© 2001. Agus Daryanto                                             Revised 4 Aug 2001  (rudyct)

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Juni 2001

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

 

 

ANALISIS  STRUKTURAL  KESEMPATAN KERJA  
DI  INDONESIA :

Sebelum  dan  Setelah  Krisis  Moneter

  

 

Oleh :  

Agus  Darjanto

E-mail: agus.daryanto@eudoramail.com

 

 

KERANGKA  PENELITIAN

 

 

 

DAFTAR  ISI

 

I     PENDAHULUAN

II  TINJAUAN FILSAFAT

o       Tinjauan Teologi

o       Tinjauan Ontologi

o       Tinjauan  Aksiologi

o       Tinjauan Epistomologi

III Gambaran Kesempatan kerja di Indonesia

A.     Pendahuluan

B.     Pertumbuhan Ekonomi dan Kesempatan Kerja : Suatu Kajian Teoritis dalam Model Ekonomi Makro

C.     Model  ekonomi  Makro  :  kondisi  Indonesia Pada  Masa  Krisis

D.    Kesempatan  Kerja  Sebelum  Krisis

E.     Kesempatan Kerja  Setelah  Krisis

F.      Pengembangan  Model  Matematik

IV.  PENUTUP 

Daftar pustaka

Daftar Tabel

 

I. PENDAHULUAN

Negara  dengan hasil hasil Pelita III s/d Pelita V yang dengan pertumbuhan ekonomi rata rata 6% - 7% membuat Indonesia  menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan penduduk yang tertinggi di dunia. Dan Indonesia menjadi salah satu negara yang mendapat julukan “Macan Asia”. Namun tingkat pertumbuhan yang tinggi tersebut tidak diikuti dengan penguatan fundamental ekonomi. Strategi industri yang lebih menekankan buruh murah berdampak pada lemahnya kemampuan buruh untuk menghadapi kondisi moneter yang berubah. Selama Pelita I  s/d Pelita V usaha peningkatan kesempatan kerja cukup berhasil. Pertumbuhan ekonomi diikuti dengan pertumbuhan kesempatan kerja yanng seimbang (Tambunan, 1998). Usaha untuk menekan angka pengangguran juga terkait dengan keberhasilan pemerintah dalam menekan laju pertumbuhan penduduk (Faisal Basri, 1997).

Namun pertumbuhan ekonomi ini tidak mampu menahan perubahan disektor moneter ditingkat dunia. Krisis moneter yang melanda dunia, berdampak negatip terhadap kondisi perekonomian Indonesia. Tingkat pertumbuhan ekonomi mengalami kemunduran, bahkan negatip. Dampak langsung dari kondisi ini adalah meningkatnya angka pengangguran.

Penelitian ini akan menganalisa fenomena tersebut, yaitu melakukan analisa kesempatan kerja melalui kajian model ekonometrika. Yaitu melakukan identifikasi dari sufficient condition  sehingga bisa disusun model kesempatan kerja yang lebih akurat untuk kasus di Indonesia. Dengan teridentifikasikan necessary conditon dan sufficient condition akan memudahkan bagi pengambil keputusan untuk membuat kebijakan untuk  membuat suatu analisa, atau peramalan dan dapat menjadi acuan dalam pembuatan kebijakan yang terkait dengan usaha meningkatkan kesempatan kerja.


II.  TINJAUAN  FILSAFAT

 Tinjauan Teologi terhadap Pengangguran

Theologi adalah ilmu yang menkaji mengenai zat tertinggi atau ketuhanan. Kajian theology dalam penelitian kesempatan kerja ini adalah mempertanyakan bagaimana fungsi atau kewajiban negara terhadap warga negaranya ?.

Dalam pandangan Islam, negara atau pemimpin negara adalah suatu khalifah , yaitu wakil Allah didunia. Menjadi kewajiban khalifah untuk memberikan pengayoman kepada warganya. Dan salah satu bentuk pengayoman  tersebut adalah penyediaan lapangan kerja yang memadai bagi warga negaranya. Tugas ini juga terkait dengan suatu paham, bahwa pengangguran adalah mendekatkan pada kemiskinan, dan kemiskinan adalah mendekatkan diri kepada kemaksiatan. Maka menjadi yugas negara untuk membuat warganya terhindar dari kemaksiatan. Yaitu dengan menyediakan lapangan kerja yang cukup dan memadai.

 Tinjauan Ontologi

Ontologi merupakan ilmu filsafat yang menkaji tentang keberadaan suatu obyek. Dalam kaitannya dengan kesempatan kerja, kajian ontologi berusaha untuk menkaji definisi dari suatu obyek yang sedang diteliti, yaitu pengangguran. 

