ristika.dos

© 2001. Ristika Handarini                                                          Posted: 16 May 2001    [RCT]  

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Mei 2001

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

 

 

TERNAK TRANSGENIK:

PROSEDUR, BIOETIKA  DAN KEAMANANNYA

 

Oleh:

RISTIKA HANDARINI

P11600006

E-mail: ristika@eudoramail.com

 

_____________________________________________________________________________________

 

PENDAHULUAN

Jumlah penduduk pada abad ini mengalami peningkatan secara eksponensial dan harus diimbangi dengan peningkatan produksi ternak untuk penyediaan protein hewani bagi manusia. Tugas ini menjadi beban yang sangat berat bagi para pemulia ternak (Breeder) karena ternak harus dipacu untuk berproduksi semaksimal mungkin bahkan diupayakan dalam waktu yang singkat. Hal ini tidak akan tercapai bila dilakukan melalui teknik pemuliabiakan tradisional. Upaya peningkatan produktivitas ternak mau tidak mau harus melibatkan teknologi   reproduksi.

     Semua upaya para ilmuwan pada awalnya merupakan impian para ahli filsafat yang mustahil bisa diciptakan pada saat itu. Sebagai contoh: ada satu anekdot yang diungkapkan oleh Ratu Christina dari Swedia pada saat menyampaikan pidato kematian seorang ahli filsafat, matematika dan ilmuwan Rene Descartes tahun  1650, yang meninggal akibat cuaca buruk musim salju : “Sangat disayangkan Descartes meninggal, kenapa dengan kepandaiannya dia tidak dapat memperpanjang hidupnya sendiri”. Kenapa anekdot itu disampaikan dan apakah mungkin masa hidup dapat  diperpanjang?.

Rene Descartes merupakan salah seorang ilmuwan yang dianggap mempunyai impian-impian yang jauh kedepan dan mempunyai ambisi untuk ikut mengontrol proses kehidupan, ide-idenya dianggap kontroversial pada saat itu.  Dia beranggapan bahwa hidup ini merupakan bagian dari alam.  Semua yang ada dialam dapat diteliti dengan suatu metode dan hasil penelitian itu nantinya menjadi hukum alam yang dapat diekspresikan kedalam bentuk bahasa dan matematika.  Pada saat itu pembagian kelompok-kelompok keilmuan  belum banyak sehingga hanya dikatakan  bahwa hasil penelitian diungkapkan dalam  bentuk bahasa.  Dia juga mengatakan bahwa manusia   dapat mengontrol dan memanipulasi  proses kehidupan untuk memperoleh keuntungan.  Apa yang  dikemukakan Descartes  mendapat sambutan  para ilmuwan lain.  Proses penelitian pada saat itu tidak diekspos kepermukaan karena para ilmuwan bekerja secara individu.   Tetapi dalam kurun waktu 20 tahun kedepan penelitian yang mengarah pada modifikasi proses kehidupan berkembang dengan pesat. Penemuan Hukum Mendel mulai mengawali perwujudan impian itu pada abad ke 20  dan sejak  tahun 1930 teori ini digunakan seluruh dunia karena dianggap efisien dan sistimatik  dibidang pemuliabiakan ternak untuk tujuan-tujuan tertentu bagi kepentingan manusia (Christiansen dan Sandoe, 2000).

Apa yang dikemukakan Descartes pada akhir abad 20 memunculkan banyak penemuan lain terutama dengan dibidang  genetika  molekuler, dan  semakin membuka peluang   bagi para ilmuwan  untuk mengatur proses kehidupan. Saat ini sudah bisa dilakukan seleksi  sifat khusus pada level genetik, gen-gen yang dapat mengekspresikan phenotip yang diinginkan  ditransfer antar spesies.  Genetika molekuler diakui memberi banyak kemajuan dibidang pemuliabiakan ternak domestik.

