Revised 30 June 2001

   

Copyright ©  2001  Program Pasca Sarjana IPB
Re-edited 21 July 2001, Rudy C Tarumingkeng, PhD

 

Makalah Kelompok IV

Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana

Institut Pertanian Bogor

Maret 2001

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

 

 

PENGELOLAAN TERUMBU KARANG
SECARA BERKELANJUTAN  

Oleh:

Alexander Soselisa, (Editor)Joko Hartadi (Ketua), Rudianto, Tubagus Rismunandar, Hery Edy, Iskandar, Suzy Anna, Siti Zubaidah, Erna Rochana, Robert J. Rompas, Viv Djanat Prasita, Abdul Rauf, Taufik Hasbullah dan Muh. Yusuf.

 

 

 

1. PENDAHULUAN

 

Lautan dengan segala potensinya adalah anugerah Tuhan yang tiada terhingga. Tidak mungkin diciptakan-Nya jika hanya hadir dengan sia-sia. Maka, sebagai bagian dari rasa syukur atas kebesaran dan kemahakuasaannya kita wajib menjaga dan memanfaatkan lautan dengan segala potensinya dengan bijaksana.

Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri atas 17.508 pulau dengan panjang garis pantai 81.791 km, memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, ikan, mamalia, reptilia, krustasea dan berbagai jenis moluska. Sumberdaya alam laut tersebut merupakan salah satu modal dasar yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan nasional.

Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas daerah tropis, memiliki produktifitas  tinggi - kaya akan keanekaragaman spesies biota penghuninya. Luas terumbu karang Indonesia saat ini adalah 42.000 km2 atau 16,5 % dari luasan terumbu karang dunia, yaitu seluas 255.300 km2. Dengan estimasi di atas, Indonesia menduduki peringkat terluas ke-2 di Dunia setelah Australia, yang mempunyai luasan terumbu karang sebesar 48.000 km2. (Bryant, et.al, 1988).

Fungsi terumbu karang bagi komunitas ikan dan berbagai biota laut adalah sebagai tempat untuk mencari makan (feeding ground), tempat asuhan (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), serta sebagai tempat perlindungan dan penyamaran. Secara ekologis, terumbu karang juga berperan melindungi komponen-komponen ekosistem pesisir dan laut lainnya dari tekanan gelombang dan badai. Di samping itu terumbu karang berfungsi sebagai obyek wisata yang menarik.

Saat ini keadaan terumbu karang di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan laporan Moosa et al. (1996) persentase penutupan karang hidup yang masih berada dalam kondisi sangat baik hanya tinggal 6,2 % ; dalam kondisi rusak 41,78 % ; dalam kondisi sedang 28,30 % ; dalam kondisi baik 23,72 %.

Penyebab rusaknya habitat terumbu karang di Indonesia tidak lain karena terkait dengan pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia itu sendiri terutama disebabkan oleh kegiatan penangkapan ikan di daerah terumbu dengan menggunakan metoda yang destruktif seperti dinamit atau bom ; penambangan karang oleh nelayan – masyarakat untuk penggunaan bahan bangunan ; polusi laut ; sedimentasi ; lego jangkar dari berbagai kapal besar dan kecil ; degradasi habitat pesisir.

Mencermati berbagai aktivitas manusia seperti dijelaskan di atas maka sudah seyogyanya difikirkan bagaimana menghindari atau paling tidak mengurangi berbagai tekanan fisik maupun nonfisik terumbu karang dengan menerapkan konsep pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan. Konsep ini mengandung pengertian bahwa pemanfaatan terumbu karang saat ini harus memperhatikan aspek konservasi sehingga secara fungsional dapat dimanfaatkan pada waktu-waktu mendatang.

Tulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji permasalahan-permasalahan dalam pengelolaan terumbu karang dan strategi – strategi pengelolaan terumbu karang yang berkelanjutan.

 

2. EKOSISTEM TERUMBU KARANG

o   Ekologi Terumbu Karang

Terumbu karang adalah suatu ekosistem di laut tropis yang mempunyai produktivitas tinggi (Sukarno et al., 1986).         Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas di daerah tropis dan sering digunakan untuk menentukan batas lingkungan perairan laut tropis dengan laut sub tropis maupun kutub (Nontji, 1987 dan Nybakken, 1988). Ekosistem ini mempunyai sifat yang menonjol karena produktivitas dan keaneka- ragaman jenis biotanya yang tinggi. Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa besarnya produktivitas yang dimiliki terumbu karang disebabkan oleh adanya pendauran ulang zat-zat hara melalui proses hayati.

