© 2001. Andi Irawan
Posted 11
June 2001 [rudyct]
Program Pasca
Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Juni 2001
Dosen:
Prof Dr Ir
Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir
Zahrial Coto
PERILAKU SUPLAI PADI LADANG DAN SAWAH DI INDONESIA DAN
KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI
Oleh:
Andi Irawan
EPN 995002
Abstrak
Tulisan
ini mencoba mendiskusikan perilaku suplai padi nasional dan implikasinya terhadap
kebijakan peningkatan produksi padi dan tepat-tidaknya paradigama swasembada
beras yang selama 32 tahun melandasi kebijakan perberasan nasional di era Orde
Baru.
Tulisan ini menunjukkan
bahwa kebijakan peningkatan produksi beras untuk mencapai swasembada melalui
program intensifikasi dan ekstensifikasi ternyata tidak cocok lagi untuk
dilanjutkan. Untuk menolong harga di
tingkat petani pemerintah diharapkan
harus mulai mengintervensi sisi permintaan beras untuk merubah elastisitas
permintaan beras yang in elastis menjadi elastis melalui introduksi
agroindustri beras.
Kata Kunci:
Kebijakan Produksi, Intensifikasi, Ekstensifikasi, Respon Suplai, Respon
Produktivitas, Respon Areal, Respon Produktivitas terhadap areal dan swasembada
Pasca
penghargaan dunia terhadap keberhasilan Indonesia mencapai Swasembada pangan,
luas lahan sawah di Jawa sampai saat ini terus menyusut. Tahun 1983, setahun sebelum swasembada beras, luas areal sawah di Jawa masih 5,5
juta hektar. Namun 10 tahun kemudian
berkurang menjadi 4,6 juta hektar atau berkurang 90.000 hektar per
tahunnya. Penyusutan yang terjadi
umumnya disebabkan oleh pertumbuhan industri, jalan, dan perumahan. Dalam hal ini dapat dilihat betapa timpangnya
produktivitas padi nasional. Pulau Jawa
yang luasnya hanya 4,1 juta hektar mampu memenuhi 63% suplai beras nasional,
sisanya 38% dipasok oleh 11,3 juta hektar lahan sawah di luar Jawa (Irawan,
1997).
Terasa
pasca penghargaan swasembada, ada kesan di kalangan pengambil kebijakan masalah
pangan dalam hal ini beras telah tuntas.
Pemerintah terlena dengan penghargaan FAO atas keberhasilan mewujudkan
swasembada pangan di tahun 1984,
setidaknya hal ini diindikasikan
dengan semakin menyusutnya lahan-lahan sawah subur di Pulau Jawa sejak tahun
1984 tersebut untuk berbagai kepentingan industri dan perumahan. Walaupun selanjutnya ada Keppres No 32 tahun
1992 tentang larangan pengalihan fungsi lahan irigasi teknis di Pulau Jawa,
tetapi gagal mencegah proses konversi lahan-lahan irigasi di Jawa. Fenomena ini diperparah oleh opini di
kalangan pengambil kebijakan bahwa masalah pangan (beras) bukan lagi menjadi
isu penting dengan demikian konversi lahan irigasi di Jawa dirasakan bukan
menjadi masalah dalam penyediaan pangan nasional. Akibatnya tak pelak lagi produksi beras
nasional turun drastis dan di tahun 1989 kita telah mengimpor beras sebesar
464.449 ton bahkan 10 tahun kemudian kita dikejutkan dengan jumlah impor yang
sangat spektakuler yakni sebesar 5,8 juta ton di tahun 1998.
Tulisan ini mencoba mendeskripsikan perilaku suplai padi nasional dan implikasinya terhadap kebijakan kebijakan peningkatan produksi melalui ekstensifikasi dan intensifikasi dan melihat Tepat-tidaknya paradigma swasembada yang mendasari kebijakan perberasan nasional berdasarkan informasi perilaku suplai padi sawah dan ladang di Indonesia.
