) dan Prof. DR. Ir. Zahrial Coto, MSc yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama mengikuti mata kuliah ini sehingga penulis dapat memahami prinsip dasar dan makna dari ilmu filsafat.

            Penulis meyakini bahwa isi makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu saran yang bersifat membangun penulis sangat harapkan demi perbaikan isi makalah ini. Mudah-mudahan isi makalah ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya, terutama kepada yang memerlukannya.

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang

            Problem utama pada sub sektor peternakan saat ini adalah ketidakmampuan secara optimal menyediakan produk-produk peternakan, seperti daging, telur dan susu untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat akan protein hewani. Hal ini kemungkinan disebabkan peningkatan produktivitas ternak tidak mampu mengimbangi laju permintaan masyarakat akan produk peternakan yang semakin tinggi dari tahun ke tahun. Apabila hal ini dibiarkan terus-menerus, lambat laun akan terjadi importasi produk ternak sehingga akan mengurangi devisa negara. Hal ini terbukti dari laporan Ditjennak (1999) yang menunjukkan volume impor daging, susu dan telur konsumsi pada tahun 1998 lebih tinggi (masing-masing 16.084 ton, 32.737,4 ton dan 80,5 ribu butir) dibandingkan volume ekspor (masing-masing 3.264,9 ton, 2.385,1 ton dan 0,0 butir) pada tahun yang sama.

            Faktor penghambat yang diduga sebagai penyebab rendahnya produktivitas ternak di Indonesia adalah manajemen pemeliharaan yang belum optimal, yang ditandai dengan sistem pemeliharaan bersifat ekstensif (tradisional), usaha sambilan (non agribusiness oriented) dan tidak memperhatikan input produksi. Selain itu, sistem pemuliaan dan seleksi yang tidak terarah sehingga mengakibatkan kinerja ternak sangat beragam.

            Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan suatu terobosan melalui penerapan bioteknologi dalam bidang reproduksi ternak, seperti bioteknologi inseminasi buatan (IB) sebagai salah satu bioteknologi reproduksi yang telah digunakan dalam pembinaan produksi peternakan, khususnya dalam upaya peningkatan produksi dan perbaikan mutu genetik ternak serta sebagai alat dalam pelaksanaan kebijakan pemuliaan secara nasional.

            IB merupakan generasi pertama bioteknologi reproduksi pada ternak dan mulai diterapkan di Indonesia sejak tahun 1953 pada ternak sapi perah, kemudian pada sapi potong dan kerbau. Walaupun hasilnya sampai saat ini sudah dirasakan oleh masyarakat yang ditandai dengan tingginya harga jual dari ternak hasil IB, namun demikian pelaksanaannya di lapangan belum optimal sehingga hasilnya (tingkat kelahiran) dari tahun ke tahun berfluktuasi. Sebagai contoh, tingkat kelahiran hasil IB pada sapi potong dan kerbau berfluktuasi dari tahun 1994/1995 s/d 1997/1998 (Tabel 1).

 

Tabel 1. Kelahiran hasil penerapan bioteknologi IB

 

Tahun anggaran

Kelahiran (ekor)

Kerbau

Sapi potong

1994/1995

903

366.489

1995/1996

1.103

442.487

1996/1997

363

360.829

1997/1998

614

373.895

Total

2.983

1.543.700

Sumber : Ditjennak (1998)

 

            Untuk menghindari timbulnya pro dan kontra di kalangan masyarakat mengenai penerapan IB pada ternak, maka tugas seorang ilmuwan harus melihat dari aspek pengembangan ilmu pengetahuan (ilmiah), dengan jalan mempertanyakan apa, bagaimana proses/metodologi dan apa manfaatnya IB bagi pengembangan ternak maupun untuk kehidupan/kesejahteraan manusia. Dengan kata lain bahwa bioteknologi IB tidak hanya bersifat puritan-elitis, tetapi juga pragmatis ditinjau dari segi filsafat ilmu pengetahuan (Keraf dan Dua, 2001). Hal ini berarti bahwa bioteknologi ini tidak hanya berhenti untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia, tetapi juga membantu manusia untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya terutama dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas ternak guna memenuhi kebutuhan manusia akan protein hewani. Oleh karenanya makalah ini akan menguraikan tentang peranan bioteknologi IB dalam pembinaan produksi peternakan ditinjau dari aspek filsafat sains.

 

Tujuan Penulisan Makalah

 

            Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mempelajari peranan bioteknologi IB dalam pembinaan produksi peternakan ditinjau dari aspek filsafat sains (ontologi, epistemologi, aksiologi, bioetika dan ekologi kultural).

 

ASPEK ONTOLOGI

            Ontologi adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari/membahas apa hakikat (being qua being) itu (Thoyibi, 1999). Dalam hubungannya dengan bioteknologi IB, pertanyaan mendasar yang muncul bila berbicara tentang ontologi adalah apa dan bagaimana sejarah IB itu sehingga akan sampai pada tujuan akhir bahwa IB memang benar dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas genetik ternak.

