© 2001 Muh. Yusuf
Posted 8 June 2001 [rudyct]
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Juni 2001
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir Zahrial Coto
SECARA
BERKELANJUTAN
MELALUI
PENDEKATAN POLA AGROMARINE
(SUATU TINJAUAN
FILSAFAT SAINS)
P. 31600030 / SPL
E-mail: muhyusuf@ekilat.com
Sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia, yang terdiri dari
17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang ke dua di Dunia
setelah Canada) serta wilayah laut teritorial seluas 5,1 juta km2
(63 % dari total wilayah teritorial Indonesia), ditambah dengan Zona Ekonomi
Eksklusif seluas 2,7 juta km2, sesungguhnya Indonesia memiliki
potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar dan beraneka-
ragam. Dari sekian ribu pulau tersebut, sebagian besar merupakan pulau-pulau
kecil yang jumlahnya lebih dari 10.000 buah.
Pulau-pulau kecil pada umumnya memiliki potensi
sumberdaya alam daratan (terestrial) yang sangat terbatas, tetapi sebaliknya
memiliki potensi sumberdaya kelautan yang cukup besar, dimana potesi perikanan
di pulau-pulau kecil didukung oleh adanya
ekosistem seperti terumbu karang, padang lamun (seagrass) dan mangrove.
Sumberdaya kelautan pada kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi
keaneka-ragaman hayati yang bernilai ekonomi tinggi seperti berbagai jenis
ikan, udang dan kerang, yang kesemuanya merupakan aset bangsa yang sangat strategis
untuk dikembangkan dengan basis kegiatan ekonomi pada pemanfaatan sumberdaya
alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental service) kelautan.
Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan
intensitas pembangunan, dan kenyataan bahwa sumberdaya alam di daratan (seperti
hutan, lahan pertanian) dan mineral terus menipis atau sukar untuk
dikembangkan, maka sumberdaya kelautan akan menjadi tumpuhan harapan bagi
kesinambungan pembangunan ekonomi nasional di masa mendatang.
Dalam perkembangan selanjutnya akibat dari pertambahan
jumlah penduduk, perluasan pemukiman dan kegiatan industri, pariwisata dan
transportasi laut, maka pulau-pulau kecil tersebut menghadapi permasalahan
berupa tekanan berat akibat eksploitasi sumberdaya alamnya. Masalah utama
yang dihadapi pada pulau-pulau kecil
umumnya berupa: kegiatan penangkapan ikan dengan
menggunakan bom dan racun sianida yang tidak ramah lingkungan, yang dilakukan
oleh para nelayan, dijadikannya pulau-pulau kecil sebagai tempat untuk
menambang pasir laut, tempat untuk membuang berbagai limbah yang berasal dari
aktivitas penduduk, di samping tekanan-tekanan ekologi lainnya seperti sedimentasi dan pencemaran.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka dapat berakibat serius pada rusaknya
habitat ikan dan berbagai biota perairan lainnya, menipisnya sumberdaya alam
dan merosotnya kualitas lingkungan perairan.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, serta dengan
mempertimbangkan peran ekonomis dan fungsi ekologis serta potensi sumberdaya
pulau-pulau kecil, maka diperlukan solusi dan arahan yang tepat dan
konstruktif. Salah satu usulan arahan/rumusan dalam rangka untuk pembangunan
dan pemanfaatan sumberdaya alam pulau-pulau kecil khususnya diperuntukan bagi
penduduk setempat adalah melalui konsep pendekatan secara ekonomi dan ekologi,
yang lebih difokuskan pada pola usaha
“agromarine”. Dengan pendekatan pola agromarine ini, diharapkan dapat
tercapainya tujuan (teleologi) yaitu: meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan penduduk setempat di satu sisi, dan terpeliharanya
kelestarian sumberdaya hayati dan lingkungan di sisi lain. Karena pada
dasarnya, konsep pembangunan dengan pendekatan pola agromarine adalah pola
pendayagunaan alam yang mengutamakan sumberdaya hayati laut agar diperoleh
manfaat optimal melalui prinsip pengembangan agribisnis sumberdaya perikanan
sebagai sektor sentral, berdasarkan pada prinsip kelestarian sumberdaya alam
dan lingkungan (PPP, Dep.Trans. dan PPH; LPWP-UNDIP, 1995).