KONDISI PRODUKSI PADI NASIONAL
Seperti
yang telah dikemukakan di atas, areal sawah di Jawa mengalami penyusutan
sekitar 0,5% per tahun atau sekitar 9000 hektar pertahun. Penyusutan lahan persawahan di Jawa
disebabkan oleh desakan pertambahan penduduk, perkembangan sektor industri,
konversi lahan produktip menjadi real estate, daerah wisata dan peruntukan
lainnya yang saling tumpang tindih (Kasryno, 1996). Hal ini dapat dilihat misalnya dari laju
konversi lahan pertanian (sawah) yang cepat.
Hasil beberapa penelitian (Tabel 1) menunjukkan bahwa dekade terakhir
rata-rata konversi lahan sawah di Jawa mencapai 13.400 sampai 87.600 hektar
(Hermanto dalam Irawan, 1997). Pada masa
mendatang trend konversi sawah di Jawa diperkirakan masih akan terjadi sehingga beban wilayah ini
sebagai penghasil pangan akan semakin berat.
Selama
ini kecenderungan konversi lahan yang tinggi pada lahan-lahan pertanian
disekitar sentral pertumbuhan ekonomi dan industri yang umumnya adalah
kota-kota besar di Jawa misalnya laju konversi yang tinggi adalah disekitar
wilayah Jabotabek, Bandung,
Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Malang
(Dahuri dan Saefuddin, 1996).
Akibat
problem konversi lahan di pulau Jawa, maka potensi produksi gabah hilang
sekitar 7,5 ton per tahun. Jika konversi
lahan dengan laju yang begitu cepat sampai tahun 2020, maka kehilangan potensi
gabah di Jawa sekitar 82 juta ton per tahun, setara dengan pemenuhan kebutuhan
beras bagi seratus juta penduduk pulau Jawa tahun 2020, sementara saat ini
penyediaan beras nasional masih di produksi di pulau Jawa sekitar 63% (Irawan,
1997).
Penyusutan lahan di Jawa seperti dikemukakan di atas tak pelak lagi menjadi kontribusi utama penyusutan produksi beras nasional. Di tahun 1998 pemerintah terpaksa mengimpor beras dalam jumlah yang sangat mengejutkan yakni sebesar 5,8 juta ton (lihat Tabel 2) yang kemudian oleh banyak pengamat perberasan karena kebijakan tarip beras nol persen.
Sementara
itu sentra produksi beras di luar Pulau
Jawa sampai sekarang belum juga mampu menyamai prestasi lahan dan petani di
Pulau Jawa. Pada Tabel 3 Tampak bahwa
produktivitas padi sawah dan ladang pada tiga tahun terakhir (1996-1998), di
Jawa adalah rata-rata 50,52 kuintal per hektar lebih tinggi 38% dibanding
produktivitas luar Jawa yang rata-rata hanya sebesar 36,75 kuintal per hektar.
Walaupun
demikian harus diakui, program intensifikasi padi di Indonesia selama 30 tahun
rejim Orde Baru telah meningkatkan produktivitas padi di luar Jawa dari hanya
sebesar 23,65 kuintal per hektar di PELITA II menjadi 32,91 kuintal/hektar di
PELITA V (Tabel 4) atau terjadi
peningkatan 13,05% per pelita.
