SUATU KAJIAN FILSAFAT TERHADAP KETERPURUKAN BANGSA INDONESIA

© 2001   Adawiah                                                                            Posted 8 June 2001  [rudyct]  

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Juni 2001

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

 

 

SUATU KAJIAN FILSAFAT TERHADAP KETERPURUKAN BANGSA INDONESIA

 

 

Oleh:

 

Adawiah

P 04600012

E-mail: hasan_adawiyah@hotmail.com

 

Latar Belakang

     Makalah ini disusun atas dasar keprihatinan melihat Bangsa Indonesia saat ini yang semakin jauh terpuruk dalam kondisi yang tidak menentu dan jauh tertinggal dengan bangsa-bangsa lain. Berdasarkan laporan dari suatu Institusi Pengembangan Manajeman di Lausanne Swiss, menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai daya saing terendah dari 49 negara yang diteliti, padahal jika melihat negara tetangga yang merupakan negara yang kecil namun memiliki daya saing kedua setelah Amerika demikian pula dengan Malasyia dan Filipina (29 dan 40) juga jauh di atas Bangsa Indonesia, peringkat daya saing tersebut disusun melalui sebuah analisis tentang bagaimana kemampuan setiap negara mengembangkan diri sebagai tempat yang memberikan daya saing kepada beberapa jenis usaha. 

     Disamping itu, kenyataan yang ada di masyarakat yang merupakan wajah Bangsa yang tercinta yang dulu cantik rupawan disertai jiwa optimis dan konsep diri yang mengagumkan berubah menjadi wajah yang sangat menakutkan yang kehilangan jiwa dan konsep diri.

     Kemiskinan adalah bagian dari wajah bangsa ini. Dari data BPS (2000) menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia  Tahun 1999 mencapai 37.1 juta (18.0%),  bila dibanding Tahun 1996 sekitar 34.5 juta (17.7%) yang berarti bahwa terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin sekitar 0.3% dari penduduk Indonesia.  Jika mencermati dan mendalami angka tersebut membuat kita tercengang sebab ternyata bahwa ada sekitar 37.1 juta penduduk yang hidup dalam kemiskinan, hal ini sebenarnya merupakan masalah yang sangat serius dan urgen untuk segera ditangani. Apalagi jika dilihat ukuran kimiskinan yaitu berupa pengeluaran setara beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480 kg/kapita/tahun atau setara kebutuhan kalori minimum 2100 per hari menurut Widyakarya Pangan dan Gizi. Batasan tersebut adalah kebutuhan dasar atau kebutuhan minimum untuk bertahan hidup. Analogi pada ternak dikenal dengan kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan nutrien untuk pertumbuhan,   dan produksi  (susu, telur. wool) akan lebih tinggi.  Jika hal itu dianalogikan pada manusia maka batasan kemiskinan tersebut tidak mampu untuk memproduksi atau tidak memiliki nilai tambah atau nilai ekonomis, hal ini tentu sangat menyedihkan sebab 37.1 juta tersebut adalah manusia Indonesia menjadi tidak produktif akibat kemiskinan, sehingga ada suatu ungkapan bahwa jika kemiskinan tersebut berwujud manusia maka harus dibunuh.

     Selain masalah kemiskinan, saat ini Bangsa Indonesia pun terpuruk dalam segi moralitas sebagai bangsa yang beradab dan modern.  Bangsa yang dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah, santun dan beradab, saat ini berubah menjadi sangat menakutkan sehingga tercipta rasa tidak aman.  Konflik antar etnik, ras dan agama yang banyak memakan korban terjadi di negara tercinta ini, yang mungkin dahulu hanya dapat didengar dan dibaca terjadi jauh di bagian belahan dunia lain, hal ini terasa bahwa rasa persatuan dan kesatuan yang menjadi modal dan kekuatan bangsa Indonesia selama ini sirna begitu saja. Kondisi di tingkat bawah yang selalu main hakim sendiri akibat ketidak percayaan terhadap penegakan hukum yang adil dan elegan juga sering terjadi.  Kondisi di tingkat bawah dilengkapi dengan sikap dan tingkah laku para elite yang korup yang telah membudaya dan berakar selama 32 tahun serta perilaku  tidak memikirkan nasip rakyat yang mencoba bertahan hidup dalam kemiskinan.