Terumbu karang adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat (CaCO3) dan terutama dihasilkan oleh karang (Filum Cnidaria, Kelas Anthozoa, Ordo Madreporaria = Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang dinamis, mengalami perubahan terus menerus dan tidak tahan terhadap gangguan-gangguan alam yang berasal dari luar terumbu.  Beberapa faktor  yang  membatasi  pertumbuhan  karang adalah : cahaya, diperlukan oleh Zooxanthellae  untuk  melakukan    fotosintesis    dalam   jaringan   karang.   Suhu dapat merupakan faktor pembatas yang umum bagi karang. Pertumbuhan karang yang optimum terjadi pada perairan yang rata-rata suhu tahunannya berkisar 23 – 25oC, akan tetapi karang juga dapat mentoleransi suhu pada kisaran 20oC, sampai dengan 36 – 40oC  (Nybakken, 1988).

Sukarno et al., (1983) menyatakan bahwa suhu yang paling baik untuk pertumbuhan karang berkisar antara 25 – 28oC . Pertumbuhan terumbu karang juga dibatasi oleh kedalaman dimana terumbu kebanyakan tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang dan tidak dapat berkembang pada kedalaman 70 m atau lebih. Salinitas perairan dimana terumbu dapat hidup adalah pada kisaran 32 – 35o/oo . Toleransi karang batu terhadap salinitas cukup tinggi yang dapat berkisar antara 27 – 40 o/oo. Selain itu kejernihan air juga penting agar cahaya matahari yang diperlukan oleh Zooxanthellae untuk proses fotosintesis dapat diterima dengan baik. Pergerakan air (arus) diperlukan untuk tersedianya aliran yang membawa masuk makanan dan oksigen serta menghindarkan karang dari pengaruh sedimentasi. Substrat yang keras juga sangat diperlukan oleh karang untuk pelekatan larva planula.

Berdasarkan pertumbuhannya terdapat dua kelompok karang yang berbeda yaitu hermatipik dan ahermatipik. Karang hermatipik dapat menghasilkan terumbu sedangkan ahermatipik tidak. Karang ahermatipik tersebar diseluruh dunia, tapi karang hermatipik hanya ditemukan diwilayah tropik. Perbedaan yang mencolok antara kedua karang ini adalah bahwa didalam jaringan karang hermatipik terdapat sel tumbuhan yang bersimbiosis yang dinamakan Zooxanthellae (Nybakken, 1988).

Karang mempunyai variasi bentuk pertumbuhan individu maupun koloni yang berkaitan erat dengan tata air dan pencahayaan dari sinar matahari pada masing-masing lokasi. Beberapa contoh pertumbuhan biota karang batu menurut Ongkosongo (1988) yaitu (1) Tipe bercabang (branching) yaitu tipe karang yang memiliki cabang dengan ukuran cabang lebih panjang dibandingkan dengan ketebalan atau diameter yang dimilikinya   (2) Tipe padat (massive) yaitu tipe karang yang berbentuk seperti bola, ukurannya bervariasi mulai dari sebesar telur sampai sebesar ukuran rumah. (3) Tipe kerak (encrusting) yaitu tipe karang yang tumbuh menutupi permukaan dasar terumbu atau sering ditemukan merambat diatas permukaan biota karang masif ataupun karang yang sudah mati. (4) Tipe meja (tabulate) yaitu tipe karang yang menyerupai meja dengan permukaan yang lebar dan datar. (5) Tipe daun (Foliose) yaitu tipe karang yang tumbuh dalam bentuk lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar terumbu, dapat berukuran besar dan kecil serta membentuk lipatan yang melingkar dan (6) Tipe jamur (Mushroom) yaitu tipe karang yang berbentuk oval dan tampak seperti jamur.

Selain dari jenis karang batu juga terdapat jenis karang lunak (soft coral) atau dikenal sebagai Alcyonaria merupakan salah satu jenis coelentrata yang tidak kalah penting peranannya dalam pembentukan fisik terumbu karang. Tubuh Alcyonaria lembek tetapi disokong oleh sejumlah besar duri-duri yang kokoh, berukuran kecil dan tersusun sedemikian rupa sehingga tubuh alcyonaria lentur dan tidak mudah putus. Duri–duri ini mengandung kalsium karbonat yang disebut spikula (Manuputty, 1986). Secara umum terlihat jelas adanya perbedaan antara karang lunak dan karang batu, terutama pada jumlah tentakel, kekenyalan tubuh dan kerangka yang menyusunnya. Tentakel karang lunak berjumlah delapan buah dan dilengkapi dengan duri-duri (pinnula), sedang karang batu memiliki tentakel yang berjumlah enam atau kelipatan enam dan tidak berduri.

