© 2001 Azam Bachur Zaidy Posted: 20 May 2001 [rudyct]
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Juni 2001
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir Zahrial Coto
BUDIDAYA LAUT:
SUATU UPAYA MENGURANGI
KETERGANTUNGAN DARI PERIKANAN TANGKAP
Oleh:
AZAM BACHUR ZAIDY
P 19600009 AIR
E-mail: fakhrie@indo.net.id
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Saat ini Indonesia berada di peringkat ke enam sebagai negara penghasil perikanan terbesar di dunia. Namun demikian sekitar 77 % hasil tersebut bersal dari perikanan tangkap. Hal ini dapat dimengerti karena perburuan ikan di laut (perairan umum) lebih dulu dilakukan masyarakat dibanding budidaya ikan. Penangkapan ikan di laut yang pada hakekatnya merupakan panen organisme dari perairan umum pada awalnya dilakukan dengan alat-alat yang sederhana dan kemudian menggunakan alat yang sangat modern. Gejala perubahan terjadi mulai tahun 1972/73 dengan penurunan pertumbuhan perikanan tangkap dari 6.5 % per tahun menjadi 1% per tahun. Produksi perikanan tangkap terus meningkat dari tahun 1955 hingga tahun 1985, stabil sampai 1990, kemudian cenderung menurun. Sedangkan produksi budidaya ikan, termasuk budidaya laut dari waktu ke waktu terus meningkat sekitar 9.4 % per tahun, diperkirakan pada tahun 2010 produksi budidaya ikan lebih tinggi dibandingkan produksi perikanan tangkap.
Kegiatan budidaya laut di Indonesia sudah dimulai sejak 20 tahun yang lalu, namun kemajuannya relatif lambat. Kegiatan usaha saat ini lebih banyak bersifat membesarkan benih yang ditangkap dari alam, kemudian dipelihara sampai ukuran konsumsi untuk dijual. Selain itu beberapa jenis ikan laut sudah dapat dibenihkan secara terkontrol, seperti kakap putih, beberapa jenis kerapu, bandeng dan kuda laut, namun demikian produksinya belum dapat mencukupi kebutuhan benih untuk kegiatan budidaya laut. Dengan potensi sumberdaya alami alam yang mendukung, indonesia mempunyai prospek yang sangat besar untuk pengembangan budidaya laut. Dengan penguasan teknologi secara baik dan dukungan dana yang memadai, pengembangan budidaya laut di indonesia akan terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama.
2. Tujuan
- Mengurangi ketergantungan produksi ikan dari perikanan tangkap.
- Mencegah kepunahan spesies tertentu dan pengendalian overfishing
- Penyediaan lapangan usaha baru dan meningkatkan devisa negara.
II. KONDISI
PERIKANAN TANGKAP DAN BUDIDAYA
1.
Perikanan Dunia
Budidaya ikan sudah dimulai sejak 300 tahun yang lalu (Bardach et al., 1972), namun perkembangannya lambat dan konstribusi terhadap produksi perikanan dunia masih kecil. Hal ini karena beberapa alasan, pertama sumberdaya ikan di perairan umum danau dan terutama laut cukup berlimpah. Kedua teknologi dan metode penangkapan yang semakin baik sehingga produksinya dapat mencukupi kebutuhan penduduk yang terus meningkat. Selain itu lingkungan air merupakan sesuatu yang menakutkan dan kadang-kadang perlu dihindari, kadang terfikir tidak mungkin membangun suatu usaha pada kondisi laut dengan gelombang , arus, angin dan badai yang kuat. Diperlukan teknologi tertentu untuk dapat melakukan itu semua. Selain itu keberhasilan pembenihan beberapa jenis ikan laut belum mencukupi kebutuhan benih dan penyediaan pakan yang berkualitas dan kontinyu masih merupakan kendala yang perlu segera diatasi.
