Makalah Kelompok V
Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor
April 2001
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir Zahrial Coto
Re-edited 21
July 2001, Rudy C Tarumingkeng, PhD
Oleh:
Yushinta Fujaya (Editor),
Andi Murfi, Endang T. Margawati, Fajar Basuki, Nevy
Diana Hanafi, Ristika Handarini, Rukmiasih, Surya
Natal Tambing, W. Marlene Nalley
TINJAUAN ONTOLOGI TEKNOLOGI REPRODUKSI
Pengertian Teknologi Reproduksi
TINJAUAN EPISTEMOLOGI TEKNOLOGI REPRODUKSI
Dasar Pengembangan Teknologi Reproduksi
TINJAUAN AKSIOLOGI TEKNOLOGI REPRODUKSI
Manfaat dan Kerugian Penerapan Teknologi Reproduksi
Implikasi Theologika, Etika, Legalitas,dan Sosial
Manusia
adalah makhluk yang unik. Ia tahu bahwa ia tahu dan ia
tahu bahwa ia tidak tahu. Ia
mengenal dunia sekelilingnya dan lebih dari itu ia mengenal dirinya sendiri.
Manusia memiliki akal budi, rasa, karsa, dan daya cipta yang digunakan
untuk memahami eksistensinya, dari mana sesungguhnya ia berasal, dimana berada
dan akan kemana perginya. Pertanyaan-pertanyaan selalu muncul, akan tetapi
pertanyaan itu belum pernah berhasil dijawab secara tuntas. Manusia tetap saja
diliputi ketidaktahuan. Demikianlah sesungguhnya
manusia, siapa saja, eksis dalam suasana yang diliputi dengan pertanyaan–pertanyaan.
Manusia eksis di dalam dan pada dunia filsafat dan filsafat hidup subur
di dalam aktualisasi manusia.
Berdasarkan rasa, karsa dan daya cipta yang dimilikinya manusia
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Namun, perkembangan
teknologi yang luar biasa menyebabkan manusia “lupa diri”.
Manusia menjadi individual, egoistik dan eksploitatif, baik terhadap diri
sendiri, sesamanya, masyarakatnya, alam lingkungannya, bahkan terhadap Tuhan
Sang Penciptanya sendiri. Karena
itulah filsafat ilmu pengetahuan dihadirkan ditengah-tengah keaneka ragaman
IPTEK untuk meluruskan jalan dan menepatkan
fungsinya bagi hidup dan kehidupan manusia di dunia ini.
Salah satu bidang IPTEK yang berkembang pesat dewasa ini adalah teknologi
reproduksi. Cabang ilmu ini mengalami kemajuan pesat dan secara dinamis
melahirkan paradigma baru dalam dunia ilmu pengetahuan. Sejarah telah
membuktikan, teknologi reproduksi telah mengubah wajah peradaban, yakni dimulai
dari diterapkannya inseminasi buatan, super ovulasi sampai aplikasi teknik bayi
tabung, bahkan kloning pada manusia sudah mulai dirambah.
Dalam
tulisan ini akan diuraikan bagaimana cabang ilmu teknologi reproduksi dapat
mengubah tatanan sosial masyarakat ditinjau dari fisafat ilmu pengetahuan.
Secara ontologi kajian ini akan membahas apa dan bagaimana teknologi
reproduksi manusia. Selanjutnya secara epistemologi akan dibahas tentang
metode atau proses yang digunakan dalam pengembangan bioteknologi reproduksi
manusia yang bertumpu pada interdisipliner ilmu. Dan yang terakhir tinjauan aksiologi,
yaitu manfaat bioteknologi reproduksi bagi kesejahteraan dan kebahagian seluruh
umat manusia.
Istilah ontologi berasal dari bahasa yunani yakni ta onta
dan logi. Ta onta berarti berada dan logi berarti ilmu
pengetahuan atau ajaran, sehingga ontologi dapat diartikan sebagai ilmu
yang mengkaji tentang keberadaan suatu obyek. Dalam tulisan ini teknologi
reproduksi manusia ditempatkan sebagai objek yang akan dikaji.