Tabel 1. Rata-rata Luas Lahan Sawah yang Dikonversikan
di Pulau Jawa
Referensi |
Jenis lahan |
Ha/tahun |
keterangan |
JICA, 1988 Deli Hydarulic, 1991 World Bank, 1988 Sumaryanto et.al, 1995 BCEOM, 1988 Nasoetion dan Winoto |
sawah irigasi sawah irigasi sawah sawah sawah irigasi sawah irigasi |
20.000 22.500 20.000 22.637 13.400 27.633 |
- 1990-2000 - 1981-1993 1981-1985 1981-1986 |
Sumber: Irawan (1997)
Tahun |
Dalam Negeri |
Import |
Bantuan Luar Negeri |
Total |
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 |
2.600.839 1.283.738 1.446.783 2.598.501 1.981.146 949.938 939.914 1.446.539 1.971.223 251.786 2.327.690 |
464.449 29.839 178.880 634.217 0 876.240 3.014.204 1.090.258 405.947 5.782.926 1.702.906 |
0 0 0 0 0 0 0 0 0 103.085 56.505 |
3.065.288 1.313.577 1.625.663 3.232.718 1.981.146 1.826.178 3.954.118 2.536.797 2.377.170 6.137.796 4.087.100 |
Sumber: Bulog dalam Kompas (1999)
Melalui penerapan paket intensifikasi mulai dari BIMAS pada PELITA I dan introduksi urea tablet di tahun 1994/95, dan peningkatan fasilitas irigasi telah berperan besar dalam meningkatkan produktivitas padi sawah di Jawa dan luar Jawa di era ORBA. Namun keberlanjutan produksi dan produktivitas di era pasca ORBA akan sangat berbeda dengan era ORBA. Karena jika di era ORBA petani hanyalah mengikuti apa yang telah direncanakan oleh pemerintah (top down) tetapi di era pasca ORBA petani memiliki free will untuk menentukan mana yang terbaik baginya.
Hal
itu berarti, partisipasi petani padi di era pasca ORBA ini adalah partisipasi
yang relatip lebih alami, yang disadari oleh kesadaran petani bahwa
keterlibatannya tersebut akan menguntungkannya dirinya. Berdasarkan cara pandang yang baru ini maka
kebijakan price support yang ditetapkan pemerintah mutlak harus
mempertimbangkan perilaku produksi (suplai) petani, sehingga kebijakan yang
dihasilkan memang dirasakan petani menguntungkan mereka.
Sebagai
contoh, penetapan harga dasar gabah di
era orba hanya mempertimbangkan B/C ratio dari usahatani komoditas padi dan
dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) petani, berakibat
penetapan harga dasar ini tidak efektip.
Karena pada kenyataannya harga pasar yang berlaku selalu lebih tinggi
dibanding harga dasar. Ketidakefektipan
kebijakan ini disebabkan oleh tingkat
harga dasar yang ditetapkan pemerintah tidak memperhatikan perilaku
suplai (supply behaviour) (Syafa’at, 1996).
Pulau |
1996 |
1997 |
1998 |
Rata-rata |
Jawa Luar
Jawa -Sumatera -Kalimantan -Sulawesi -Bali-Nusa
Tgr -Maluku-Irian |
51,77 37,31 38,08 26,36 43,38 40,88 25,31 |
51,81 37,33 38,26 26,38 43,48 40,91 25,41 |
47,99 35,62 37,12 24,1 38,8 40,48 24,87 |
50,52 36,75 37,82 25,61 43,38 40,76 25,20 |
Sumber: BPS, Statistical Year Book of Indonesia
1996-1998
Dari perilaku suplai ini juga dapat di lihat kebijakan produksi (intensifikasi atau intensifikasi) yang cocok untuk suatu daerah. Di era Orba kebijakan produksi hanya melihat semata-mata dari kacamata ketersediaan lahan di luar Jawa, karena proses konversi lahan pertanian di Jawa. Hal inilah mungkin yang menjadi salah satu penyebab kegagalan mega proyek lahan sejuta hektar di Kalimantan.
KERANGKA TEORITIS PERILAKU RESPON SUPLAI
Model Penyesuaian Parsial
Model
distribusi beda kala penyesuaian parsial yang dikembangkan Nerlove merupakan
model yang populer digunakan dalam studi-studi respon penawaran. Dalam bentuk yang paling sederhana yaitu
model penyesuaian parsial sederhana berderajat satu, misalnya dalam konteks respon areal padi terhadap
harga. Areal panen padi yang diinginkan (A*t) dipengaruhi oleh
tingkat harga komoditas, maka persamaannya menjadi:
A
*t= bo + b1 X t + ut ................................................
(1)
dimana A *t= areal
panen yang diinginkan
X
t= harga beras
Luas
areal yang diharapkan tidak dapat diamati secara langsung sehingga untuk
mengatasinya didalilkan suatu hipotesis yang merupakan hipotesis perilaku
penyesuaian parsial:
A
t - At-1 = d(A *t
- A t-1 )
........................................................(2)
Perubahan
areal yang sebenarnya terjadi (A t - At-1 ) merupakan
proporsi tertentu dari perubahan yang diinginkan d(A *t - A
t-1 ). Proporsi tertentu ini
disebut koefisien penyesuaian parsial.