Pengangguran  didefinisikan sebagai  orang yang bekerja rata rata dibawah  4 jam perminggu, sedangkan setengah pengangguran kalau bekerja rata rata dibawah 35 jam perminggu (BPS, Sakernas, 1992)

Tinjauan Kasualitas

Kajian kasualitas adalah kajian mengenai sebab sebab terjadinya suatu kejadian. Dalam penelitian  ini adalah untuk mengkaji sebab sebab terjadinya suatu pengangguran. Dari data data empiris dapat diambil kesimpulan bahwa sebab sebab pengangguran dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu : (1) menganggur, karena memang tidak bekerja (orang tua, pensiunan, sakit), (2) menganggur, karena baru selesai pendidikan dan sedang mencari pekerjaan, dan (3) menganggur, karena dikeluarkan dari pekerjaan. Golongan penganggur kedua dan ketiga, lebih banyak disebabkan karena kondisi ekonomi yang membuat industri tidak bisa berkembang dan menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi  penduduk.

Tinjauan  Aksiologi

Aksiologi adalah cabang ilmu filsafat yang mempertanyakan nilai suatu obyek yang akan dikaji dan manfaat dari obyek yang dikaji. Tujuan dari kajian kesempatan kerja di Indonesia adalah untuk mengetahui sebab sebab timbulnya suatu pengangguran. Dengan cara demikian dapat dibuat suatu model, sehingga memberikan arahan bagi pengambil keputusan untuk mengatasi masalah penyediaan lapangan kerja.

 Tinjauan   Epistemologi

            Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari asal mula ilmu pengetahuan, metode validitasnya dan prosedure penelitian. Dalam kajijan kesempatan kerja, penelitian dilakukan dengan mempelajari data data empiris, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri. Juga dilakukan kajian banding dengan negara negara lain, terutama mengenai kebijakan kebijakan ekonomi untukmeningkatkan lapangan kerja. Hasil yang diharapkan adalah dapat disusun model  kesempatan kerja, dan diketahui peubah peubah yang mempengaruhi kesempatan kerja. Akhirnya pemerintah dapat mengambil kebijaksanaan untuk menekan angka  pengangguran.

III. GAMBARAN  KESEMPATAN  KERJA DI  INDONESIA

 A. Pendahuluan

Salah satu tujuan yang penting dalam pembanggunan ekonomi adalah penyediaan lapangan kerja yang cukup untuk mengejar pertambahan angkatan kerja, lebih lebih bagi negara berkembang, terutama Indonesia, dimana pertumbuhan angkatan kerja lebih cepat dari pertumbuhan kesempatan kerja. Ada beberapa faktor mengapa hal tersebut lebih menonjol atau penting bagi negara berkembang. Pertama, pertumbuhan penduduk di negara berkembang cenderung tinggi, sehingga cenderung melebihi pertumbuhan kapital. Kedua, demografi profil lebih muda, sehingga lebih banyak penduduk yang masuk kelapangan kerja. Ketiga, struktur industri di negara berkembang, yang cenderung mempunyai tingkat diversifikasi kegiatan ekonomi rendah, serta tingkat ketrampilan penduduk yang belum memadai, membuat usaha penciptaan  lapangan kerja menjadi semakin kompleks. Dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (diatas 8%) maka penciptaan lapangan kerja baru akan mampu memenuhi tambahan angkatan kerja, ini yang terjadi di Indonesia sebelum tahun 1990 s/d  1997.

Namun dengan adanya krisis moneter, dimana tercatat pertumbuhan ekonomim Indonesia negatip, yaitu menurut  perkiraan BPS, tahun 1998 pertumbuhan antara –13,6% s/d –15% dan tahun 1999 pertumbuhan antara –2% s/d –5,1%, akan membuat industri yang ada tidak mampu menciptakan kesempatan kerja yang baru untuk menampung tambahan   tambahan angkatan kerja. Ada beberapa faktor yang membuat  industri mengalami kesulitan dalam upaya meningkatkan kesempatan kerja. Yang pertama, naiknya suku bunga pinjaman membuat investor menunda untuk melakukan investasi baru. Yang kedua, krisis keuangan yang diikuti dengan ketidak stabilan politik membuat kepercayaan investor atau depositor terhadap industri perbankan di Indonesia mencapai titik  terendah. Terjadilah kapital flight. Yang ketiga, meskipun turunnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang lainnya, mampu meningkatkan daya saing produk nasional di pasar international, namun kenyataannya nilai eksport Indonesia tidak mengalami peningkatan yang tajam.

Akibat dari hal tersebut adalah kapital formation tidak terbentuk, bahkan cenderung negatip. Penciptaan lapangan kerja tidak terjadi, bahkan yang terjadi adalah meningkatnya pengangguran, mengingat banyak perusahaan yang mengurangi aktivitas produksinya atau bahkan menutup usahanya.