Tujuan dari penulisan makalah ini untuk meninjau apakah produksi ternak transgenik sudah aman dipandang  dari sudut etika dan  lingkungan baik terhadap ternak itu sendiri maupun manusia pengguna.  Bagaimanapun pembentukkan ternak transgenik sangat dibutuhkan, mengingat tujuan dari pembentukan ternak transgenik selain untuk mempercepat  juga efisiensi dari proses pemuliabiakan ternak  (Niemann dan Kues, 2000). Keterlibatan manusia di dalamnya ikut  memegang tanggungjawab yang besar untuk mendiskusikan sampai sejauh mana pembentukan ternak transgenik ini dibenarkan dan diterima masyarakat. Apapun resiko produksi ternak transgenik secara moral menjadi tanggung jawab para ilmuwan.  Sejak diproduksikannya ternak transgenik diberbagai negara terutama Amerika berbagai tanggapan muncul dikalangan ilmuwan, ahli filsafat, produsen, pemerhati lingkungan dan masyarakat pengguna akan eksistensi ternak transgenik.  Pembahasan dalam makalah ini didasarkan pada beberapa laporan dan tulisan  yang telah dipublikasikan   sejak tahun 1992 sampai 2000 berkaitan dengan bioetik pertanian dan peternakan.  Pembahasan ini difokuskan pada klarifikasi dibandingkan kritik terhadap produksi ternak transgenik dan mencoba untuk memberi gambaran yang jelas sehingga tidak menimbulkan bias.  Pada makalah ini secara ontologi akan membahas  apa definisi ternak transgenik dan tujuan pembentukannya. Secara epistomologi akan membahas prosedur pembentukan ternak transgenik dan secara aksiologi akan membahas bagaimana pengaruh kehadiran ternak transgenik baik dari segi etika maupun keamanan lingkungan. 

 

PROSEDUR PEMBUATAN TERNAK TRANSGENIK

Ternak trangenik merupakan ternak hasil rekayasa genetika dengan cara memasukkan gen-gen atau DNA rekombinan yang dapat mengekspresikan phenotip tertentu kedalam suatu genom ternak lain baik dalam satu spesies maupun antar spesies.   Proses    pemasukan atau pemindahan gen ini disebut dengan transgenesis. Berbagai metode digunakan untuk menghasilkan ternak transgenik antara lain melalui mikroinjeksi pronukleus, melalui virus sebagai mediator, sperma sebagai vector dan  melalui sel-sel stem embrio (Embryonic Stem Sel). Berbagai metode ini sampai sekarang masih terus dikembangkan karena secara teknis pembentukkan ternak transgenik  cukup sulit dan rendah keberhasilannya. Meskipun demikian bila hasil pembentukan ternak transgenik dilanjutkan dengan metode kloning (terutama kloning aseksual atau melaui sel-sell somatik) maka akan memberi hasil yang maksimal. 

1.  Mikroinjeksi pronukleus.

Mikroinjeksi adalah metode yang paling banyak digunakan karena mempunyai keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode yang lain. Gen yang telah diisolasi diinjeksikan langsung pada pronukleus jantan. Pronukleus ini akan terbentuk  pada saat GVBD (Germinal Vesicle Break Down). Pronukleus pada beberapa hewan dapat langsung diamati dibawah  mikroskop Differential Inference Contrast (DIC) contoh pada kelinci, domba dan kambing. Sedangkan pronukleus sapi  dan babimembutuhkan perlakuan yang lebih spesifik yaitu  harus disentrifugasi terlebih dahulu untuk menghilangkan granul-granul lemak.

2.  Introduksi gen melalui virus sebagai mediator.

Pada metode ini, virus ditumpangi oleh gen yang dikehendaki dan  diintroduksikan kedalam embrio ternak. Virus mempunyai ukuran yang sangat kecil dan mampu menembus inti sel dan virus mempunyai genom yang terdiri dari RNA yang mempunyai kemampuan untuk mentraskripsikan  DNA.  Bila satu sel diinfeksi dengan retrovirus  maka akan menghasilkan DNA virus, setelah  DNA ditranskripsikan akan berintegrasi dan menjadi bagian dari genome induk.