Teknologi reproduksi adalah ilmu reproduksi atau ilmu tentang
perkembangbiakan yang menggunakan peralatan serta prosedur tertentu untuk
menghasilkan suatu produk (keturunan). Teknologi
reproduksi yang telah banyak dikembangkan meliputi inseminasi buatan, perlakuan
hormonal, donor sel telur dan sel sperma, kultur telur dan embrio, pembekuan
sperma dan embrio, GIFT (gamet intrafallopian transfer), ZIFT (zygote
intrafallopian transfer), IVF (in vitro fertilization),
partenogenesis dan kloning. Dalam tulisan ini teknologi reproduksi yang akan
dikaji adalah teknik in vitro fertilisasi dan kloning.
Bayi tabung merupakan salah satu produk teknologi reproduksi yang
dihasilkan baik melalui teknik fertilisasi in vitro maupun kloning.
Fertilisasi in vitro adalah
proses pembuahan yang dilakukan diluar tubuh manusia (di dalam cawan petri),
sedangkan teknik kloning adalah produksi
sejumlah individu yang secara genetik identik melalui proses seksual apabila
melalui fertilisasi dan aseksual apabila menggunakan sel somatis.
Baik pada fertilisasi in vitro maupun kloning, embrio yang dihasilkan
“dititipkan“ kembali kembali ke dalam rahim seorang wanita, baik yang ada
hubungan darah maupun yang tidak. Melalui teknologi in vitro, analisis kromosom
dari embrio yang memiliki resiko kelainan genetik dapat dilakukan sebelum dikembalikan kedalam rahim.
Louis Brown adalah bayi tabung pertama yang dilahirkan pada tahun 1978,
merupakan kreasi dari Edward and Steptoe (Dawson, 1993; Gordon, 1994).
Pada
Kongres Fertilisasi In Vitro dan Genetika Reproduksi Manusia se Dunia Ke 11 di
Sydney, tanggal 9–14 Mei 1999, Kwa Yung Cha dkk, mengungkapkan keberhasilan
teknik maturasi in vitro pada 33 wanita fertil yang mengalami kelainan PCO (polycystic
ovarian syndrome), 20 diantaranya berhasil melahirkan bayi (Kompas, 6 Juni
1999). Di Indonesia, meskipun program bayi tabung dimulai sejak tahun 1988 di RS
Harapan Kita, Jakarta, namun baru pada tahun 1997 RSUP Dr Sardjito Yogyakarta
berhasil mengembangkan program ini hingga melahirkan tiga bayi kembar (Kompas, 3
Maret 2001). Di Amerika Serikat, Adam adalah bayi tabung yang khusus diprogram
untuk menyelamatkan kakaknya dan berhasil.
Epistemologi
berasal dari kata episteme
yang berarti “pengetahuan” dan logos yang berarti “teori”. Jadi
epistemologi dapat diartikan sebagai teori pengetahuan. Dalam ilmu filsafat,
epistemologi dikategorikan sebagai cabang ilmu yang mempelajari asal mula
pengetahuan, struktur, metode dan validitas pengetahuan (Nasoetion, 1999; Keraf
dan Dua, 2001; Thoyibi, 1999; Mandey, 2000). Dalam tulisan ini dasar
pengembangan teknologi reproduksi dan fertilisasi in vitro yang merupakan metode
utama untuk menghasilkan bayi tabung diulas sebagai tinjauan epistemologi.
Reproduksi
pada manusia diawali dengan pertemuan antara
sel sperma dan sel telur di dalam organ reproduksi (tuba fallopi)
seorang wanita. Penyatuan ini menghasilkan zigot yang akan berkembang menjadi
embrio dan selanjutnya berkembang
menjadi janin. Setelah kurang lebih 36 minggu berkembang dalam rahim ibu
lahirlah seorang bayi.
Tidak semua pasangan dapat melakukan proses reproduksi secara normal.