B. Pertumbuhan Ekonomi dan kesempatan kerja: Model Ekonomi Makro

Teori yang membahas masalah pengangguran pertama kali dikemukakan oleh Phillip, yaitu yang dikenal dengan Phillip Curve. Teori ini membahas hubungan antara tingkat unemployment (U) dengan tingkat inflasi. Dimana phenomena ini didasarkan atas pengamatan  A.W. Philip (1958) yaitu ada hubungan terbalik antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran (U). Lihat Gambar 1

 

Menurut Phillip hubungan antara inflasi dengan tingkat  unemployment  dapat ditulis sbb:

                                                                                 (1)

dimana :    p  adalah inflation

                  pe   adalah expected inflation

                  b (u – un)   adalah cyclical unemployment

                  v    adalah supplly shock

Terlihat bahwa tingkat inflasi dipengaruhi oleh expected inflation dan berbanding terbalik dengan tingkat unemployment.

Kalau  inflasi adalah menunjukan perubahan harga atau (P – Pt-1) maka persamaan diatas dapat ditulis sbb:

            (P - Pt-1 )= (Pe – Pt-1) + (1/a)(Y – Y*) + v                                            (2)

dimana :            (P – Pt-1) adalah tingkat inflasi

                        (Pe – Pt-1) adalah expected inflation atau pe

                        (1/a)(Y – Y*)   adalah tingkat deviation output from its natural rate

Rumus (2) dikenal dengan aggregate supply equation , maka sering study mengenai inflasi didekati melalui persamaan aggregate supply.

Sedang  persamaan (1/a)(Y – Y*) yang menunjukan tingkat unemployment adalah identik dengan Okun’s law  yaitu perbedaan output (Y) terhadap tingkat output natural adalah berbanding terbalik dengan perbedaan tingkat unemployment dari natural rate of unemployment    atau     - b (u – un) . Phillip curve juga memberikan suatu indikasi bahwa unemployment adalah sangat tergantung pada perbedaan tingkat harga (P-Pt-1) dan expected inflation rate (pe). 

            Maka secara teoritis, studi tentang kesempatan kerja dapat dapat dilakukan melalui study tentang inflasi, atau study mengenai aggregate supply equation, terutama melalui pendekatan output atau gross national product.

            Pendakatan aggregate supply sangat erat hubungannya dengan tingkat produksi. Dan faktor produksi utama adalah labor. Studi mengenai labor tidak dapat dilepaskan dengan teori mengenai wages. Maka study masalah wages atau wages theory dapat menerangkan masalah output, yang akhirnya dapat menerangkan  msalah pengangguran.

Hubungan antara Tingkat Upah (W)  terhadap Harga (P)

Menurut Phillip pemahanan inflasi dapat didekati dengan melalui pemahaman aggregate supply.  Faktor utama dalam persamaan aggregate supply adalah tingkat harga (P) dan tingkat produksi (Y). Maka  pemahaman P dan Y akan sangat membantu dalam memahami masalah inflasi dan pengangguran melalui Phllip Curve.

Harga (P) sendiri sangat dipengaruhi oleh tingkat upah (W) yang diterima oleh buruh Dan perubahan money wage (W) sangat menentukan peubahan U. Secara matematis hubungan tersebut ditulis sbb:

                                         W*

                            .  w    = --------       =  f (U)                                                                  (3)

                                         W

Di mana :

            . w       adalah perubahan money wages, atau money wages inflation

              W      adalah money wage

               U      adalah unemployment.

             Perubahan  money wages atau money wages inflation juga mengindikasikan perubahan  price level. Secara matematis hubungan ini dapat ditulis sbb:

                        P = w ULC                                                                              (4)

Dimana :                  P          adalah price of money wages

                               ULC    adalah Unit  Labor Cost

                        .       m      adalah mark-up faktor

ULC merupakan rata rata produktivitas (dalam money term) per output, maka hubungan dapat ditulis sbb:

                                       Wn

                       ULC  =  -------                                                                          (5)

                                        Y       

Dimana :

                .  n   adalah employment of labor

                   Y                                        adalah output

Kalau persamaan diatas digabungkan maka :

                           P*                       ULC*                  W*               n/y*

                p =    ----    =        -------         =   -----     +     ------                                  (6)

                          P                    ULC                W                n/y 

 

Dimana :  p adalah rate of inflation

Rate of inflation adalah  perubahan money wages dikurangi dengan labor of productivity (P).  Maka secara matematis dapat ditulis sbb:

               . p  =  W  -  P

Atau          p  =  f (U) – P

Dimana    f (U) adalah unemployment rate.

Maka dengan asumsi f (U), atau unemployment rate tetap maka salah satu cara untuk menekan tingkat inflasi (p) adalah meningkatkan produktivitas tenaga kerja (P).