Nilai d ini terletak di antara
dua nilai ekstrim 0 dan 1.
jika d = 0, maka tidak ada perubahan apapun
dalam areal
d
= 1, maka areal yang diharapkan sama dengan yang dicapai sehingga
penyesuaiannya
seketika.
Persamaan (11) dapat diatur kembali
sehingga dituliskan:
A
t = d A *t + (1-d) A t-1 ............................................(3)
Areal
panen padi yang diamati pada periode tertentu dipengaruhi oleh luas areal yang
diinginkan dan luas areal yang ada pada permulaan periode sebelumnya. Jika (10) disubtitusikan ke (12) dan
menyusunnya kembali maka diperoleh:
Y
t = d (bo + b1 X t
+ u t ) + (1-d) Y t-1
= d bo + db1 X t + (1-d) Y t-1+ du t......................................(4)
Dalam
model ini galat tidak mengalami serial korelasi (koutsoyianis, 1978) dan hal
ini dapat diuji dengan melihat nilai perhitungan uji Durbin-Watson (dw). Bila praduga ini untuk menduga model. Selain itu koefisien (1-d) mempunyai makna
ekonomi yang jelas karena telah
mengandung koefisien penyesuaian parsial (d).
Model
penyesuaian parsial seperti juga model Koyck dan harapan harga adaptip, juga
otoregresif, tetapi model ini memiliki galat ut yang lebih sederhana
dan tidak mengalami serial
korelasi. Meskipun bentuk akhir ketiga
model nampaknya sama, tetapi ketiganya berbeda dalam hal latar belakang penyusunan model. Model Koyck cenderung merupakan hasil
manipulasi matematik, sedangkan model harapan harga adaptip didasarkan pada
ketidakpastian di masa mendatang tentang harga, dan lain sebagainya. Sedang model penyesuaian parsial didasarkan
pada kekakuan/kendala kelembagaan dan kelembaman (inersia).
PERILAKU SUPLAI DAN KEBIJAKAN PRODUKSI
Tulisan
ini menggunakan hasil uji empiris respon suplai yang dilakukan oleh Irawan
(1998), dimana model empiris respon penawaran padi yang digunakan oleh Irawan
pada dasarnya menggunakan model penyesuaian Nerlove.
Hubungan
antara luas areal panen, produktivitas dan out put, dalam bentuk yang sederhana
adalah output (Q) dispesifikasikan sebagai perkalian antara luas areal panen
(A), produktivitas (Y) dan variabel teknis dan ekonomi lainnya (Z), sehingga
dapat dituliskan sebagai berikut:
Q = A.Y
...................................................... (5)
Diasumsikan areal panen (A) dan
produktivitas (Y) merupakan fungsi dari harga, sehingga respon terhadap
perubahan harga (P) adalah sebagai berikut:
A
= A(P,Z...)
Y
= Y(P, A, Z, ...)