Pengertian IB

            Konsep teoritis yang mendasar pengembangan bioteknologi IB adalah bahwa seekor pejantan secara alamiah memproduksi puluhan milyar sel kelamin jantan (spermatozoa) per hari, sedangkan untuk membuahi satu sel telur (oosit) pada hewan betina diperlukan hanya satu spermatozoon. Potensi terpendam yang dimiliki seekor pejantan sebagai sumber informasi genetik, apalagi yang unggul ingin dimanfaatkan sebaik-baiknya (secara efisien) untuk membuahi banyak betina. Untuk maksud tersebut diciptakanlah bioteknologi IB.

            IB merupakan terjemahan dari artificial insemination (Inggris), kunsmatige inseminatie (Belanda), insemination artificielle (Perancis), atau künstliche Besamung (Jerman). Artificial berarti tiruan atau buatan, sedangkan insemination berasal dari bahasa Latin yaitu inseminatus. In berarti pemasukan, penyampaian atau deposisi; sedangkan semen berarti cairan (plasma semen) yang mengandung sel-sel kelamin jantan (spermatozoa) yang diejakulasikan melalui penis pada waktu terjadi kopulasi atau penampungan semen menggunakan vagina buatan (artificial vagina).

Berdasarkan pengertian diatas, maka definisi singkat dari IB adalah pemasukan atau penyampaian semen ke dalam saluran kelamin betina dengan menggunakan alat-alat buatan manusia dan bukan secara alam (Toelihere, 1985). Namun dalam perkembangan lebih lanjut, program IB tidak hanya mencakup pemasukan semen ke dalam saluran reproduksi betina, tetapi juga menyangkut seleksi dan pemeliharaan pejantan, penampungan, penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencatatan dan penentuan hasil inseminasi pada hewan/ternak betina, bimbingan dan penyuluhan pada peternak. Dengan demikian pengertian IB menjadi lebih luas yang mencakup aspek reproduksi dan pemuliaan, sehingga istilahnya menjadi artificial breeding (perkawinan buatan). Tujuan dari IB itu sendiri adalah sebagai satu alat yang ampuh yang diciptakan manusia untuk meningkatkan populasi dan produksi ternak secara kuantitatif dan kualitatif (Toelihere, 1985).

 

Sejarah Perkembangan Bioteknologi IB

Perkembangan bioteknologi IB dimulai pada abad ke-14 oleh seorang Pangeran Arab yang mencuri semen dari dalam vagina seekor kuda betina musuhnya yang baru saja kawin dengan seekor kuda jantan yang unggul (terkenal cepat larinya) dengan menggunakan tampon kapas. Tampon yang mengandung semen kuda jantan terkenal tersebut dimasukkan ke dalam vagina kuda betinanya sendiri yang sedang berahi, dan ternyata kudanya menjadi bunting dan melahirkan anak yang tampan dan cepat larinya. Tiga abad kemudian (tahun 1677), Leeuwenhoek berhasil melihat sel-sel kelamin jantan dengan menggunakan mikroskop buatannya sendiri.

Tahun 1678, de Graaf seorang pakar anatomi bangsa Belanda menemukan folikel pada ovarium kelinci, sehingga kemudian folikel yang ditemukannya itu diberi nama folikel de Graaf. Selanjutnya pada tahun 1780 Spallanzani berhasil menginseminasi amfibia dan anjing, kemudian diulangi oleh P. Rossi (Italia) pada anjing tahun 1782 dan meberikan hasil yang memuaskan.

Pada tahun 1890, Repiquet seorang dokter hewan berkebangsaan Perancis pertama kali melakukan IB pada kuda di Eropa. Kemudian pada tahun 1899, Ivanoff melakukan IB pada kuda di Rusia dan dialah yang pertama kali melakukan IB pada sapi dan domba.

Untuk mengatasi kesulitan dalam menampung semen, maka pada tahun 1914 Amantea seorang pakar fisiologi manusia di Roma membuat vagina buatan (artificial vagina). Tujuh belas tahun kemudian, tepatnya tahun 1931 barulah dilakukan inseminasi besar-besaran pada sapi oleh Milanov (Rusia).

Pada tahun 1938, E.J. Perry (Amerika Serikat) membentuk pertama kali koperasi IB di New Jersey, USA yang meniru koperasi IB di Denmark (1936). Bioteknologi IB ini kemudian semakin cepat kemajuannya, yang ditandai dengan ditemukannya teknik pembekuan semen sapi pada tahun 1949 oleh Polge, Smith dan Parkes (Ingggris).

Barulah pada awal tahun 1950-an, Prof. B.Seit (Denmark) memperkenalkan pertama kali IB di Indonesia, yaitu di Fakultas Kedokteran Hewan dan Lembaga Penelitian Peternakan Bogor. Dari sinilah bioteknologi IB berkembang hingga sekarang untuk digunakan sebagai salah satu alat dalam peningkatan populasi dan kualitas genetik ternak di Indonesia.