Agar pembangunan pulau-pulau kecil dengan pendekatan pola
agromarine ini dapat terlaksana secara optimal dan berkelanjutan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, khususnya penduduk asli pulau tersebut,
maka pola pembangunan agromarine hendaknya didasarkan tiga prinsip dasar utama,
yaitu: (1) kesesuaian dan daya dukung lingkungan; (2) pendekatan agrobisnis
(perikanan); dan (3) pendekatan kemitraan.
Pada tulisan ini, akan dijelaskan aplikasi pemahaman
mengenai falsafah sain khususnya mengenai Ontologi (apa dan bagaimana
definisi dan batasan pulau kecil, ekosistem, sumberdaya dan jasa-jasa
lingkungan pulau-pulau kecil), Teleologi (tujuan akhir dari konsep
pembangunan pulau kecil dengan pendekatan pola agromarine), Aksiologi
(manfaat ekonomi sumberdaya pulau-pulau kecil bagi manusia dan apa peran
dan fungsi ekologisnya), dan Epistemologi (bagaimana metode/pola/konsep
dalam membangun dan memanfaatkan sumberdaya pulau-pulau kecil secara
berkelanjutan, dalam hal ini melalui metode pendekatan pola agromarine).
(TINJAUAN ONTOLOGI).
2.1. Definisi dan Batasan Pulau Kecil
Meskipun belum ada kesepakatan tentang definisi pulau
kecil baik di tingkat nasional maupun dunia, namun terdapat kesepakatan umum
bahwa yang dimaksud dengan pulau kecil di sini adalah pulau yang berukuran
kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland), memiliki
batas yang pasti, dan terisolasi dari habitat lain.
Batasan pulau
kecil juga dapat didefinisikan sebagai pulau dengan luas areanya kurang dari
10.000 km2 dan mempunyai penduduknya berjumlah kurang dari 500.000
orang (Bell, et al., 1990). Menurut Dahuri (1998), pulau kecil merupakan
habitat yang terisolasi dengan habitat lain, keterisolasian suatu pulau akan
menambah keanekaragaman organisme yang hidup di pulau tersebut. Selain itu,
pulau kecil juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi species
endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen, dan pulau kecil
juga mempunyai tangkapan air (catchment) yang relatif kecil sehingga kebanyakan
air dan sedimen hilang ke dalam air. Dari segi budaya, masyarakat yang mendiami
pulau kecil mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau kontinen dan daratan.
Adanya masukan sosial, ekonomi dan teknologi ke pulau ini akan mengganggu
kebudayaan mereka.
Dari
uraian di atas, terdapat tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat
batasan suatu pulau kecil: yaitu (1) batasan fisik (luas pulau); (2) batasan
ekologis (proporsi species endemik dan terisolasi), dan (3) keunikan budaya.
2.2. Karakteristik Biofisik Pulau Kecil
Pulau kecil memiliki
karakteristik biofisik yang menonjol, yaitu: (1) tangkapan air yang terbatas
dan sumberdaya/cadangan air tawar yang sangat rendah dan terbatas; (2) peka dan
rentan terhadap berbagai tekanan (stressor) dan pengaruh eksternal baik alami
maupun akibat kegiatan manusia, seperti badai dan gelombang besar serta
pencemaran, (3) mempunyai sejumlah besar jenis-jenis (organisme) endemik dan
keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi (Bengen, 2000; Ongkosongo,
1998; Sugandhy, 1998).
2.3.