Maka jika (22) didiferensiasikan
total terhadap harga adalah sebagai berikut:
dQ/dP
= Y (dA/dP) + A (dY/dP)
....................................(6)
Karena produktivitas respon terhadap
perubahan areal, maka pengaruh perubahan areal terhadap produktivitas akibat
adanya perubahan harga dapat ditulis sebagai berikut:
dY/dP
= dY/dP (dY/ dA . dA / dP)
...................................(7)
Artinya
perubahan produktivitas karena perubahan harga terdiri atas perubahan
produktivitas secara parsial terhadap harga padi dan perubahan produktivitas
karena terjadinya perubahan areal akibat perubahan harga padi. Jika persamaan (7) disubtitusikan ke (5)
maka:
dQ/dP = Y
(dA/dP) + A [(dY/dP + (dY/ dA . dA / dP)] ......................(8)
kedua ruas dikalikan P/Q maka
diperoleh:
(dQ/dP) P/Q = (P/Q )Y (dA/dP) + A(P/Q) [(dY/dP + (dY/ dA . dA / dP)]
........(9)
(dQ/dP) P/Q = A/A (P/Q )Y (dA/dP) + A(P/Q) [(dY/dP + (dY/ dA . dA / dP)]
......(10)
karena A.Y = Q maka:
(dQ/dP) P/Q = P/A (dA/dP) + P/Y (dY/dP) + (dY/ dA
(A/Y).((P/A) (dA / dP)) ....(11)
Jika dinyatakan dalam elastisitas
maka:
E(P) = E(Y,P) +[ E (A,P) (1 + E(Y,A))]
..........................(12)
dimana : E(P)
= Elastisitas (respon) penawaran padi
E(Y,P)
= Elastisitas (respon) produktivitas terhadap harga
E
(A,P) = Elastisitas (respon) Areal terhadap harga
E(Y,A)
= Elastisitas (respon) produktivitas terhadap areal
Dengan
demikian maka elastisitas (respon) penawaran agregat E(P) dapat diduga secara tidak langsung dengan
melakukan pendugaan lebih dahulu terhadap E(Y,P), E (A,P),
dan E(Y,A).
Adapun hasil uji empiris nilai-nilai
respon suplai padi sawah dan ladang di Indonesia dapat di lihat pada Tabel 5
dan 6 (berdasarkan penelitian Irawan (1998)).
Berdasarkan nilai-nilai respon
produktivitas terhadap harga (E(Y,P) dan nilai respon areal terhadap harga
(E(A,P)) dapat ditentukan kebijakan produksi yang cocok untuk suatu wilayah
dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Misalkan jika suatu wilayah dalam jangka pendek elastisitas (respon)
arealnya lebih tinggi dari nilai elastisitas (respon) produktivitasnya menunjukkan kebijakan produksi secara umum
yang cocok untuk wilayah tersebut dalam jangka pendek adalah kebijakan ekstensifikasi. Walaupun demikian, kebijakan ekstensifikasi
untuk wilayah ini harus di pertajam lagi kelayakannya dengan melihat apakah
dampak peningkatan produksi dengan
menambah luas lahan
terhadap produktivitas, ini dapat
dilihat melalui nilai respon produktivitas terhadap areal. Ektensifikasi yang berakibat penurunan
produktivitas, mencerminkan terjadinya penghamburan sumberdaya lahan (tragedy
of common). seperti yang terjadi untuk
padi sawah di Kalimantan dimana nilai respon arealnya adalah - 0,1844 yang
artinya jika terjadi kenaikan luas lahan sebesar 100 persen maka akan
menurunkan produktivitas sebesar 18,44 persen
(lihat tabel 5). Lebih rinci
kebijakan produksi untuk masing-masing wilayah produksi padi sawah dan ladang
di Indonesia dapat dilihat pada tabel 7.
Beberapa
implikasi kebijakan penting lainnya yang dapat dilihat dari Tabel 5 dan 6
adalah sebagai berikut: Pertama,
elastisitas (respon) penawaran padi sawah dan ladang di Jawa dan luar Jawa
adalah inelastis (kurang dari 1), kecuali padi sawah dan ladang di
Sulawesi. Penawaran padi yang in elastis
ini memberikan implikasi bahwa setiap kebijaksanaan yang menimbulkan implikasi pergeseran kurva penawaran ke kanan
seperti introduksi teknologi bibit unggul dan subsidi pupuk akan cenderung
mengurangi pendapatan petani, karena tambahan pendapatan yang diakibatkan oleh
peningkatan produksi lebih kecil dibanding pengurangan pendapatan karena
penurunan harga. Dengan demikian untuk mengurangi kerugian petani akibat
peningkatan produksi diperlukan campur tangan pemerintah dalam menjaga
stabilitas harga, tidak hanya dengan memberlakukan kebijkan harga dasar yang
efektif, tetapi juga dalam kontek kekinian
perlunya pemerintah menerapkan tarip impor tinggi khususnya di musim
panen raya, mengingat pada keadaan itu terjadinya penurunan kemampuan Bulog
menyerap kelebihan suplai gabah. tanpa
ada tarip impor yang tinggi (40-50%) pada saat panen raya dikhawatirkan harga
yang diterima petani akan semakin anjlok
dengan adanya tambahan beras luar negeri ke Indonesia.
