©
2001. Anita
Esfandiari
Posted
12 June 2001 [RCT]
Makalah Falsafah Sains (PPs
702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Juni 2001
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir Zahrial Coto
TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH HEWAN KE MANUSIA :
SUATU
TINJAUAN SAINS DAN BIOETIKA
Oleh:
ANITA
ESFANDIARI
SVT 995177
E-mail: maspung@indo.net.id
Transplantasi
atau pencangkokan organ tubuh di antara sesama manusia, disebut juga allotransplantation,
telah menyelamatkan ribuan penderita kegagalan organ utama dari kematian dan
penderitaan. Ribuan kornea mata, ginjal, jantung, sumsum tulang belakang dan
hati yang sehat secara fisiologis, dicangkokkan kepada pasien yang sebagian
menghadapi keputusasaan. Kegagalan
organ yang bermuara pada kematian merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
sangat penting pada komunitas modern dewasa ini. Jantung yang gagal berfungsi
misalnya, merupakan pembunuh utama yang dapat mencapai empat kali lipat
dibandingkan dengan kematian akibat HIV-AIDS.
Di
Amerika Serikat selama periode 1990-1995, rata-rata sekitar 4835 orang pertahun
mendonorkan organ tubuhnya yang biasanya diambil segera setelah dinyatakan
meninggal. Di sisi lain, menurut
lembaga pengelola penghibahan organ tubuh di Amerika Serikat, Health
Resources and Services Administration, lebih dari 48.000 orang menunggu
uluran tangan pendonor untuk menjalani cangkok organ tubuh agar dapat
diselamatkan nyawanya. Pada tahun
1996 saja misalnya, 33.000 orang di Amerika Serikat termasuk dalam daftar tunggu
untuk menerima donor ginjal. Oleh karena keterbatasan donor yang bersedia,
setiap tahun sekitar 3000 orang meninggal karena gagal ginjal.
Keterbatasan organ tubuh manusia yang siap untuk ditransplantasikan
didukung oleh kemajuan bioteknologi, memberikan secercah harapan bagi
pemanfaatan komponen asal hewan. Komponen
tersebut meliputi organ tubuh secara utuh seperti jantung, ginjal, hati dan
sumsum tulang, maupun jaringan atau sel-sel tertentu.
Transplantasi dari hewan ke manusia tersebut dikenal sebagai
xenotransplantasi (xenotransplantation).
Transplantasi lintas spesies tersebut telah menimbulkan pro dan kontra dalam
berbagai aspek kehidupan meliputi aspek sains (klinis), sosial dan bioetika.
Leonard
Bailey, seorang dokter bedah dari Loma Linda University telah berhasil
mencangkokkan jantung baboon, jenis primata yang mulai langka untuk menggantikan
jantung Baby Fae. Meskipun demikian,
sang pasien yakni seorang bayi yang baru lahir dengan kelainan jantung itu,
hanya mampu bertahan hidup sampai 20 hari setelah operasi. Pada tahun 1992,
sebuah tim dari University of Pittsburgh Medical Center telah berhasil pula
mencangkokkan hati baboon pada pasien berumur 35 tahun yang sayangnya meninggal
segera setelah operasi.
Penggantian jantung manusia dengan
jantung hewan membawa konsekuensi penolakan tubuh melalui fenomena imunologis
disamping membawa resiko untuk terjadinya infeksi. Pada alotransplantasi jantung,
penolakan dan resiko infeksi dapat ditekan dan dicegah dengan pemberian cyclosporine.
Bahan yang berfungsi sebagai agen imunosupresif tersebut ternyata dapat
meningkatkan angka keberhasilan pencangkokan menjadi lebih dari 85 persen.
Dari sisi bioetika, beberapa
pertimbangan telah diketengahkan oleh para pendukung hak-hak asasi hewani.
Pertimbangan dan keberatan tersebut meliputi asumsi perlunya penghormatan atas
eksistensi hewan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang hendaknya tidak semata-mata
dijadikan obyek bagi kepentingan manusia.