Ekosistem, Potensi Sumberdaya dan Jasa-jasa Lingkungan Pulau-Pulau Kecil
Dalam
suatu wilayah pesisir khususnya di wilayah pulau-pulau kecil terdapat satu atau
lebih sistem lingkungan (ekosistem) pesisir dan sumberdaya pesisir. Ekosistem
pesisir tersebut dapat bersifat alamiah ataupun buatan. Ekosistem alami yang
terdapat di pulau-pulau kecil pesisir, antara lain adalah: terumbu karang
(coral reefs), hutan mangrove, padang lamun (seagrass beds), pantai
berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi
pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan
ekosistem buatan antara lain berupa: kawasan pariwisata, kawasan budidaya
(marine culture) dan kawasan pemukiman (Dahuri, dkk., 1996).
Sumberdaya
alam di kawasan pulau-pulau kecil terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih
(renewable resources) dan sumberdaya alam yang tak dapat pulih (non-renewable
resources). Sumberdaya yang dapat pulih, antara lain: sumberdaya ikan,
plankton, benthos, moluska, krustasea, mamalia laut, rumput laut atau seaweeds,
lamun atau seagrass, mangrove, dan terumbu karang. Sedangkan, sumberdaya tak
dapat pulih, antara lain: minyak bumi dan gas, bijih besi, pasir, timah,
bauksit, dan mineral serta bahan tambang lainnya.
Sumberdaya ikan
di kawasan pulau-pulau kecil terkenal sangat tinggi, hal ini karena didukung
oleh ekosistem yang kompleks dan sangat beragam seperti ekosistem terumbu
karang, ekosistem hutan mangrove, ekosistem padang lamun.
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang subur,
dan mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh
kemampuan terumbu untuk menahan nutrien dalam sistem dan berperan sebagai kolam
untuk menampung segala masukan dari luar (Nybakken, 1988). Perairan ekosistem
terumbu karang juga kaya akan keragaman species penghuninya. Salah satu
penyebab tingginya keragaman species ini adalah karena variasi habitat yang
terdapat di terumbu, dan ikan merupakan organisme yang jumlahnya terbanyak yang
dapat ditemui (Dahuri, dkk., 1996). Selain itu, ekosistem terumbu karang
dengan keunikan dan keindahannya juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat
pariwisata bahari, seperti selam, layar
maupun snorkling.
Ekosistem
mangrove merupakan ekosistem utama pulau-pulau kecil yang sangat berperan
sekali baik bagi sumberdaya ikan di kawasan tersebut maupun bagi kelangsungan
hidup ekosistem lainnya, selain bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya.
Ekosistem mangrove bagi sumberdaya ikan berfungsi sebagai tempat mencari makan
bagi ikan, tempat memijah, tempat berkembang biak dan sebagai tempat untuk
memelihara anak (ikan). Ekosistem mangrove juga dapat berfungsi sebagai penahan
abrasi pantai yang disebabkan oleh ombak dan gelombang, selain itu ekosistem
mangrove secara ekonomi dapat dimanfaatkan kayunya sebagai kayu bakar, alat
tangkap ikan dan bahan membuat rumah (Dahuri dkk., 1996; Bengen, 2000).
Sumberdaya
rumput laut (seaweeds) banyak dijumpai di pulau-pulau kecil, hal ini karena
kebanyakan wilayah pesisir perairannya dangkal, gelombangnya kecil, subur dan
kaya bahan organik terutama wilayah dekat pantai dan muara sungai. Rumput laut
merupakan sumberdaya alam yang mempunyai nilai komersial yang tinggi di samping
sumberdaya perikanan. Sumberdaya rumput laut ini banyak dibudidayakan oleh
penduduk sekitar sebagai mata pencaharian mereka.
Padang lamun
(seagrass) merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya, dengan
keanekaragaman biota yang juga tinggi. Pada ekosistem ini hidup beranekaragam
biota laut seperti ikan, krustasea, moluska, ekinodermata dan cacing. Menurut
Bengen (2000), secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting
bagi wilayah pesisir, yaitu: (1) produsen detritus dan zat hara; (2) mengikat
sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang
padat dan saling menyilang; (3) sebagai tempat berlindung, mencari makan,
tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang
melewati masa dewasanya di lingkungan ini; (4) sebagai tudung berlindung yang
melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari.