Sebagian kecil diantaranya memiliki berbagai kendala yang tidak memungkinkan
mereka memiliki keturunan. Pada wanita, kendala ini dapat berupa sistik ovari, hipofungsi ovarium, gangguan pada saluran
reproduksi dan rendahnya kadar hormon progesteron. Sedangkan pada pria, berupa
abnormalitas spermatozoa, kriptorkhid, azoospermia, necrospermia dan rendahnya
kadar testosteron. Kendala ini merupakan tantangan bagi para ahli yang
berkecimpung dalam bidang medis khususnya reproduksi. Mereka terus memikirkan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat membantu pasangan ini keluar dari kesulitan,
dengan dasar Ilmu Reproduksi dikembangkanlah teknik fertilisasi in vitro dan
kloning.
Fertilisasi in vitro dilakukan dengan mengikuti beberapa tahap
pendahuluan, yakni sel sperma dan sel telur dikoleksi dari pasangan yang ingin
mengikuti program bayi tabung. Sel
sperma dan sel telur dievaluasi kualitasnya dan hanya sel sperma dan sel telur
yang berkualitas digunakan untuk fertilisasi. Fertilisasi dilakukan di dalam
cawan petri yang mengandung media sesuai dengan kondisi in vivo, kemudian
disimpan dalam inkubator sampai embrio
berkembang. Embrio yang berkembang
dengan kualitas excellent dipilih untuk ditransfer ke dalam rahim donor (mother
hoster). Selanjutnya embrio
dipelihara dalam rahim donor sampai dilahirkan.
Dalam perkembangan teknik ini, sel sperma atau sel telur tidak hanya diperoleh dari pasangan yang menikah tetapi juga dapat diperoleh dari bank sperma atau pendonor sperma/sel telur. Disamping itu, embrio yang dihasilkan tidak hanya ditransfer kembali ke rahim ibunya tetapi dapat juga kerahim wanita lain. Contoh kasus seorang wanita post menopausal berusia 59 tahun berhasil melahirkan anak kembar pada tahun 1993 (Squier, 1994). Ilustrasi metode fertilisasi in vitro ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar
1. Ilustrasi fertilisasi in vitro
Kloning adalah upaya untuk memproduksi sejumlah individu yang secara
genetik identik. Metode ini dapat
dilakukan melalui proses sexual dengan fertilisasi in vitro dan aseksual dengan
menggunakan sel somatis sebagai sumber gen (Gambar2). Pada kloning seksual, langkah awal yang dilakukan adalah
fertilisasi in vitro. Setelah
embrio terbentuk dan berkembang mencapai 4 sampai 8 sel maka dilakukan splitting
(pemotongan dengan teknik mikromanipulasi) menjadi dua atau empat bagian.
Bagian-bagian embrio ini dapat ditumbuhkan kembali
dalam inkubator hingga berkembang menjadi
embrio normal yang memiliki genetik sama.
Setelah mencapai fase blastosis, embrio tersebut ditransfer kembali ke
dalam rahim ibu sampai umur 9 bulan. Berbeda
dengan kloning seksual, pada kloning aseksual, fertilisasi tidak dilakukan
menggunakan sperma, melainkan hanya sebuah
sel telur terfertilisasi semu yang dikeluarkan pronukleusnya dan sel
somatis. Karenanya, bila pada
kloning seksual, genetik anak berasal dari kedua orang tuanya, maka pada kloning
aseksual, genetik anak sama dengan genetik penyumbang sel somatis.
Aksiologi adalah ilmu yang mempertanyakan nilai suatu obyek yang akan
dikaji. Karena itu dalam tulisan
ini diuraikan tentang manfaat dan kontroversi yang ditimbulkan oleh penerapan
teknologi reproduksi pada manusia.
Manfaat
teknologi reproduksi
terutama dirasakan oleh pasangan-pasangan infertil atau orang-orang yang
memiliki masalah kesehatan. Dapat dibayangkan bagaimana kebahagiaan pasangan
suami isteri yang sudah puluhan tahun tidak dikaruniai anak dan oleh bantuan
teknik bayi tabung, mereka dapat memilikinya.
Pasangan suami isteri Yamsun (34) dan Ida Rahmawati (31) telah merasakan
manfaatnya. Pasangan Yansum dan Ida
telah berhasil mendapatkan 3 bayi hasil fertilisasi in vitro yang dilakukan di
RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. Mereka langsung mengucapkan syukur pada Tuhan
karena karunia ketiga bayi tabung tersebut dan ketiga anaknya itu
diberi nama Rahmat Dani Yamsun, Rahma Dana Yamsun dan Rahma Dini Yamsun (Kompas,
3 Maret 2001).
Gambar
2. Ilustrasi Metode Kloning, (A Kloning seksual, (B) Kloning
aseksual.