     Kondisi-kondisi tersebut membuat kita bertanya apa yang terjadi dengan bangsa yang tercinta ini, bagaimana mengembalikan citra dan konsep diri Indonesia sebagai bangsa yang besar.  Untuk itu dalam makalah ini dicoba untuk mengkaji kondisi bangsa Indonesia saat ini dalam perspektif filsafat

 

Tujuan Bernegara

     

Ditinjau dari sejarahnya dan etimologis istilah negara (negeri) berarti kota atau kota praja atau ibu kota, suatu negara berdiri jika didalamnya terdapat pemerintahaan yang mengatur jalannya suatu negara, ada wilayah tempat negara tersebut berada, penduduk yang tinggal diwilayah tersebut dan idiologi atau dasar perundang-undangan yang melandasi atau yang mengatur segala kehidupan suatu negara.Adanya suatu negara didasarkan keinginan untuk merealisasikan semua potensi yang ada didalamnya baik itu berupa sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia yang merupakan tujuan akhir untuk kesejahteraan manusia itu sendiri dalam suatu wilayah dan pemerintahan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa peranan pemerintahan sangat vital karena menentukan arah,  dan keberadaan suatu negara sehingga kejayaan dan kejatuhan suatu negara sangat tergantung pada pemerintahannya. Pandangan khusus Aristoteles mengenai negara, ditentukan oleh pandangan tentang politik dan keadaaan masyarakat dari zamannya. Aritoteles memberikan klasifikasi dari bentuk-bentuk pemerintahan yaitu: Monarki (kerajaan)=pemerintahan satu orang, Aristokrasi (pemerintahan beberapa orang)= dan polity (republik)=pemerintahan banyak orang.  Masing-masing pemerintahan akan turun derajatnya, jika dilakukan tidak lagi untuk kepentingan umum tetapi untuk kepentingan mereka yang memerintah.  Bentuk-bentuk tersebut adalah tirani (pemerintahan sewenang-wenang), oligarki (pemerintahan satu klik saja), dan demokrasi (pemerintahan yang hanya didasarkan pada angka terbanyak) (Soetiksno, 1997).  Menurut Montesquieu terdapat tiga bentuk pokok negara yaitu bentuk republik yaitu kekuasaan tertinggi didalam suatu negara adalah ditangan rakyat (atau dilakukan atas nama rakyat), bentuk monarki yaitu pemerintahan dilakukan oleh seorang raja meskipun menurut peraturan-peraturan tertentu, despotisme pemerintahan tunggal dilakukan secara secara sewenang-wenang dan mutlak (Poerbopranoto, 1987).

Sejak abad ke XII para ahli ketatanegaraan dan hukum tatanegara telah memikirkan hal dasar-dasar negara, terutama yang memberi dasar hukum tentang hak dan kewajiban para penduduk di dalam suatu negara.  Namun juga dipertanyakan mengapa seseorang atau golongan orang atau penduduk berhak menetapkan beban-beban tertentu kepada sesama penduduk lainnya yang diperintah dalam suatu negara.  Thomas Hobbes menggambarkan bahwa semua orang bermusuh-musuhan satu sama lain atau state of nature sehingga manusia cenderung mempunyai kesamaan psychologis dalam perebutan keinginan, harapan dan kepentingan-kepentingan, untuk itu perlu dipikirkan tentang hal pergaulan hidup manusia yang dipakai untuk menerangkan dasar-dasar hukum tentang negara  Untuk melindungi kepentingan semua manusia maka semua manusia perlu menyerahkan kewenangannya kepada suatu kekuasaan tunggal.  Teori Hobbes tersebut mendapat tanggapan pro dan kontra, yang kontra misalnya John Locke menganggap bahwa teori tersebut dalam upaya mempertahankan pemerintahan raja charles II. Berbeda dengan Hobbes, Jean Jacques Rousseau (1712-1778) mengemukakan teorinya bahwa pada dasarnya terdapat ketidaksamaan antara manusia sehingga hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya konflik sehingga perlu menempuh suatu perjanjian bersama (contract social) untuk memperoleh suatu pemerintahan dan masyarakat yang baik.  Menurut Rousseau negara adalah suatu lembaga masyarakat atau satu bentuk persatuan (une forme d’aasociation) dengan tujuan untuk melindungi dan  membela dengan kekuatan bersama segala kepunyaan dan pribadi orang.  Prinsip kebebasan dan kemerdekaan pribadi ini kemudian menjadi semboyan dalam revolusi besar Perancis.  Teori ini menjadi dasar dari faham demokrasi (Poerbopranoto, 1987)..