ASPEK EPISTEMOLOGI

            Epistemologi atau filsafat ilmu pengetahuan merupakan gabungan antara berpikir secara rasional dan empiris. Dalam ilmu ini selalu dipertanyakan tentang apa sarana dan bagaimana tata cara untuk mencapai pengetahuan dan apa ukurannya untuk mencapai suatu kebenaran ilmiah (Thoyibi, 1999). Dalam hubungannya dengan bioteknologi IB, maka cakupan yang ingin dibahas adalah perumusan masalah, hipotesis, metodologi ilmiah dan hasil pembuktian secara ilmiah.

 

Perumusan Masalah

            Penerapan bioteknologi IB pada ternak ditentukan oleh empat faktor utama, yaitu (1) semen beku, (2) ternak betina sebagai akseptor IB, (3) keterampilan tenaga pelaksana (inseminator) dan (4) pengetahuan zooteknis peternak. Keempat faktor ini berhubungan satu dengan yang lain dan bila salah satu nilainya rendah menyebabkan hasil IB juga akan rendah, dalam pengertian efisiensi produksi dan reproduksi tidak optimal (Toelihere, 1997).

Permasalahan utama pada semen yang dibekukan adalah adanya pengaruh kejutan dingin (cold shock) terhadap sel yang dibekukan dan perubahan-perubahan intraseluler akibat pengeluaran air yang bertalian dengan pembentukan kristal-kristal es (Toelihere, 1985). Kristal-kristal es yang terbentuk akan merusak sel spermatozoa secara mekanik, permeabilitas membran sel berubah dan pada saat proses thawing (pencairan kembali semen) menyebabkan spermatozoa mati. Untuk menghindari hal tersebut maka proses penanganan semen selama pembekuan harus menjadi perhatian utama, diantaranya penambahan kriprotektan (seperti gliserol) ke dalam pengencer untuk meminimalkan pembentukan kristal-kristal es, pengaturan waktu ekuilibrasi, penyimpanan semen dalam kontainer (berisi N2 cair) dan tidak boleh dipindah-pindahkan atau dikeluarkan lewat mulut kontainer, serta ketepatan waktu dan suhu thawing. Salah satu penyebab tingginya kematian spermatozoa setelah thawing adalah terjadinya perubahan suhu semen beku dalam kontainer akibat manipulasi semen beku di dalam kontainer N2 cair tidak benar (Tambing et al., 2000). Standar minimal kualitas semen beku ditinjau dari motilitas spermatozoa untuk digunakan dalam program IB adalah 40 %.

 Betina sebagai akseptor IB harus sehat organ dan saluran reproduksinya atau dengan kata lain tidak terjadi gangguan pada organ dan saluran reproduksi, karena bila terjadi gangguan akan menyebabkan terjadinya kegagalan proses pembuahan. Pengaruh yang ditimbulkan apabila terjadi gangguan reproduksi pada ternak betina adalah tanda-tanda fisiologis yang menunjukkan bahwa ternak tersebut berahi tidak nampak, dalam pengertian pengeluaran lendir melalui vulva, vulva bengkak dan berwarna merah tidak nampak.

Keterampilan teknisi berkaitan erat dengan kemampuan inseminator untuk melakukan inseminasi dengan tepat sasaran dan tepat waktu, dan ini berkaitan erat pula dengan tingkat pengetahuan zooteknis peternak. Peternak harus mampu pula mendeteksi berahi pada ternak betina, apakah berahi atau tidak dan melaporkan kejadian berahi dengan tepat waktu kepada inseminator.

Apabila semua faktor di atas diperhatikan diharapkan bahwa hasil IB akan lebih tinggi atau hasilnya lebih baik dibandingkan dengan perkawinan alam (Tambing et al., 2000). Hal ini berarti dengan tingginya hasil IB diharapkan efisiensi produktivitas akan tinggi pula, yang ditandai dengan meningkatnya populasi ternak dan disertai dengan terjadinya perbaikan kualitas genetik ternak, karena semen yang dipakai berasal dari pejantan unggul yang terseleksi. Dengan demikian peranan bioteknologi IB terhadap pembinaan produksi peternakan akan tercapai.

 

Hipotesis

            Hipotesis merupakan alat bantu ilmiah dalam kegiatan ilmiah untuk sampai pada hukum dan teori tertentu (Keraf dan Dua, 2001). Hal ini berarti bahwa tanpa hipotesis tidak mungkin ada kemajuan dalam kegiatan ilmiah dan tidak mungkin sampai pada penjelasan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dalam bentuk hukum atau teori ilmiah tentang masalah dalam alam semesta.

            Berkaitan dengan hal tersebut di atas, hipotesis yang dapat diajukan untuk membuktikan teori kebenaran dari bioteknologi IB adalah "bioteknologi IB nyata berperan dalam pembinaan produksi peternakan melalui perbaikan produksi dan mutu genetik ternak dibandingkan dengan perkawinan alam". Untuk lebih memperjelas hipotesis biasanya diterjemahkan dalam bahasa statistik, yaitu :

-  H0 : hipotesis diterima, berarti bioteknologi IB berperan dalam pembinaan produksi  peternakan.