Karang lunak mudah dikenali karena tekstur tubuhnya yang lunak dan tertanam dalam massa gelatin. Pada karang batu tekstur tubuhnya keras karena terlindung dalam kerangka kapur yang radial. Kerangka tubuh karang lunak bersifat endoskeleton dan tidak menghasilkan kerangka kapur yang radial tetapi dalam bentuk spikula yang terpisah-pisah dan berkapur. Karang batu menghasilkan kerangka kapur yang radial dalam bentuk keristal aroganit dan bersifat eksoskeleton. Tetapi dalam hal fisiologinya terutama mekanisme pengaturan organ-organ dalam untuk mengambil makanan dari luar, dan mengeluarkan zat-zat yang tidak terpakai keluar tubuhnya, serta pada proses respirasi pada prinsipnya sama dengan karang batu (Manuputty, 1986).

Karang sebagai komponen terumbu karang memiliki kecepatan tumbuh yang sangat lambat. Oleh karena itu jika suatu area terumbu mengalami kerusakan maka akan membutuhkan waktu yang lama agar dapat pulih kembali seperti keadaan semula. Menurut Suhasono (1986) menggolongkan kedalam tiga bagian penyebab kerusakan terumbu karang : (1) kerusakan karang oleh sebab-sebab biologis seperti adanya kompetisi, predasi, ledakan populasi fitoplankton. (2) kerusakan karang oleh sebab-sebab mekanis, misalnya adanya arus yang kuat sedimentasi, aktivitas vulkanik, perubahan temperatur dan salinitas, serta penetrasi sinar matahari. (3) kerusakan karang karena aktivitas manusia seperti pencemaran minyak, bahan kimia, pengambilan karang untuk keperluan industri, bangunan, pemboman, koleksi biota laut dan lain-lainnya.  

           

o   Fungsi Terumbu Karang

 

                                         

o    Zonasi Terumbu Karang

Menurut Bhatt (1978), terumbu karang merupakan komunitas organisme yang telah terorganisasi. Karakteristik terumbu karang mengalami perubahan dari arah pantai, dimana perubahan tersebut terbagi menjadi 4 zonasi, yaitu Zona belakang (back reef), Zona rataan terumbu (reef flat), Zona penopang (buffer zone) dan zona depan terumbu (fore reef).

Menurut Mapstone (1990) paparan terumbu karang di perairan dangkal di bagi menjadi 4 kelompok (Gambar 1) yaitu :

1.      Terumbu datar ialah paparan terumbu yang langsung menyatu dengan daratan.

2.      Puncak terumbu ialah paparan terumbu di antara terumbu datar dan lereng terumbu. Bagian ini merupakan puncak dari paparan terumbu karang.

3.      Lereng terumbu ialah paparan terumbu sesudah terumbu datar yang miring kearah perairan yang lebih dalam, mulai dari kedalaman 5 hingga 15 meter.

4.      Pangkal terumbu ialah paparan terumbu sesudah lereng terumbu dan tidak terlalu miring bahkan cenderung mendatar.

 

 

Banyak jenis karang yang hidup dilereng terumbu, pada daerah ini seluruh koloni karang akan terendam air pada saat pasang naik. Jika tingkat pasang surut menurun maka sebagian koloni karang (terutama Porites ) tidak terendam air, tetapi adanya gelombang yang pecah dipuncak terumbu menyebabkan koloni karang akan tetap terkena air laut (Mapstone, 1990).

 

o     Kerusakan Terumbu Karang  

Karang sebagai komponen terumbu karang memiliki kecepatan tumbuh yang sangat lambat. Oleh karena itu jika suatu area terumbu mengalami kerusakan maka akan membutuhkan waktu yang lama agar dapat pulih kembali seperti keadaan semula. Suharsono (1986) menggolongkan penyebab kerusakan terumbu karang kedalam tiga bagian : (1) kerusakan karang oleh sebab-sebab biologis seperti adanya kompetisi, predasi, ledakan populasi fitoplankton. (2) kerusakan karang oleh sebab-sebab mekanis, misalnya adanya arus yang kuat sedimentasi, aktivitas vulkanik, perubahan temperatur dan salinitas, serta penetrasi sinar matahari. (3) kerusakan karang karena aktivitas manusia seperti pencemaran minyak, bahan kimia, pengambilan karang untuk keperluan industri, bangunan, pemboman, koleksi biota laut dan lain-lainnya.

Beberapa penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang dapat  dikatagorikan sebagai berikut (Dahuri, et al., 1996) :

 

Ř      Pengaruh fisik

Aktivitas manusia disektor perikanan laut, pariwisata dan perhubungan laut merupakan penyumbang terbesar untuk kerusakan ekosistem terumbu karang. Menurut Berwick (1983) dalam Dahuri, et al., (1996) terdapat beberapa aktivitas manusia yang berdampak terhadap ekosisitem terumbu karang   (Tabel  1)

 

Tabel  1       Aktivitas Manusia Yang Berdampak Terhadap Ekosistem Terumbu Karang  (Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996).