Selain
untuk memperoleh keturunan, alasan kesehatan juga merupakan fokus utama
penerapan teknologi reproduksi. Sebagai
contoh, pasangan Jack dan Lisa Nash
melakukan program bayi tabung dengan alasan kesehatan.
Jack dan Lisa, warga Englewood, Colorado, Amerika Serikat, dalam rubrik
kesehatan majalah Gatra 14 Oktober 2000 melaporkan bahwa lewat program bayi
tabung yang mereka lakukan lahirlah Adam. Adam dengan sengaja diprogramkan untuk
menolong kakaknya, Molly (6 tahun) yang menderita penyakit fanconi anemia,
suatu penyakit yang disebabkan tidak berfungsinya sumsum tulang belakang yang
memproduksi darah. Bila dibiarkan, penyakit
ini akan menjurus pada leukemia atau kanker darah. Pada program ini darah
Adam disuntikkan ke tubuh Molly dan ternyata tidak menimbulkan penolakan
atau komplikasi. “Ini pengalaman yang sangat monumental dalam hidup
kami” ujar Lisa (Washington Post dalam Gatra 14 Oktober 2000).
Tidak
seperti pada fertilisasi in vitro, kloning pada manusia baru akan dimulai,
sehingga secara aktual manfaat dan kerugiannya belum dirasakan.
Namun, beberapa ahli percaya bahwa kloning embrio dan DNA manusia dewasa
dapat memberikan beberapa keuntungan, yakni dapat menolong: 1) wanita yang
kurang subur. Bila dia hanya
dapat memproduksi 1 sel telur, maka dengan teknik kloning embrio yang dihasilkan
oleh satu sel telur tersebut dapat diduplikasi, misalnya menjadi
8 embrio untuk diimplantasikan. Dengan
demikian, peluang untuk menjadi hamil lebih besar.
2) Orang tua yang diketahui memiliki kelainan genetik yang dapat
diturunkan pada anaknya. Dengan
teknik kloning, telur terbuahi dapat diduplikasi dan dievaluasi genetiknya.
Hanya klon yang bebas dari kelainan genetik yang diimplantasikan ke rahim
ibunya. Dan 3) Juga
dikembangkan untuk menghasilkan individu dengan bakat atau kelebihan tertentu.
Misalnya, kloning DNA dari keluarga yang memiliki kemampuan musikal
dilakukan untuk menghasilkan anak yang memiliki potensi serupa.
Disamping
manfaat yang diberikan oleh teknologi ini,kerugian juga terjadi.
Dengan kloning maka: 1) Keragaman populasi
akan hilang, akibatnya setiap orang memiliki respon yang sama.
Tentulah hidup ini akan membosankan.
2) Bila manusia secara genetik
sama maka terdapat resiko besardaripatogen tunggal.
Penyakit yang fatal dapat memusnahkan
semuanya. 3) Kloning dianggap tidak
etis, tidak manusiawi dan tidak bermoral.
Sejak
kelahiran Louis Brown pada tahun 1978, perdebatan mengenai boleh tidaknya in
vitro fertilisasi dilakukan pada manusia mulai hangat dibicarakan. Perdebatan
ini terfokus pada implikasi theologika, etika, legalitas dan sosial, baik
menyangkut prosedur maupun produk yang dihasilkan.
Dimensi
theologika
penerapan teknologi reproduksi di tanggapi secara beragam.
Sebagian kelompok agamawan menolak fertilisasi in vitro pada manusia
karena mereka meyakini bahwa kegiatan tersebut sama artinya mempermainkan Tuhan
yang merupakan Sang Pencipta. Juga
banyak kalangan menganggap bahwa pengklonan manusia secara utuh tidak bisa
dilakukan sebab ini dapat dianggap sebagai “intervensi” karya Ilahi.
