dewi_setiani

© 2001.  Dewi Hermawati Setiani                             Posted: 26 May 2001    [RCT]  

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Juni 2001

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

 

 

 


 

 


 

 

 

 

 

 

 

 

OTAK MANUSIA[2]  DAN FUNGSI BERPIKIR

 

Oleh:

 

DEWI HERMAWATI SETIANI

SPL 995216

E-mail: dewi_setiani@excite.com

 

 

 

 

PROGRAM PASCASARJANA / S3

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

MEI 2001

 

 

 

DAFTAR ISI

 

I.  PENDAHULUAN                                                                        

 

II. OTAK DAN SISTEM SYARAF                                       

     II.1.     Bangunan Otak                                                       

     II.2.     Neuron                                                               

 

III.           OTAK DAN PIKIRAN                                     

     III.1.    Teori-Teori Pikiran dan Otak                               

     III.2.    Metafisika dan Ontologi                                     

 

IV.            PERSEPSI MANUSIA                              

     IV.1.    Persepsi Auditorial                                            

     IV.2.    Persepsi Visual (Penglihatan)                         

     IV.3.    Persepsi Warna                                                

     IV.4.    Garis Berorientasi, Objek Bergerak dan

                 Sel-Sel Nenek (Grandmother cells)                              

 

V. TEORI EVOLUSIONER DARI PENGETAHUAN                   

     V.1.     Pengetahuan A Priori dan Posteriori                                

     V.2.     Contoh Eddington                                                      

     V.3.     Epistemologi Evolusioner                                         

     V.4.     Ilmu Pengetahuan                                                     

     V.5.     Buket dan Lampu Sorot (The bucket and

                 The searchlight)                                                

 

DAFTAR PUSTAKA                                                                    

 

 

OTAK MANUSIA[2]  DAN FUNGSI BERPIKIR

 

1.  PENDAHULUAN

 

 

Masing-masing periode sejarah membandingkan tubuh manusia  dengan mesin-mesin: dahulunya tubuh manusia merupakan “mesin mekanis” atau “mesin pemanas” dengan pompa untuk janutungnya. Kini sudah umum untuk membandingkan otak manusia dengan komputer digital besar yang memproses secara parallel.  Suatu perbedaan penting untuk membandingkan otak dengan komputer  adalah kelebihan-nya yang tinggi: jika bagian dari “komputer otak” gagal, maka bagian-bagian lain dapat mengambil alih.

Asumsi-asumsi tentang komputasi otak menjurus kepada konstruksi jaringan syaraf buatan, yang, bersama–sama dengan  alat berhitung konvensional, memainkan peranan sangat penting  dalam kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI)

H.Petsche (Wina) dalam Moritz (1995) menunjukkan bahwa “penembakan digital” (digital firing), semua atau tidak sama sekali, seperti on/off, atau digit 1/0, yang disebutkan di atas tidak mengimplikasikan bahwa otak bekerja persis sama dengan komputer digital (Cohen dan Steward 1994, hal. 454).

Sel-sel syaraf tidak berhitung secara digital tetapi menggunakan pulsa-pulsa diskret dalam berkomunikasi dalam jarak jauh. Komputer otak pada dasarnya tidaklah digital.. Kita juga tidak boleh melupakan bahwa berhitung atau berfikir logis hanya suatu fraksi yang kecil dalam aktivitas intelektual kita yang juga meliputi kesenangan, keinginan,ketakutan, puisi, musik dan sebagainya.

 

II OTAK DAN SISTEM SYARAF

 

Bila ada kesepakatan tentang suatu fakta dalam filsafat alamiah, maka kesepakatan itu adalah tentang fakta bahwa pemikiran manusia tidak terpisahkan dari otak kita.

Bahwa struktur fisiologis atau anatomis otak kita sangat bersangkut paut dengan filsafat, tidak diterima pada umumnya dalam filsafat. Hukum logika dan matematika jauh lebih teliti dan tepat (rigorous) daripada pengetahuan empiris semata tentang struktur otak kita dan “hukum pemikiran” ini tidak terlihat begitu bergantung pada arsitektur otak kita. Nampaknya kecenderungan modern dalam teori pengetahuan yang dikenal dengan nama epistemologi evolusioner, bergantung pada mekanisme dari persepsi (penglihataan, pendengaran, dsb) dan pada pengolahan data dari persepsi oleh otak. Hal yang sama juga berlaku pada kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) dan untuk aspek-aspek komputasi otomatis canggih lainnya, tetapi memiliki sejumlah  titik kontak, seperti  metoda algoritmis dan aksiomatis dan batasan-batasannya oleh teorema Gödel. (Moritz 1995, hal.4)

Teorema Kurt Gödel, disebut juga “teorema ke-tidaklengkapan” (incompleteness theorem)  meletakkan tekanan pada unsur dasar dari “ketidak-pastian” (uncertainty”)  melalui logika samar (fuzzy logic), fluktuasi acak (random fluctuation) , kesalahan pengukuran acak (random measurement error), dsb., yang banyak mempersona para sarjana matematika, fisika, geodesi dan astronomi, sejak K.F. Gauss (1777-1855) (salah satu ilmuan matematika dari tiga ilmuan matematika yang dikenal dunia, yaitu Archimedes  dan Newton ). Kurt Gödel adalah warga negara Amerika yang lahir di Cekoslovakia 1930 dianggap adalah peletak dasar dari teori himpunan. Sebelum Gödel, para ahli matematika mengatakan bahwa sebagian besar jalur matematika menunjukkan adanya konsistensi, jika aritmatiknya konsisten. Dengan kata lain, suatu kumpulan  axioma adalah konsisten jika  tidak mungkin menarik kesimpulan baik pernyataan (statement) maupun penolakan (negation). Namun hasil Gödel mendemonstrasikan ketidak-mungkinan membuktikan konsistensi dari aritmatik dengan cara ini, telah menghancurkan harapan semacam itu.  Ia membuktikan bahwa dalam tiap sistem formal, yang dapat dioperasikan dengan aritmatik, terdapat rumus yang benar (true) sebagai representasi dari pernyataan aritmatik, tetapi tidak dapat dibuktikan di dalam sistem. Dalam hal ini, sistem adalah tidak lengkap (teorema ketidak-lengkapan).