Sumberdaya tak
dapat pulih (non-renewable resources) dan energi kelautan, juga masih belum
optimal dan masih terbatas pada sumberdaya migas, timah, bauksit, dan bijih
besi. Jenis bahan tambang dan mineral lain termasuk pasir kwarsa, fosfat,
mangan, nikel, chromium dan lainnya praktis belum tersentuh. Demikian juga
halnya dengan potensi energi kelautan, yang sesungguhnya bersifat
non-exhaustive (tak pernah habis), seperti energi angin, gelombang, pasang
surut, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion).
Potensi
jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pulau-pulau kecil, seperti
pariwisata bahari dan perhubungan laut, merupakan potensi yang mempunyai nilai
tinggi bagi peningkatan pendapatan masyarakat sekitar maupun pendapatan
nasional. Dengan keanekaragaman dan keindahan yang terdapat di pulau-pulau
kecil tersebut, merupakan daya tarik tersendiri dalam pengembangan pariwisata.
Selain segenap
potensi pembangunan tersebut di atas, ekosistem pulau-pulau kecil juga memiliki
peran dan fungsi yang sangat menentukan, bukan saja bagi kesinambungan ekonomi
tetapi juga bagi kelangsungan hidup umat manusia. Faktor paling utama adalah
fungsi dan peran ekosistem pesisir dan lautan di pulau-pulau kecil sebagai
pengatur iklim global (termasuk dinamika La-Nina), siklus hidrologi dan
biogeokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang
kehidupan lainnya di daratan (Dahuri, 1998).
Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut mestinya
secara seimbang dibarengi dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung
secara optimal dan berkelanjutan.
3.
FUNGSI PULAU-PULAU KECIL DAN BEBERAPA
KENDALA DALAM
PEMBANGUNANNYA (TINJAUAN AKSIOLOGI).
3.1. Peran dan Fungsi Ekosistem
Pulau-Pulau Kecil
Menurut Dahuri (1998), ekosistem pulau-pulau kecil
memiliki peran dan fungsi sebagai berikut: (1) pengatur iklim global; (2)
siklus hidrologi dan biogeokimia; (3) penyerap limbah; (4) sumber plasma nutfah
dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan. Selain fungsi ekologis,
pulau-pulau kecil mempunyai manfaat ekonomi bagi manusia, antara lain
menyediakan jasa-jasa lingkungan (alam) berupa pemanfaatan lingkungan alam yang
indah dan nyaman dalam bentuk kegiatan pariwisata laut, kegiatan budidaya
(ikan, udang, rumput laut) yang dapat bermanfaat bagi peningkatan pendapatan
atau mata pencaharian penduduk setempat, serta potensi sumberdaya hayati yang memiliki keanekaragaman yang tinggi dan
bernilai ekonomis, seperti berbagai jenis ikan, udang, kerang yang kesemuanya
dapat dimanfaatkan bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat.
3.2.
Kendala-kendala Pembangunan Pulau-Pulau Kecil
Menurut Dahuri (1998); Husni (1998), beberapa kendala yang
dihadapi untuk pembangunan pulau-pulau kecil adalah sebagai berikut:
1.
Ukuran yang kecil
dan terisolasi, sehingga penyediaan prasarana dan sarana menjadi sangat mahal,
dan sumberdaya manusia yang handal menjadi sangat langka.
2.
Kesulitan atau
ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi (economies of scale) yang optimal
dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi, dan transportasi laut
turut menghambat pembangunan.
3.
Ketersediaan
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar, vegetasi, tanah,
ekosistem pesisir (coastal ecosystem) dan satwa liar, pada akhirnya akan
menentukan daya dukung suatu sistem pulau kecil dalam menopang kehidupan
manusia penghuni dan segenap kegiatan pembangunannya.
4.