Sebaliknya,
Sheikh Mohammad Hussein Fadlallah, seorang pemandu spiritual muslim
fundamentalis dari Lebanon berpendapat, adalah salah jika menganggap kloning
adalah suatu intervensi karya Ilahi. Peneliti
dianggapnya tidak menciptakan sesuatu yang baru.
Mereka hanya menemukan suatu hukum yang baru bagi ormanisme, sama seperti
ketika mereka menemukan fertilisasi in vitro dan transplantasi organ (http://www.religioustolerance-.org/-clo_reac.htm).
Professor
Abdulaziz Sachedina dari Universitas Virginia mengemukakan bahwa Allah adalah
kreator terbaik. Manusia dapat saja
melakukan intervensi dalam pekerjaan alami, termasuk pada awal perkembangan
embrio untuk meningkatkan kesehatan
atau embrio splitting untuk meningkatkan peluang terjadinya kehamilan, namun
perlu diingat, Allahlah Sang pemberi hidup (Sachedina, 2001).
Dimensi
etika
dari isu ini terutama terpusat pada pertanyaan mengenai cara atau prosedur
penerapan teknologi reproduksi. Sebagian
masyarakat menolak dengan alasan moral.
Penolakan ini timbul karena dalam program bayi tabung, proses pembuahan
dilakukan pada cawan petri sehingga hanya embrio yang diperlukan dimasukkan
kembali ke dalam rahim, sisanya “dibuang”. Hak hidup embrio yang dibuang
inilah yang dipermasalahkan. Banyak kalangan memandang tindakan itu sebagai
pembunuhan.
Hubungan
fundamental antar manusia, hubungan laki-laki dan perempuan dan kasih sayang,
dipertanyakan eksistensinya bila melakukan fertilisasi in vitro.
Hal ini menjadi lebih buruk bila sel telur dibuahi oleh sperma yang bukan
dari suami yang sah, misalnya dari bank sperma, atau sebaliknya dari pendonor
telur. Apabila embrio berasal dari
penyatuan benih pasangan suami istri yang sah, namun istri tidak bisa memelihara
embrio dan terpaksa dititipkan ke mother hoster maka dari sudut hukum
islam keadaan demikian tidak diperbolehkan karena ada kemungkinan si mother
hoster menerima sperma dari suaminya sendiri, dengan demikian jaminan
nasabnya (keutuhan keturunannya) diragukan (Hadipermono, 1995).
Legalitas
penerapan teknologi ini didasarkan pada berbagai pendapat yang pro dan kontra.
Pertentangan ini mengundang perhatian pemerintah Inggris untuk menengahi
perbedaan pandangan dari kelompok yang pro dan kontra.
Maka disusunlah undang-undang yang mengizinkan penelitian pada embrio
manusia yaitu dapat dilakukan hanya sampai umur 14 hari sesudah fertilisasi.
Menurut Johnson dan Everit, 1985 umur embrio yang mampu implantasi
didalam rahim adalah tahap blastosis atau pada umur 14 – 18 hari setelah
fertilisasi. Karena itu pembuangan
embrio berumur kurang dari 12 hari dipandang tidak mengurangi hak hidup calon
anak.
Disamping
itu, penerapan teknologi ini diizinkan bila dilakukan dengan alasan kesehatan
dan pengobatan, atau untuk meningkatkan nilai genetik sehingga menghasilkan
manusia
yang lebih berkualitas. Dan yang
lebih penting lagidilakukan oleh pasangan yang sah. Hal ini dikemukakan oleh
sebagian pakar agama, baik dari
Islam, Kristen, maupun Yahudi (http://www.religioustolerance-.org/-clo_reac.htm).
Sebagiannya lagi mengemukakan bahwa tidak ada alasan kloning pada manusia
dilakukan, mereka menganggap perlakuan itu dari segala sisi adalah tidak etis,
tidak manusiawi dan tidak bermoral (http://www.islamonline.net/iol-english/dowalia/techng-15-10/techng1b.asp).