II.1      Bangunan Otak

 

Bagian-bagian utama otak adalah:

-       brainstem (“reptilian brain” atau otak reptil).  Indonesia : “batang otak”

-       limbic system (“mammalian brain” atau otak mamalia). Indonesia: sistem tungkai

-       cerebrum (“conscious brain” atau otak besar)

-       cerebellum (otak kecil sebelah belakang)

 

 

 

Gb.1 Bagian-Bagian Utama Otak

 

 

            Brainstem (Gb.1)

     Menurut  sudut pandang evolusi biologis, merupakan bagian otak tertua (sekitar 500 juta tahun). Dengan karakteristik penyederhanaan berkelebihan, brainstem ini dinamakan otak reptil karena terlihat seperti otak keseluruhan reptil. Brainstem umumnya mencermati fungsi-fungsi paling primitif penunjang kehidupan: kontrol pernafasan dan detak jantung.

 

Cerebellum (Gb.1)

     Merupakan struktur perantara yang memperhatikan koordinasi aktivitas dari otot dan pemeliharaan keseimbangan tubuh. Cerebellum bertanggungjawab atas berbagai keterampilan bawah sadar, seperti mengenderai mobil atau bermain piano.

 

Limbic System (Gb.1)

Berbentuk struktur seperti cincin yang merupakan komponen tertinggi dari otak reptil tetapi berkembang paling tinggi pada mamalia. Limbic System mengatur suhu badan, tekanan darah, dsb (“homeostasis”). Juga mengkontrol reaksi-reaksi emosional yang diperlukan untuk kelangsungan hidup: selera (nafsu makan), agresivitas, reaksi terbang, dan perasaan seksual. Nampaknya limbic system juga menjadi dasar pembelajaran dan memori (apa yang dikenal dengan hippocampus)

Struktur yang paling penting dari limbic system adalah hypothalamus (terletak di bawah thalamus, Gb.1). Hypothalamus adalah pengatur fungsi dan keadaan tubuh: makan, minum, tidur, jalan, keseimbangan kimia, hormon, dsb. Hypothalamus adalah termostat untuk suhu darah dan berbagai  aksi umpan balik, sebagaimana bekerjanya regulator teknologi. Hypothalamus berhubungan sangat erat, melalui pesan-pesan kimiawi dan listrik,  dengan pituitary gland (kelenjar bawah otak) terdekat. Ini merupakan kelenjar induk tubuh yang mengatur hormon, secara langsung atau melalui stimulasi kelenjar lain untuk mengeluarkan hormon.

 

Thalamus (Gb.1)

     Thalamus bertindak sebagai stasiun pemancar penerus (relay station) untuk  sensor eksternal, seperti informasi visual. Informasi ini diteruskan ke daerah tertentu dari korteks untuk pemrosesan akhir.

 

Cerebrum (Gb.1)

     Merupakan bagian otak yang secara khususnya berkaitan dengan kecerdasan manusia. Terdiri dari dua hemisfer, yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan, yang dihubungkan oleh corpus callosum. (Corpus callosum  adalah serat putih yang melintang menghubungkan kedua hemisfer otak). Ada hubungan silang antara kedua hemisfer, yaitu hemisfer kiri menerima informasi dari setengah tubuh kanan (misalnya mata kanan) dan mengkontrol setengah tubuh kanan (misalnya tangan kanan). Begitu pula sebaliknya. Kedua hemisfer sebenarnya merupakan satu sistem dan bekerja sangat erat.

Kebanyakan aktivitas cerebrum berlangsung pada permukaannya, yakni korteks (cortex). Korteks, disebut juga kulit otak, memiliki ketebalan sekitar 3 mm dan berlipat, sehingga permukaannya yang besar cocok dalam tengkorak yang relatif kecil.

Daerah tertentu dari korteks terkait dengan  aktivitas tertentu: daerah utama visual (penglihatan), korteks auditorial (pendengaran), daerah sensor tubuh, korteks motor, dan daerah bicara (dikenal dengan  daerah Broca and  Wernicke). Daerah-daerah ini jangan sama sekali diterima secara ketat dan jangan secara eksklusif; pada dasarnya semua aktivitas menyangkut seluruh otak.

Berkaitan dengan fungsi-fungsinya , korteks dibungkus secara  rapat dengan sel-sel syaraf (neurons) yang sumbu-sumbunya (axe, axon dalam Gb.2) tegaklurus (orthogonal) terhadap permukaan korteks, sehingga kita memiliki struktur yang mengingatkan kita pada permukaan tanah dan garis unting-unting dalam geodesi. Pemikiran rasional berlangsung terutama dalam korteks; limbic system (hypothalamus dsb) nampaknya memberi kontribusi  latar belakang emosional.

 

II.2      Neuron

 

Gb.2 Bentuk Neuron

Setiap otak mengandung sekitar 1011 sel syaraf atau neuron. Tombol penghubung (synaptic buttons, Gb.2)  ada sekitar 1014  dicantelkan pada sel-sel syaraf bercabang (dendrite atau dendron) atau sel tubuh (soma) terdekat. Ada suatu celah penghubung  (synaptic cleft) tipis, antar satu tombol dengan sel-sel bercabang berikutnya yang dijembatani oleh zat kimia (neurotransmitter) yang dikirim oleh tombol ke sel-sel bercabang. Sel syaraf bercabang (dendrite) yang membawa impuls ke sel tubuh, disebut juga neuro-dendron..

Panjang serat neuron dalam korteks dalam 4.1 km/mm3.  Bagaimana sinyal syaraf ditransmisi sepanjang akson? Akson adalah sel syaraf di mana impuls mengalir menjauhi sel tubuh (lihat Gb.2).  Transmisinya serupa dengan gelombang seismik transversal. Gelombang transversal berosilasi dalam arah yang ortogonal terhadap arah perambatannya (propagasinya). Secara serupa, sinyal syaraf adalah impuls yang bergerak maju dari difusi ion-ion tertentu (K+, Na+, Cl)  melintas membran yang mirip tabung yang membentuk axon.. Kecepatan normalnya hanya sekitar 5 meter per detik; kecepatannya dapat ditingkatkan oleh  pembungkus  sumsum (myelin sheath) dari axon sampai dengan 100  meter per detik.