Model  Lipsey

            Hubungan unemployment dengan inflasi disempurnakan oleh lipsey (1960) dengan memasukan faktor Walrasian price adjustment. Menurut Lipsey, tingkat inflasi (p) dipengaruhi oleh tingkat upah (W), dan tingkat upah ditentukan oleh demand and supply of labor. Maka secara tidak langsung perubahan tingkat harga (p) dipengaruhi oleh demand and supply of labor. Secara matematis hubungan tersebut dapat ditulis sbb:

                         W*               (D – S)

            P  =    -----   =     f   --------         , dimana  f’  >  0                                     (7)

                         W                    N

D imana :    N     adalah employed labor

                  D   adalah demand of labor

                  S    adalah supply of labor

Dengan assumsi sbb :

Di mana :     Un   adalah  Unemployed labor

                   Vn  adalah jumlah vacancies (lowongan pekerjaan yang belum terisi)

Excess demand of labor merupakan selisih antara lowongan kerja yang ada (Vn)  dan pengangguran (Un), maka secara matematis dapat ditulis sbb:

                        D  -  S                         Vn  -  Un

                           -----------       =         ------------                                                     (8)

                            N                                 N  

Lipsey juga mengidentifikasikan bahwa perubahan money wages tidak hanya tergantung pada unemployment (U) tetapi juga tergantung pada money wages itu sendiri.

Secara matematis hubungan dapat ditulis :

                         W*

                          ------     =    a0 +  a1U-1  +  a2 U-2  +  a3 DU                                          (9)

                         W’

Kalau  DU negatip menunjukan peningkatan inflasi  (W*/W) akan memberikan dampak yang lebih besar pada unemployment (U). Namun penurunan inflasi memberikan dampak yang lebih kecil pada unemployment (U).

Perkembangan Phillip  Curve

             Study empiris yang dilakukan oleh Wilson (1962) dan Perry (1964) menunjukan bahwa perubahan money wage (w) selain dipengaruhi oleh unemployment (U) juga diengaruhi oleh perubahan harga (p) dan perubahan profit perusahaan (p).

Secara matematis hubungan tersebut dapat ditulis sbb:

            .  w  =  a0 + ai U +  a2 p + a3 p                                                        (10)

dimana :            p   adalah rate of profit

terlihat bahwa perubahan harga (p) merupakan refleksi dari perubahan cost of living karena faktor p ini memberikan justifikasi dari buruh untuk meningkatkan W kalau  p naik.  Dan mengingat    p  =  mULC , maka dapat dikatakan bahwa cost of production yang mempengaruhi W hanyalah labor of cost  atau dengan kata lain hanya ada  satu variable dalam factor of production , yaitu labor cost.

            Pemahaman  labor cost sebagai variable utama dalam cost of production membuat study mengenai wages sebagai variable utama dalam labor cost menjadi cukup mendalam. Salah satu study mengenai wages adalah model efficiency  Wages.

 

Efficiency Wages  Model

             Peningkatan rate of money wage identik dengan meningkatnya inflasi. Namun menurut Romer sebetulnya peningkatan money wage juga memberikan dampak yang positip, yaitu:

·        Peningkatan W akan meningkatkan C dan  Labor

·        Meningkatkan W merupakan insentive labor untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja

·        Meningkatkan W akan meningkatkan kemampuan buruh atau effort buruh

·        Meningkatkan W akan meningkatkan loyalitas tenaga kerja.

Kenyataan diatas yang mendasari model efficiency wages, dimana output tergantung pada effort (e) dan tenaga kerja (L), atau :

                        Y  = f (eL)                                                                                (11)

Dimana :           e   adalah effort tenaga kerja

Dan assumsi utama dalam efficiency wage model adalah effort (e) tenaga kerja tergantung pada gaji (W) yang diterima, atau:

                        .  e = e (W)           dimana  e > 0                                              (12)

                           Y = f [e (W)L]                                                                      (13)

Perusahaan akan berusaha memperkerjakan buruh untuk menghasilkan e(W) unit dengan tingkat upah sesuai effective cost (w), maka cost per unit effetive labor adalah :

                                                  W

                                             --------

                                               e(W)

berapa besarnya dampak W terhadap cost per unit effective labor tergantung pada elastisitas dari 
W [ e(W)] .

bila  e(W)  =  1  , maka perubahan W tidak mempengaruhi cost of unit effective labor

            Terlihat bahwa faktor dominan dalam menentukan W adalah e. Sedang e sendiri besar kecilnya tergantung pada possibility  (kemungkinan) buruh kehilangan pekerjaan. Artinya e akan besar kalau buruh merasa kalau mudah dipecat dari pekerjaannya. Dan e akan semakin besar kalau tingkat unemployment tinggi. Jadi e akan tinggi kalau kepastian akan pekerjaan dan lowongan kerja diluar kecil. Secara matematis dapat ditulis sbb:

            .           e = e (W, Wa, U)                                                                      (14)

dimana :   Wa   adalah upah yang diberikan oleh perusahaan lain.