Persoalan pembagian kekuasaan menjadi hal yang prinsip dalam pemerintahan demokrasi karena kekuasaan negara harus dipikul dan dilakukan oleh banyak orang atas nama seluruh rakyat.  Hal ini berbeda dengan sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan mutlak atau kekuasaan negara pada satu orang (diktator) yang semua kekuasaan  berada pada raja atau satu orang.  Dasar-dasar pembagian kekuasaan negara oleh Montesquieu dikenal dengan trias politica, yaitu kekuasaan untuk membuat undang-undang (pouvoir legislatif), kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang (pouvoir escutif) dan kekuasaan untuk melaksanakan pengadilan (pouvoir judiciair) (Poerbopranoto, 1987).

 

Introspeksi Pembangunan Bangsa

     Jika mendalami pemikiran-pemikiran tentang tujuan bernegara secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya suatu negara terbentuk adalah dalam upaya mengatur individu-individu sebagai bagian dari suatu masyarakat baik sebagai makhluk individu maupun sebagai mahkluk sosial untuk memenuhi keinginannya dan menggapai kesejahteraan dalam hidupnya.  Negara berkewajiban untuk mengatur segala hak dan kewajiban sebagai bagian dari suatu masyarakat atau negara sehingga dapat meredam segala kemungkinan konflik yang akan timbul oleh keragaman dalam suatu masyarakat sehingga dapat hidup berdampingan untuk mendapatkan harapan dan merealisasikan segala potensinya.

     Pada mukadimah UUD 1945 dinyatakan bahwa tujuan pembentukan negara kesatuan Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Saat ini pertanyaannya adalah apakah benar setelah kemerdekaan kita berada dalam koridor tujuan negara? Apakah benar selama ini pemerintah bersikap adil dalam upaya mensejahterahkan seluruh komponen bangsa? Apakah benar upaya yang dilakukan telah sejalan dengan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Apakah seluruh masyarakat dapat merasakan bahwa negara ini terbentuk untuk mensejahterakan seluruh anak bangsa ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengevaluasi apa yang didapat selama 56 tahun kemerdekaan.  Sebelum krisis moneter terjadi, hampir semua pihak tidak menyadari apa sebenarnya yang terjadi dengan bangsa ini, semua berjalan seolah-olah negara menuju tujuan yang ditetapkan oleh pendiri bangsa ini hingga puncaknya pada jatuhnya rezim Soeharto sehingga semua komponen bangsa terbangun dari tidur bahwa arah negara selama 32 tahun berjalan tidak pada koridornya.  Upaya untuk memajukan kesejahteraan umum ternyata hanya mensejahterakan sebagian masyarakat.

     Jika melihat ke belakang ternyata apa yang telah didapat selama 32 tahun bagaikan bangunan yang keropos sehingga pada saat angin datang, maka bangunan tersebut roboh.  Hal ini disebabkan oleh struktur dan komposisi industri yang berkembang dalam perekonomian Indonesia tidak berbasisikepada sumberdaya ekonomi domestik, pola penguasaan dan pengelolaan kegiatan produktif yang bertumpuh kepada pendekatan mega proyek atau konglomerasi usaha ternyata hanya menunjukkan kinerja baik pada kondisi perekonomian yang kondusif, jika terjadi tekanan eksternal (eksternal shock) seperti krisis moneter dan liberalisasi perdagangan ketangguhan independen sistem konglomerasi menjadi pertanyaan besar, sistem perekonomian yang dikembangkan ternyata relatif sangat menguntungkan dan berpihak/bersahabat kepada pelaku usaha besar sementara usaha kecil, menengah dan koperasi merupakan pelengkap yang harus tergantung pada bantuan dan diberdayakan oleh usaha besar (Saragih, 1998).