Fakta-fakta berikut ini adalah penting: penembakan impuls ( the firing of an impuls) berlangsung semua (all) atau tidak sama sekali (none) Bentuk dan ukuran impuls tidak relevan; yang penting adalah apakah neuron menembak atau tidak. Penghubung (synapses), terdiri tombol penghubung dan celah penghubung (cleft), dapat bersifat  merangsang  (excitatory) atau  mencegah (inhibitory). Efek gabungannya terhadap neuron menetapkan apakah neuron menembak atau tidak. Sistemnya;  semua (=1) atau tidak sama sekali (= 0) pada dasarnya merupakan sistem digital, yang menggunakan dua angka terdiri dari 0 (nol) dan 1 (satu) yang sama  dengan sistem dua angka dalam komputer digital

Sel-sel syaraf tidak  menghitung secara digital tetapi menggunakan pulsa-pulsa diskret  dalam berkomunikasi. Komputasi otak  tidak sebenarnya digital. Untuk penjelasan lebih lanjut dapat dibaca dalam Penrose 1989, pp. 392-399 yang menurut Moritz (1995) sangat relevant.

Kita juga tidak boleh lupa bahwa “komputasi” atau berfikir logis hanya merupakan fraksi kecil sekali dari aktivitas intelektual kita, yang juga meliputi kesenangan, keinginan, ketakutan, puisi, musik, dsb.

 

III         OTAK  DAN PIKIRAN

Hubungan antara otak dan pikiran merupakan salah satu dari beberapa masalah paling kontroversial dalam filsafat. Ini berkaitan erat dengan masalah zat  (matter) dan pikiran (mind).

Pada penglihatan pertamanya, nampaknya seperti tidak ada masalah sama sekali. Pikiran (thought), perasaan dan emosi kita jelas-jelas ini mental , termasuk ke dalam pikiran (mind). Pohon, rumah atau batu jelas-jelas ini material yang terdiri dari zat. Karena kita dapat menyepak batu, jatuh dari pohon, tinggal di rumah, mematahkan kaki. Apalagi kalau ini bukan material ?

Ilmu pengetahuan modern memberikan gambaran agak berbeda dengan zat. Zat terdiri dari molekul-molekul yang sangat kecil. Molekul terdiri dari atom dan atom mempunyai sel inti tipis dengan sejumlah elektron yang mengorbit disekitarnya, seperti halnya planet-planet yang mengorbit bumi. Bila kaki saya menendang batu, suatu ruang kosong menendang ruang kosong (jujurnya, yang memainkan peranan adalah kekuatan yang berlaku dalam ruang kosong ini).

Jika dalam ilmu pengetahuan modern menjadikan zat  kurang “material”, maka juga  pikiran menjadikan kurang “mental”, seperti yang dikatakan oleh filosof Bertrand Russell. Studi  tentang otak kita menunjukkan bahwa emosi berhubungan erat dengan aktivitas sistem limbic (material)  dan bahkan kebanyakan manifestasi pemikiran  yang paling luhur nampak selaras dengan penembakan neuron-neuron tertentu dalam korteks.

Perbandingan yang adil dan berguna secara mendidik antara otak dan pikiran adalah dimungkinkan dalam terminologi komputer modern: otak adalah      perangkat keras dan pikiran adalah perangkat lunak pikiran manusia. Perangkat lunak yang sama dapat dijalankan pada perangkat keras yang berlainan. Dengan kata lain :ide-ide yang terkandung dalam suatu buku dapat dimengerti oleh pembaca berlainan, yaitu otak yang berbeda.

Analogi  otak = perangkat keras, pikiran = perangkat lunak, terlihat cukup tepat bila kita mengingat bahwa hal ini merupakan gambaran kasar semata. Sejumlah persoalan bermula ketika kita mempertanyakan “status ontologis” [3] dari  pikiran terhadap zat: apakah perangkat lunak  mental “secara esensial berbeda” dari perangkat keras otak? Sejumlah filosof mengatakan bahwa pertanyaan tersebut tidak berguna dan sejumlah lainnya berpikiran beda. Apakah pikiran merupakan “substans” (substance). Definisi “substans” adalah “physical material from which something is made or which has a discrete  existence” (materi fisik dari mana sesuatu dibentuk atau sesuatu yang mempunyai eksistensi yang mempunyai ciri tersendiri). (Webster’s New Collegiate Dictionary  1981)

Yang lebih serius lagi, substans dapat dianggap sebagai sesuatu yang dapat eksis tak-tergantung dari sesuatu yang lain, atau setidak-tidaknya tidak tergantung dari substans lain. Dengan pengertian ini, jika pikiran (mind) atau jiwa (soul) adalah  substans, maka ia dapat eksis tak-tergantung dari zat, dan konsekuensinya dapat menjadi kekekalan dari jiwa (immortality of the soul).

Kembali ke ilmu pengetahuan, pikiran nampaknya muncul dari aktivitas otak. Pada tingkat bawah, kehidupan  boleh jadi  sifat-sifat yang muncul dari zat. “Muncul” di sini artinya “sesuatu yang baru”, secara kualitatif berbeda.

Jika  zat yang tak-hidup (lifeless matter) menjadi begitu cukup terorganisir (berisi molekul-molekul organik yang kompleks), maka kehidupan dapat muncul, dan jika jaringan otak hidup khususnya begitu terorganisir, fenomena dari pikiran dapat muncul.

Ini nampaknya dapat diterima oleh kalangan dialektik materialisme agnostic (bertuhan) dan orang-orang Kristen. Perbedaan-perbedaan diperkirakan (dan ditemui) lagi dalam pertanyaan ontologik (yang terkait dengan  alam kejadian atau macam-macam eksistensi), seperti : dalam cara bagaimana pikiran muncul dari zat (jaringan otak), bedakah dengan zat? Apakah hanya  sebagai hasil pertumbuhan dari zat atau apakah mempunyai realitas yang tak-terkait (“Emergence only implies that mind is “something new”)

Marilah kita rangkum butir-butir yang dapat disepakati oleh mayoritas ilmuan, ahli-ahli filsafat dan ahli-ahli agama: (teolog):

1. Pikiran berhubungan dengan otak seperti perangkat keras berhubungan dengan perangkat lunak.

2. Pikiran adalah aspek baru dari  aktivitas otak yang muncul ketika revolusi biologis yang membawa kita ke genus “manusia”.