 C. Model Eonomi Makro: Kondisi Indonesia pada masa Krisis

Kondisi ekonomi Indonesia pada masa krisis harus dicermati secara hati hati. Jatuhnya nilai tukar rupiah yang sangat besar, yang seharusnya mampu meningkatkan net export dalam jumlah yang besar, namun dalam kenyataannya eksport tidak menunjukan peningkatan yang berarti. Tabel 1 menunjukkan gambaran tersebut, dimana penurunan nilai tukar rupiah (e) tidak diikuti dengan peningkatan ekspor. Kedua eksport non migas di Indonesia banyak tergantung pada bahan  baku yang masih diimport. Sehingga penurunan nilai tukar (e) membuat nilai bahan baku yang diimport-pun semakin mahal. Dampaknya penurunan nilai tukar rupiah tidak sepenuhnya dinikmati oleh pengusaha Indonesia, meskipun Indonesia masih mendapatkan surplus eksport. Ini terlihat  pada tabel 2.

 

Tabel 1 : Realisasi Eksport dan Nilai Tukar Rp. Thdp US$, th.1995 – 1999

 

Eksport Non Migas

(juta US$)

%

Nilai Tukar Rp. Thdp US$ pd akhir Des.

Depresiasi (%)

1995

36214

--

2308

--

1996

37046

2.30

2383

3,15

1997

43133

16.43

4650

48,75

1998

41859

(2.95)

8025

42,06

1999

39510

(5.61)

7100

(13,03)

 

Sumber : Statistitk Ekonomi Keuangan Indonesia, BI vol.11. no.8, Agustus 2000

Hal. 110 dan 131

 

 

Tabel 2: Nilai Eksport dan Import Non Migas (juta US$) th.1995 - 1999

 

Eksport

Import.

Net  Eksport

1995

36214

36711

(497)

1996

37046

38794

(1748)

1997

43133

45193

(2060)

1998

41859

32140

9719

1999

39510

28998

10512

Sumber : Statistitk Ekonomi Keuangan Indonesia, BI vol.11. no.8, Agustus 2000,  Hal. 110 dan 122.

 

Kalau dibandingkan dengan tabel 1, maka peningkatan net eksport tidak sebanding dengan penurunan nilai tukar rupiah. Bahkan surplus eksport pada non migas ternyata tidak diimbangi dengan perkembangan balance payment (neraca pembayaran).

 Tabel 3 menunjukan bahkan pada tahun 1998 pemerintah mengalami defisit transaksi berjalan yang pertama sejak tahun 1994.

 

Tabel 3  Neraca Pembayaran, Transaksi  Modal , th. 1994 – 1998

(juta US$)

 

Transaksi Berjalan

Trasaksi Modal

Jumlah

1994

(2960)

4008

1048

1995

(6760)

10589

3829

1996

(7801)

10989

3188

1997

(5001)

2542

(2459)

1998

4097

(3875)

222

 Sumber  :  BI, vol 11 no.8, Agustus 2000, hal. 107
Catatan :  -- negatip  berarti    surplus
            
-- positip   berarti   defisit

 

            Adapun kontradiksi antara penurunan nilai tukar dan penurunan transaksi  berjalan memberikan indikasi bahwa faktor non ekonomi sangat mempengaruhi keputusan dan tingkah laku dari permintaan dan penawaran.

            Usaha pemerintah dengan meningkatkan uang beredar (sehingga kurva LM bergeser kekanan) ternyata kurang memberikan dampak optimal terhadap peningkatan income nasional. Ternyata uang beredar (M2) pada tahun 1999 meningkat sebesar 200% dibandingkan posisi tahun 1997 (sebelum krisi) inipun ternyata tidak mampu menahan lajunya suku bunga rupiah (tabel 4). Bahkan naiknya suku bunga rupiah justru memberikan tekanan pada dunia investasi, baik PMDN maupun PMA.

   

Tabel 5  :    PMA , PMDN dan IHSG , 1995 s/d  1999

 

 

PMDN (juta $)

PMA (jujta $)

SUKU BUNGA

1995

69853

39915

14.41

1996

100715

29931

15.18

1997

119873

33833

19.36

1998

60749

13563

51.77

1999

53550

10891

24.09

Sumber  :  Tulus, Tambunan dan  BI, Agustus 2000

Jelas disini  ada korelasi negatip antara kenaikan suku bunga rupiah dengan rencana investasi.

            Dari kondisi makro ekonomi Indonesia diatas dapat disimpulkan bahwa krisis moneter menimbulkan dampak sbb :

  1. Nilai tukar rupiah turun (80%)

  2. Net Eksport meningkat, namun tidak significant

  3. Neraca pembayaran defisit

  4. Rencana investasi (PMDN maupun PMA) turun tajam ( 60%) dibandingkan dengan posisi tahun 1997 (sebelum krisis)

 Dengan asumsi bahwa tingkat pertambahan penduduk tidak mengalami perubahan, demikian juga tambahan angkatan kerja baru, maka dapat dikatakan capital formation pada masa krisis lebih kecil dibandingkan dengan tambahan angkatan kerja, atau :

Kenyataan ini terlihat pada pertumbuhan kesempatan kerja pada masa krisis.