Disamping
berbagai manfaat, teknologi ini juga menimbulkan berbagai dampak sosial
dalam masyarakat. Masalah
seringkali muncul setelah bayi produk teknologi ini lahir. Posisi si anak
menjadi simpang siur dalam tatanan kemasyarakatan, terutama bila sperma yang
digunakan berasal dari bank sperma atau sel telur yang digunakan berasal dari
pendonor. Akibatnya silsilah anak tersebut menjadi tidak jelas.
Akibatnya, dikemudian hari dapat saja terjadi perkawinan antar kelaurga
dekat tanpa disengaja, misalnya antara anak dengan bapak atau dengan ibu atau
antar saudara. Maka besar
kemungkinan akan lahir generasi-generasi cacat akibat inbreeding.
Masalah
lain yang ditimbulkan oleh teknologi ini adalah perebutan bayi. Mungkin kita
masih mengingat kasus yang menimpa pasangan suami isteri yang menitipkan
embrionya dalam rahim mother hoster. Setelah sekitar 36 minggu mengandung
dan akhirnya melahirkan bayi titipan tersebut, si mother hoster mengklaim
bayi tersebut miliknya, dan tidak bersedia mengembalikannya pada ayah dan ibu
biologisnya.
Berdasarkan tinjauan ontologi, epistemologi dan aksiologi maka dapat disimpulkan bahwa:
Perkembangan teknologi reproduksi (fertilisasi in vitro dan kloning) tidak dapat dielakkan,
IPTEK seringkali berbenturan dengan nilai kemanusiaan,
Pro dan kontra terhadap penerapan teknologi reproduksi dipengaruhi oleh kepentingan masing-masing pihak dan kualitas keimanan seseorang, dan
Karena penerapan
teknologi ini maka perubahan paradigma dalam masyarakat tidak dapat dihindari.
Dawson,
K. 1993. Ethical Aspects of IVF and Human Embryo Research. in Hand Book
of Invitro Fertilization. A Trounson and D.K. Gartnerd (Eds). CRC Press. Florida
Human
Cloning: Comments by political groups, religious authorities, and individuals.
2001. http://www.religious-tolerance.org/clo_reac.htm.
dl.15.03.01.
Kelana,
A. dan I.A.Asmanto. 2000.
Diselamatkan Bayi Tabung. Dalam Rubrik Kesehatan, Gatra 14 Oktober 2000.
Gordon,
I. 1994. Laboratory Production of Cattle Embryos Department of Animal Science
and Production. University College Dublin. Ireland. CAB International. pp 1-29.
Hadipermono,
S. 1995. Bayi Tabung dan Rekayasa Genetika dalam Pandangan Islam. Wali Demak
Press. Surabaya.
Johnson,
M.H; Everitt, B. J. 1995.
Essential Reproduction. Blackwell
Science.
Keraf,
A.S. dan M.Dua. 2001. Ilmu
Pengetahuan; Sebuah Tinjauan Fisolofis. Penerbit Kanisius. p: 158.
Kompas. 6 Juni 1999. Cakrawala Baru Bayi Tabung http://www.kompas
.com/kompas-cetak/9906/06/iptek/cakr04.htm. dl: 17.03.01, 18.30 wib.
Kompas.
3 Maret 2001. RSUP Dr Sardjito Kembangkan Program Bayi Tabung Kembar Tiga. http://www.kompas
.com/kompas-cetak/0103/03/ iptek/rsup10.htm. dl: 17.03.01, 18.15 wib
Mandey,
C.F.T. 2000. Pengetahuan.
http://www.sulutlink.com/termpaper3.htm.
dl.05.03.01, 21.35 wib
Nasoetion,
A.H. 1999. Pengantar
ke Filsafat Sains. Litera AntarNusa.
Jakarta.
Nawash, A. 2001. Cloning: Friend or Foe. (http://www.islamonline.net/iol-english/dowalia/techng-15-10/techng1b.asp). dl.06/04/01
Sachedina,
A., 2001. Islamic Perspectives on
Cloning. http://www.people.virginia.edu/~aas/issues/cloning.htm.
dl. 30.03.01.
Squier,
S.M. 1994. Babies in
Bottles; Twentieth-Century Visions of Reproductive Technology. Rutgers University
Thoyibi,
M. 1999.
Filsafat Ilmu dan Perkembangannya. Mohammadiyah
University Press. Surakarta. p:105