-   H1 : hipotesis ditolak, berarti bahwa IB tidak lebih baik dibandingkan perkawinan alam dalam pembinaan produksi peternakan.

 

Metodologi Ilmiah

            Dalam menjawab hipotesis sebagai bukti kebenaran ilmiah maka perlu dilakukan serangkaian penelitian yang tercakup dalam suatu metodologi ilmiah melalui gabungan pendekatan secara induksi dan empiris. Metodologi ilmiah ini akan sahih apabila persyaratannya jelas, yaitu alat dan bahan yang digunakan, metode kerja, parameter yang diamati, dan analisis statistik sebagai alat bantu untuk menjelaskan kebenaran ilmiah.

            Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka pembuktian kebenaran ilmiah dari bioteknologi IB harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a.       Alat dan bahan yang digunakan :

-         Semen beku

-         Ternak betina sebagai akseptor IB

-         Alat IB, seperti insemination gun, vagina buatan dan alat pendeteksi kebuntingan

-         Preparat hormonal untuk induksi dan sinkronisasi berahi

-         Tenaga pelaksana (inseminator)

-         Alat bantu lainnya, seperti mikroskop, pengencer, kontainer nitrogen cair, termos es, plastik sheath dan sebagainya

b.      Metode kerja :

-         Penyiapan semen melalui proses penampungan dengan menggunakan vagina buatan (artificial vagina) dan selanjutnya dibekukan untuk dapat disimpan dalam jangka waktu lama dalam kontainer yang berisi N2 cair.

-         Pada saat akan digunakan untuk inseminasi, semen beku terlebih dahulu harus melalui proses thawing (pencairan semen kembali) dan memasukkan semen ke dalam insemination gun

-         Penyerentakan berahi dengan menggunakan hormon, seperti progesteron, gonatropin (FSH dan LH) ataupun prostagladin (PGF-2a)

-         Pelaksanaan inseminasi, yaitu deposisi semen dengan menggunakan insemination gun ke dalam saluran reproduksi ternak betina, yaitu pada pangkal corpus uteri (posisi 4).

c.       Parameter yang diamati :

-         Kualitas semen beku, seperti motilitas, daya hidup, membran plasma utuh dan tudung akrosom utuh spermatozoa semen setelah thawing

-         Persentase berahi, waktu munculnya gejala berahi (onset estrus), waktu inseminasi setelah munculnya gejala berahi, jumlah inseminasi per kebuntingan (service per conception), angka kebuntingan (conception rate), persentase kelahiran (calving rate)

-         Produktivitas, yaitu bobot lahir, produksi susu dan ukuran tubuh (lingkar dada, tinggi pundak dan panjang badan)

-         Kualitas genetik melalui pendekatan/estimasi heritabilitas dan ripitabilitas

d.      Analisis statistik :

Analisis statistik yang digunakan biasanya yang bersifat parametrik, seperti uji Duncan, Ortogonal, Tukey, BNJ (beda nyata jujur) dan sebagainya.

Hasil Pembuktian Ilmiah

Ternyata apa yang dikemukakan dalam hipotesis telah terbukti kebenaran ilmiahnya  (H0 diterima dan H1 ditolak) berdasarkan hasil penelitian, bahwa bioteknologi IB berperan nyata dalam pembinaan produksi peternakan, terutama dalam perbaikan produksi dan kualitas genetik ternak. Dari berbagai laporan hasil penelitian menunjukkan pedet (anak sapi) hasil persilangan antara pejantan unggul dengan betina lokal melalui IB lebih tinggi produktivitasnya dibandingkan apabila dilakukan dengan perkawinan alam. Bobot lahir pedet persilangan pejantan luar (unggul) x induk sapi lokal hasil IB nyata  (P < 0.05) lebih tinggi (27.54 kg) dibandingkan pedet hasil perkawinan alam antara pejantan dan induk sapi lokal (11.83 kg) (Tambing et al., 1996; Sariubang et al., 1999). Demikian halnya ukuran lingkar dada pedet hasil persilangan pejantan luar (unggul) x induk sapi lokal melalui IB pada saat lahir nyata (P < 0.05) lebih tinggi (99.9 cm) dibandingkan pedet hasil perkawinan alam antara pejantan dan induk sapi lokal (61.71 cm) dan jarak melahirkan lebih pendek (Sitorus et al., 1995; Sariubang et al., 1999; Suranjaya, 1999). Terjadi peningkatan produksi susu sebesar 81,3 % selama kurun waktu 14 tahun penerapan IB pada sapi perah (Sitorus et al., 1994).

 

ASPEK AKSIOLOGI

            Aksiologi merupakan cabang ilmu filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai (value) sebagai imperatif dalam penerapan ilmu pengetahuan secara praktis (Thoyibi, 1999). Dengan kata lain, dalam aksiologi akan dipelajari tentang bagaimana mengenali suatu pengetahuan atau apa manfaat pengetahuan tersebut untuk kesejahteraan manusia.