     Di samping hal tersebut di atas masalah penegakan hukum secara adil di negara ini juga menjadi suatu pertanyaan besar. Padahal esensi suatu negara adalah bagaimana mengatur masyarakat dalam koridor hukum yang berlaku. Kecenderungan yang terjadi di masyarakat seolah-olah tidak lagi percaya pada aparat penegak hukum atau lembaga hukum yang ada sehingga tidak sedikit kasus-kasus main hakim sendiri, tindak kekerasan yang semakin meningkat akhir-akhir ini seolah-olah aparat tidak mampu berbuat apa-apa, pelaku-pelaku tindak pidana korupsi yang sulit tersentuh oleh hukum dan banyak lagi kasus yang menunjukkan lemahnya lembaga maupun aparat hukum di negara Indonesia yang membuat semakin sulitnya bangkit dari krisis multidimensi ini.

     Dari permasalahan-permasalahan yang dialami bangsa Indonesia saat ini, maka akan timbul pertanyaan besar mampukah negara tercinta ini bangkit dari keterpurukan? Mampukah rakyat Indonesia bersabar dalam menerima semua resiko yang dihadapi akibat manajeman negara yang salah?.

 

Perspektif Pembangunan Nasional

     Untuk kembali bangkit dan melanjutkan pembangunan nasional yang menjadi tujuan dari kemerdekaan bangsa maka seharusnya kita pun kembali ke modal dasar dan kekuatan bangsa yang dipunyai rakyat dalam merebut kemerdekaan yaitu rasa persatuan dan nasionalisme yang tinggi dari seluruh rakyat Indonesia untuk kembali menciptakan konsep diri bangsa sebagai bangsa yang besar dan terhormat.

     Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka ada baiknya kita menyimak amanat dari pemimpin besar revolusi Soekarno pada tanggal 15 Juli 1963 bahwa

(1)proses nation building didasari oleh adanya keinginan bersama untuk membangun jiwa bangsa yang bersatu, persatuan karakter karena persamaan nasib dan patriotisme,

(2) proses nation building terus-menerus memerlukan aktivitas dinamis, pemupukan mental dan jiwa-jiwa yang ingin bersatu, persamaan watak atas dasar persamaan nasib, patriotisme, rasa setia-kawan dan rasa loyal terhadap Tanah Air Indonesia, siapa yang tidak berdiri diatas landasan nation building sesungguhnya dihinggapi penyakit retak dalam jiwa karena mungkin jiwanya dikuasai oleh loyalitas kembar atau loyalitas ganda,  serta hanya bangsa yang mempunyai kepercayaan menjadi bangsa abadi (Kansil dkk, 1964).

Selanjutnya dalam pidato Soekarno dikatakan bahwa jika kita hidup dalam zaman demokrasi, dan demokrasi berarti kemerdekaan berpikir, dan malahan kita memutuskan untuk melaksanakan demokrasi dalam segala lapangan.  Tapi demokrasi pun harus tahu membatasi diri, demokrasi bukan suatu hal yang tiada ikatan sama sekali, demokrasi ongebondeheid.  Ketahuilah bahwa demokrasi bukanlah doel, melainkan sekedar satu bumi dasar, satu jalan, satu cara untuk mencapi sesuatu yaitu kesentosaan dan kesehatan bangsa, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.  Ibarat badan negara sedang sakit, maka jalan mengobati ialah jalan demokrasi dan bukan jalan facisme dan feodalisme.  Janganlah jalan mengobati sesuatu badan yang sakit diutamakan diatas badan yang sakit itu, janganlah obat lebih dipentingkan dari pada tubuh, janganlah badan sakit itu dikorbankan kepada jalan mengobatinya itu.