3.  Sperma sebagai mediator. 

Sperma merupakan salah satu gamet yang  terlibat langsung  dalam proses fertilisasi. Matriks DNA diikat pada  daerah postacrosomal  oleh komponen protein spesifik dan akan bergabung dengan genome induk setelah terjadi fertilisasi.

4.   Transfer gen melalui sel stem embrio. 

Pada metode ini sel diisolasi dari  sel inner cell mass  (ICM) dari blastosit kemudian dikultur dan ditransfer kedalam embrio.  Embrio akan berkembang menjadi ternak kimera.  Bila sel  ter-inkorporasi dalam gonad maka  dalam sel germinal mengandung DNA baru.  Teknik ini hanya memungkinkan untuk  rekombinasi  gen yang homolog. 

     Sampai sejauh ini diantara keempat metode, meskipun penggunaan retrovirus sangat mudah dilakukan tetapi mulai ditinggalkan karena efek residu pada ternak transgenik yang dihasilkan.

BIOETIKA PEMBENTUKAN TERNAK TRANSGENIK

Bioetika dapat dikatakan sebagai “frame” bagi para ilmuwan dan produsen/pengusaha yang memanfaatkan hasil penelitian secara ekonomi, karena mengandung muatan moral yang berisi nilai dan prinsip-prinsip yang dapat dijadikan pegangan dalam pembentukan ternak transgenik.  Kita akan membahas  sejauh mana kemanfaatan transgenesis pada ternak itu sendiri, baik terhadap  kesehatan ternak maupun terhadap integritas dari ternak yang mengalami transgenesis apakah semua tujuan yang akan dicapai merugikan bagi kesehatan ternak dan melanggar integritas ternak (Vorstenbosch, 1993 : Mepham, 1995).  Yang kontra terhadap pembentukan ternak transgenik mengatakan semakin cepat tujuan dicapai dan semakin tinggi sentuhan bioteknologi maka  ternak semakin menderita. Oleh karena itu tingginya produktivitas ternak akibat transgenesis menimbulkan problem etika.

1. Kesehatan ternak

Konsep mengenai kesehatan ternak sulit didefinisikan. Bila muncul pertanyaan: “apakah yang dimaksud dengan kesehatan ternak, dan bagaimana mengukurnya ?”. Tentu sangat sulit. Sandoe et. al. (1998) mengemukakan bahwa ternak dikatakan sehat bila sehat secara fisik dan tingkah laku serta dievaluasi pengaruhnya terhadap lingkungan.  Ada asumsi bagi para ilmuwan yang consern terhadap kesehatan ternak bahwa pada ternak yang mengalami transgenesis selalu diikuti dengan reduksi kesehatan ternak.  Karena untuk mengejar efisiensi produksi, susunan gen telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga seluruh  energi dalam tubuh ternak terkonsentrasi pada kerja gen yang spesifik. Sebagai contoh, sapi perah transgenik yang diupayakan untuk memproduksi susu tinggi pada umumnya mengalami mastitis atau radang ambing (Boer, et. al., 1995).

Hasil penelitian lain terhadap babi yang diintroduksi dengan gen human Growth Hormon (hGH) yaitu suatu hormon yang berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan, mengalami masalah kesehatan yaitu kepincangan, jantung dan masalah reproduksi (Rollin, 1997).   Bahkan pada beberapa kasus menimbulkan patologi pada ginjal, lambung, hiperglisemia dan glikosuria.  Pada ayam broiler yang mengandung gen GH diharapkan mempunyai bobot badan 2 kg dalam waktu 40 hari, meskipun pertumbuhannya cepat tetapi tidak diikuti dengan perkembangan sistim peredaran darah dan pertumbuhan tulang sehingga kaki tidak dapat menopang bobot tubuh dan mengalami kegagalan jantung akibat tidak mampu memompa darah ke seluruh tubuh (Sandoe, et. al. 1999).  Pada kalkun kegemukan menimbulkan masalah pada sistim perkawinan.  Pertambahan bobot tubuh pada pejantan sangat pesat sehingga tidak memungkinkan lagi melakukan perkawinan alami karena kalkun betina tidak mampu menopang bobot tubuh pejantan. Akibatnya proses perkawinan harus melalui campur tangan manusia dengan cara Inseminasi Buatan (Rauw,et. al. 1998).