 

III.1      Teori-Teori Pikiran dan Otak

 

¨    Materialisme:  hanya proses materi yang terjadi, pikiran hanya merupakan “sisi subjektif” dari proses otak, tetapi tidak memiliki realitas apapun. Seluruh proses “hidup” dan “mental” dapat disederhanakan menjadi perobahan-perobahan dalam persoalan yang sepenuhnya ditentukan oleh hukum fisika (reduksionisme)

 

¨    Epiphenomenalisme: apa yang sebenarnya terjadi adalah proses otak secara materi;  pengalamanan subjektif kita adalah riil, tetapi secara logika berkelebihan (tidak ada satupun yang hilang ketika kita lupa tentang fenomena mental)

 

¨    Monisme (atau teori identitas): hanya satu “substans”  yang ada, yang mengungkapkan dirinya dalam dua cara: memiliki dua “sisi” atau aspek: pikiran dan zat. Pikiran dan zat, disebut juga sebagai dua sisi dari selembar kertas yang sama. Teori ini diusulkan oleh para filosof yang sama bedanya seperti Baruch Spinoza dan Bertrand Russel. Yang lebih  terkait erat adalah:

 

¨    Panpsychisme:  segala sesuatu yang materi (sebut saja atom atau elektron)  mempunyai juga beberapa aspek mental dan psikis, bagaimanapun  kecilnya. Dalam makhluk hidup, dan terlebih-lebih dalam pikiran manusia, aspek-aspek mental ini menjadi makin lebih terkoordinir. Teori ini agak aneh pada penglihatan pertamanya; tetapi teori ini diajukan oleh beberapa filosof terbesar,  Leibniz dan Alfred North Whitehead. Pada dasarnya, teori ini juga termasuk dalam dialektika materialisme, maupun (berdasarkan difinisinya) dalam monisme dari Spinoza dan Russel.

 

¨    Idealisme: Lawan dari materialisme: sesuatu yang eksis adalah suatu ide (gagasan)  dalam pikiran. Pohon di depan saya  ada bila saya melihatnya, oleh karenaya ada dalam pikiran saya. Jika saya tidak melihatnya, maka pohon itu tidak ada. Adalah suatu dunia yang aneh jika pohon seolah-olah loncat dari ada dan tidak ada  bergantung pada seseorang yang melihatnya. George Berkeley (1685 – 1753) yang disitir Moritz (1995) menemukan alasan sederhana mengapa objek-objek di dunia ini terus menerus ada,  karena Tuhan selalu melihatnya. Plato, Kant, Fichte dan Hegel juga dianggap idealis-idealis, walaupun  dalam cara yang berbeda. Mereka menganggap pikiran sebagai konsep utama dan zat adalah konsep yang diturunkan dari pikiran. Padangan ini tidak begitu jauh dari opini sejumlah ilmuwan fisika modern yang berargumentasi sebagai berikut: Adalah sangat sulit bagi kita untuk mendefinisikan zat secara langsung. Bagi seorang fisikawan adalah alamiah kalau mengatakan bahwa zat adalah apa yang memenuhi hukum fisika, yang sudah tentu suatu struktur mental daripada struktur materi. Hal serupa juga dapat dikatakan: entitas yang memenuhi rumus matematika adalah fungsi matematis, yang sama-sama adalah mental. Oleh karena itu zat adalah konstruksi mental.

Argumen di atas dapat disangkal, sebagaimana juga semua argumen filosofis. Namun demikian, hal ini nampaknya untuk memasukkan sekurang-kurangnya suatu  percikan kebenaran. .

 

¨    Dualisme: zat dan pikiran pada dasarnya merupakan konsep berbeda atau seperti yang dikatakan beberapa filosof, merupakan substans berbeda. Sudah barang tentu ini merupakan asumsi  umum. Bila saya melukai jari saya (yang merupakan objek materi), maka saya merasa sakit (secara mental). Di sini jelas-jelas zat mempengaruhi pikiran. Ini juga berlaku dalam arah  yang berlawanan. Bila saya melihat sebuah apel di depan saya dan ingin memakannya (keinginan adalah mental), maka saya mengambil dan memakan apel itu (objek materi). Di sini pikiran mempengaruhi zat.

Para filosof bertanya-tanya tentang bagaimana “substans berbeda”, zat dan pikiran dapat beraksi antara satu terhadap yang lain.. Contoh yang pertama, terpotongnya jari menyebabkan sakit, sudah begitu umum, sehingga tidak ada seorangpun yang mengajukan banyak pertanyaan tentang “kausal langsung” (direct causation) tersebut. Yang kedua, kemauan mental menyebabkan gerakan tubuh (mengambil apel) telah menimbulkan dan sedang menimbulkan, pembahasan tak terhitung tentang “kausal ke bawah” (downward causation), pikiran beraksi pada  zat.

Dualisme dalam pandangan normal, bukan ekstrim, adalah suatu pandangan yang alamiah. Akan menjadi persoalan,  jika hanya dibesar-besarkan, seperti dua substans yang absolut berbeda yang terpisah secara absolut dan hampir tidak mungkin beraksi satu terhadap yang lain.  Pandangan ini diluncurkan ke dalam fisafat oleh René Descartes (Cartesius, 1596 – 1650) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern, di samping merupakan seorang matematikawan (memperkenalkan Koordinat Cartesian)

 

Bahayanya dengan filsafat adalah bahwa bahasa alami disesuaikan pada penggunaan sehari-hari, tetapi tidak didesain untuk filsafat. Dengan demikian, filsafat harus menggunakan kata-kata yang dipakai sehari-hari, yang membuatnya lebih akurat. Alfred North Whitehead berbicara tentang “fallacy of misplaced concreteness” (kekeliruan dari kenyataan yang salah  tempat). Hal ini dapat terjadi, misalnya, jika kita mempertimbangkan pikiran sebagai substans yang tidak dapat rusak, dari substans mana  keabadian perlu mengikutinya.