Produktivitas
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (seperti pengendalian erosi) yang
terdapat di setiap unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang terdapat di
sekitar pulau (seperti ekosistem terumbu karang dan perairan pesisir) adalah
saling terkait satu sama lain.
5.
Budaya lokal
kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan.
4.
KONSEP PEMBANGUNAN PULAU-PULAU KECIL SECARA BER-
KELANJUTAN MELALUI PENDEKATAN POLA
AGROMARINE
(PENDEKATAN EPISTEMOLOGI ® TELEOLOGI).
4.1.
Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Konsep
pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup
saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1988).
Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan pada dasarnya
merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas
(limit) pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada
di dalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak (absolut), melainkan
merupakan batas yang luwes (flexible) yang bergantung pada kondisi teknologi
dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam serta kemampuan biosfir
untuk menerima dampak kegiatan manusia. Dengan perkataan lain, pembangunan
berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian
rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan
umat manusia tidak rusak (Dahuri, dkk., 1996).
4.2.
Pengertian Pola Agromarine
Dalam
pembangunan ekosistem kepulauan, secara garis besar terdapat tiga pilihan pola atau
model pembangunan yang dapat diterapkan untuk ekosistem pulau kecil. Pertama,
menjadikan pulau sebagai kawasan konservasi, sehingga dampak negatif penting
akibat kegiatan manusia tidak ada atau sangat kecil. Ke dua,
pembangunan pulau secara optimal dan berkelanjutan, seperti untuk pertanian dan
perikanan yang semi-intensif. Ke tiga, pola pembangunan dengan
intensitas tinggi yang mengakibatkan perubahan radikal pada ekosistem pulau,
seperti pertambangan skala besar, tempat uji coba nuklir, dan industri pariwisata
skala besar. Diantara ke dua pola ekstrim, yaitu pola pembangunan tipe pertama
dan ke tiga, terdapat pola pembangunan yang berkelanjutan, yang terdiri dari
berbagai kegiatan pembangunan seperti pertanian terkendali, penangkapan ikan
baik di perairan pantai maupun laut lepas, budidaya tambak dan budidaya laut
(marine culture), pariwisata, industri rumah tangga/industri kecil, dan sektor
jasa (Hein, 1990).
Pembangunan wilayah dengan pola agromarine, telah
diintroduksikan sejak tahun 1992 oleh Departemen Transmigrasi dan PPH. Pola
Agromarine adalah pola pendayagunaan alam yang mengutamakan sumberdaya hayati
laut agar diperoleh manfaat optimal melalui prinsip pengembangan agribisnis.
Konsep ini meliputi pengembangan industri sumberdaya perikanan sebagai sektor
sentral yang ditunjang oleh pemanfaatan sumberdaya hayati dan nirhayati di
sekitarnya, dengan berdasarkan pada prinsip kelestarian sumberdaya alam dan
lingkungan hidup (PPP, Dep.Trans. dan PPH; LPWP-UNDIP, 1995). 9
Agar
pembangunan suatu pulau kecil dengan pola agromarine dapat terlaksana secara
optimal dan berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, khususnya
penduduk asli pulau tersebut, maka pola pembangunan agromarine hendaknya
didasarkan pada tiga prinsip dasar utama, yaitu: (1) kesesuaian dan daya dukung
lingkungan; (2) pendekatan agrobisnis; dan (3) pendekatan kemitraan. Melalui
penerapan tiga prinsip ini, pembangunan pulau kecil dengan pola agromarine akan
berlangsung secara berkelanjutan, baik secara ekologis (ecological sustainability),
ekonomis (economic sustainability), dan sosial budaya (socio-cultural
sustainability), (Dahuri, 1998). Secara skematis perumusan model pembangunan
wilayah kepulauan dengan pola agromarine disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka
Pendekatan dalam Perumusan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil
dengan Pola Agromarine (Dahuri,
1998).