Transplantasi Organ Antar Manusia
Adalah suatu kenyataan bahwa transplantasi organ, jaringan atau sel antar manusia, pada saat ini sulit untuk dianggap sebagai suatu solusi terbaik. Hanya sejumlah kecil kandidat penerima organ yang mampu memenuhi prasyarat bagi lancarnya operasi yang sangat berat dan membutuhkan kesehatan yang sangat prima. Di sisi lain, hanya sejumlah kecil pasien yang mampu bertahan hidup dengan organ tubuh barunya setelah operasi pencangkokan berlangsung dengan baik. Disamping itu, resiko munculnya efek samping akibat penggunaan obat-obatan yang diberikan pasca operasi dan pertimbangan biaya yang masih sangat mahal telah membatasi pemanfaatan teknologi pecangkokan organ antar manusia tersebut.
Barnard, seorang dokter bedah jantung Afrika Selatan, telah berhasil mencangkok jantung pasien pertamanya yang mampu bertahan selama 18 hari dan kemudian meninggal akibat radang paru-paru. Resipien ke dua, ternyata mampu bertahan lebih dari 19 bulan sebelum akhirnya meninggal akibat penolakan imunologis. Pasien lainnya dilaporkan mampu bertahan lebih dari 20 bulan tanpa indikasi adanya penolakan, meskipun akhirnya meninggal akibat kanker lambung (Barnard, 1968).
Setelah uji coba penerapan transplantasi jantung yang pertama oleh Barnard pada tahun 1967(Barnard, 1968), sejumlah upaya transplantasi sejenis telah dilakukan di sejumlah negara. Pada tahun 1970-an uji coba tersebut mengalami kelesuan mengingat angka keberhasilan bertahan hidup dari pasien yang sangat rendah. Pada awal pelaksanaan transplantasi yakni sekitar akhir 1967 sampai pertengahan 1968, telah dilakukan 21 kali uji coba dengan angka keberhasilan sekitar 22 persen. Puncak frekuensi uji coba tercapai pada tahun 1968 yang mencapai 105 kali selama satu tahun. Sayangnya sekitar 65% dari pasien yang mengikuti uji coba, meninggal dalam tiga bulan pertama setelah transplantasi (Fox and Swazey, 1974).
Dibayangi dengan masa-masa gelap aplikasi cangkok jantung tersebut, sejumlah pusat pengkajian dan rumah sakit terkemuka tetap melanjutkan uji cobanya. Dapat disimpulkan bahwa kegagalan yang terjadi lebih diakibatkan oleh euforia dan ketergesa-gesaan untuk menerapkan teknik cangkok tersebut secepatnya. Kesiapan teknis yang dibutuhkan terutama dalam mengantisipasi penolakan tubuh resipien atas organ asing tersebut belum sepenuhnya dijalankan waktu itu.
Diiringi dengan peningkatan pengetahuan klinis dan imunologis, kemampuan untuk mencapai daya hidup selama satu tahun setelah trans-plantasi meningkat dari 64% di tahun 1967 menjadi sekitar 85% (Allan, 1996). Sejumlah resipien telah mampu bertahan hidup selama lebih dari 20 tahun. Sekitar 45% dari resipien mampu bertahan hidup di atas 10 tahun (Kaye, 1992). Ketika peningkatan keberhasilan semakin tinggi, transplantasi jantung masih saja belum bisa secara nyata dapat mengatasi kematian akibat gagal jantung. Resipien harus menjalani terapi imunosupresi seumur hidup dan menjalani pemantauan rutin terhadap kemungkinan infeksi, penolakan dan arteriopati akibat pencangkokan.
