© 2001 Erna Rochana Posted 11 June 2001 [rudyct]
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Juni 2001
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir Zahrial Coto
E-mail: erochana@n2.com
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau
sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki
sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati. Pesisir
merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah
ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut.
Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat
tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji, 2001).
Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua
komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh
spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih besar dari dari komunitas yang mengapitnya.
Sebagai salah satu ekosistem pesisir,
hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai
fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain :
pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal),
tempat mencari makan (feeding ground),
tempat asuhan dan pembesaran (nursery
ground), tempat pemijahan (spawning
ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro.
Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga,
penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.
Sebagian
manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem
mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove)
menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh
masyarakat untuk berbagai keperluan.
Dampak ekologis akibat
berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies
flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka
panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem
pesisir umumnya.
Tulisan ini tidak dimaksudkan
untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir. Bahasan lebih kepada ekosistem
mangrove, kaitannya dengan strategi dan pengelolaan mangrove. Hubungan antar
ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala diperlukan untuk memperjelas
keberadaan ekosistem mangrove.
DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM
MANGROVE
Hutan
mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara
teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi
tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang
terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut
dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8%
(Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000).
Menurut Nybakken
(1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan
suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies
pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh
dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang
tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen,
2000).
Kata mangrove mempunyai dua arti,
pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan
yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua
sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak
rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas
hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat
sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali
(1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau
merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove.
Ekosistem mangrove adalah suatu
sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan
timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk
hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air
laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh
dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
Dalam suatu paparan mangrove di
suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and
Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut,
sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam
Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan
karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan
pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe
tanah.
Daya Adaptasi
Mangrove Terhadap Lingkungan
Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas
terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk
:
1.
Adaptasi terhadap
kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang
khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia
spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang
mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora
spp.).
2.
Adaptasi terhadap
kadar garam yang tinggi :
·
Memiliki sel-sel
khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.
·
Berdaun kuat dan
tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam.
·
Daunnya memiliki
struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
3.
Adaptasi terhadap
tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan
struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang
lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk
mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
Zonasi Hutan
Mangrove
Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan
mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe
zonasi hutan mangrore di Indonesia :
·
Daerah yang paling
dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa
berasosiasi Sonneratia spp. yang
dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
·
Lebih ke arah darat,
hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga
dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
·
Zona berikutnya
didominasi oleh Bruguiera spp.
·
Zona transisi antara
hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies
palem lainnya.
ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE
Ekosistem utama di daerah
pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu
karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut
dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan
antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendiri-sendiri.
Ekosistem mangrove merupakan penghasil
detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang
lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil
bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain
itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut
tidak mengg anggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu
karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang)
dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat
tinggal), tempat mencari makan (feeding
ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery
ground), tempat pemijahan (spawning
ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang.
Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga
ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana
organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke
terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001).
Manfaat
Ekosistem Hutan Mangrove
Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan,
ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi
ekologis dan ekonomis hutan mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) :
1.
Fungsi ekologis :
·
pelindung garis
pantai dari abrasi,
·
mempercepat
perluasan pantai melalui pengendapan,
·
mencegah intrusi air
laut ke daratan,
·
tempat berpijah
aneka biota laut,
·
tempat berlindung
dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga,
·
sebagai pengatur
iklim mikro.
2.
Fungsi ekonomis :
·
penghasil keperluan
rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan),
·
penghasil keperluan
industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna),
·
penghasil bibit
ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung,
·
pariwisata,
penelitian, dan pendidikan.
DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP
EKOSISTEM MANGROVE
Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah
menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini
beberapa aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel
1).
Dampak dari aktivitas manusia
terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan luasan hutan mangrove turun cukup
menghawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia turun dari 5,21 juta hektar
antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5
juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung cara pengukurannya,
memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali (1999), menyebut
angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24
– 3,73 juta hektar.
Tabel 1 :
Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove
Kegiatan |
Dampak
Potensial |
Tebang habis |
· Berubahnya
komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies
yang nilai ekonominya rendah dan hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi
berfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding
ground) dan daerah pengasuhan (nursery
ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang
penting secara ekonomi. |
Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada
pembangunan irigasi |
· Peningkatan
salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi dari spesies-spesies
yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih asin; ikan dan udang dalam
stadium larva dan juvenil mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan
salinitas, karena mereka lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan. · Menurunnya
tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zat-zat hara melalui aliran
air tawar berkurang. |
Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan |
· Mengancam
regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan
hutan (rawa) mangrove sebagai nursery
ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang. · Pencemaran
laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapat
diikat oleh substrat hutan mangrove. · Pendangkalan
peraian pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove
dikonversi mengendap di hutan mangrove. · Intrusi
garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan keberadaannya atau
melalui saluran-saluran buatan manusia yang bermuara di laut. · Erosi
garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove. |
Pembuangan sampah cair (Sewage) |
· Penurunan
kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat terjadi keadaan
anoksik dalam air sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah cair
mengalami dekomposisi anaerobik yang antara lain menghasilkan hidrogen
sulfida (H2S) dan aminia (NH3) yang keduanya merupakan racun bagi organisme
hewani dalam air. Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi
berlangsungnya dekomposisi anaerobik. |
Pembuangan sampah padat |
· Kemungkinan
terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang akan mengakibatkan kematian
pohon-pohon mangrove. · Perembesan
bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang kemudian larut dalam air ke
perairan di sekitar pembuangan sampah. |
· Pencemaran
minyak akibat terjadinya tumpahan minyak dalam jumlah besar. · Penambangan
dan ekstraksi mineral. |
· Kematian
pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora oleh lapisan minyak. · Kerusakan
total di lokasi penambangan dan
ekstraksi mineral yang dapat mengakibatkan : -
musnahnya daerah asuhan (nursery
ground) bagi larva dan bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai
ekonomi penting di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi
ikan dan udang tersebut. |
|
· Pengendapan
sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan : -
Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen
yang pada akhirnya dapat mematikan pohon mangrove. |
Sumber :
Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996.
PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI
INDONESIA
Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga
tahapan utama (isu-isu). Isu-isu tersebut adalah : isu ekologi dan sosial
ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan
rencana.
Isu Ekologi dan
Isu Sosial Ekonomi
Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia
terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap
ekosistem mangrove harus diidentifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang
akan terjadi di kemudian hari.
Adapun isu
sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar
hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan industri,
tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangrove harus
diidentifikasi dengan baik.
Isu Kelembagaan
dan Perangkat Hukum
Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan
Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang
sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang
terkait dengan pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini.
Aspek perangkat
hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan
mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat oleh
pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang
diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap
perangkat hukum tersebut.
Strategi dan
Pelaksanaan Rencana
Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove,
terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada
dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan
pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut
adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen,
2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap
keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove
untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang
pantai dan tepi sungai.
Dalam konteks di atas,
berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan
ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna Hutan Kesepakatan (Santoso,
2000) terdiri atas :
3.
Kawasan Lindung
(hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman laut, taman hutan
raya, cagar biosfir).
4.
Kawasan Budidaya (hutan
produksi, areal penggunaan lain).
Perlu diingat di
sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan hutan mangrove
juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya status hutan ini
dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya
perikanan, pertanian, dan sebagainya.
Saat ini
dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif
yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa
masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan
mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya.
Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola
partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi
kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam
pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000).
Di era otonomi daerah, pola pengelolaan ekosistem
mangrove mengalami perubahan. Instansi-instansi di pusat menjadi
pembina/pengarah pelaksanaan rencana, sedangkan operasionalisasi ada di daerah.
Berikut diperlihatkan suatu pola organisasi dan mekanisme kerja pengelolaan
mangrove di era otonomi daerah (Gambar 1).
|
|
|
|
Bupati
|
|
|
Tingkat Propinsi - Bapedalda - Bappeda - DKP - Dinas Kehutanan Tingkat Kabupaten - Bappeda - DKP - Dinas Kehutanan |
|
Pengelola Dinhut. DKP |
|
|
|
|
|
|
|
|
Forum LSM |
||
|
|
|
|
|
||
|
|
|
Camat |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Penyuluh
/ PL
|
|
|
|
|
|
|
|
Kades |
|
LSM |
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||
|
Working group BPD & KSM |
|
Kadus |
|
|
|
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
RT / RW |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Masyarakat |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Garis komando |
|
|
|
|
|
|
Garis bimbingan |
|
|
|
|
|
|
Laporan |
|
|
|
|
Gambar 1. Organisasi dan Mekanisme Kerja Pengelolaan
Mangrove
(sumber : Santoso, 2000)
KESIMPULAN
·
Ekosistem mangrove
merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas yang bernilai
ekologis dan ekonomis.
·
Mengingat aktivitas
manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka diperlukan pengelolaan mangrove
yang meliputi aspek perlindungan dan konservasi.
·
Dalam rangka
pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan mangrove yang
melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat.
DAFTAR
ACUAN
Bengen, D.G.
2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya
Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut
Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Bengen, D.G.
2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan
Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan
– Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Dahuri, M.,
J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya
Paramita. Jakarta, Indonesia.
Idawaty.
1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove Di
Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Indonesia.
IUCN - The
Word Conservation Union. 1993. Oil and
Gas Exploration and Production in Mangrove Areas. IUCN. Gland, Switzerland.
Kaswadji, R.
2001. Keterkaitan Ekosistem Di Dalam
Wilayah Pesisir. Sebagian bahan kuliah SPL.727 (Analisis Ekosistem Pesisir
dan Laut). Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB. Bogor, Indonesia.
Khazali, M.
1999. Panduan Teknis Penanaman Mangrove
Bersama Masyarakat. Wetland International – Indonesia Programme. Bogor,
Indonesia.
Lawrence, D.
1998. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu. Alih bahasa oleh T. Mack dan S. Anggraeni. The Great
Barrier Reef Marine Park Authority. Townsville, Australia.
Nybakken,
J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan
Ekologis. Alih bahasa oleh M. Eidman., Koesoebiono., D.G. Bengen., M.
Hutomo., S. Sukardjo. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, Indonesia.
Santoso, N.,
H.W. Arifin. 1998. Rehabilitas Hutan
Mangrove Pada Jalur Hijau Di Indonesia. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan
Mangrove (LPP Mangrove). Jakarta, Indonesia.
Santoso, N.
2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove.
Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan
Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta, Indonesia.
Supriharyono.
2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta,
Indonesia.
Widigdo, B.
2000. Diperlukan Pembakuan Kriteria Eko-Biologis Untuk Menentukan “Potensi
Alami” Kawasan Pesisir Untuk Budidaya Udang. Dalam : Prosiding Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu.
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor dan
Proyek Pesisir dan Coastal Resources Center – University of Rhode Island.
Bogor, Indonesia.
Yahya, R.P.
1999. Zonasi Pengembangan Ekoturisme Kawasan Mangrove Yang Berkelanjutan Di
Laguna Segara Anakan Kabupaten Cilacap Propinsi Jawa Tengan. Tesis Magister. Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan - Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.