            Berdasarkan pada aspek aksiologi, maka manfaat penerapan bioteknologi IB pada ternak (Toelihere, 1985; Partodihardjo, 1992 dan Hafez, 1993) adalah sebagai berikut :

1.      Bibit ternak yang baik selalu tersedia dan mudah diperoleh. Dengan IB, pejantan bergenetik unggul telah terbukti kebaikannya dan bisa disediakan untuk hampir semua peternak.

2.      Mengurangi terjadinya bahaya, pekerjaan dan biaya perawatan. Dalam IB, jumlah pejantan yang dipelihara semakin sedikit sehingga mengurangi biaya perawatan.

3.      Hasil persilangan (cross-breeding) yang tidak disukai dapat dihindarkan.

4.      Sangat berguna untuk digunakan pada betina-betina yang berada dalam keadaan estrus dan berovulasi tetapi tidak mau berdiri untuk dinaiki pejantan

5.      Dapat menghindari penyakit yang bersifat venereal. Penyakit-penyakit veneral seperti vibrosis dan trichomoniasis yang dapat menyebar dari ternak betina satu ke ternak betina yang lain pada waktu perkawinan alam dapat dihindarkan melalui IB.

6.      Dapat memanfaatkan ternak jantan yang invalid, lumpuh, patah kaki dan sebagainya yang tidak dapat mengawini betina secara alamiah melalui proses penampungan semennya.

7.      Memperbaiki tingkat dan efisiensi seleksi genetik dan meningkatkan performans produksi ternak.

8.      Adanya organisasi IB akan memberikan kemungkinan kesuburan (fertilitas) ternak karena semen diolah dengan baik dan diinseminasikan dengan tepat waktu, serta dapat memberikan gambaran tentang kondisi peternakan di suatu daerah.

9.      Memungkinkan bertemunya suatu pasangan ternak yang tidak serasi, misalnya pejantan yang besar dengan ternak betina yang kecil atau sebaliknya. Bila ternak-ternak tersebut kawin secara alamiah, maka akan sangat sulit tercapai dan bisa menimbulkan keadaan fatal berupa luka-luka atau patah tulang.

 

ASPEK BIOETIKA

            Dalam kehidupan manusia ditinjau dari ilmu filsafat, selalu mempertanyakan, mempersoalkan, mengkaji, dan mendalami kehidupan ini dalam segala aspeknya. Manusia selalu bersikap kritis mempertanyakan sesuatu yang terjadi di dalam kehidupannya dan selalu tidak puas dengan jawabannya. Hal ini sesuai dengan pendapat seorang filsuf berkebangsaanYunani, yaitu Socrates (469-399 SM) bahwa "hidup yang tidak dikaji tidak layak dihidupi". Dengan perkataan lain bahwa menjalani suatu kehidupan tanpa mempersoalkannya sama dengan hidup sebagai orang buta. Hal yang sama menurut Descante's sebagai pelopor ilmu modern bahwa kehidupan adalah  bagian dari alam. Semua yang ada di alam dapat diinvestigasi melalui metode umum/biasa, dan hasil investigasi tersebut adalah hukum alam yang dapat diekpresikan dalam bahasa matematika. Bersamaan dengan pengetahuan hukum alam, maka manusia dapat mengontrol dan memanipulasi proses kehidupan hingga dapat memberikan keuntungan bagi dirinya sendiri.

            Pada saat sekarang ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat cepat sekali dan seakan-akan berlangsung secara otomatis serta tidak tergantung kepada kemauan manusia. Artinya bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi memperhatikan aspek etika sehingga pada saat teknologi ini akan diterapkan langsung mendapatkan reaksi dari kalangan masyarakat.

Sama halnya dengan bioteknologi IB dimana pada awal penemuannya secara tidak sengaja/tidak direncanakan oleh manusia, namun telah berkembang sangat pesat di dunia dan telah dimanfaatkan oleh manusia sebagai alat/sarana untuk peningkatan produktivitas dan perbaikan mutu genetik ternak. Penerapan bioteknologi IB ini sudah hampir lima puluh tahun, namun tetap saja masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat (petani/peternak) sebagai penggunanya karena hasil dari penerapan bioteknologi ini berfluktuasi dari tahun ke tahun.

            Berdasarkan pandangan ilmu filsafat, penerapan suatu teknologi kepada pengguna harus selalu memperhatikan aspek etika. Namun pada zaman sekarang etika tidak dapat berdiri sendiri, tetapi bersifat etika terapan artinya harus berkaitan dengan ilmu pengetahuan yang lain. Penerapan etika terapan harus melalui pendekatan multidisipliner maupun interdisipliner, artinya pembahasan suatu tema yang sama oleh pelbagai ilmu pengetahuan sehingga semua ilmu pengetahuan dapat memberikan sumbangannya yang satu di samping yang lain (Bertens, 2000). Salah satu cabang etika terapan adalah bioetika, di samping etika biomedis, makroetika dan mikroetika.