Ada tiga hal yang perlu dicermati dari aspek teknis-klinis dari apa yang telah dilakukan oleh Barnard sebagai perintis alotransplantasi jantung. Pertama, seberapa jauh “keberhasilan” pencangkokan jantung yang mereka lakukan merupakan jaminan terhadap kecanggihan teknik tersebut? Perlu dicatat bahwa Barnard melakukan uji coba cangkok jantung tersebut ketika angka keberhasilan alograf pada anjing yang diimunosupresi baru mencapai maksimal 250 hari (rata-rata 103 hari) (Lower et al., 1965). Kedua, pada kondisi semacam apakah uji coba klinis tersebut dilaksanakan? Dalam rangka memberikan “harapan keberhasilan”, Barnard melakukan seleksi seorang pasien yakni pasien yang sudah angkat tangan terhadap terapi lainnya. Pasien yang berumur 54 tahun tersebut, ternyata masih menderita gagal jantung akibat kongesti sebagai kelanjutan infark jantung yang dideritanya (Barnard, 1968). Ketiga, apakah yang didefinisikan sebagai “berhasil” oleh Barnard dapat menjamin penelitian selanjutnya? Berkaitan dengan etika, Editorial South African Medical Journal menyebutkan bahwa prosedur cangkok jantung dapat dimaknai sebagai “legitimate experiment” dari pada sebuah upaya “treatment ”. American College of Cardiology menyebut “berhasil” dalam cangkok jantung mengandung makna rentang keberhasilan dari perbaikan sirkulasi jangka pendek sampai kesembuhan total (Michaels and Simmons. 1994).
Para peneliti telah mengklaim bahwa keberhasilan transplantasi jantung dan hati antar manusia dilandasi oleh penelitian pada hewan. Namun demikian sampai saat ini belum ada hewan yang dapat bertahan hidup untuk jangka waktu panjang setelah menjalani transplantasi jantung dan hati dari hewan lain secara intra dan antar spesies.
Transplantasi
Organ Tubuh Hewan ke Manusia
Sejarah aplikasi klinis transplantasi
antar spesies pertama tercatat pada awal abad 20, yakni ketika dilakukan cangkok
ginjal dari kelinci, babi, kambing, domba dan primata. Namun demikian, semua
rangkaian uji coba tersebut menemui
kegagalan. Sejak kegagalan tersebut, selama lebih dari 40 tahun tidak dijumpai
laporan mengenai teknik ini pada literatur. Pada tahun 1963, Reemtsma dan
kawan-kawan berhasil mencangkokkan ginjal simpanse ke sejumlah resipien manusia.
Pasien yang sanggup bertahan hidup paling lama adalah 9 bulan yang dilaporkan
meninggal tetapi bukan akibat dari penolakan atau reaksi imunologis (Reemtsma,
1991).
Xenotransplantasi jantung pertama kali
dilakukan oleh Hardy dan kawan-kawan dari University of Mississippi pada tahun
1964 dengan mencangkokkan jantung simpanse ke manusia (Hardy et
al., 1964a) . Sejak itu delapan kali xenotransplantasi telah dilakukan, lima
menggunakan jantung donor primata (tiga simpanse dan dua baboon) dan tiga dengan
organ hewan ternak (satu domba dan dua babi) (Hardy et
al., 1964b). Pasien yang paling
lama bertahan hidup adalah Baby Fae, seorang anak yang baru lahir yang menderita
sindroma hipoplastik jantung kiri. Baby Fae merupakan resipien jantung baboon
yang tidak cocok dari aspek golongan darah. Dengan jantung baboon bergolongan
darah ABO, baby Fae hanya sanggup bertahan 20 hari. Sebelum melakukan uji
cobanya pada Baby Fae pada tahun 1984 itu, Barley dan kawan-kawan mencobanya
terlebih dulu pada domba sebagai donor pada kambing resipien. Satu ekor kambing
resipien mampu bertahan hidup sampai 165 hari dari sejumlah resipien lain yang
rata-rata bertahan 72 hari (Bailey et al.,
1985).
Pada periode 1993-996 para peneliti
dan praktisi dari University of Pittsburgh melaporkan dua kasus transplantasi
hati baboon ke resipien manusia. Pasien pertama mampu bertahan hidup 70 hari dan
26 hari pada pasien ke dua. Para peneliti menggunakan imunosupresif khusus yang
mampu mencegah penolakan tubuh atas organ tersebut, sementara di sisi lain
membuka peluang infeksi ganda terhadap berbagai kemungkinan infeksi yang
membahayakan. Untuk mengatasi kelemahan itu, para peneliti tersebut
berkesimpulan untuk menggunakan agen imunosupresif yang lebih spesifik yang
tidak membuka peluang terjadinya infeksi ganda (Starzl et
al., 1993).