         Kegiatan

Dampak Potensial

Penambangan karang dengan atau tanpa bahan peledak

¨       Perusakan habitat, bila menggunakan bahan peledak dapat menimbulkan kematian massal ekosistem terumbu karang

Kepariwisataan

¨       Pencemaran limbah manusia dari hotel, karena limbah tidak diolah secara memadai sebelum dibuang ke perairan lokasi terumbu karang, berakibat terjadinya eutrofikasi dan menyebabkan perairan menjadi subur sehingga perairan menjadi keruh

¨       Kerusakan fisik fisik terumbu karang akibat buangan jangkar kapal

¨       Pengambilan karang oleh pengunjung

¨       Rusaknya terumbu karang disebabkan oleh penyelam

Penangkapan ikan hias dengan menggunakan kalium sianida (KCN)

¨       Menyebabkan kematian karang dan avertebrata lainnya

 

 

 

 

Ř      Pengaruh Biologi

Predator yang mampu merusak koloni karang dan memodifikasi struktur terumbu karang adalah bintang laut bulu seribu Acanthaster planci. Acanthaster planci  dalah     bintang    laut    bertangan    banyak  berukuran besar, yang memakan jaringan karang hidup (Nybakken, 1992). Porter (1972) dalam Nybakken (1992) mengatakan bintang laut ini mempunyai pilihan makanan yaitu spesies karang yang tumbuh    cepat     dan     menguasai    tempat.    Nishishira   dan   Yamazato    (1972)  dalam Piyakornchana (1981) mengemukakan bahwa Acanthaster planci lebih suka melekat pada karang batu jenis Acropora dan Pocillopora dibandingkan jenis lainnya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa hampir di semua tempat yang diamati, Acanthaster planci banyak memakan Acropora ceralis dan Acropora fomosa. Namun demikian, (Glynn, 1976) mengemukakan bahwa karang batu  Pocillopora lebih bisa bertahan dari serangan Acanthaster planci karena bersimbiose dengan Crustacea dan Polychaeta yang menyelamatkan koloni karang ini. Secara selektif, Acanthaster planci melakukan pengurangan atau pemindahan karang yang tumbuh cepat, dan meningkatkan penyebaran karang, serta menolong spesies yang tumbuh lambat agar dapat terjamin kelangsungan hidupnya. Meningkatnya populasi bintang laut ini di duga erat dengan peningkatan unsur hara yang ada di perairan dan berkurang atau hilangnya predator alami dari Acanthaster planci yaitu triton terompet (Charonia tritonis).   

Ř      Pengaruh Alam

Berbagai fenomena alam merupakan pemicu terjadinya kematian karang secara massal, salah satunya melalui proses pemutihan karang (coral bleaching) Proses pemutihan akhir-akhir ini banyak terjadi di perairan yang suhunya meningkat dan menyimpang dari suhu rata-rata musim panas. Kasus pemutihan menurut Wells dan Hanna (1992), dapat terjadi karena adanya penurunan suhu secara drastis (adanya front, up welling, dll), surut terendah yang mengakibatkan karang berada pada udara terbuka terlalu lama, pengaruh air tawar misalnya terjadi hujan lebat, tingginya intensitas matahari yang mengakibatkan radiasi sinar ultra violet meningkat serta polusi perairan.

Wells dan Hanna  (1992),  menyatakan bahwa pemutihan karang disebabkan karena pigmen dalam zooxanthellae berkurang atau bahkan hilang sama sekali dan atau berkurangnya jumlah zooxanthellae di dalam sel binatang karang. Jika karang kehilangan seluruh zooxanthellaenya maka kerangka karang yang umumnya coklat akan berubah menjadi putih. Jika beberapa zooxanthellae dapat bertahan dipolipnya maka karang akan kembali ke kondisi normal dalam beberapa bulan, tetapi jika pemutihan yang terjadi cukup berat maka koloni karang akan mati. Beberapa biota lain yang memiliki Zooxanthellae seperti bunga karang (sponge), akar bahar (gorgonian) dan anemone akan mengalami pemutihan juga.

Salah satu penyebab terjadinya pemutihan secara besar-besaran adalah fenomena El-Nino. Fenomena Elnino adalah peristiwa terjadinya perubahan pola pergerakan air di Pasifik, biasanya terjadi 3 hingga 5 tahun sekali. Pada kondisi normal angin bertiup dari arah timur dan air dingin menyebar kearah barat menuju Pasifik dari pesisir Amerika Selatan. Selama terjadi fenomena El-Nino arah angin berubah, angin di wilayah tropis Pasifik bertiup dari arah barat dan penyebaran air dingin berubah menjadi hangat (Wells dan Hanna, 1992). 

 

3. PERMASALAHAN TERUMBU KARANG

Secara umum terjadinya kerusakan (degradasi) terumbu karang ditimbulkan oleh dua penyebab utama, yaitu akibat kegiatan manusia (anthrophogenic causes) dan akibat alam (natural causes). Kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya degradasi terumbu karang antara lain : (1) Penambangan dan pengambilan karang, (2) Penangkapan ikan dengan menggunakan alat dan metode yang merusak, (3) Penangkapan yang berlebih, (4) Pencemaran perairan, (5) Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir, dan (6) Kegiatan pembangunan di wilayah hulu.