Pada pembentukan ternak transgenik yang diharapkan  adalah integrasi pada sisi tunggal DNA, tetapi bisa saja terjadi integrasi ganda (multiple integrations)  dan ini akan menghasilkan ternak mozaik. Bahkan gen khusus yang diintroduksi dapat merubah proporsi bentuk tubuh.  Contoh, pada babi yang diintroduksi dengan gen mSV-cSKI mengalami hipertropi hanya pada  bagian bahu, tidak pada semua bagian tubuh. Pada ikan tilapia yang mengandung gen GH menghasilkan pertumbuhan 4 kali lebih besar dari ikan normal pada umur yang sama. Hal ini menunjukkan satu indikasi terjadinya agromegali, pertumbuhan tulang rahang lambat dan rendahnya produksi sperma pada ikan jantan.

Metode standart untuk mengetahui layak atau tidaknya  ternak transgenik diproduksi yaitu dengan cara mengevaluasi kesehatan ternak terutama terhadap respon syaraf dan fisiologinya.

 

        2. Integritas Ternak

Demikian juga dengan definisi integritas ternak, sangat relatif untuk menedifinisikannya. Thomson (1997) mengartikan bahwa ternak memiliki integritas bila berkembang secara alami, tidak mengalami kerusakan secara keseluruhan baik dalam individu, spesies maupun ekosistimnya. Respek terhadap integritas ternak tidak terlepas dari  nilai intrinsik dari ternak  yaitu ternak dengan genom yang lengkap.  Dengan demikian modifikasi genetik yang dilakukan untuk pembentukan  ternak transgenik dapat diartikan  melanggar integritas ternak.

3.  Utilitarianisme dan deontologi

Teori utilitarianisme meletakkan kebenaran dan kesalahan yang didasarkan pada kegunaan.  Penganut teori ini menerima  kebenaran dan kesalahan termasuk konsekuensinya. Dalam hal ini selagi produksi ternak transgenik menguntungkan meski menimbulkan masalah pada kesehatan dan integritas ternak maka produksi ternak transgenik dibenarkan.  Sebagai contoh untuk tujuan biomedik atau efisiensi program breeding.  Berbeda halnya bila pembentukan ternak transgenik untuk tujuan agar makanan lebih murah sehingga diproduksi sebanyak-banyaknya maka hal ini tidak dapat dibenarkan (Thomson, 1997).

Teori deontologi  kebenaran dan kesalahan didasarkan pada moral yaitu apa yang kita kerjakan pada ternak dan bagaimana konsekuensinya pada ternak akibat perlakuan kita. Sebagai contoh: pembentukan ternak transgenik tidak dapat diterima karena mempunyai banyak side efek  yang buruk terhadap kesehatan ternak dan ini membuat ternak tertekan dan menderita.

Menurut Boyd dan Samid (1993), bahwa ada 3 tujuan utama  dalam pembentukan ternak transgenik yaitu meningkatkan produksi ternak,  meningkatkan kesehatan ternak  dan bioreaktor untuk produk-produk medis.  Untuk tujuan peningkatkan produktivitas ternak, maka pada ternak domestik peningkatan produksi harus disesuaikan dengan tujuan pemeliharaan. Apakah untuk tujuan produksi daging, susu, anak (pembibitan) atau wol.  Bila ditujukan untuk memproduksi daging, maka dapat dilakukan dengan mentransfer gen-gen  yang mempunyai fenotip : konversi pakan rendah, rataan bobot badan yang tinggi, kemampuan mereduksi lemak dan meningkatkan kualitas daging.  Beberapa gen yang dapat digunakan untuk tujuan ini antara lain : mALB-hGRF (Albumin Growth Hormon Releasing Factor), Cmv-pGH (Cytomegalovirus /LTR Growth Hormon), mTV-bGH (Methallothionen Growth Hormon), cASK-hlGF-1 (Skeletal Actin Insulin like Growth Factor) dan sebagainya.  Sedangkan untuk  peningkatan produksi dan kualitas wol dapat digunakan  IGF-1 (Insulin like Growth Factor) yang dapat  meningkatkan kecerahan warna dan panjang pada bulu domba (Su, et. al., 1998). Suatu perusahaan di Australia telah berhasil memodifikasi konstruksi hormon pertumbuhan pada babi (hMT-pGH) yang sangat responsive terhadap pemberian zinck dan produknya telah dipasarkan (Nottle, et. al., 1999).