Pada tahun 1992, Czaplicki dan kawan-kawan mencangkokkan jantung babi
kepada seorang penderita sindroma Marfan. Tim ini mengindi-kasikan tidak
terbentuknya respons penolakan hiperakut selama masa bertahan hidup yang hanya
mencapai 24 jam saja. Protokol yang digunakan merupakan modifikasi dari metode
konvensional, yakni dengan pemberian ekstrak kelenjar thimus dan serum fetus
sapi. Protokol tersebut melibatkan juga teknik perfusi jantung babi yang akan
digunakan dengan darah resipien dalam rangka menghilangkan antibodi anti-babi
sebelum pencangkokan jantung babi secara orthotopik tersebut.
Kemajuan berarti dicapai dalam
perkembangan teknik transplantasi jantung semenjak Hardy dan kawan-kawan
melaporkan keberhasilannya pada tahun 1964. Perhatian dititkberatkan pada
respons penolakan dan mengetahui bagaimana seluruh proses tersebut dapat
dikendalikan (Michler et al., 1985a).
Menekan Respons
Penolakan
Prospek penggunaan organ hewan menjadi
semakin menantang, namun demikian perlu adanya pengertian yang mendalam mengenai
bagaimana sistem kekebalan mengenal jaringan yang ditransplantasikannya sebagai
benda asing untuk dapat dihancurkan.
Sistem kekebalan dapat diibaratkan sebagai pedang bermata dua.
Di satu sisi akan melindungi tubuh dari infeksi, sementara di sisi lain
dapat menyerang jaringan tubuhnya sendiri.
Pada xenotransplantasi, tubuh diharapkan dapat menerima organ asal hewan
namun masih dapat melindungi tubuh dari ancaman lainnya, seperti penyakit
infeksi. Pada transplantasi organ dari manusia ke manusia, resipien
penerima organ diberikan obat-obatan yang dapat menekan kekebalan dalam rangka
menekan proses penolakan (rejection).
Strategi yang dilakukan untuk memperkecil atau apabila mungkin meniadakan peran obat-obatan penekan sistem kekebalan adalah :
Penyisipan gen yang dapat menghentikan penolakan hiperakut, respons kekebalan lapis pertama yang akan menyerang organ hewan pada beberapa saat setelah implantasi sekarang ini telah terbukti dapat tercapai;
Menghilangkan gen babi yang menandai organ sebagai benda asing dan membuat sistem kekebalan menjadi melemah; dan
Identifikasi
faktor-faktor yang mengarah kepada penolakan vaskuler dan sistem kekebalan lapis
kedua yang dapat menghancurkan organ yang ditransplantasikan dalam perhitungan
minggu atau bulan.
Pedoman
pemanfaatan organ, sel dan jaringan tubuh hewan untuk dicangkokkan ke manusia
perlu dipersiapkan untuk mengurangi resiko terhadap individu yang bersangkutan.
Pedoman tersebut berlaku untuk semua jenis xenotransplantasi meliputi
pencangkokan organ tubuh, serta transplatasi sel dan jaringan. Keprihatinan
tentang potensi infeksi atas berbabagai jenis penyakit yang telah diketahui
maupun yang baru merupakan suatu hal yang jelas. Bakteri yang menginfeksi
misalnya, dapat berubah ketika ditularkan dari induk semang aslinya kepada
spesies baru. Virus yang mungkin tidak menimbulkan penyakit pada hewan sebagai
induk semang asalnya dapat berubah menjadi penyebab penyakit serius bahkan dapat
bersifat fatal bagi manusia yang menjadi resipien organ tubuh tersebut.
Pedoman xenotransplantasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pedoman Xenotransplantasi untuk melindungi pasien.
|
·
Tim harus melibatkan para ahli bedah, dokter ahli penyakit
menular, dokter hewan, imunologis, spesialis pengendali infeksi, dan
mikrobiolog. ·
Pusat atau rumah sakit pelaksana harus terkait dengan
laboratorium virologi dan mikrobiologi. ·
Pedoman transplantasi harus ditelaah oleh Komisi Keamanan
Hayati, Komisi Penggunaan dan Perawatan Hewan, dan suatu BadanPenelaah.