Dalam pandangan bioetika, penerapan bioteknologi reproduksi IB berhubungan erat dengan aspek kesehatan dan penyelamatan dari kepunahan ternak asli (animal welfare). Problem utama dalam sistem animal welfare dalam kaitannya dengan penerapan bioteknologi adalah efisiensi produksi. Problem ini berkaitan erat pula dengan beberapa faktor, diantaranya (1) ekspresi gen (pertumbuhan yang cepat atau produksi susu tinggi), (2) teknik perkawinan, dan (3) mutasi gen (Christiansen dan Sandøe, 2000). Dampak negatif yang akan timbul apabila penerapan bioteknologi IB tidak terkontrol dalam kaitannya dengan animal welfare, seperti :

-         Hilangnya/punahnya ternak lokal akibat terkikis oleh munculnya ternak persilangan (crossbred animal). Hal ini bisa muncul karena persepsi masyarakat (petani/peternak) yang lebih menyukai ternak persilangan karena pertumbuhannya lebih cepat dan dampak akhirnya adalah nilai jual yang tinggi.

-         Induk ternak lokal yang umumnya lebih kecil dibandingkan dengan induk sapi dari daerah sub tropis. Bila induk lokal ini diinseminasi (dikawinkan) dengan semen yang berasal dari pejantan unggul yang memiliki bobot badan besar dapat menyebabkan gangguan proses kelahiran yang bisa menimbulkan kematian pada induk, karena potensi genetik yang berasal pejantan unggul tersebut akan diwariskan kepada anak yang dikandung oleh induk ternak lokal. Hal ini lambat-laun pula akan menyebabkan punahnya ternak lokal.

-         Dapat menyebabkan stress dan menimbulkan resiko pada animal welfare. Pemilihan pejantan sebagai sumber semen yang tidak tepat (kemungkinan mengandung gen lethal) akan menimbulkan beberapa dampak negatif, antara lain masa kebuntingan lebih panjang, meningkatnya kejadian kesulitan melahirkan (distokia) dan tingginya frekuensi gen anomali dan anak yang dilahirkan memiliki bobot lahir yang melebihi ukuran normal dan penurunan daya reproduksi.

-         Dapat menimbulkan efek inbreeding (perkawinan sekeluarga). Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam penerapan IB adalah tingkat kesukaan petani/peternak pada jenis semen tertentu. Apabila hal ini dibiarkan terus-menerus keturunannya (F1) akan mengawini tetuanya kembali sehingga akan terjadi perkawinan sekeluarga. Dampak negatif dari perkawinan sekeluarga adalah naiknya proporsi lokus-lokus gen yang homosigot dan menurunkan gen heterosigot (genotip), sedangkan dari fenotipnya ditandai dengan penurunan laju pertumbuhan, kinerja reproduksi, daya tahan tubuh (hybrid vigor) dan kadang-kadang disertai dengan cacat tubuh.

Namun demikian dampak negatif tersebut dapat ditanggulangi melalui upaya konservasi in-situ dimana petani/peternak ikut serta didalamnya. Program konservasi in-situ yang telah dilakukan pada ternak lokal antara lain : (1) mengisolasi bangsa ternak lokal dalam suatu lokasi tertutup  dan dilakukan upaya pemurniannya, (2) mendatangkan pejantan unggul yang sejenis dengan bangsa ternak lokal tersebut untuk dilakukan program perkawinan dengan ternak lokal yang telah diisolasi, (3) melakukan program pemuliaan dan seleksi dengan ketat, dan (4) mengaplikasikan program IB dengan menggunakan semen yang berasal dari pejantan unggul. Program ini telah dilakukan pada ternak sapi Bali (salah satu plasma nutfah Indonesia), yaitu program P3-Bali di Propinsi Bali dan program pemurnian sapi Bali di Sulawesi Selatan. Hasilnya sudah nampak dimana terjadi perbaikan bobot lahir dan beberapa ukuran tubuh (tinggi pundak dan lingkar dada) pada ternak tersebut (Sariubang et al., 1999; Suranjaya, 1999).

 

ASPEK ekologi KULTURAL

            Perkembangan bioteknologi dalam bidang peternakan berkaitan erat dengan sejarah produksi peternakan beserta lingkungannya, terutama lingkungan sosial dari pengguna teknologi, yang sering disebut juga sebagai ekologi kultural (Suradisastra dan Lubis, 2000). Ekologi kultural menentukan karakteristik sosial dari teknologi yang diberikan dan selanjutnya akan mempengaruhi kemajuan dan proses adopsi suatu teknologi. Perbedaan kebutuhan dan tingkat teknologi maupun perbedaan kondisi sosial ekonomi dari pengguna memainkan peranan yang sangat nyata dalam mengimplementasikan proses suatu teknologi.