Kedua, peran Jawa sebagai pemasok beras nasional sedang terancam. Hal ini ditunjukkan oleh: 1) tidak memungkinkan lagi meningkatkan produksi melalui peningkatan laus areal di Jawa karena keterbatasan dan konversi lahan irigasi. 2) Berdasarkan penelitian Irawan (1998) di ketahui bahwa harga padi dan kredit usahatani tidak nyata secara statistik terhadap produktivitas padi sawah di Jawa. Artinya produktivitas padi sawah tidak lagi respon terhadap harga dan kredit usahatani, hal ini secara tidak langsung mendukung pandangan para ahli tanah (lihat Setiadi, 1997) yang mengatakan bahwa kesuburan lahan-lahan padi sawah di Jawa sudah berada dalam keadaan levelling-off. Dengan demikian walaupun harga padi sangat menarik dan kredit usahatani sangat mendukung usahatani, tetapi sulit bagi petani untuk meningkatkan produktivitas padi karena penambahan dosis pupuk dan input produksi lainnya (yang didanai oleh kredit usahatani) dilahan yang telah mengalami pelandaian produktivitas tidak lagi mampu meningkatkan produksi padi. Fenomena inilah yang menjelaskan mengapa kebijakan produksi yang cocok di Jawa adalah ekstensifikasi. Walaupun demikian hal ini mustahil dilakukan karena keterbatasan dan konversi lahan pertanian di Jawa.
Tabel 4. Produktivitas
(kw/ha) Padi Sawah dan ladang di lima kawasan di Luar Pulau Jawa
Pulau |
Pelita
I |
Pelita
II |
Pelita
III |
Pelita
IV |
Pelita
V |
1996-1998 |
Sumatera Bali-Nusa
Tgr Kalimantan Sulawesi Maluku-Irian Luar
Jawa |
29,64 29,13 18,02 29,89 11,7 23,67 |
29,94 31,26 19,36 28,84 8,73 23,65 |
29,28 32,25 21,12 30,49 10,50 24,84 |
34,50 38,77 23,33 18,07 20,59 31,05 |
36,54 40,45 24,40 40,16 23,05 32,91 |
37,82 40,76 25,61 41,88 25,20 36,75 |
Sumber: Diolah Kembali dari Statistical Year Book of Indonesia. BPS 1976-1998
Tabel 5. Respon (Elastisitas) Jangka Pendek dan Jangka
Panjang Padi Sawah
Wilayah |
Jangka
Pendek |
Jangka
Panjang |
||||||
|
E(Y,P) |
E(A,P) |
E(Y,A) |
E(P) |
E(Y,P) |
E(A,P) |
E(Y,A) |
E(P) |
Jawa Luar Jawa Sumatera Sulawesi Kalimantan |
0,0109 0,008 0,0979 0,1011 0,0099 |
0,0943 0,0404 0,0252 0,3475 0,2131 |
0,0076 0,0017 0,0293 0,0077 -0,1002 |
0,1059 0,0485 0,1232 0,4513 0,0216 |
0,0330 0,0253 0,4479 0,4929 0,0182 |
0,097 0,0624 0,0706 0,7291 0,2295 |
0,023 0,0054 0,1349 0,0375 -0,1844 |
0,1332 0,0880 0,5280 1,2493 0,2054 |
Sumber: Irawan (1998)
Keterangan: E(Y,P) = Respon Produktivitas Terhadap harga
E(A,P) = Respon Areal Terhadap Harga
E(Y,A) = Respon Produktivitas Terhadap Areal
E(P) = Respon (Elastisitas) Penawaran
Ketiga,
Prospek luar Jawa sebagai pengganti Jawa sebagai pensuplai beras nasional juga
belum dapat diharapkan karena produksi di luar Jawa umumnya di jangka pendek
dan jangka panjang lebih besar karena kontribusi peningkatan areal
(ekstensifikasi) dibanding peningkatan produktivitas. Disamping itu peningkatan areal di luar Jawa
ternyata tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas yang proporsional. Hal ini ditandai dari nilai elastisistas