Pedoman harus ditelaah dan disahkan oleh FDA. ·
Pedoman harus menjelaskan metode screening terhadap agen infeksi sebelum dilakukan transplantasi. ·
Informasi
kepada khalayak harus meliputi resiko potesial bagi resipien, keluarga,
atau jenis hubungan dekat (misalnya hubungan seksual), dan perlunya
mendokumentasikan spesimen serum sebelum dan sesudah transplantasi untuk
suatu tindak lanjut jangka panjang.
|
|
·
Hewan sebaiknya berasal dari kelompok yang telah tersaring,
dari peternakan atau koloni yang tertutup, dan bebas dari kemungkinan
infeksi. ·
Hewan harus berasal dari galur yang tercatat dan
dikawinkan dan dibesarkan pada penangkaran. ·
Permasalahan
yang menyangkut fasilitas pemeliharaan termasuk pencatatan, penyaringan
terhadap agen infeksi, kualifikasi hewan, pengarsipan catatan medis dan
catatan spesimen. |
|
·
Status
kesehatan dari resipien xenotransplantasi harus dimonitor secara klinis
dan menjalani uji laboratorium. ·
Metode
pengujian laboratorium harus dipantau dan didokumentasikan sebelum
transplantasi dilakukan. ·
Resipien
sebaiknya diberitahu terhadap kemungkinan potensi terjadinya resiko
penyakit infeksi bagi dirinya maupun bagi orang-orang dekatnya. ·
Prosedur
pengedalian infeksi di rumah sakit harus dijalankan dengan
sebaik-baiknya. ·
Laboratorium
yang ada harus mampu mengkultur dan mengidentifikasi baik agen infeksi
yang sudah banyak diketahui maupun yang baru. ·
Tim
kesehatan harus dididik terhadap kemungkinan resiko penyakit infeksi. ·
Sampel
serologis sebaiknya diarsipkan untuk investigasi lanjutan terhadap
kemungkinan infeksi. ·
Catatan kesehatan sebaiknya
dipelihara secara sistematis sehingga tetap memperhatikan dan melindungi
kerahasiaan pasien. |
Kesehatan
Masyarakat |
·
Panitia
pendaftar disarankan dapat menyediakan informasi untuk keamanan jangka
panjang dan mampu membantu investigasi epidemiologis. ·
Pencatatan/pendaftaran
yang baik dapat membantu mengidentifikasi xenotransplantasi dihubungkan
dengan masalah kesehatan yang mempunyai cakupan kesehatan masyarakat. |
TINJAUAN
BIOETIKA
Sejumlah isu tentang xenotransplantasi didasarkan atas
(1) penilaian etika atas teknik transplantasi secara umum, dan
(2) penilaian atas keharusan hewan untuk "dikorbankan" sebagai penyedia organ tubuh bagi kepentingan manusia.
Sejalan dengan evolusi
transplantasi sejumlah isu etika telah diidentifikasi. Kriteria bagi seseorang
untuk masuk dalam daftar tunggu, misalnya,
menyisakan ketidakpastian etika. Begitupun
hak pemilikan organ, kriteria untuk alokasi pemanfaatan sumberdaya organ,
tatacara bedah pada donor sehat sebagai penyumbang organ hidup, jual-beli organ
oleh si miskin kepada si kaya, aborsi
bahkan pembunuhan bayi untuk mendapatkan organ asal fetus/bayi.
Aspek etika yang dijadikan argumentasi
dasar bagi upaya menentang penggunaan hewan adalah suatu isu yang sangat
kompleks. Hal tersebut termasuk kontroversi sehubungan dengan penggunaan hewan
untuk penelitian atau percobaan secara umum. Tentangan terhadap penggunaan hewan
dan isu etika sehubungan dengan xenotransplantasi memerlukan kajian yang
hati-hati terutama dalam menyikapi perkembangannya di masa depan.
Hak-hak Asasi Hewan
Pertanyaannya
adalah apakah hewan memiliki hak-hak asasi. Jika ya, apakah hak-hak tersebut
dapat ditempatkan di atas hak-hak asasi manusia? Apakah hak-hak asasi hewan
tersebut membuat pengorbanan hewan tersebut menjadi tidak dapat diterima?