Beberapa pengikut Descarte menggunakan konsep Tuhan untuk menengahi antara substans yang “tidak berinteraksi”, zat dan pikiran. Nampaknya konsep Tuhan kadang-kadang diminta  untuk melayani sebagai “deus ex machina[4], bila seorang filosof mencapai kebuntuan. Adalah meragukan apakah konsep Tuhan sebagai “Pemecah Masalah Metafisika Universal” yang memperbaiki penalaran keliru dari para filosof,  benar-benar memadai.

Jadi nampaknya perlu untuk memperkenankan beberapa interaksi antara tubuh dan pikiran (kausal langsung dan kausal ke bawah). Jadi dualisme tubuh – pikiran sebenarnya harus menjadi “interactionisme”

 

Ini merupakan tesis yang diperdebatkan secara impresif dalam bukunya Popper dan Eccles (1977), yang merupakan acuan dasar (walau tidak kontroversial)  tentang persoalan tubuh – pikiran. Dari halaman 75 bukunya Popper dan Eccles kita mencatat argumentasi menentang materialisme yang dirumuskan secara ringkas oleh J.B.S.Haldane pada tahun 1939: “Jika materialisme adalah benar, nampaknya bagi saya, kita tidak dapat tahu bahwa itu benar. Jika pendapat saya adalah hasil dari proses (fisik dan) kimiawi yang terjadi dalam otak saya, seluruhnya ditentukan oleh hukum (fisika dan) kimia, dan tidak oleh logika” (kata-kata dalam tanda kurung disisip oleh Helmut Moritz,1995).

 Catatan : Agar hal ini benar, suatu dalil harus ditentukan oleh hukum logika

Suatu argumen yang lebih meyakinkan terhadap materialisme adalah fakta bahwa biasanya proses otak dianggap berdasarkan hanya fisika klasik saja. Ini sesungguhnya, kurang cukup sejak  definisi mikroskopis dari zat harus ditentukan oleh mekanika kuantum. Di sini nampaknya zat dan pikiran menunjukkan suatu keterkaitan erat

Bagaimanapun juga konsep seperti materialisme, idealisme atau dualisme tidak dapat didiskusi dalam konteks yang sempit dari interaksi otak – pikiran semata.

 

III.2     Metafisika dan Ontologi

 

Pada saat ini, relatif bermanfaat bagi kita untuk terlebih dahulu memberikan penjelasan beberapa terminologi filosofis yang digunakan sangat sering.  Metafisika mempelajari persoalan-perosalan filosofis yang berada di luar jangkauan ilmu pengetahuan alam. Meta (dalam bahasa Yunani adalah “diluar’ atau”beyond”) fisika.  Persoalan metafisika tradisional merupakan hubungan antara Tuhan dan dunia, jiwa manusia, “apa sesungguhnya dunia itu?” dan pertanyaan-pertanyaan  ontologis lain. Ontologi mempelajari beragam bentuk eksistensi, misalnya alam dan eksistensi zat, pikiran, matematika, dsb.

Beberapa orang menganggap metafisika bahkan sebagai konsep atau teori yang menerangkan daripada hanya menguraikan fenomena dalam fisika itu sendiri.

Validitas metafisika, termasuk ontologi ditolak oleh positivisme: hanya data yang teramati dan kesimpulan yang logis yang punya arti.

 

IV       PERSEPSI MANUSIA

 

IV.1    Persepsi Auditorial

 

Meskipun penekanan utama kita adalah pada persepsi visual (penglihatan), tetapi indera pendengaran juga menjadi perhatian kita yang besar. Kita mendengar suara seorang teman atau mendengar  sepotong musik.

Telinga merupakan organ yang paling sensitif. Bila organ ini sedikit kurang sensitif, maka kita selalu mendengar suara latar belakang yang sangat menggangu yang dihasilkan oleh gerakan termal  dari molekul-molekul udara.. Telinga bagian dalam berisi resonansi yang didesain begitu indah yang, boleh dikatakan, melaksanakan analisis harmonis sangat akurat dan rinci dari sinyal auditorial, suatu gelombang suara.

Frekuensi masing-masing gelombang suara didengar begitu jelas dan terang dan secara terpisah, seperti kita dapat mendengar 4 not suara piano sekaligus.  Hal ini penting karena dalam persepi visual  secara presisi effek perata-rataan terjadi (averaging effect)

Pada sisi lain, persepsi auditorial  pada manusia tidak memberikan informasi begitu akurat dari mana suara itu datang dan tentang  lokasi sumber suaranya.

 

IV.2    Persepsi Visual (Penglihatan)

 

Ini merupakan bentuk klasik dari persepsi, atas persepsi visual mana para filosof secara tradisional meletakkan penekanan tertingginya. Diketahui secara umum bahwa masing-masing mata berperan seperti kamera fotografis kecil. Lensa menghasilkan gambar dunia luar pada retina, yang lagi-lagi biasanya merupakan gambar sangat akurat, yang selanjutnya ditransmisikan oleh syaraf optis menuju korteks. Stasiun relay dari kedua jejak optis adalah apa yang dinamakan dua lateral geniculate bodies (LGB), satu pada bagian kanan thalamus dan satu lainnya pada bagian kiri thalamus. Hemisfer kiri dari otak (atau separoh otak kiri) menerima informasi visual dari  kedua mata, tetapi dari hanya separuh  bidang tampak kanan dari  kedua mata. Juga sama dengan hemisfer kanan yang hanya menerima separuh dari bidang tampak kiri dari kedua mata.

Pengolahan optis utamanya berlangsung dalam retina, yaitu LGB dan korteks visual dari kedua hemisfer.

Perbedaan-perbedaan tipis dalam arah sumbu optis menghasilkan perbedaan-perbedaan dalam citra bersangkutan dalam retina, yang disebut parallax, secara keseluruhan memberikan tampakan 3-dimensi, yaitu kedalaman. Ini dikenal dengan pandangan  steoroskopis.

Mengingat kini status pemrosesan citra secara elektronis telah begitu canggih, adalah menarik untuk membandingkan pemrosesing data visual dari mata kita dengan teknologi pemrosesan citra, dan visi stereoskopis dilakukan telah lebih dari 5 dekade yang lalu dalam fotogrametri untuk tujuan yang sama, yaitu membangun  model 3-dimensi dari citra 2-dimensi.