 D.  Kesempatam Kerja senelum Krisis.  

Strategi pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak Pelita I s/d Pelita V yang menekankan pada pertumbuhan sektor pertanian, kemudian disusul dengan pertumbuhan sektor industri manukfaktur dan jasa. Kebijakan yang memberikan kesempatan pertumbuhan sektor non pertanian memberikan dampak yang positip terhadap pertumbuhan kesempatan kerja, terutama selam tahun 1990-an. Meskipun tumbuh namun data data pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan (decreasing return of scale), yaitu dari 2,75% pada tahun 1992 menjadi hanya 1,57% pada tahun 1997. Ini terlihat pada tabel 5.

 

Tabel 5  :  Perkembangan Jumlah angkatan Kerja dan Penduduk Indonesia

 

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

A.  Kesemp.Kerja

76,9

78,6

79,2

82,0

83,9

85,7

87,1

       - Pria

47,7

48,2

48,7

50,3

51,7

53,0

54,0

       - Wanita

29,2

30,4

30,5

31,7

32,2

32,7

33,1

B. Angk.Kerja

75,8

80,7

81,4

85,8

87,9

90,1

91,4

       - Pria

48,4

49,4

50,0

52,3

53,8

55,3

56,3

       - Wanita

30,1

31,3

31,4

33,5

34,1

34,8

35,1

C. Penduduk

137,3

140,8

143,8

147,8

151,1

152,5

157,4

       - Pria

67,9

69,7

70,9

72,7

74,6

76,5

77,9

       - Wanita

69,4

71,1

72,9

75,1

76,5

76,0

79,5

 Sumber : BPS (Sakernas) dan ILO (1998)

             Dengan membandingkan pertumbuhan ekonomi (output nasional atau produk domestik bruto) maka dapat diketahui elastisitas kesempatan kerja. Ini terlihat dari hasil perhitungan yang dilkukan oleh Dr. Tulus T.H. Tambunan, seperti terlihat pada tabel 6.

 

Tabel  6  :  Elastisitas Kesempatan Kerja per Sektor Ekonomi, th.1996

 

           Sektor  Ekonomi

Elastisitas

-  Pertanian

(0,05)

-  Pertanmbangan

0,63

-  Manufaktur

0,56

-  Konstruksi

0,89

-  Perdagangan, Hotel dan Restourant

0,73

-  Jasa

0,85

-  Transport  dan Komunikasi

0,85

Sumber  :  Tambunan, Tukus, Perekonomian Indonesia, Ghalia Indonesia, hal. 92

 

Dari tabel 6 terlihat bahwa elastisitas kesempatan kerja tidak pernak lebih dari 0,50, ini berarti penambahan PDB hanya mampu menmbah kesempatan kerja 0,50 unit. Namun kalau dilihat per sektor ekonomi, maka elastisitas kesempatan kerja bervariasi cukup tinggi. Yang cukup menarik adalah elastisitas kerja disektor pertanian, yaitu negatip. Ini berarti penambahan output  disektor pertanian hanya dilakukan dengan cara mengurangi tenaga kerja. Dengan kata lain peningkatan produksi hanya bisa dilakukan dengan memasukan faktor tehnologi dan mengurangi pekerja.

   

E.                   KESEMPATAN KERJA SETELAH KRISIS.

              Pertumbuhan ekonomi yang negatip selama tahun 1998 dan 1999, sangat mempengaruhi penciptaan lapangan kerja. Admpak krisis moneter sangat mempengaruhi pertumbuhan sektor sektor  ekonomi yang mempunyai elastisitas kesempatan kerja yang tinggi, yaitu sektor konstruksi, jasa dan transportasi/komunikasi. Diperkirakan ketiga faktor tersebut akan mengalami pertumbuhan yang negatip.  Krisis moneter yang hampir terjadi disemua negara berakibat permintaan akan barang dan jasa mengalami penurunan yang sangat tajam. Turunnya permintaan berdampak aktivitas perusahaan mengalami stagnasi atau penurunan  atau bahkan menghentikan produksinya. Bersamaan dengan itu penawaran tenaga kerja mengalami peningkatan, yaitu baik yang disebabkan karena penambahan penduduk maupun dari tenaga kerja yang terpaksa menganggur, karena turunya aktivitas produksi.

            Menurut Departement Tenaga Kerja, akibat krisis moneter, angka pengangguran di Indonesia pada tahun 1998 menjadi 21%. Tabel 7 memperlihatkan tingkat pengangguran sebagai dampak dari krisis moneter.