Tujuan kedua yaitu untuk meningkatkan kesehatan ternak itu sendiri,karena kita ketahui banyak penyakit ternak yang sulit dikontrol oleh manusia dan sifatnya patogen. Beberapa penelitian telah dilakukan membuktikan dengan pendekatan transfer gen  dapat meningkatkan resistensi terhadap suatu penyakit. Gen yang diintroduksi akan bekerja dengan cara memproduksi antibodi dan membungkus protein dari  suatu virus.  Resistensi alamiah (Naturally occurring disease resistance) pada tikus dikendalikan oleh alel MX1 autosomal dominan yang resisten terhadap virus influenza. Gen ini diklon untuk diproduksi secara masal dan berhasil  dicobakan pada ternak babi (Brem, 1993).

     Tujuan ketiga yaitu sebagai bioreaktor produk-produk medis. Ternak transgenik  memegang peranan penting dalam menghasilkan  produk medis untuk kepentingan manusia dan ribuan orang telah mengambil keuntungan dari produk-produk biomedik yang dihasilkan. Contoh transplantasi katup jantung, insulin untuk diabetes dan oksitoksin untuk menginduksi kelahiran.  Saat ini yang secara langsung dapat dinikmati yaitu produk susu yang telah dimodifikasi komposisinya, yaitu susu tinggi kandungan laktose dan rendah  kandungan  lemak. Beberapa penelitian yang sedang berlangsung mengarah pada  introduksi gen yang dapat memproduksi protein  seperti yang terkandung pada susu manusia sehingga komposisinya mendekati air susu ibu.

Berdasarkan tujuan tersebut,maka bila ditinjau dari sudut utilitarianisme, maka pembentukan ternak transgenik dibenarkan,karena ditinjau dari aspek kegunaannya pada manusia sangat jelas, tetapi  dari sudut deontologi, pembentukan ternak transgenik tidak dibenarkan karena introduksi gen menyebabkan menurunnya kesehatan ternak.

Sesuai dengan perkembangan teknologi reproduksi maka perhatian orang terhadap status moral ternak semakin meningkat. Hal ini direfleksikan dengan banyaknya tuntutan akan adanya legalitas untuk melindungi ternak. Thompson (1999) mengemukakan bahwa dari sudut pandang seorang filosofer  maka kedua teori diatas sangat berbeda kepentingan bila diajukan pada para produsen dan ahli reproduksi. Oleh karena itu sangat diperlukan kode etik profesi dibidang peternakan. Kode etik profesi termasuk pembuatan undang-undang yang dapat menghubungkan kedua tujuan tersebut. Oleh karena itu  diharapkan pasa ahli reproduksi secara terbuka terus melakukan komunikasi melalui media mengenai hasil-hasil penelitian dan  bertanggungjawab terhadap   resiko yang muncul dari hasil teknologi yang akan diaplikasikan.  Dengan adanya informasi tersebut maka masyarakat dapat membandingkan keuntungan dan resiko yang diperoleh jika ternak transgenik diproduksi secara masal.