 

IV.3     Persepsi Warna

 

Retina mata terdiri dari reseptor-reseptor yang dibungkus rapat, terdiri dari 107 kerucut (cone) dan 108 batang (rods). Rods  bertanggung-jawab untuk melihat dalam kondisi pencahayaan yang redup; rod tidak mengenal warna. Sebaliknya cones adalah aktif dalam sinar siang normal.   Cones terdiri dari 3 jenis, satu jenis mempunyai  kepekaan (sensitivitas) untuk panjang gelombang 430 nanometer (biru) , jenis kedua untuk 530 namometer (hijau) dan jenis ketiga untuk 560 nanometer (merah) Kita ingat bahwa gelombang elektromagnetik untuk cahaya tampak adalah antara  400 – 700 nanometer (1 nanometer = 10-9 m)

Jika semua panjang gelombang diwakili secara uniform, maka kita sebut cahaya putih. Jika beberapa panjang gelombang lebih menonjol, kita melihat warna yang sesuai dengan rata-rata panjang gelombang tersebut. Jadi mata kita tidak  melakukan analisis harmonis yang rinci dan canggih seperti dilakukan telinga dengan gelombang suara.

Setiap cone mempunyai kepekaan maksimum untuk satu panjang gelombang tertentu dan kepekaan yang menurun untuk panjang gelombang tetangganya. Setiap panjang gelombang menstimulasi satu dari 3 jenis cones sampai taraf tertentu dan kesan bersihnya adalah justru panjang gelombang yang ditentukan

Jika sudut masuk dari cahaya  memuat beberapa panjang gelombang maka kita akan melihat satu warna rata-rata.  Hal ini sama jika  kita ketuk piano 2 not bersamaan, c dan e, maka kita akan mendengar not tengahnya.

Perata-rataan (atau agaknya pencampuran) dua panjang gelombang oleh mata bahkan menghasilkan warna, untuk warna mana tidak ada panjang gelombang alami  yang cocok: ungu sebagai hasil pencampuran biru dan merah.

Jadi, setidak-tidaknya dalam visi warna, ada simplifikasi yang sangat besar dari informasi panjang gelombang: sinar cahaya yang memuat banyak sekali panjang gelombang, bahkan tak terbatas, panjang gelombang hanya memberikan satu warna. Visi warna adalah hubungan “banyak dengan satu”.

 

 

IV.4.     Garis Berorientasi, Objek Bergerak dan Sel-Sel Nenek 

    (Grandmother cells)

 

Juga dalam respek lain, visi tidak sekedar memberikan kita citra fotografis dari dunia luar. Ada sel-sel dalam korteks yang bereaksi hanya pada garis atau strip dari orientasi tertentu: horizontal, vertikal atau miring 450. Neuron lainnya bereaksi hanya jika objek bergerak.  Bahkan dikatakan bahwa ada neuron tunggal yang hanya beraksi pada suatu bentuk individual tertentu, seperti muka nenek anda (disebut “grandmother cells”).

Ada dua publikasi baku yang ditulis oleh ilmuwan ternama dalam neurologi (neuroscientist) yang mudah dibaca dan menangani berbagai aspek: (Hubel 1988) dan (Young 1987)

 

V          TEORI  EVOLUSIONER DARI PENGETAHUAN

 

Karakteristik “non-fotografis” dari visi yang disebut sebelumnya dapat dijelaskan dengan fakta bahwa organ indera, maupun bagian lain dari tubuh kita, telah dibentuk oleh evolusi biologis, melewati hampir semuanya  tahapan dari dunia hewan.

Pendengaran pada hewan tidak dirancang untuk menikmati musik Beethoven. Pendengaran berfungsi untuk memberi informasi kepada hewan tentang musuh atau korban yang mendekati: singkatnya untuk membantu hewan tetap hidup (menyelamatkan nyawanya). Dengan mata juga demikian: visi dalam hewan bukan utamanya untuk melayaninya melihat pemandangan indah, tetapi membantunya untuk mengenal dan membedakan makanan dan bahaya. Untuk maksud ini adalah esensial jika objek itu bergerak atau tidak, dan juga penting apakah garis besar dan horizontal atau vertikal  maupun pengenalan langsung dari objek terkait (grandmother cells).

Dengan demikian penggunaan “data indera” untuk keperluan abstrak seperti seni, ilmu dan filsafat, datang pada status sangat akhir dari pengembangan manusia. Daripada menyalahkan data indera untuk tidak memberikan kita secara langsung  semua informasi ilmiah tentang dunia, kita akan terheran dan berterima kasih bahwa data indera dan analisisnya oleh pikiran manusia telah mengajar kita begitu banyak dan (mudah-mudahan) akan berlanjut seterusnya.

 

V.1      Pengetahuan A Priori  dan Posteriori

 

Pada pagi hari kita menuju ke mobil kita, membuka pintunya dan  memutar kunci starternya. Mengapa? Karena kita ketahui sebagai aturan bahwa mesin mobil akan hidup dan kita akan mengenderainya ke kantor kita.

Ekspektasi (harapan) yang kita miliki sebelum memutar kunci starter adalah semacam bentuk pengetahuan a priori  ( a priori artinya “sebelumnya”). Setelah mesin mobil hidup betul dengan memutar kunci starter (yang kadang-kadang juga belum tentu), maka kita mengetahuinya secara empiris atau a posteriori bahwa harapan kita menjadi kenyataan.

Informasi a priori umumnya dipercaya yang diberikan oleh logika  dan matematika: 3 + 2 = 5, terlepas apakah kita bicara tentang apel atau manusia, Juga dipercaya bahwa selalu benar, walaupun satu awan ditambah satu awan akan menyatu menjadi awan lain: 1 + 1 = 1 untuk awan. Ini mungkin suatu lelucon, tetapi  bukan suatu yang sepele.

Informasi a posteriori diperoleh melalui pengamatan empiris: melihat mobil  distarter dalam contoh  kita.

Sebagaimana diberikan dalam contoh-conton di atas, unsur-unsur a priori dan a posteriori berinteraksi dalam tiap aktivitas manusia, dan jelas pula dalam ilmu pengetahuan: teori (a priori) dan testing melalui percobaan (a posteriori).