4.3. Kesesuaian dan Daya Dukung Lingkungan
Pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) suatu wilayah kepulauan melalui pola agromarine
secara ekologis memerlukan empat persyaratan (Dahuri, dkk., 1996). Pertama,
setiap kegiatan pembangunan (seperti
tambak, pertanian, per-kebunan dan pariwisata) harus ditempatkan
pada lokasi yang secara biofisik “sesuai”. Persyaratan ini dapat dipenuhi
dengan cara membuat peta kesesuaian lahan, termasuk perairan (land
suitability). Ke dua, jika kita memanfaatkan sumberdaya dapat pulih,
seperti penangkapan ikan di laut, maka tingkat penangkapannya tidak boleh
melebihi potensi lestari dari stok ikan tersebut. Demikian juga, jika kita menggunakan air
tawar
(biasanya merupakan faktor pembatas terpenting dalam
suatu ekosistem pulau kecil), maka laju penggunaannya tidak boleh melebihi
kemampuan pulau termaksud untuk menghasilkan air tawar dalam kurun waktu
tertentu. Ke tiga, jika kita membuang limbah ke lingkungan pulau, maka
jumlah limbah (bukan limbah B-3, tetapi jenis lim- bah yang biodegradable)
tidak melebihi kapasitas asimilasi
lingkungan pulau tersebut.
Ke empat, jika kita
memodifikasi bentang alam (landscape)
suatu pulau (seperti penambangan
pasir dan reklamasi) atau melakukan
kegiatan konstruksi di
lingkungan pulau, khususnya di tepi pantai, seperti membangun dermaga
(jetty) dan hotel, maka harus sesuai dengan pola hidrodinamika daerah setempat
dan proses-proses alami lainnya (design with nature).
Pada prinsipnya, pembangunan
berkelanjutan suatu wilayah kepulauan hanya dapat terwujud jika kebutuhan
pembangunan secara total terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
ekosistem pulau lebih kecil atau sama dengan daya dukung lingkungannya. Daya
dukung tersebut ditentukan oleh tiga faktor (variables) utama, yaitu: (1)
potensi lestari pulau dalam menyediakan sumberdaya alam khususnya sumberdaya
perikanan laut, misalnya dalam bentuk MSY (Maximum Sustainable Yield) atau
hasil tangkapan maksimum lestari dari setiap komoditas ikan yang ada; (2)
ketersediaan ruang untuk kegiatan pembangunan dan kesesuaian lahan serta
perairan pantai untuk kegiatan pertambakan, budidaya laut, pertanian, perkebunan,
dan pariwisata; dan (3) kemampuan ekosistem pulau untuk menyerap limbah,
sebagai hasil samping kegiatan pembangunan, secara “aman”. Dalam batas-batas
tertentu, daya dukung lingkungan dapat ditingkatkan melalui intervensi
(masukan) teknologi, seperti pemupukan tanah dan desalinisasi air laut.
Selanjutnya, segenap kiprah kegiatan pembangunan agromarine hendaknya dapat
mensejahterakan masyarakat lokal dan secara budaya dapat diterima oleh
masyarakat setempat.
4.4.
Pendekatan Agribisnis Perikanan
Salah
satu penyebab utama kegagalan dalam pembangunan usaha penangkapan ikan di laut,
budidaya tambak, pertanian tanaman pangan, hortikultura, maupun perkebunan
adalah karena selama ini pendekatan pembangunannya dilakukan secara
terpilah-pilah (pacemeal approach), tidak mendekatinya secara agribisnis
terpadu. Sebagai contoh, seringkali kebijakan atau program pembangunan usaha
penangkapan ikan hanya memperhatikan bagaimana meningkatan produksi, tanpa
mem-pertimbangkan bagaimana pemasaran produknya. Program pengolahan hasil
perikanan (agro industri perikanan) untuk meningkatkan nilai tambah produk ikan
bahkan seringkali terabaikan.