produktivitas terhadap areal yang sangat inelastis, untuk padi sawah sebesar
0,0076 dalam jangka pendek dan 0,023 dalam jangka panjang. Artinya jika terjadi kenaikan luas areal
sebesar 100% sekalipun hanya akan meningkatkan produktivitas sebesar 0,76%
dalam jangka pendek dan 2,3% dalam jangka panjang. Bahkan untuk padi ladang, elastisitas
produktivitas terhadap areal bernilai negatip yakni -0,0132 dalam jangka pendek
dan -0,0264 dalam jangka panjang, yang berarti kenaikan luas areal yang tinggi misalnya sebesar
100% malah menurunkan produktivitas
sebesar 1,32% dalam jangka pendek dan 2,64% dalam jangka panjang. Peningkatan luas areal yang tidak diiringi
dengan peningkatan produktivitas ini cukup merisaukan mengingat konversi lahan pertanian ini juga bukan hanya
terjadi di Jawa tetapi juga mulai tampak di luar Jawa seperti Sumatera dan
Sulawesi.
Tabel 6. Respon (Elastisitas) Jangka Pendek dan Jangka Panjang Padi Ladang
Wilayah |
Jangka
Pendek |
Jangka
Panjang |
||||||
|
E(Y,P) |
E(A,P) |
E(Y,A) |
E(P) |
E(Y,P) |
E(A,P) |
E(Y,A) |
E(P) |
Jawa Luar Jawa Sumatera Sulawesi Kalimantan |
0,1160 0,0067 0,1510 0,2209 0,0826 |
0,0245 0,0395 -0,3667 0,7552 0,0065 |
0,1283 -0,0132 -0,0134 -0,1185 -0,0375 |
0,1436 0,0456 -0,2107 0,8866 0,0889 |
0,1768 0,0134 0,3600 0,4539 0,1106 |
0,0312 0,0611 -0,4728 3,0599 0,0127 |
0,1955 -0,0264 -0,0319 -0,2435 -0,0502 |
0,2142 0,0729 -0,0977 2,7687 0,1227 |
Sumber: Irawan (1998)
Keterangan: E(Y,P) = Respon Produktivitas Terhadap harga
E(A,P) = Respon Areal Terhadap Harga
E(Y,A) = Respon Produktivitas Terhadap Areal
E(P) = Respon (Elastisitas) Penawaran
Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Wilayah |
Padi Sawah |
Padi Ladang |
||
|
Jangka
Pendek |
Jangka
Panjang |
Jangka
Pendek |
Jangka
Panjang |
Jawa Sumatera Sulawesi Kalimantan Luar
Jawa |
ekstensifikasi intensisfikasi intensisfikasi ekstensifikasi ekstensifikasi |
ekstensifikasi intensisfikasi ekstensifikasi ekstensifikasi ekstensifikasi |
intensisfikasi intensisfikasi intensisfikasi intensisfikasi ekstensifikasi |
intensisfikasi intensisfikasi ekstensifikasi intensisfikasi ekstensifikasi |
Sumber: Berdasarkan Tabel 5 dan
Tabel 6
PENUTUP
Dari
uraian di atas ada beberapa hal mendasar yang layak diperhatikan oleh para
pengambil kebijakan di Indonesia pasca ORBA yakni; Pertama, para penentu kebijakan pasca
ORBA ini hendaknya tidak lagi terus
terperangkap (entraped) kepada keinginan rejim sebelumnya yakni mencapai swasembada pangan (beras)
yang jika dilihat dari perilaku suplai (produksi) padi di Indonesia sebenarnya
sudah sulit dicapai, karena perluasan areal irigasi (untuk luar Jawa)
membutuhkan dana yang sangat besar dan fenomena levelling-off produktivitas dan
konversi lahan irigasi di Jawa. Dengan
demikian pengambil kebijakan dapat memberi perhatian yang lebih proporsional
pada pengembangan subsektor pertanian lain seperti sub sektor perkebunan yang dalam
era krisis ekonomi (1997-1998), ternyata telah membantu mencegah perekonomian
kita semakin terpuruk dalam.