 

Apa yang sudah didiskusi dalam filsafat sebelum Kant tetapi telah ditempatkan dalam pusat filsafat oleh Immanuel Kant (1724-1804), menurut Moritz (1995), adalah  peranan dan kepastian dari unsur-unsur a priori dan a posteriori yang terkait.

Secara universal diakui oleh para filosof bahwa hanya logika adalah a priori dan pengamatan adalah a posteriori. Dalil yang secara logika benar (tautology) adalah juga dinamakan “analitis”, lain-lainnya (khususnya dalil tentang fakta empiris), dinamakan “sintetis”

Sehingga seluruh dalil analitis adalah a priori dan seluruh dalil empiris adalah a posteriori. Kini pertanyaan dari Kant adalah “apakah dalil sintetis yang a priori dimungkinkan ? Ambil misalnya teorema matematika. Teorema ini tidak tergantung dari pengamatan  empiris dan dengan demikian dianggap oleh Kant sintetis a priori.  Bertrand Russell (1872-1970) beranggapan bahwa dia dapat mendeduksi seluruh matematika dari aksioma logika murni dan dengan demikian percaya bahwa matematika adalah a priori tetapi analitis.  Matematikawan kontemporer lainnya agak cenderung ke arah pendapat Kant.

Kant percaya tidak hanya matematika saja, tetapi juga ruang geometris dan  fisis tiga-dimensi yang akan menjadi a priori secara sintetis, maupun kategori lainnya seperti “waktu” dan “kausalitas”

Kant menganggap hal ini akan benar mutlak, tidak hanya aproksimasi (pendekatan), oleh struktur dari pikiran kita. Dia percaya telah melaksanakan “revolusi Copernicus” dalam filosofi dengan meletakkan hukum yang sangat mendasar dari fisika tidak dalam alam tetapi dalam pikiran kita. Kita tidak dapat sekedar berfikir tentang ruang secara berbeda daripada sebagai ruang tiga-dimensi dan Euclidean.

Sejak Teori Relativitas Einstein (atau bahkan sejak geometri non-Euclidean dari Gauss, Bolyai dan Lobačevsky), kita tahu bahwa Kant tidak benar dalam hal ini. Namun demikian, pembicaraan a priori dan a posteriori berlangsung sampai hari ini.

 

V.2     Contoh Eddington     

 

Eddington (1939, hal. 16) memberikan ilustrasi yang menarik tentang a priori ilmiah. Sebagai seorang sarjana biologi laut, ia sedang menjajaki kehidupan di laut. Untuk mendapat spesimen binatang yang hidup di laut ia melempar jala dan memeriksa tangkapannya. Ia menemukan:

(1)       tidak ada binatang laut yang kurang dari 5 cm panjang

(2)       semua binatang laut mempunyai insang

  Agar  pasti bahwa penemuannya benar, ia mengulangi eksperimennya beberapa kali dan pada berbagai tempat. Ia menemukan bahwa kesimpulannya benar  dan mengambil kesimpulan bahwa hal ini akan benar secara universal.

Adalah jelas bahwa temuan (1) bukan hukum objektif dari alam, tetapi konsekuensi dari organisasi eksperimennya. Akan menjadi lain jika ia memakai jala dengan mata jala yang lebih kecil atau lebih besar.

Ini menggambarkan bahwa kita tidak dapat menghindari dari “a priori” subjektif. Persepsi indera adalah suatu yang diberikan (data indera) sebagaimana difabrikasi oleh pemroses yang sangat kompleks dari otak kita (Jaring Eddington)            

 

V.3      Epistemologi Evolusioner

 

Epistemologi adalah tidak lain dari “teori tentang pengetahuan” (theory of knowledge). Ilmuwan biologi terkenal Konrad Lorenz (1903-1989) adalah gurubesar terakhir dari ilmu filosofi Immanuel Kant di Königsberg. Mempelajari filosofi Kant, ia mengenali bahwa kondisi a priori dari Kant untuk pengetahuan manusia dapat di-identifikasi dengan struktur persepsi seseorang (mata, telinga, dsb) yang dikembangkan dalam perjalanan evolusi manusia.  Pandangan dunia manusia sebagian besar, walau semata-mata tidak eksklusif, di kondisi oleh bangunan fisis dan mentalnya. Misalnya, selain  kita mampu menangkap hanya panjang gelombang dari 400 sampai  700 nm (spectrum tampak) dalam spektrum elektromagnetik, kita sebenarnya mampu mem-visualisasi frequensi lain, namun  representasi visual kita akan berbeda sekali. (kita dapat menangkap gelombang inframerah sebagai panas). Atau coba bayangkan bagaimana seorang buta yang dapat menangkap frekuensi yang tidak tampak.

Teori ini secara menarik menjelaskan mengapa persepsi kita begitu sesuai dangan alam (misalnya mata, telinga dan sentuhan memberikan hasil yang konsisten). Pertanyaan filosofis “adequation mentis ad rem” (keselarasan pikiran  dengan alam) dapat dijelaskan secara sederhana: jika kesan indera hewan tidak selaras dengan kenyataan (misalnya, jika hewan tidak mengejar mangsa yang  ada), dia  tidak akan hidup, karena tidak sesuai dengan prinsip Darwin “survival of the fittest” (hanya mereka yang kuatlah yang dapat hidup).

A priori hewan dan apparat persepsinya cocok utk kelangsungan hidup (survival), dan boleh dikatakan, kumpulan dari “hipotesis kerja untuk kelangsungan hidup.