 

Tabel 7  :  Tingkat Pengangguran

 

Agustus 1997

Agustus 1998

Perubahan

Penganguran Terbuka

 

 

 

   -  Jumlah (ribuan org)

4197,3

5062,5

865,2

   -  %

(4,68)

(5,46)

--

Setengah Menganggur

 

 

 

    -  jumlah (ribuan org)

28365,5

32120,0

3754,5

    -  %

(31,66)

34,64)

--

Bekerja Penuh

 

 

 

    - Jumlah (ribu org)

57040,0

55552,4

(1487,6)

    - %

(63,66

(59,90)

 

Sumber  : Sakernas
Catatan  :  Berkerja Penuh  : 35 jam atau lebih per minggu

 

            International labor Organization (ILO) memperkirakan pada tahun 1998 di Indonesia akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) sebesar 5,50 juta orang. PHK akan terjadi disemua sektor ekonomi dengan rata rata PHK sebesar 20%, kecuali disektor pertanian dan pertambangan dimana diperkirakan tidak akan terjadi PHK (tabel 8).

 

Tabel 8 :  Perkiraan Jumlah TK yang terkena PHK per sektor Ekonomi

 

T.K

(ribu org)

T.K yg di PHK (%)

PHK (ribu org)

Pengang guran (%)

Pengang guran (ribu org)

1. Pertanian

4813

0

0

0

0

2. Pertambangan

433

0

0

0

0

3. Manufaktur

6667

20

1333

50

667

4. Pelayanan Umum

207

0

0

0

0

5. Konstruksi

3436

30

1031

50

515

6. Perdagangan, hotel, restaurant

2730

20

546

50

273

7. Transportasi

1616

20

323

50

162

8.  Keuangan/     Perbankan

615

30

184

100

185

9. Jasa Liannya

9971

20

1994

50

997

10. Lain lain

2

20

0

50

0

J u m l a h

30490

18

5411

52

2799

Sumber  : ILO (1998)

 

            Dengan menggabungkan  tabel 6 dan tabel 8 , dapat diambil kesimpulan bahwa sektor sektor ekonomi yang mempunyai tingkat elastisitas yang tinggi, justru paling parah terkena dampak krisis moneter. Tercatat sektor kontruksi dan sektor keuangan/perbankan masing masing melakukan PHK sebesar 30%.

            Kondisi diatas ternyata pararel dengan hasil study yang dilakukan oleh ILO, dimana sektor pertanian dan sektor informal ternyata mampu menunjukan perkembangan penyediaan tambahan lapangan kerja. Sebaliknya sektor lain justru mengalami pertumbuhan lapangan kerja yang negatip. Ini terlihat pada tabel 9.

 

Tabel 9  : Estimasi Perubahan Struktur Kesempatan Kerja, 1986 – 1998

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1986

1990

1997

1998

1986

1990

1997

1998

A. SEKTOR

 

 

 

 

 

 

 

 

     - Pertanian

37.6

42.4

35.8

36.4

55

56

41

43

     -Industri

10.8

10.4

16.5

14.2

8

13

19

17

     -Perdag.

9.8

11.1

17.2

18.3

23

15

20

22

     -Jasa

10.1

12.0

17.4

15.4

14

16

20

18

T o t a l

68.3

75.9

86.9

84.3

100

100

100

100

B. LOKASI

 

 

 

 

 

 

 

 

     -Padesaan

13.6

18.3

29.6

24.2

20

24

34

29

     -Perkotaan

54.7

57.6

57.5

60.1

80

76

66

71

T o t a l

68.3

75.9

87.1

84.3

100

100

100

100

C. Kesempatan Kerja Formal/ Informal

 

 

 

 

 

 

 

 

 -Wage Employe

17.6

21.1

30.5

25.1

26

26

25

20

 -Self Employee

50.8

54.8

56.6

59.2

74

74

75

80

T o t a l

68.4

75.9

87.1

84.3

100

100

100

100

 Sumber  : ILO (1998)

Dengan membandingkan tabel 6, tabel 8, dan tabel 9, dapat ditarik beberapa kesimpulan yang menarik.

  1. sektor ekonomi yang mempunyai tingkat elastisitas kesempatan kerja tinggi ternyata terkena dampak krisis moneter yang paling parah.

  2. daerah padesaan ternyata mampu menciptakan tambahan lapangan kerja dalam masa krisis.

  3. sektor informal (pekerja keluarga) mampu bertahan pada masa krisis, bahkan mampu menciptakan tambahan lapangan kerja. Dengan kata lain sektor informal ternyata mampu berkembang dalam masa krisis.

 

F.   PENGEMBANGAN  MODEL  MATEMATIK

Pengembangan model akan dilakukan sesuai prosedure ekonometrika (Koutsoyianis, 1978). Prosedur pertama adalah melakukan identifikasi model. Dalam teori ekonometrik ada dua kemungkinan  yang muncul dalam proses identifikasi. Yang pertama, kemungkinan persamaan tidak teridentifikasi (under identified). Dalam kondisi ini tidak mungkin melakukan pendugaan terhadap seluruh parameter dengan tehnik ekonmetrik. Yang kedua, persamaan teridentifikasi (identified). Dalam kondisi ini, maka metode pendugaan model dapat dilakukan dengan metode two stage least square (2SLS), three stage least square (3SLS),  atau maximum likelihood  method.  Pemilihan metode pendugaan tergantung pada order condition dari data data yang ada.