Permintaan ikan pada tingkat dunia, baik untuk konsumsi makanan dan untuk tepung ikan terus meningkat, hingga memacu usaha perikanan tangkap. Pertumbuhan industri penangkapan ikan sangat cepat di tahun 1960, kenaikan hasil rata-rata 6 % per tahun (Lawson, 1984). Selama tahun 1970 dan 1980 laju pertumbuhannya menurun dan produksi mencapai puncaknya di atas 70 million pada awal tahun 1990 (Tabel 1). Pada tahun 1950 produksi perikanan laut dunia baru mencapai 18.557.000 ton dan meningkat 84.683.300 ton pada tahun 1994. Dalam rentang tahun 1991-1997, rata-rata produksi perikanan tangkap dunia meningkat hanya 1.75 %. Penyebab turunnya hasil tangkapan, secara konvensional stok ikan menurun akibat terus meningkat kegiatan ekploitasi penangkapan, dan situasi ini diperburuk oleh pengembangan Economic Exlusion Zones (EEZ) dan armada penangkapan dunia berkembang pesat.
Skenario pertumbuhan produksi perikanan tangkap dan budidaya digambarkan dengan baik oleh Meaden dan Kapetsky, 1991 (Gambar 1). Mulai tahun 2000 produksi perikanan tangkap mulai stabil dan cenderung menurun, sedangkan produksi ikan budidaya terus meningkat sekitar 9.4 % per tahun. Pada tahun 2010 diperkirakan produksi ikan hasil budidaya lebih tinggi dibanding hasil tangkapan. Hal ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi pengembangan budidaya ikan, khususnya budidaya laut (sea farming).
Gambar 1. Pertumbuhan dan proyeksi dalam produksi
perikanan tangkap, hasil
budidaya dan
populasi
Budidaya ikan pada tingkat dunia tumbuh sangat cepat yaitu dari 10.4 juta ton senilai USS 13.1 milyar pada tahun 1984 menjadi 25.5 juta ton dengan nilai USS 39.8 milyar pada tahun 1984. Hal ini sangat penting untuk mengatasi turunnya produksi perikanan laut sejak tahun 1990. Sepuluh alasan yang mendorong tetap tingginya peningkatan produksi budidaya ikan di masa mendatang diantaranya terkait dengan penambahan jumlah penduduk, peningkatan pendapat masyarakat, stagnasi produksi perikanan tangkap, kerusakan habitat dan ekosistem laut, kesadaran masyarakat akan pentingnya ikan dan hasil laut sebagai pangan sehat dan kemajuan IPTEK (Davlin, 1977). Dewasa ini hanya dua dari 15 daerah penangkapan ikan di dunia yang masih utuh dan bahkan di empat daerah produksinya telah menyusut lebih dari 30 % (Weber, 1995). Hal tersebut menunjukkan bahwa dari 200 stok utama ikan yang terdapat diberbagai belahan dunia, lebih dari 25 % telah mengalami over eksploitasi, hampir punah atau mulai pulih kembali dan lebih dari 38 % telah jenuh usaha sehingga tidak mungkin untuk meningkatkan produksinya lebih lanjut tanpa merusak stok tersebut.
Beberapa negara seperti Kanada, Perancis, Norwegia dan Thailand produksi budidaya laut cukup tinggi dan ekonomis. Perancis dengan budidaya Tiram (oyster) mampu memproduksi tiram labih dari 200.000 ton dengan nilai lebih dari USS 3 milyar. Budidaya scallop di Kanada dengan produksi 18.000 ton per tahun, merupakan spesies yang mempunyai nilai ekonomis tinggi di pasaran internasional. Negara-negara seperti Denmark dan Norwegia mempunyai banyak armada penangkapan ikan. Namun akhirnya beralih pada budidaya. Norwegia dengan jaring apung di laut mampu menghasilkan ikan salmon labih dari 300 ton per tahun. Di negara ASEAN, Thailand dengan garis pantai 2.500 km, sama dengan garis pantai propensi Jawa Timur menghasilkan nilai eksport udang windu sebesar USS 2 milyar. Di Jepang, kegiatan budidaya laut selain budidaya ikan, juga dilakukan pengayaan stok, untuk mengendalian produksi perikanan tanpa merusak lingkungan. Biaya pengayaan stok ditanggung bersama oleh nelayan.
2.