PENGARUH INTRODUKSI TERNAK TRANSGENIK TERHADAP LINGKUNGAN

Beberapa kalangan mengemukakan bahwa ternak yang telah mengalami modifikasi genetik  dengan bioteknologi modern mempunyai behavior  yang berbeda  dibandingkan dengan ternak yang mengalami modifikasi genetik secara alami. Para pemerhati lingkungan mengemukakan bahwa bila ternak transgenik dimasukkan dalam suatu lingkungan alamiah akan membentuk suatu lingkungan yang baru pula. Ternak yang mengandung kombinasi genetik yang baru akan memegang peranan baru dalam suatu ekologi. Ternak transgenik mempunyai kemampuan untuk bereproduksi  dan sangat potensial akan membentuk suatu populasi baru atau mentransfer gen-gen tersebut kedalam suatu populasi alami.

Untuk beberapa alasan ternak transgenik secara nyata mempunyai  pengaruh terhadap lingkungan. Ternak transgenik tidak bisa digolongkan kedalam ternak liar maupun ternak feral (yaitu ternak domestik yang mempunyai pengaruh negatif terhadap lingkungan).  Bila berkembangbiak baik sesama ternak transgenik, antara ternak transgenik dengan ternak liar   maupun ternak transgenik dengan ternak feral, maka lambat laun akan berpengaruh terhadap lingkungan. Bukan berarti ternak domestik  tidak berpengaruh terhadap lingkungan atau ternak feral maupun domestik lain tidak eksis tetapi efek genotip yang diekspresikan dalam performance yang berbeda dengan ternak asli jelas akan membutuhkan perlakuan  yang berbeda baik dari  manusia maupun lingkungan.

     Bila transgenesis dilakukan pada ikan yang  bukan termasuk ternak yang didomestikasi (hidupnya tidak banyak membutuhkan campur tangan manusia) dan sangat tergantung pada ekosistem maka kehadiran ternak transgenik dianggap menjadi suatu spesies yang asing bagi lingkungan dimana ikan berada. Ikan mempunyai kemampuan untuk bereproduksi tinggi dibandingkan pada mamalia dan  sulit dikontrol.  Ikan transgenik tentunya akan menjadi  commercial aquaculture dan dilepas kedalam lingkungan. Ekosistim  perairan akan mengalami perubahan bila dimasuki spesiaes  non indigenous,  contoh : perairan di Amerika Utara telah mengalami perubahan ekosistim karena telah dilepas  dua jenis ikan transgenik. Ikan ini mengandung gen GH yang memacu pertumbuhan sehingga mempunyai ukuran yang lebih besar dari ikan normal.  Evalusi terhadap pengaruh lingkungan dilakukan untuk mengetahui interaksi ikan dengan komunitas perairan dan lingkungan fisik. Hasilnya menunjukkan ikan transgenik mempunyai kelebihan dibandingkan ikan normal dan kompetisi secara langsung dengan spesies asli  menghasilkan penurunan jumlah jumlah spesies asli dan  ini berarti terjadi reorganisasi komunitas biologi. 

     Virus rekombinan yang digunakan sebagai mediator dalam pembentukan ternak transgenik juga menimbulkan problem. Vaksin berasal dari rekombinan virus, sebagai contoh di Amerika dikembangkan vaksin antirabies yang berasal dari virus vaccinia dan vaksin antipseudorabies yang berasal dari  virus swinepox.  Keduanya dapat diberikan secara oral  dan dapat juga didistribusikan melalui udara. Hal ini mengundang isu karena dapat menimbulkan pathogen dari virus vaccinia. Selama 13 tahun  tujuh orang meninggal karena virus rabies dan banyak ternak mati.

Pengaruhnya terhadap kesehatan manusia sebagai konsumen juga harus mendapat perhatian. Sebagai contoh,  potensi resiko bagi manusia yang mengkonsumsi daging  dari ternak transgenik (Rollin,1996).  Pada metode yang menggunakan retrovirus tentu saja hal ini menimbulkan isu adanya residu antibiotik pada daging maupun susu, dimana antibiotik diberikan untuk mengatasi masalah kesehatan pada ternak transgenik.  Pembentukan ternak transgenik sangat menguntungkan secara ekonomi dan  sangat sedikit yang menaruh perhatian pada  resiko  lingkungan yang diakibatkannya. Padahal sudah seharusnya mendapat perhatian yang lebih serius.