Dalam bukunya “Filozofia znanosti I humanizam”  (Filosofi Ilmu Pengetahuan dan Kemanusiaan), Iwan Supek memperlihatkan bahwa teori evolusioner dari pengetahuan berawal dari seorang fisikawan Austria Ludwich Boltzmann (1844-1906) [ZNL, Zagreb, Kroasia, 1991, hal.85]

 

V.4      Ilmu Pengetahuan           

 

Ilmu pengetahuan adalah kelanjutan dari aparat persepsi manusia, terutama untuk kelangsungan hidup. Kemudian, sejak masa Yunani purba, dengan muncul “keinginan tahu intelektual” (intellectual curiosity) untuk memenuhi nafsu ingin tahu untuk dirinya sendiri. Teori-teori sudah  tidak lagi (semata-semata) “hipotesa kerja untuk kelangsungan hidup”, tetapi “hipotesa kerja untuk mengerti alam” Sudah tentu a priori utama dibentuk oleh logika dan matematika di satu sisi, dan oleh struktur dari persepsi indera, di lain sisi. Dengan cara mana logika dan otak terkait, hampir seluruhnya masih kontroversial. Aparat persepsi kita, sebaliknya, pasti diberikan kepada kita melalui evolusi.

A priori sekunder untuk riset ilmiah adalah teori-teori fisika, kimia, biologi dsb. Berlawanan dengan Kant, adalah, bahwa  teori-teori ini sudah tidak lagi dianggap kebenaran absolut, tetapi sebagai hipotesa kerja dengan pemalsuan dari berbagai tingkat variasi dan selalu  menjadi subjek untuk setidak-tidaknya peninjauan kembali (revision)

 

V.5      Buket dan Lampu Sorot (The bucket and the searchlight)

 

Filosofi modern menekankan pada peranan aktif dari subjek dalam pengumpulan informasi. Para penganut positifis logika di sekitar Bertrand Russel menganggap objek materi sebagai “konstruksi logis dari data indera”, data-data ini sedikit banyak terhubung secara pasif dalam buket (ekspresi ini dari Karl Popper, 1979). Pandangan ini tentunya bertentangan dari “fallacy of misplaced concreteness”-nya Whitehead, yaitu penyederhanaan berkelebihan (oversimplification). Secara sederhana adalah tidak benar bahwa kita melihat “suatu bercak merah di kelilingi oleh hijau”, tidak, kita langsung mengenalnya sebagai warna ros. (Memerlukan abstraksi filosofis tingkat tinggi untuk melihat bercak merah sedangkan orang lain melihatnya warna ros).

Teori modern menganggap aparat persepsi kita sebagai “lampu sorot” untuk menemukan apa yang kita asumsikan, perkirakan, harapkan atau cemaskan, seperti seorang pemburu menunggu singa. Sebagaimana telah diterangkan pada awal tulisan ini, dan ini adalah alasan mengapa gerakan detektor dalam retina visual adalah tidak begitu penting.

Tetapi teori-teori ilmiah juga berperan sebagai lampu sorot untuk mengeksplorasi alam. Kita mengharapkan mem-verifikasi alam melalui eksperimen, atau kalau mengikuti cara Karl Popper, kita harus memalsukannya, seperti seorang gurubesar tanpa ampun mecoba menggagalkan semua mahasiswa, kecuali, mereka yang paling sangat baik.  (hanya mereka yang  nilai A saja yang sangat baik !!!!).

Mari kita mengulangi beberapa pokok-pokok pembahasan kita. Logika matematika secara mutlak adalah a priori. Teori-teori ilmiah juga digunakan secara a priori, sebagai hipostesa kerja, tetapi subjek dari ke penyangkalan  dan revisi melalui  pengalaman.

Teori positif-logis dari data indera yang diterima kurang lebih pasif, dari data mana objek eksternal diperoleh dengan “konstruksi logis”, tidak sesuai dengan realitas. Unsur-unsur a priori, dari ketakutan primitif dan ekspektasi sampai teori-teori ilmiah maju bekerja sebagai lampu sorot untuk menemukan dan mengerti dunia eksternal kita

Binatang sudah  merasakan musuh-musuhnya atau korbannya sebagai objek eksternal, walaupun dengan cara kasar. Jika binatang ini mengkonstruki musuh-musuhnya secara mental dari data indera; dia tentunya sudah mati jauh sebelum menyelesaikan konstrukis logis. Juga manusia juga merasa secara langsung, bukan data indera, tetapi objek eksternal. Ini adalah setidak-tidaknya orang percaya, dan “realisme hipotetis” dari epistemologi evolusioner menegaskan bahwa ia secara mendasar adalah benar.

Alfred North Whitehead mengatakan ia tidak akan memperhatikan gajah kecuali ia mengharapkan akan menemui binatang ini Ini adalah contoh lain dari tesis lampu sorot. Untuk memberikan contoh sehari-hari yang lain: jika orang melihat alam dengan berjalan kaki, ia akan heran betapa banyak yang dapat ia lihat dengan caranya ini,  yang sebaliknya hanya akan terlewat tanpa perhatian..

 

DAFTAR PUSTAKA

 

1.      Churchland, P.M. 1988. Matter and Consciousness, 2nd Edition. MIT Press, New York, USA

2.      Cohen J. and I.Steward. 1994. The Collapse of Chaos: Discovering Simplicity in a Complex World. Viking-Penguin, New York, USA

3.      Eddington, A. 1939. The Philosophy of Physical Science. Cambridge University Press. London, UK

4.      Haldane A. 1939. The Marxist Philosophy and the Sciences. Reprint by Books for Library Press. Freeport, New York, USA

5.      Lorenz K. 1973. Behind the Mirror. Methuen. London, UK

6.      Moritz, H. 1995. Science, Mind and the Universe – An Introduction to Natural Philosophy. Herbert Wichmann Verlag. Heidelberg, Germany

7.      Popper K.R. and J.C. Eccles. 1977. The Self and Its Brain. Springer Verlag. Berlin, Germany

8.      Russel B. 1992. The Problems of Philosophy. William and Norgate. London, UK

9.      Whitehead, A.N. 1993. Adventures of Ideas. Macmillan. London, UK

 

 



[1] Disadur dari  Moritz, H. 1995. “Science, Mind and the Universe”. Wichman, Berlin, Jerman

[2] Disadur dari  Moritz, H. 1995. “Science, Mind and the Universe”. Wichman, Berlin, Jerman

[3] Ontology is the science of being or reality; the branch of knowledge that investigate the nature, essential properties, and relations of being (Webster’s definition)

[4] “Tuhan di tengah-tengah pengepungan “ diterjemahkan secara harafiah dari Kamus Latin-Indonesia (Kent. et al. 1969). Mungkin dimaksud “Tuhan Melepaskan Kita dari Pengepungan”