     Amanat yang dikemukakan oleh Soekarno itu sangat tepat untuk kondisi saat ini untuk ditanamkan kembali rasa persatuan dan kesatuan yang telah  rapuh.   Disamping itu peringatan bahwa demokrasi bukanlah tujuan tapi jalan untuk mencapai tujuan sehingga jangan karena demokrasi mengorbankan bangunan bangsa seperti yang nampak saat ini, bangsa menjadi semakin sakit, masyarakat menjadi kehilangan jati diri.

     Selain kesadaran berbangsa dari seluruh komponen anak bangsa, kita pun perlu mereevaluasi tujuan pembentukan negara khususnya tujuan pembentukan  negara kesatuan  Indonesia adalah :

(1)            memajukan kesejahteraan umum.  Kenyataan yang ada selama ini adalah kesejahteraan hanya didapat oleh sebagian rakyat Indonesia, hal ini tercermin dari jumlah penduduk miskin, tingkat pengangguran tinggi.  Untuk itu kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah seharusnya tidak lagi memihak pada sekolompok orang  atau golongan dan  budaya kolusi, korupsi dan nepotisme harus segera dikikis.  Menurut Saragih (1998) bahwa untuk memulihkan perekonomian nasional dan memecahkan krisis ekonomi serta krisis moneter, percepatan pembangunan sektor agribisnis merupakan jawaban sekaligus salah satu program reformasi mendasar dan utama di sektor riil nasional.  Memfasilitasi dan memberi prioritas pengusaha agribisnis skala kecil, menengah dan koperasi akan menciptakan pemerataan kesempatan berusaha dan pemerataan peningkatan pendapatan dan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan sebagian besar dari penduduk Indonesia. Kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari parameter pandapatan, kesehatan, pendidikan dan kesempatan kerja.  Pada dasarnya kesejahteraan dapat dilihat dari pemenuhan kebutuhan dasar manusia.  Menurut Maslow kebutuhan dasar manusia merupakan suatu piramida herarki yang mulai dari dasar sampai kepuncak adalah kebutuhan fisik (physiological needs), rasa aman (safety needs), saling memiliki  dan cinta (belongingness and love needs), penghargaan (esteem needs) dan aktualisasi diri ( needs for self actualitation).

(2)            Mencerdaskan kehidupan bangsa.  Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam konstitusi tersebut dibutuhkan keseriusan dalam menangani baik berupa kebijakan maupun implementasinya.  Masalah pencerdasan kehidupan bangsa sangat erat kaitan bahkan tidak dapat dipisahkan dengan dunia pendidikan baik itu pendidikan dasar dan menengah maupun pendidikan tinggi. Permasalahan yang dihadapi oleh dunia pendidikan di Indonesia adalah berpusat pada kualitas pendidikan.  Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan dasar dan menengah  sebagai dasar pembentukan sumberdaya manusia Indonesia atau dasar bangunan dan bahan baku untuk pendidikan yang lebih tinggi maka ha-hal yang perlu diperhatikan: (a) peran guru, termasuk peningkatan kualitas pendidikan dan kesejahteraan; (b) penyempurnaan kurikulum; (c) peningkatan sarana dan prasarana termasuk pengadaan/penyediaan buku bacaan, perpustakaan, laboratorium, tempat bermain olah-raga dan lain sebagainya Swantoro, (1991). Pada dasarnya permasalahan yang dihadapi pada jenjang pendidikan tinggi/Perguruan Tinggi tidak jauh berbeda dengan pendidikan dasar dan menengah.  Perguruan tinggi merupakan pencetak ilmuan, untuk itu produk Perguruan tinggi diharapkan adalah manusia yang pintar (memiliki IQ=intelegent quotion, dan daya tangkap serta bersikap matematis) dan bijak (memiliki FC=frontier capacity, daya jelajah).  Menurut Swantoro (1991) selain meningkatkan kualitas di setiap jenjang pendidikan, perlu juga ditingkatkan relevansi pendidikan nasional sehingga mampu menghasilkan tenaga pembangunan nasional baik secara kualitatif maupun kuantitatif.  Untuk pengembangan pendidikan yang dapat mendukung pembangunan nasional, maka pengeluaran untuk pendidikan yang wajar adalah 20% dari Anggaran belanja negara (Rahardjo, 1991).