Perikanan di Indonesia
Selama PJP I produksi ikan nasional tumbuh rata-rata sebesar 3.5 % per tahun. Penyumbang utama terhadap pertumbuhan tersebut adalah dari sektor perikanan laut, yakni sekitar 75 % per tahun. Sisanya dari perikanan perairan umum dan budidaya. Sektor perikanan terakhir tumbuh sebesar 5.6 % per tahun. Pada akhir PJP I struktur perikanan Indonesia telah mulai bergesaer dari ke arah budidaya, yaitu dari komposisi 90 % hasil tangkapan dan 10 % produksi budidaya pada tahun 1968 menjadi 84,5% hasil tangkapan dan 15.5% produksi budidaya pada akhir tahun 1991 (repelita VI Perikanan, 1994).,
Tabel 2. Produksi Perikanan
tahun 1989-1998
Tahun Perikanan Laut Perairan Umum Budidaya Total
(ton) (ton) (ton) (ton)
_______________________________________________________________
1989 2.272.179 296.389 446.704 3.035.268
1990 2.370.107 292.537 499.825 3.162.469
1991 2.537.612 294.477 517.512 3.349.601
1992 2.692.068 300.896 550.368 3.543.332
1993 2.886.289 308.469 600.384 3.795.322
1994 3.080.168 336.141 597.522 4.013.831
1995 3.292.930 329.710 640.947 4.263.587
1996 3.383.457 335.706 733.095 4.452.258
1997 3.612.961 304.258 662.547 4.579.766
1998 3.723.748 288.666 629.797 4.642.209
_____________________________________________________________________
- Statistik Perikanan Indonesia No. 28 tahun 1998
- Produksi budidaya laut masih kecil, sehingga
digabungkan dalam produksi perikanan laut.
Pada tahun 1998 produksi ikan nasional telah mencapai 4.645.209 ton, perikanan laut menyumbang 80.21 %. Dibanding dengan potensi yang besarnya 7.1 juta ton ikan per tahun, angka produksi perikanan laut nasional yang pada tahun 1998 dilaporkan telah mencapai 3.7 juta ton menunjukkan bahwa pemanfataan kekayaaan ikan dan hasil laut Indonesia masih tergolong rendah. Namun dari kenyataan dilapangan didapatkan bahwa banyak ikan yang tertangkap yang tidak tercatat dalam buku statistik seperti ikan yang dikonsumsi langsung oleh nelayan, yang terbuang dan dicuri nelayan asing, sehingga jumlah ikan yang telah tertangkap diduga mendekati angka 5 juta ton. Laporan dari berbagai kalangan menunjukkan bahwa angka laju hasil tangkapan tuna dan cakalang yang tertangkap ukurannya lebih kecil dibanding dengan tahun 1970.
Besaran sumberdaya ikan di Indonesia biasanya diperkirakan melalui pendekatan maximum sustainable yield atau MSY. Hasil perhitungan terakhir dari suatu team pakar dari berbagai institusi menghasilkan angka MSY sebesar 7.1 juat ton ikan per tahun. Hasil perhitungan tahun 1995 oleh team pakar tersebut dengan bantuan FAO dan Danida menghasilkan angka MSY jauh lebih rendah yaitu 3.7 juta ton (Cholik, 1996). Dari kenyataan tersebut mnunjukkan betapa sulitnya menghitung angka MSY, khususnya stok ikan tropis yang multi spesies. Dengan alasan tersebut maka pengembangan usaha perikanan laut sebaiknya dilaksanakan dengan pendekatan prinsip kehati-hatian dengan menerapkan strategi (1) membatasi dan pengalokasian hak pengguna (2) tetapkan sasaran yang lebih rendah dari MSY dan (3) kembangkan kelembagaan penelitian serta sistem monitoring yang tepat dan umpan balik ke dalam proses pengelolaan (Chong dan Kurien, 1997). Di balik itu semua untuk mengurangi ketergantungan produksi ikan, perlu dikembangkan budidaya ikan khususnya budidaya ikan di laut . Namun eronisnya produksi budidaya laut masih sangat rendah, sehingga pencatatannya digabungkan dengan produksi ikan tangkapan.