Dalam hubungannya dengan penerapan bioteknologi pada ternak (termasuk IB), maka metode implementasinya akan mempertemukan tiga unsur, yaitu keuletan komunitas sosial, (2) teknik dari pengguna dan (3) kapasitas ekonomik (Suradisastra dan Lubis, 2000). Interaksi antara teknologi dan sosial akan terjadi bila teknologi baru diluncurkan pada komunitas pengguna dengan standar etika khusus (Suradisastra, 1999).

Hasil simulasi Suradisastra dan Lubis (1994) menunjukkan bahwa tingkat adopsi teknologi dalam bidang peternakan sangat tergantung pada status sosial ekonomi suatu kelompok. Status sosial ekonomi petani/peternak yang rendah cenderung mengabaikan penerapan suatu teknologi baru karena terbatasnya lahan yang dimiliki, hilangnya tenaga kerja keluarga dan orientasi pasarnya rendah. Akibatnya tingkat adopsi suatu teknologi antara petani/peternak kaya dan miskin tidak akan pernah sama.

            Seperti diketahui umumnya peternak di Indonesia berpendidikan rendah, hubungannya dengan dunia luar sangat minim dan sistem beternaknya masih tradisional (low input production), sehingga dalam proses transfer teknologi sering peternak mempertimbangkan untung ruginya karena mereka beranggapan bahwa diperlukan biaya yang cukup tinggi, pengetahuan yang luas dan akan merubah tatanan sosial masyarakat setempat (aspek sosial budaya). Padahal untuk memaksimalkan produktivitas ternak lokal hanya dapat dicapai melalui penerapan bioteknologi.

Hal ini jugalah yang terjadi pada saat pertama kali diperkenalkannya bioteknologi IB, dimana peternak ragu untuk mengadopsinya karena mereka beranggapan bahwa dengan IB (peternak sering menyebutnya dengan istilah "kawin suntik") berarti memasukkan suatu benda asing ke dalam tubuh ternak sehingga bisa menyebabkan gangguan atau kematian pada ternaknya (dalam istilah kedokteran hewan disebut sebagai "immunologic reaction"), dan akan mengubah pola/sistem pemeliharaan ternak yang sudah mereka biasa lakukan, yaitu dari sistem ekstensif ke sistem intensif dan tidak memelihara ternak jantan. Ternak jantan yang dipelihara oleh peternak mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai pemacek (mengawini ternak betina) dan sebagai alat bantu pengolahan lahan persawahan. Namun dengan sistem peternakan intensif akan lebih memudahkan pengawasan terhadap ternak yang dipelihara dan pelayanan IB dapat berjalan dengan lancar. Hal ini bisa dimaklumi karena salah satu prinsip dari bioteknologi IB adalah tidak perlu memelihara ternak jantan karena cukup dengan adanya semen yang telah diproduksi oleh balai-balai inseminasi buatan yang telah ada (Lembang dan Singosari) atau BIB daerah yang akan dikembangkan siap diiseminasikan bila ada ternak betina yang berahi (estrus). Semen yang diproduksi selain berasal dari pejantan bermutu genetik tinggi, juga pengolahan semen dilakukan secara higienis.

            Penerapan bioteknologi IB pada ternak ditinjau dari aspek ekologi kultural pada hakekatnya tidak hanya mampu meningkatkan kesejateraan dan pendapatan masyarakat di pedesaan melalui perbaikan produksi dan kualitas genetik ternak, tetapi juga diharapkan tidak akan mengubah tatanan sosial masyakarat penggunanya, artinya gap antara simiskin dan sikaya tidak jauh serta tidak menimbulkan migrasi masyarakat pedesaan akibat kehilangan pekerjaan dalam bidang peternakan, dan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang status pendidikan dan sosial ekonominya. Dari berbagai kajian ilmiah ternyata terbukti bahwa penerapan bioteknologi IB pada peternakan rakyat telah secara nyata meningkatkan pengetahuan dan kesadaran sosial masyarakat akan pemanfaatan dan manfaat bioteknologi tersebut dalam program peningkatan produksi ternak. Khususnya pada peternakan sapi perah, para peternak yang tadinya berdiri sendiri, kini telah bergabung dalam berbagai koperasi peternakan sapi perah (KUD) sebagai suatu kesatuan sosial ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraannya.

 

KESIMPULAN

            Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka kesimpulan yang dapat diambil dari peranan bioteknologi IB terhadap pembinaan produksi peternakan melalui pendekatan filsafat sains adalah sebagai berikut :

1.      Ditinjau dari aspek ontologi, bioteknologi IB didasarkan pada kelimpahan produksi sel-sel kelamin jantan (spermatozoa) oleh seekor pejantan unggul yang dapat dilipatgandakan manfaatnya dalam proses reproduksi ternak, dan merupakan proses penampungan (koleksi), pemasukan atau deposisi semen ke dalam saluran reproduksi ternak betina dengan menggunakan alat-alat buatan manusia dan bukan secara alam, dengan tujuan memanfaatkan bibit pejantan unggul secara maksimal dalam suatu sistem perkawinan yang higienis dan bebas penyakit.