Dalam kaitannya dengan isu mengenai hak-hak asasi hewan, pertanyaan atas
sejauh mana tanggung jawab manusia terhadap hewan perlu mendapat perhatian.
Apakah xenotransplantasi, yang berarti mengorbankan nyawa hewan sebagai
penyedia organ dapat dilakukan sebagai pilihan sebelum sumberdaya organ manusia
(allotransplantasi) mengalami kekurangan.
Apakah berbeda dari segi etika,
penggunaan hewan untuk kepentingan xenotransplantasi dibandingkan dengan
penggunaan yang sama misalnya bagi studi penyakit, pengujian obat.
Kedua kelompok hewan tersebut juga menuntut pengorbanan hak-hak hidup dan
nyawa hewan. Lebih jauh, dapat dipertanyakan apa bedanya antara penggunaan hewan
untuk diambil organnya dengan memotong hewan untuk diambil dagingnya?
Hewan sebagai subyek
keprihatinan etika manusia
Kelompok aktivis penyayang hewan dan kelompok praktisi yang bergerak
dalam profesi medis sering memiliki pandangan yang berbeda tentang pendayagunaan
hewan bagi kepentingan medis. Di satu sisi, terdapat kecenderungan untuk
memandang hewan sebagai "end in themselves'" (mati dengan sendirinya)
sehingga eksistensinya sebagai makhluk tidak layak untuk diganggu gugat.
Sementara di sisi lain, terdapat kecenderungan bagaimana menempatkan
kebebasan manusia untuk dapat menggali hewan semata-mata bagi kepentingan
manusia.
Argumentasi yang sering dimunculkan
dalam kerangka dukungan terhadap upaya pemanfaatan xenotransplantasi didasarkan
atas pandangan bahwa hilangnya nyawa manusia, jauh lebih memerlukan perhatian
daripada kematian hewan. Bagi
pendukung xenotransplantasi argumen tersebut dipandang sangat tepat untuk
meyakinkan penentangnya. Kewajiban untuk menyelamatkan kehidupan manusia
melandasi alasan bagi penerapan xenotransplantasi.
Paham spesiesisme
Bagi para penentang xenotranplantasi
tidak ada satu pembenaranpun yang
melandasi hak-hak manusia secara mutlak. Menurut mereka, manusia
tidak dapat menyepelekan eksistensi makhluk ciptaan Tuhan lainnya.
Atas dasar itu, xenotransplantasi secara moral tidak dapat diterima
karena menempatkan manusia pada posisi atau derajat yang sangat tinggi dalam
tata hubungan alam, tanpa memperdulikan kebutuhan manusia - seperti tindakan
penyelamatan kehidupan manusia itu sendiri.
Paham semacam ini dikenal sebagai "spesiesisme".
Primata
Tingkat Tinggi di
Ambang Kepunahan
Jika
xenotransplantasi kelak menjadi metode yang berhasil guna tinggi, maka
kontribusinya sangat berati bagi penyelamatan nyawa manusia. Pengorbanan
sejumlah besar hewan, untuk kondisi tersebut dapat dimengerti dan dipahami. Pengaruh yang timbul dari pandangan semacam itu akan
menghadapi dilema, manakala dihadapkan pada sejumlah spesies yang mendekati
kepunahan. Sejumlah spesies primata
tertentu seperti baboon, simpanse dan beberapa macam monyet kemudian akan
semakin banyak digunakan. Padahal beberapa spesies tersebut diatas tidak
tersedia dalam jumlah yang cukup. Penangkaran jenis-jenis primata tersebut
relatif mahal dan keberlanjutan eksistensinya menghadapi ancaman.
Spesies primata tersebut tergolong
konkordan yang derajat penolakan (rejection) nya tidak serumit spesies lainnya yang tergolong diskordan
yang memiliki perbedaan filogenik yang lebih besar.
Pengendalian
terhadap respons penolakan tubuh yang tinggi antara spesies yang memiliki
perbedaan yang jauh seperti babi ke manusia atau domba ke anjing menghadapi
tantangan ilmiah yang tidak sederhana. Hal
tersebut membawa konsekuensi meningkatnya penelitian berbiaya tinggi.