Sedangkan degradasi terumbu karang yang diakibatkan oleh alam antara lain : pemanasan gelobal (global warming), bencana lam seperti angin taufan, gempa tektonik, banjir dan tsunami serta fenomena alam lainnya seperti El-Nino, La-Nina dan lain sebagainya.

Selain kedua pengaruh tersebut, penyebab terjadinya degradasi terumbu karang juga sangat ditentukan oleh faktor-faktor yang lain seperti : (1)  inkonsistensi dalam implementasi kebijakan yang ada; (2) metode pengelolaan yang kurang memadai; (3) instrumen hukum dan penegakan peraturan perundangan yang belum memadai; (4) kurangnya kesadaran dan pengetahuan tentang arti penting dan nilai strategis terumbu karang dari berbagai kalangan (elit politik, pengusaha, publik); (5) kemiskinan; (6) keserakahan; (7) kapasitas dan kapabilitas pengelolai yang memadai; (8) permintaan pasar / tingkah laku konsumen; (9) faktor budaya / adat istiadat / kebiasaan; serta (10) status wilayah terumbu karang yang terbuka untuk umum.

 

4. PENGELOLAAN TERUMBU KARANG BERKELANJUTAN

o     Pendekatan yang digunakan.

Secara ekologis, terumbu karang mempunyai hubungan yang fungsional dengan ekosistem lain di sekitarnya (seperti hutan mangrove dan padang lamun) dan daratan dan laut lepas. Dengan demikian perubahan yang terjadi pada ekosistem lain, cepat atau lambat akan mempengaruhi ekosistem terumbu karang. Demikian pula halnya, jika pengelolaan kegiatan pembangunan (industri, pertanian, pemukiman, dll.) di lahan atas (daratan) maka dampaknya akan dirasakan oleh terumbu karang.

Pendekatan pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan dilakukan secara terpadu (Gambar 2). Ini mengandung pengertian bahwa semua pihak yang berhubungan erat dengan terumbu karang, secara langsung maupun tidak langsung harus dilibatkan dalam proses perencanaan dan pengelolaan.

Keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan terumbu karang mencakup empat aspek, yaitu : (1). Keterpaduan wilayah (ekologis), (2). Keterpaduan sektor, (3). Keterpaduan disiplin ilmu, dan (4). Keterpaduan pemakai (stakeholders).

 

1.   Keterpaduan Wilayah / Ekologis

    Secara ekologis, terumbu karang mempunyai keterkaitan dengan daratan dan lautan serta ekosistem lain, seperti hutan mangrove dan lamun. Hal ini disebabkan karena terumbu karang berada dekat dengan ekosistem tersebut serta daratan dan lautan. Berbagai dampak kegiatan pembangunan yang dilakukan di lahan atas atau di sekitar padang lamun atau hutan mangrove akan menimbulkan dampak pula pada ekosistem terumbu karang. Demikian pula dengan kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti: kegiatan pengeboran minyak lepas pantai, pembuangan limbah dan perhubungan laut.

 

 

                  Gambar 2.  Proses Perencanaan dan Pengelolaan Terumbu Karang
                                 Berkelanjutan (Modifikasi Rochmin Dahuri, dkk., 1996)

 

 2.  Keterpaduan Sektor.

Terumbu karang dimanfaatkan oleh beberapa sektor / pihak untuk memenuhi tujuannya, seperti sektor perikanan, pariwisata, perhubungan, pertambangan, konservasi, swasta dan sipil /masyarakat. Agar pemanfaatan terumbu karang dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan, maka dalam perencanaan pengelolaan harus mengintegrasikan kepentingan semua sektor.  Kegiatan suatu sektor tidak boleh mengganggu, apalagi sampai mematikan sektor lain.

3. Keterpaduan Disiplin Ilmu

Ekositem terumbu karang memiliki karakterristik yang unik. Pada terumbu karang hidup berbagai jenis biota, hewan maupun tumbuhan yang berasosiasi dan berafiliasi dengan lingkungan maupun terumbu karang itu sendiri. Dengan ciri yang demikian disiplin ilmu yang khusus pula seprti oseanografi (fisika,kimia, dan biologi, ekologi, biologi laut dan penginderaan jauh).

4. Keterpaduan Stakeholders

Terumbu karang dimanfaatkan oleh banyak pihak / user. Mereka diantaranya pemerintah, masyarakat lokal, nelayan, swasta / investor pariwisata, dan LSM.

Pengeloalan harus dapat mengakomodir semua pihak oleh karena itu dalam penyusunan perencanaan pengelolaan terumbu karang harus menggunakan pendekatan dua arah, yaitu top down dan bottom up.