PENUTUP

Dari kajian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa: 1) Prosedur pembentukan ternak transgenik masih terus dikembangkan dan direvisi.  2) Produksi ternak transgenik harus mempertimbangkan konsekuensinya baik ditinjau dari kesehatan ternak, manusia dan lingkungan. 3) Produksi ternak transgenik harus dikontrol, dan diperlukan adanya legalitas penerapannya untuk memberikan perlindungan terhadap ternak terutama upaya mengeliminasi penurunan kesehatan ternak akibat transgenesis. 4) Perlu adanya evaluasi melalui penelitian-penelitian ilmiah, baik dari masyarakat, ilmuwan, maupun pemerintah  terhadap produksi ternak transgenik sebelum diaplikasikan.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Boer, I.J.M., F.W.A.  Brom, J.M.G. Vorstenbosch. 1995. An ethical evaluation of animal biotechnology: the case of using clones in dairy cattle breeding. Anim. Sci. 61 (3), 453 – 463.

 

Boyd. A.L., D. Samid. 1993. Review : Molecular Biology of Transgenic Animal. J. Anim. Sci. 71, 1 –9.

 

Christiansen, S.B. and Sandoe, P. 2000. Bioethics: Limits to interference with life. J. Animal and Reproduction Science. Stockholm. p: 15 – 29.

 

Cundiff, L.V., M.D. Bishop, R.K. Johnson. 1993. Challenge and opportunities for integrating genetically modified animals into traditional animal breeding plans. J. Anim. Sci. 3, 20 – 25.

 

David, L.M., 1999.  What are livestock industries doing and what do they need from us. J. anim. Sci. 77, 361 – 366.

 

Mepham, T. B. 1995. Ethical aspect of animal biotechnology. J. Agric.Soc.Univ. Wales. 75, 3 – 12.

 

Niemann, H. and W.A. Kues. 2000. Transgenic livestock : Promises and Promises. J. Animal and Reproduction Science. Stockholm. p: 277 – 293.

 

Nottle, M.B., H. Nagashima,  P.J. Verma, Z.T.  Du, C.G. Grupen, R.J. Ashman. 1999. Production and analysis of transgenic pig containing a methallothionein porcine growth hormone gen construct. Transgenic Animal in agricultural. p: 145 – 156.

 

Rauw, W.M., E. Kanis, E.N. Noorduizen-Stassen, F.J. Grommers. Unsiderable side effects of selection for high production efficiency  in farm animals. Prod. Sci. 56, 15 – 33.

 

Rollin, B.E., 1996. Bad ethics, good ethics and  and the genetic engineering  of animals. J. Anim. Sci. 74 (3), 535 – 541.

 

Sandoe, P., M.H. Giersang, L.L. Jeppesen. 1998. Ethical aspect of biotechnology in farm animal production. J. Anim. Sci. Supll. 29, 51 – 58.

 

Sandoe, P., B.L. Nielsen, L.G.  Christensen, P. Sorensen. 1999. Staying good while playing God: The etics of breeding  farm animals. J.. Anim. Sci. Supll. 8, 313 – 328.

 

Su., H.Y., N.P. Jay, T.S. Gourley, G.W. Kay and S. Damak. 1998. Wool Production in Transgenic Sheep: Result from First-Generation adults and Secon-Generation Lambs. Animal Biotechnology. 9 (2) p: 135 – 147.

 

Swanson, J.C. 1999. What are animal science department doing to address contemporary issuees. J. Anim. Sci. 77, 354 – 360.

 

Thompson, P.B. , 1997. Ethic and the genetic engineering of food animal. J. Agrr. Environ. Eth.10(1), 1 – 23.

 

Thompson, P.B. , 1999. From a Philosopher’s perspective, how should animal scientist meet the challenge of contentious issues. J. anim. Sci. 77, 372 – 377.

 

Vonstenbosch, J., 1993. The concept of integrity: is significacnce for the ethical dicussion on biotechnology and animals. Livest. Prod. Sci. 36 (1), 109 – 112.