(3)            Melaksanakan ketertiban dunia.  Tujuaan negara yang ditetapkan dalam konstitusi kita sangat mulia yaitu bangsa Indonesia diharapkan dapat berperan serta dalam pelaksanaan ketertiban dunia.  Untuk itu saat ini perlu introspeksi diri bagaimana mungkin kita mampu berperan serta dalam ketertiban dunia jika negara kita sendiri kacau dan tidak tertib.  Kekacauan dan kekerasan merupakan hal yang akrab dengan bangsa Indonesia saat ini.  Untuk kembali kepada tujuan dasar kita maka dimulai dari negara tercinta ini yaitu bagaimana agar kita mampu menertibkan kehidupan berbangsa dan bernegara agar mampu ikut berperan serta dalam masyarakat dunia maka upaya penegakan hukum baik di tingkat lembaga-lembaga hukum maupun setiap warga negara Indonesia.  Penegakan hukum secara adil dan jujur pada setiap warga masyarakat dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum sehingga warga tidak main hakim sendiri seperti sering terjadi yang juga merupakan salah satu penyebab ketidaktertiban masyarakat Indonesia saat ini.

Upaya untuk kembali ke tujuan awal Bangsa Indonesia dengan sungguh-sungguh dan bukan suatu retorika politik sangat dibutuhkan saat ini, untuk itu pemerintah dan juga masyarakat harus menyadari akan dibawah kemana bangsa ini, maukah kita bangkit dari keterpurukan yang telah menimpah bangsa ini selama hampir empat tahun, akankah kita membiarkan bangsa ini terus tertinggal oleh bangsa-bangsa lain di dunia ini ?.  Semua itu tergantung oleh seluruh bangsa Indonesia, seperti kata Tuhan bahwa Dia tidak akan merubah nasib seseorang atau kaum kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya.

 

Kesimpulan

     Untuk bangkit dari krisis multidimensi atau keterpurukan yang menimpa bangsa Indonesia selama hampir empat tahun ini diperlukan suatu kesungguhan dan kearifan dari semua komponen bangsa baik itu pemerintah, lembaga legislatif dan yudikatif serta seluruh rakyat Indonesia.  Kesungguhan dan kearifan dalam melihat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang satu yang mempunyai tujuan mensejahterakan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa dan menertibkan dunia yang harus tetap menjadi acuan dalam bernegara..  Rasa persatuan yang merupakan modal dasar dan kekuatan bangsa sejak merebut kemerdekaan harus kembali dikukuhkan dan ditanamkan kedalam jiwa rakyat Indonesia.  Demokrasi yang diperjuangkan saat menumbangkan rezim Soeharto harusnya dijadikan alat dan bukan segalanya, jangan demokrasi membuat negara menjadi makin sakit dan terpuruk karena ketidakmampuan mengontrol diri.

 

Daftar Pustaka

Biro Pusat Statistik (2000). Laporan perekonomian Indonesia, Angkatan Kerja, Konsumsi, dan Kemiskinan Penduduk. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

 

Kansil, C.S.T., Wignjosumarsono, Soe Hok Gie, dan Ibrahim, A.  1964.  Pembinaan Kesatuan Bangsa.  Kompartimen Perhubungan dengan Rakyat, Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa.

 

Poerbopranoto, K.  1987.  Sistim Pemerintahan Demokrasi.  PT. Eresco, Bandung.

 

Rahardjo, M.B.  1991.  Aspek Pembiayaan dalam Memperoleh Kesempatan Pendidikan dalam Untuk Kelangsungan Hidup Bangsa.  Centre for Strategic and International Studies, Jakarta.

 

Saragih, B.  1998.  Pembangunan Agribisnis sebagai Strategi Pemulihan Krisis Ekonomi Nasional.  Disampaikan pada Seminar Prospek dan Perspektif Agribisnis dalam Era Perdagangan Bebas pada Tanggal 25 April 1998 di  Universitas Djuanda, Bogor

 

Soetiksno, 1997.  Filsafat Hukum.  PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

 

Swantoro, F.S. 1991.  Meningkatkan Kualitas Pendidikan Dasar dan Menengah dalam Untuk Kelangsungan Hidup Bangsa.  Centre for Strategic and International Studies, Jakarta