 

o      Perencanaan Dalam Pengelolaan

Perencanaan diperlukan dalam pengelolaan, yaitu untuk mengalokasikan sumberdaya alam, khususnya yang berkaitan dengan sumberdaya terumbu karang. Perencanaan disini dapat diartikan sebagai proses persiapan pembuatan keputusan untuk pelaksanaan sesuai dengan sasaran yang dikejendaki. Untuk merencanakan pengelolaan lingkungan terumbu karang, biasanya ada beberapa tahapan kegiatan yang perlu dilakukan. Menurut Kim Looi Ch’ng (1996) tahapan kegiatan perencanaan tersebut antara lain, (1) Identifikasi masalah, yaitu masalah yang akan dihadapi (2) Merumuskan sasaran dan tujuan umum, yang berkaitan dengan masalah (3) Identifikasi kemungkinan hambatan-hambatan yang akan timbul (4) Proyeksi kondisi yang akan datang dan, (5) Hasil perencanaan yang diharapkan (Sustainable).  

o    Implementasi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang     

Untuk menindak lanjuti rencana pengelolaan sebagai akibat dari issue yang berkembang dimasyarakat, biasanya ada beberpa langkah implementasi atau pelaksanaan pengelolaan. Langkah-langkah tersebut biasanya dikelompokkan kedalam tiga kelompok atau tipe, yaitu berupa :

Ř      Pengaturan kelembagaan dan organisasi yang dibutuhkan untuk mempermudah keberhasilan pelaksanaan pengelolaan. Pengaturan kelembagaan dan organisasi tersebut, antara lain berupa (1) Klarifikasi mengenai hukum formal dan tanggung jawab, mislanya tradisi atau hukum adat (2) Klarifikasi mengenai ketetapan hukum  (jurisdiction) dan tanggung jawab dan, (3) Pemantauan dan pengawasan.

Ř      Intervensi kepada masyarakat secara langsung terhadap perubahan tingkah laku yang terjadi pada anggota masyarakat, termasuk instrumen kebijaksanaan seperti peraturan-peraturan, dan

Ř      Keikutsertaan pemerintah atau pengusaha secara langsung.

Disamping itu keikutsertaan masyarakat secara langsung terhadap pelaksanaan pengelolaan sumberdaya terumbu karang juga sangat diperlukan. Adapun aktivitas yang dapat dilakukan, antara lain berupa (1) Penebaran kembali (restocking) ikan-ikan ekonomis penting (2) Peningkatan mutu perikanan (hasil tangkapan), (3) Penelitian dan pengembangan (4) Pembantu teknis (5) Pendidikan dan kepedulian masyarakat (6) Program alternatif kehidupan, dan (7) Daerah suaka laut (Marine protected areas).

Tabel  2   Contoh Rencana Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang

No.

Masalah & Issue

Perencanaan

Instansi yang bertanggung jawab

Jenis Pelaksanaan

Pelaksana / pengawas

1.

 

2.

Alamiah

Hancur karena badai

 

 

Anthropogenik

a.    Rusak karena aktivitas penangkapan dengan racun dan handak

 

 

 

 

b.    Rusak karena limbah industri

 

 

c.    Rusak karena limbah pertanian

 

 

d.    Rusak karena aktivitas wisata

 

 

e.    Rusak karena aktivitas penambangan

 

 

f.     Rusak karena sidementasi dari “Up land”

 

              Perbaikan  Habitat      

 

 

Perbaikan  habitat,  pelarangan

 

 

 

 

Perbaikan habitat

 

 

Perbaikan habitat

 

 

Perbaikan habitat

 

 

Perbaikan habitat

 

 

Pelarangan penebangan hutan, pengelolaan lahan

                     Dinas Perikanan, PHPA

 

 

Dinas Perikanan

 

 

 

 

Deprindak

 

 

 

Dinas Pertanian

 

 

 

Dinas Pariwisata

 

 

 

Dinas Pertambangan dan Energi

 

Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian

              Replantasi

 

 

Penyuluhan pada masyarakat, replantasi, artifisial reef

 

Penyuluhan pada perusahaan

Penyuluhan pada Pertanian

Atifisial reef, reflantasi

Atifisial reef, reflantasi

 

 

Penyuluhan pada masyarakat, reboisasi

                                Dinas perikanan, Dept. Kehutanan (PHPA)

 

Dinas Perikanan, PSL, KAMLA, POLRI , Masyarakat Nelayan, LSM

Deprindak, BKPMD, BAPPEDALDA I, Masyarakat, LSM

 

Dinas Pertanian,Bappedal I, Masyarakat, LSM

 

Dinas Pariwisata, Bappedalda I, Masyarakat, LSM

 

Dinas Pertamben, Dinas Perikanan, Bappedalda I, Masyarakat, LSM

 