2.      Ditinjau dari aspek epistemologi, bioteknologi IB telah dikembangkan melalui berbagai pembuktian ilmiah tentang potensi produksi spermatozoa pejantan, pengolahan dan penyimpanan semen, dan keberhasilan inseminasi pada hewan betina akseptor IB.

3.      Ditinjau dari aspek aksiologi, bioteknologi IB telah memberikan manfaat terhadap peningkatan produktivitas dan perbaikan kualitas genetik ternak (produksi susu meningkat dua kali lipat, bobot lahir dan interval antar kelahiran berubah secara positif).

4.      Ditinjau dari aspek bioetika, penerapan bioteknologi IB mampu mencegah terhadap hilangnya atau punahnya ternak-ternak lokal (animal welfare), malah dapat digunakan untuk melestarikan hewan-hewan langka.

5.      Ditinjau dari aspek ekologi kultural, penerapan bioteknologi IB pada ternak tidak hanya mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan manusia serta memperbaiki kualitas genetik ternak, tetapi juga tidak mengubah tatanan sosial masyarakat penggunanya. Malahan bioteknologi IB meningkatkan kesadaran dan kualitas hidup bermasyarakat melalui partisipasinya untuk ikut dalam koperasi peternakan (KUD) atau kelompok-kelompok peternak peserta IB (KPPIB).

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Bertens, K. 2000. Etika. Edisi ke-5. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 315 hal.

Christiansen, S.B. and P. Sandøe. 2000. Bioethics : limits to the interference with life. Anim. Reprod. Sci, 60-61 : 15-29.

Ditjennak. 1998. Statistik Peternakan Tahun 1998. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. Jakarta.

Ditjennak. 1999. Statistik Peternakan Tahun 1999. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. Jakarta.

Hafez, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animals. 6th Ed. Lea & Febiger, Philadelphia. 573 hal.

Keraf, A.S. dan M. Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan : Sebuah Tinjauan Filosofis. Edisi ke-5. Kanisius, Yogyakarta. 160 hal.

Partodihardjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya, Jakarta Pusat. 588 hal.

Sariubang, M., D. Pasambe dan Chalidjah. 1999. Pengaruh kawin silang terhadap performans hasil turunan pertama (F1) pada sapi Bali di Sulawesi Selatan. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor 1-2 Desember 1998. Jilid I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal. 240-243.

Sitorus, P., A. Mulyadi, Subandriyo, L.H. Prasetyo, Sri Rachmawati, S.N. Tambing, A. Semali, N. Jarmani dan S.B. Siregar. 1994. Studi Peranan Inseminasi Buatan Dalam Upaya Peningkatan Produktivitas dan Pengembangan Ternak Sapi. Laporan hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. 59 Hal.

Sitorus, P., Subandriyo, L.H. Prasetyo, Sri Rachmawati, S.N. Tambing, A. Gunawan dan B. Setiadi. 1995. Pengaruh Penyebaran Berbagai Jenis Sapi Bibit melalui Inseminasi Buatan terhadap Penyebaran dan Pengembangan Ternak Sapi di Kawasan Timur Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. 55 hal.

Suradisastra, K. 1999. Man Power Development and Institutional Strenghtening. Paper presented at the Training on Technology Transfer. Institutes for Aplied Technology Development, Subang, 1-10 February 1999.

Suradisastra, K. and A.M. Lubis. 1994. Advanced Livestock Technology for Sustainable Production : the Poor Man's Dream. Proc. of The 7th AAAP Animal Science Congress. Bali, July 11-16. pp. 83-84.

Suradisastra, K. and A.M. Lubis. 2000. Animal biotechnology and cultural ecology. Wartazoa, 10(2) : 51-56.

Suranjaya, I.G. 1999. Pengkajian Efektivitas Program Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali di Wilayah Binaan Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali di Bali. Tesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor.

Tambing, S.N., M.R. Toelihere dan T.L. Yusuf. 2000. Optimasi program inseminasi buatan pada kerbau. Wartazoa, 10(2) : 41-50.

Tambing, S.N., S. Rachmawati dan P. Sitorus. 1996. Bobot lahir, lingkar dada dan bobot badan anak sapi hasil IB persilangan antara pejantan Bos taurus dengan induk sapi lokal di Kabupaten Lombok Barat, NTB. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor 7-8 Nopember 1995. Jilid 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal. 471-474.

Thoyibi, M. 1999. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya. Edisi ke-2. Muhammadiyah University Press, Universitas Muhammadiyah, Surakarta. 105 hal.

Toelihere, M.R. 1985. Inseminasi Buatan pada Ternak. Edisi ke-2. Angkasa, Bandung. 292 hal.

Toelihere, M.R. 1997. Peranan Bioteknologi Reproduksi Dalam Pembinaan Produksi Peternakan di Indonesia. Disampaikan pada Pertemuan Teknis dan Koordinasi Produksi (PERTEKSI) Peternak Nasional T.A. 1997/1998, Ditjennak di Cisarua-Bogor 4-6 Agustus 1997.