Suatu isu lain berkembang sehubungan dengan etika profesional terkait
dengan kepeloporan pada suatu cabang ilmu baru. Pada kondisi dimana nyawa
seseorang menjadi taruhan, tidak sulit untuk meminta dirinya sebagai "kelinci
percobaan" (sukarelawan). Pertanyaannya adalah bagaimana sebaiknya mereka
dapat dilindungi dari ujicoba/inovasi yang masih bersifat prematur.
Daya Terima Pasien atas
Organ Hewan pada Transplantasi
Adakah perbedaan etika antara menerima organ tubuh melalui transplantasi dibandingkan dengan ingesti hewan dalam bentuk molekul, misalnya dengan mengkonsumsi daging, telur dan susu. Sebuah survai di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 51% dari penduduk setuju dan bersedia menerima xenotransplantasi apabila diperlukan atas tuntutan kebutuhan kesehatan.
PENUTUP
Perkembangan penerapan xenotransplantasi menunjukkan berbagai indikasi
peningkatan. Metode ini membawa
beberapa konsekuensi, baik ditinjau dari aspek sains (klinis) maupun bioetika.
Dari aspek sains (klinis), pengembangan teknik menghadapi dilema antara
resiko terjadinya penolakan (rejection)
dan kerentanan terhadap terjadinya infeksi yang berasal dari hewan donor. Sedangkan dari aspek bioetika, pro dan kontra tentang metode
xenotransplantasi ini mendorong para praktisi untuk senantiasa mengembangkan
metode ini secara lebih bertanggung jawab.
DAFTAR
PUSTAKA
Allan, J. S. 1996.
Xenotransplantation at a crossroads: prevention vs. progress. Nature.
2: 18-21.
Bailey LL, Nehlensen
Bannarella SL, Concepcion W, et al. Cardiac xenotransplantation in a neonate.
JAMA 1985a;254:3321-3329.
Bailey LL, Jan J,
Johnson W, Jolley WB. Orthotopic cardiac xenografting in the newborn goat. J
Thorac Cardiovasc Surg 1985b. 89:242-247.
Barnard, C. N. 1968. A
human cardiac transplant: an interim report of a successful operation performed
at Groote Schuur Hospital, Capetown. S Afr
Med J. 41: 1271-1274.
Czaplicki J, Blonska B,
Religa Z. The lack of hyperacute xenogeneic heart transplant rejection in a
human. J Heart Transplant 1992;11:393-396.
Fox,
R. C and Swazey, J. P. 1974b. The Heart Transplant Moratorium. In: The Courage
to Fail. University of Chicago Press. pp.
122-128.
Hardy, J. D., Chavez,
C. M., and Kurrus, F.E. 1964a. Heart transplantation in man: developmental
studies and report of a case. JAMA.
188: 114-122.
Hardy, J. D., Kurrus,
F. E., and Chavaz, C. M. 1964b. Heart transplantation in man: developmental
studies and review of a case. JAMA. 188
: 1132.
Kaye, M. P. 1992. The registry
of the international society for heart and lung transplantation: ninth official
report—1992. J Heart Lung Transplant.
11 : 599-606.
Lower, R. R., Dong, E.,
and Shumway, N. E. 1965. Long-term survival of cardiac homografts. Surgery.
58 : 110-119.
Michaels, M. G and
Simmons, R. L. 1994. Xenotransplant-associated
zoonoses. Transplantation.
57: 1-7.
Michler,
R. E., McManus, R. P., and Sadeghi, A. N. 1985. Prolonged primate cardiac
xenograft survival with cyclosporine. Surg
Forum. 359-360.
Page,
I. H. 1969. The ethics of heart transplantation. JAMA. 207 : 109-113.
Reemtsma,
K. 1991. Xenotransplantation—A Brief History of Clinical Experiences:
1900–1965. Edited by : Cooper, D. K. C, Kemp, E, Reemtsma, K, White, D. New
York: Springer-Verlag. pp. 10-12.
Starzl, T. E., Fung, J.
J., and Tzakis,
A. 1993. Baboon-to-human liver transplantation. Lancet. 341 : 65-71.