Oleh karena
itu, pembangunan wilayah kepulauan dengan pola agromarine harus dilaksanakan
melalui pendekatan sistem usaha (agribisnis) perikanan secara terpadu dan
holistik seperti diperlihatkan pada Gambar 2. Menurut Dahuri (1998), suatu
sistem agribisnis perikanan baik usaha penangkapan maupun budidaya, meliputi
empat sub-sistem utama, yaitu: (1) sumberdaya ikan dan habitat/lingkungan; (2) produksi;
(3) pengolahan (teknologi pasca panen); dan (4) pemasaran termasuk konsumennya;
dan empat sub-sistem pendukung, yaitu: (1) prasarana dan sarana; (2) keuangan;
(3) hukum dan kelembagaan; dan (4) sumberdaya manusia secara IPTEK.
Gambar 2. Sistem Usaha Agribisnis Perikanan (Dahuri,
2000).
Dari
uraian di atas, maka dapat dikembangkan pemahaman bahwa dalam pengembangan
usaha perikanan yang merupakan kegiatan ekonomi utama dalam pola agromarine,
harus berdasarkan pada keseimbangan antara potensi produksi ikan secara lestari
dan permintaan pasar terhadap komoditas ikan tertentu. Sub-sistem pegolahan
hendaknya dapat mengkonversi produk perikanan dengan nilai-nilai tambah yang
berlipat ganda dan
sesuai dengan keinginan atau selera permintaan pasar. Sementara itu, semua
sub-sistem pendukung mulai dari prasarana dan sarana sampai SDM dan IPTEK harus
diciptakan sedemikian rupa, sehingga mendukung (bersifat kondusif) terhadap
terjadinya optimalisasi dan efisiensi antara tingkat produksi dan pemasaran
produk secara berkesinambungan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
4.5.
Pengembangan Pola Kemitraan
Usaha penangkapan ikan,
budidaya laut, budidaya tambak, atau pariwisata bahari yang merupakan komponen kegiatan
utama dalam pola agromarine, dapat meningkatkan kesejahteraan para pelakunya
secara berkesinambungan, jika dilakukan secara profesional dan modern dengan
pendekatan agribisnis terpadu serta mengindahkan aspek kelestarian ekologis.
Sistem usaha semacam ini memerlukan dana yang sangat besar dan sentuhan teknologi
yang memadai. Apalagi
dilaksanakan
di suatu pulau yang kecil dan terpencil, tentu biayanya
akan menjadi sangat mahal.
Dengan kemampuan
ekonomi dan penguasaan teknologi sebagian besar penduduk pulau-pulau kecil yang
masih sangat rendah, maka untuk dapat melakukan sistem usaha agromarine seperti
di atas, mereka memerlukan bantuan dana, teknologi, dan manajemen usaha.
Menurut Dahuri (1998), upaya terobosan, yang secara teoritis, baik untuk
mengatasi permasalahan ini adalah pola kemitraan dalam bentuk sistem PIR
(Perikanan/Pertanian/Perkebunan Inti rakyat). Sayangnya, pelaksanaan sistem PIR
dalam usaha pertanian dan perikanan selama ini banyak dieksploitir oleh para
pemilik perusahaan inti dan merugikan petani/petambak/nelayan plasma. Oleh
karena itu, pola kemitraan dengan pola PIR perlu disempurnakan lagi
pelaksanaannya, dan konsepnya perlu diperbaiki dengan menyertakan para petani/petambak
plasma sebagai pemilik saham bersama perusahaan inti.
5. KESIMPULAN
Potensi sumberdaya pulau-pulau kecil cukup besar, antara
lain sumberdaya alam yang dapat pulih (misalnya ikan, moluska, krustasea,
rumput laut, mangrove, padang lamun,
terumbu karang), dan sumberdaya alam yang tidak dapat pulih (misalnya
minyak bumi dan gas, bijih besi, pasir, timah, dan bahan tambang lain) dan
jasa-jasa lingkungan (misalnya kegiatan wisata laut, perhubungan laut). Di lain
pihak, ekosistem pulau-pulau kecil memiliki karakteristik biofisik yang
spesifik dan menonjol yaitu memiliki sumberdaya air tawar yang sangat terbatas,
karena kemampuan tangkapan air yang rendah, juga peka dan rentan terhadap
berbagai tekanan (stressor) dan pengaruh eksternal baik alami maupun akibat
kegiatan manusia.