Dinas Kehuanan, Dinas Pertanian, Bappedalda I, Masyarakat

Pelaksanaan pengelolaan di atas membutuhkan suatu angkaian proses, yang meliputi unsur-unsur pendidikan, pelatihan, pengawasan (surveillance), pengendalian (enforcement), pemantauan dan evaluasi. Ini semua harus dilakukan secara efektif, sesuai dengan issue yang akan ditangani. Tabel 2 menyajikan contoh rencana pengelolaan terumbu karang, atas dasar permasalahan dan issue yang sering berkembang di masyarakat. Berdasarkan Tabel tersebut, maka setiap masalah dan/atau issue yang berkembang dimasyarakat direncanakan untuk pemecahannya, termasuk siapa yang bertanggung jawab, jenis pelaksanaannya dan siapa pengawasnya. Sehingga dengan perencanaan ini maka para instansi terkait tahu apa yang harus diperbuat untuk pengamanan dan/atau pengelolaan lingkungan yang berada dibawah kewenangannya.

 

o    Kebijakan Pengelolaan

Sumberdaya terumbu karang merupakan bagian dari sumberdaya alam di wilayah pesisir yang pengelolaannya tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya alam lainnya seperti hutan bakau (mangrove), padang lamun, dan sumberdaya alam lainnya. Oleh karena itu, pengelolaan terumbu karang (secara nasional) harus memperhatikan serta menggunakan pendekatan menyeluruh (holistik) dan terpadu. Selain itu juga harus sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Otonomi Daerah).

Pengelolaan terumbu karang disusun berdasarkan beberapa prinsip atau kaidah,   yaitu :

Ř      Keseimbangan antara intensitas dan variasi pemanfaatan terumbu karang

Ř      Pertimbangan pengelolaan sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat lokal dan ekonomi nasional.

Ř      Mengandalkan pelaksanaan peraturan formal dan peraturan non-formal untuk mencapai tujuan pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang yang optimal.

Ř      Menciptakan insentif bagi pengelolaan yang berkeadilan dan berkesinambungan

Ř      Mencari pendekatan pengelolaan secara kooperatif antara semua pihak terkait

Ř      Menyusun program pengelolaan berdasarkan data ilmiah yang tersedia dan kemampuan daya dukung lingkungan.

Ř      Pengakuan hak-hak ulayat dan pranata sosial persekutuan masyarakat adat tentang pengelolaan terumbu karang.

Ř      Memantapkan wewenang daerah dalam pengelolaan terumbu karang sesuai dengan semangat otonomi daerah.

 

Ke delapan prinsip di atas, ditambah dengan azas desentralisasi baik dalam perencanaan maupun implementasi menjadi suatu hal yang sangat penting dan harus dilaksanakan. Pengelolaan sumberdaya terumbu karang (pesisir) yang berhasil merupakan gabungan dari ilmu pengetahuan, kebijakan, hukum dan pengaturan administrasi yang sangat tergantung pada situasi, kondisi sosial, ekonomi dan politik dari tiap propinsi atau daerah tersebut. Sehingga secara nasional pengelolaan terumbu karang di Indonesia adalah : “Mengelola ekosistem terumbu karang berdasarkan keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestarian (berkelanjutan) yang dirancang dan dilaksanakan secara terpadu dan sinergis oleh pemerintah dan pemerintah daerah, masyarakat, swasta, perguruan tinggi serta organisasi non pemerintah”.

Konsep pengelolaan terumbu karang sebagaimana dicetuskan di atas dijabarkan  menjadi tujuh kebijakan berikut ini :

1. Mengupayakan pelestarian, perlindungan, dan peningkatan kondisi ekosistem terumbu karang, terutama bagi kepentingan masyarakat yang kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada pemanfaatan ekosistem tersebut, berdasarkan pada kesadaran hukum dan perundang-undangan yang berlaku serta mengacu kepada standar-standar nasional dan internasional dalam pengelolaan sumberdaya alam.

2.  Mengembangkan kapasitas dan kapabilitas pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan hubungan kerjasama antar institusi untuk dapat menyusun dan melaksanakan program-program pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan prinsip keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya alam yang sesusi dengan nilai-nilai kearifan masyarakat dan karakteristik biofisik serta kebutuhan pembangunan wilayah.

3.  Menyusun rencana tata ruang dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut untuk mempertahankan kelestarian ekosistem terumbu karang dan sumberdaya alam pesisir dan laut secara nasional serta mampu menjamin kelestarian fungsi ekologis terumbu karang dan pertumbuhan ekonomi wawasan.

4. Meningkatkan kerjasama, koordinasi dan kemitraan antara pemerintah dan pemerintah daerah serta masyarakat dalam pengambilan keputusan mengenai pengelolaan ekosistem terumbu karang yang meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, pengawasan dan penegakan hukum.