Kedua,
untuk menolong petani padi, pemerintah selama ini selalu intervensi dari sisi
produksi (supply side) seperti kebijakan harga dasar gabah dan subsidi infut
yang memakan dana belanja pemerintah sangat besar. Kebijakan seperti ini suka tidak suka harus
dikurangi terlebih dalam keadaan perekonomian yang masih belum pulih dari
keterpurukan krisis ekonomi. Pengambil
kebijakan harus mulai mengintervensi sisi permintaan. Artinya bagaimana mengintervensi elastisitas
permintaan beras yang inelastis menjadi elastis. Karena dengan elastisnya permintaan maka
fluktuasi harga menjadi sempit (kecil). Dan ini akan menguntungkan petani
karena harga di masa panen raya tidak jauh beda dengan harga musim
pakceklik. Ini artinya introduksi
agroindustri beras harus segera dimulai karena melalui agroindustri inilah
elastisitas permintaan yang in elastis dapat dirubah menjadi elastis.
DAFTAR PUSTAKA
Colman, D.
and T. Young. 1990. Principles of Agricultural Economic Market
and Prices in Less Developed Countries.
Cambridge University Press. Cambridge.
Gudjarati,
D. 1988. Basic Econometrics. Second
Edition. McGraw-Hill. Singapore.
Irawan, A.
1997. Kebijakan Harga dan Keberlanjutan Produksi
Padi. Ekonomi dan Keuangan Indonesia
(EKI): 15 (4): 579-586.
--------.
1997. Kebijakan Harga dan Keberlanjutan
Produksi Padi di luar Jawa.
Kompas 13/2/ 1997.
-------- .
1997. Tantangan Jawa sebagai Pemasok Beras Utama. Suara Karya
2/1/1997.
--------.
1998. Keberlanjutan Produksi Padi Ladang dan Sawah di Jawa dan Luar Jawa; Studi
Respon Penawaran. Tesis Magister
Institut Pertanian Bogor.
Kasyrino,
F. 1996.
“Arah Pengembangan Agribisnis di Pulau Jawa pada Abad 21”. Makalah
disampaikan dalam Konferensi Nasional Masa Depan Pulau Jawa abad 21. Jakarta 29 - 30 Oktober 1996.
Kompas. 13
Nopember 1999. Tanpa Bea Masuk,
Pertanian Hancur.
Koutsoyianis,
A. 1977. Theory of Econometrics. Second Edition. The MacMillan Press Ltd.
London.
Nainggolan,
K. dan A. Suprapto. 1987. Supply Response for Rice in Java Empirical Evidence. Jurnal
Ekonomi dan Keuangan Indonesia (EKI): 35 (2): 239-246.
Nerlove, M.
1958. Distributed Lag and Estimation of
Long Run Supply and Demand Elasticities. Theoritical Consideration. Journal of
Farm Economics 40 (2).
Rokhmin, D.
dan A. Saefuddin. 1996. Pembangunan
Agribisnis Berwawasan Lingkungan. Makalah disampaikan dalam Forum Komunikasi
Tanggapan Pendidikan Tinggi dalam Bidang Agroindustri Menghadapi Era Pasar Bebas. Cisarua 8-11
Desember 1996.
Syafa’at, N. 1996.Analisis Dampak Subsidi Harga Output terhadap Kesejahteraan Masyarakat. Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia (EKI): 14(3): 251-270.
Setiadi,
B. 1997.
Ketahanan Pangan di Era Globalisasi Tangguh Atau Rapuh dalam 30 Tahun Peran Bulog dalam Ketahanan
Pangan. Bulog. Jakarta.
Tomek, W.G.
and K.L. Robinson. 1990.
Agricultural Product Prices. Third Edition. Cornel University Press.
Ithaca.