Berdasarkan atas potensi sumberdaya dan sifat-sifat
biofisik yang menonjol dan spesifik di atas, maka model pembangunan melalui
pendekatan pola agromarine sangatlah tepat di dalam memberdayakan penduduk
setempat untuk membangun dan memanfaatkan ekosistem sumberdaya pulau-pulau
kecil secara optimal dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan mereka.. Hal ini didasarkan pada konsep pembangunan pola
agromarine yang menitikberatkan pada prinsip pengembangan agribisnis dimana
sumberdaya perikanan sebagai sektor sentral, dengan tetap berasaskan pada
prinsip kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan penerapan tiga
prinsip pembangunan pola agromarine, yaitu: (1) kesesuaian dan daya dukung
lingkungan; (2) pengembangan dan pendekatan usaha (agribisnis) perikanan; dan
(3) pengembangan kemitraan, maka pembangunan pulau-pulau kecil akan berlangsung
secara berkelanjutan, baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial budaya.
Bell, W; P. d’Ayala and P. Hein, ed. 1990. Sustainable
Development and Environmental Management of Small Island. Man and the Biosphere
Series, Volume 5. Unesco and the Parthenon Publishing Group.
Bengen, D.G. 2000. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir,
Sinopsis. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian
Bogor.
Dahuri, R., J. Rais, P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita,
Jakarta.
Dahuri, R. 1998. Pendekatan Ekonomi-Ekologis Pembangunan
Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Kerjasama Departemen Dalam Negeri,
Direktorat Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan – TPSA – BPPT - Coastal
Resources Management Project (CRMP) USAID.
_________. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan untuk
Kesejahteraan Rakyat, Kumpulan Pemikiran Rokhmin Dahuri. Penerbit LISPI
(Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia) Jakarta.
Hein, P.L. 1990. Economic Problems and Prospects of Small
Island in Bell, W.P. d’Ayala and P. Hein (Eds.). 1990. Sustainable Development
and Environmental Management of Small Islands. UNESCO, Paris. P. 35.
Husni, M. 1998. Penataan Ruang Pulau-Pulau Kecil di
Indonesia dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau
Kecil di Indonesia. Kerjasama Departemen Dalam Negeri, Direktorat Pengelolaan
Sumberdaya Lahan dan Kawasan – TPSA – BPPT - Coastal Resources Management
Project (CRMP) USAID.
Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut, Suatu Pendekatan
Ekologis (Marine Biology: An Ecological Approach), Edisi Terjemahan. PT.
Gramedia, Jakarta.
Ongkosongo, O.S.R. 1998. Permasalahan Dalam Pengelolaan
Pulau-Pulau Kecil dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan
Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Kerjasama Departemen Dalam Negeri, Direktorat
Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan – TPSA – BPPT - Coastal Resources
Management Project (CRMP) USAID.
PPP, Dep. Trans. dan PPH (Pusat Penelitian dan
Pengembangan, Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan) dan
LPWP-UNDIP (Laboratorium Pengembangan Wilayah Pantai Universitas Diponegoro).
1995. Pengembangan dan Perumusan Pola Agromarine Pulau Wawonii, Sulawesi
Tenggara, Laporan Akhir.
Sugandhi, A. 1998. Pengelolaan Lingkungan Pulau-Pulau
Kecil dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau
Kecil di Indonesia. Kerjasama Departemen Dalam Negeri, Direktorat Pengelolaan
Sumberdaya Lahan dan Kawasan – TPSA – BPPT - Coastal Resources Management Project
(CRMP) USAID.
WCED (World Commission on Environment and Development),
1988. Hari Depan Kita Bersama (Our Common Future), Edisi Terjemahan. PT.
Gramedia, Jakarta.