Identifikasi model melalui order condition akan dilakukan sesuai prosedure Koutsoyianis (1978), yaitu: metode order condition sebagai syarat keharusan, dan rank position sebagai syarat kecukupan.  Atau dirumuskan sebagai berikut:

      ( K  -  M )  >  ( G  -  1 )

dimana :

G   :      jumlah persamaan

K   :     jumlah peubah dalam model endogen  yaitu peubah en-

            - dogen dan peubah  predermined

M   :     jumlah peubah endogen dan eksogen yang termasuk dalam

            .persamaan tertentu dalam model

Jika dalam persamaan ditemukan :

·        (K-M) < (G-1), berarti persamaan tersebut under-identified

·        (K-M) = (G-1), berarti persamaan tersebut  exactly ridentified

·        (K-M) > (G-1), berarti persamaan tersebut over-identified

 

1.      Jenis dan Sumber Data

Data yang dipergunakan adalah data sekunder deret waktu (time series), yaitu mulai tahun 1993 sampai tahun 1999. Semua data yang menyangkut rupiah dideflasi dengan indeks harga konsumen dengan tahun dasar 1995.  Sumber data adalah dari Biro Pusat Statistik, Departement Pertanian, Departemen Perdagangan, Departemen Tenaga Kerja, Bulog, Bank Indoensia serta publikasi atau laporan yang berkaitan dengan penelitian.

 

2.      Validasi Model

Validasi model menggunakan :

1.      Inequality coefficient

2.      Untuk mengukur penyimpangan nilai rataan pendugaan digunakan nilai rataan aktual.

3.      Kriteria koefisien determinasi (R2)

 

3.      Simulasi   Model

Alternatip simulasi yang akan diterapkan adalah sebagai berikut:

·        Dampak kenaikan inflasi terhadap peubah endogen

·        Dampak penurunan tingkat inflasi  terhadap peubah endogen

·        Dampak kenaikan harga makanan (beras dan gula) terhadap peubah endogen

·        Dampak kenaikan  minimum upah kerja terhadap peubah endogen

·        Dampak kenaikan pajak perusahaan terhadap peubah endogen

·        Dampak kenaikan tarif impor bahan baku industri terhadap peubah endogen

·        Dampak kenaikan jumlah uang beredar terhadap peubah endogen

·        Dampak kenaikan luas areal beririgasi terhadap  peubah  endogen

·        Dampak kenaikan rataan pendapatan perkapita terhadap  peubah  endogen

·        Dampak kenaikan jumlah penduduk terhadap  peubah endogen

 

PENITUP

Dengan  mengasumsikan bahwa negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya, maka menjadi kewajiban negara untuk memberikan kesempatan kerja pada rakyatnya.  Kesempatan kerja selain mempunyai dimensi keuangan juga mempunyai dimensi non keuangan. Sangat erat kaitannya misalkan dengan kondisi sosial. Pengangguran identik dengan penyakit sosial. Semakin tinggi tingkat pengangguran, maka semakin tinggi pula kerawanan sosial. Juga tidak menutup kemunngkinan kerawanan sosial akan bisa berubah menjadi kerawanan politiK    

Dampak pengangguran yang bersifat multidimensi mengharuskan pemerintah untuk melakukan kebijakan yang tepat untuk mengatasi pengangguran. Dikatakan harus tepat karena tersedianya resources , baik yang berupa tanah, keuangan, jumlah industri  dan lain lain. Maka pemahaman akan model kesempatan kerja, akan meminimisir kesalahan dalam pembuatan kebijakan. Pengembangan simulasi model, akan memberikan masukan atau gambaran mengenai dampak suatu kebijakan terhadap kesempatan kerja.

Daftar  Pustaka

Mankiw,  N. Gregory, “Macro Economics”, New York: Worth Publishers, fourth edition , 1997

Hess, Peter and Ross, Peter, “Development Economics : Theories, evidence, and policies”,  the Dryden Press – Harcourt Brace College Publisher,

Branson, H. Williem and Litvack, M. James, “Macro economics”, New York: Harper & Row, Publishers,  second edition, 1981

Romer, David, “Advanced Macro Economics”,  The McGraw-Hill Companies, Inc., 1996.

Turnovsky, J. Stephen, “Macroeconomic Analysis and Stabilization policy”, Cambride: Cambridge University Press, 1981

Gillis, Malcom, “Economics of Development”, New York: W.W. Norton Company, Third Edition, 1992

Basri, Faisal, “Perekonomian Indonesia Menjelang Abad 21”, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1997.

Badan Pusat Statistik, “Buletin Ringkas BPS”,  BPS, Maret 1999

Tambunan, Tulus,”Perekonomian  Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,”panduan Program Inpres Desa Tertinggal, Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 1993