5.  Meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi kerakyatan, dengan mempertimbangkan sosial budaya masyarakat setempat dan tetap memperhatikan kelestarian ekosistem terumbu karang dan lingkungan sekitar.

6.  Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian, sistem informasi, pendidikan dan pelatihan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang dengan meningkatkan peran sektor swasta dan kerjasama internasional.

7.  Menggali dan meningkatkan pendanaan untuk pengelolaan ekosistem terumbu karang.

 

Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya strategi berikut :

1.       Memberdayakan masyarakat pesisir yang secara langsung bergantung pada pengelolaan ekosistem terumbu karang.

2.       Mengurangi laju degradasi terumbu karang.

3.       Mengelola terumbu karang berdasarkan karakteristik ekosistem, potensi, tata ruang wilayah, pemanfaatan, status hukum dan kearifan masyarakat pesisir.

4.       Merumuskan dan mengkoordinasi program tindak instansi pemerintah dan pemerintah daerah, pihak swasta dan masyarakat yang diperlukan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat.

5.       Menciptakan dan memperkuat komitmen, kapasitas dan kapabilitas pihak-pihak pelaksana pengelolaan.

6.       Mengembangkan, menjaga serta meningkatkan dukungan masyarakat luas dalam upaya-upaya pengelolaan terumbu karang secara nasional dengan meningkatkan kesadaran seluruh lapisan masyarakat mengenai arti penting nilai ekonomis dan ekologis dari ekosistem terumbu karang.

7.       Menyempurnakan berbagai peraturan perundang-undangan serta mendefinisikan kembali kriteria keberhasilan pembangunan suatu wilayah agar lebih relevan dengan upaya pelestarian lingkungan ekosistem terumbu karang.

8.       Meningkatkan dan memperluas kemitraan antara pemerintah , pemerintah daerah, swasta dan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya terumbu karang secara berkelanjutan.

9.       Meningkatkan dan mempertegas komitmen pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat serta mencari dukungan lembaga dalam dan luar negeri, dalam penyediaan dana untuk mengelelola ekosistem terumbu karang.

 

 

5. PENUTUP

Pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan di Indonesia perlu dibangun melalui pendekatan partisipatif dari segenap stake holdernya.  Upaya perlindungan (konservasi) dan rehabilitasi terhadap proses-proses ekologis serta pemanfaatan sumberdayanya dilakukan secara komprehensif dan terpadu.

 

PUSTAKA

1.      Begen, Dietriech G. (Penyunting), 2000, Prosiding Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Proyek Pesisir-IPB, Bogor.

2.      Berwick,  N.K. 1983, Guidelines for the Analysis of Biophysical Impacts to Tropical Coastal Marine Resources. The Bombay Natural History Society Centenary Seminar Conservation in Developing Countries. Bombay. India.

3.      Ch’ng, Kim Looi, 1996, Internasional environmental agreement and arrangement for sustainable development, pp 189-252. In Kenchington, R. (red) Integrated coastal zone management. RCU/EAS Technical Report Series No. 12, United Nations Environment Programme, Bangkok.

4.      Clark, John R., 1996, Coastal Zone Management  Handbooks, Lewis Publisisher, New York.

5.      Dahuri, Rokhmin, J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu,  1996, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.Mitchell, dkk,  1997, Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

6.      Longhurst, A.R. and D. Pauly., 1987. Ecology of Tropical Oceans. ICLARM Contribution No. 389. Academic Press, INC. 

7.      Manuputty, A.E.W., 1986. Karang Lunak, Salah Satu Penyusun Terumbu Karang. Oseana. Vol XI. No. 4. P3O LIPI. Jakarta 131 – 141.

8.      Moosa et.al, 1995, Indonesian Country Study on Integrated Coastal and Marine Biodiversity Management, Ministry of State for Environment Republic of Indonesia in with Cooperation with Directorate for Nature Management Kingdom of Norway.

9.      Nontji, A.,1987, Laut Nusantara, Penerbit Djambatan, Jakarta.

10.  Nybakken,  J.W.1982,  Marine Biology: An Ecological Aproach, Penerjemah : M. Eidman dkk, 1988, Gramedia. Jakarta.

11.  Ongkosongo, O.S.R., 1988. The Seribu Coral Reef. PT. Stanvac. Indonesia

12.  Suharsono, 1986. Jenis-Jenis Karang yang Umum di Jumpai Di Perairan Indonesia. Proyek Penelitian Dan Pengembangan Daerah Pantai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oceanologi - LIPI. Jakarta.

13.  Sukarno, N. Naamin and M. Hutomo., 1986. The Station of Coral Reef in Indonesia. Proc. MAB-COMAR. Regional Workshop on Coral Reef Ecosystem. UNESCO : MAB – COMAR, LIPI. Jakarta.

14.  Supriharyono, 2000, Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.