III. PROSPEK PENGEMBANGAN BUDIDAYA LAUT DI
INDONESIA
1. Potensi Lahan Budidaya Laut
Secara geografis indonesia dengan jumlah pulau lebih dari 17 ribu dan panjang pantai sekitar 81 ribu kilometer dengan perairan teluk yang memilki kondisi relatif tenang serta terumbu karang sekitar 1/8 dari total terumbu karang dunia yang besarnya sekitar 100.000 km2 merupakan potensi yang sangat besar dalam pengembangan budidaya laut. Dengan adanya kecenderungan menipisnya sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia, serta kuatnya lobi para pecinta lingkungan dan binatang tampaknya produksi perikanan harus beralih kepada kegiatan yang bersifat hemat sumberdaya alam.
Potensi lahan untuk pengembangan budidaya laut sekitar 20 % dari total potensi lahan yang berjarak 5 km dari pantai diperkirakan sekitar 2.002.680 ha. Potensi tersebut digunakan untuk budidaya kakap 598.120 ha, 461.600 budidaya kerapu, 591.800 budidaya tiram dan kerang darah, 66.660 ha budidaya teripang, 62.040 budidaya tiram mutiara dan abalon dan budidaya rumput laut 222.460 ha. Dari potensi lahan tersebut diperkiraan produksi dapat mencapai 46.73 juta ton/tahun, namun sampai tahun 1995 realisasinya baru mencapai 144.546 ton.
2. Prinsip-prinsip Budidaya dan Pengembangannya
Perikanan laut dan budidaya ikan berusaha untuk memaksimalkan hasil panen dari lingkungan perairan. Stok biomas dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu laju recruitment, laju pertumbuhan, laju kematian alami dan laju kematian akibat penangkapan. Perikanan tangkap berusaha untuk memaksimalkan hasil melaui kenaikan laju kematian, jika terlalu banyak ikan yang tertangkap maka recruitment dan pertumbuhan tidak mampu menggantiakan stok yang rusak. Berbeda dengan budidaya, meningkatnya hasil melalui manipulasi seluruh faktor populasi yaitu pertumbuhan, reproduksi dan recruitment serta mortalitas alami.
Pengembangan budidaya perikanan pada lokasi yang berbeda dipengaruhi oleh faktor pembatas dalam kelompok biologi, ekonomi dan sosial. Faktor biologi menyangkut penyediaan benih terutama yang berasal dari penangkaran (penyediaan induk matang telur, pemijahan, penetasan telur dan perawatan larva) , penyediaan pakan dan efisiensinya serta parasit dan penyakit. Ekonomi yang menyangkut penyediaan pembiayaan kegiatan usaha, khususnya pada budidaya laut investasi dan biaya usaha umumnya cukup besar. Sosial yang menyangkut preferensi penerimaan pasar, kebiasaan setempat, penyediaan tenaga terampil dan sebagainya. Penyakit sering menjadi kendala terutama serangan virus, bakteri, fungi dapat merugikan usaha.
Budidaya ikan berusaha untuk mengontrol mortalitas alami dan menampung organisme air untuk meningkatkan biomasa. Namun sebelumnya dibutuhkan teknologi pembenihan ikan untuk menyediakan kebutuhan benih. Dalam pembenihan ikan dibutukan teknologi pemijahan ikan, penetasan telur dan perawatan larva. Beberapa jenis ikan belum dapat dipijahkan/kawin secara alami, untuk itu dibutuhkan tehnologi hyphophysasi/kawin suntik. Untuk meminimalkan kematian alami diperlukan pengelolaan kualitas air agar tetap dalam rentang optimum bagi kehidupan ikan. Pakan dibutuhkan untuk memacu laju pertumbuhan sehingga meningkatkan biomas ikan.
Pada lima belas tahun terakhir ini, untuk pembenihan ikan laut terus dipacu untuk dapat memenuhi kebutuhan budidaya. Beberapa jenis ikan yang sudah dapat dipijahkan secara terkontrol antara lain Bandeng, beberapa jenis Kerapu, Kakap putih, Ketimun laut dan Kuda laut. Belum seluruh jenis dapat menghasilkan benih dalam jumlah yang besar , beberapa jenis Kerapu kelangsungan hidup benih kurang dari 5 %. Sampai saat ini pembenihan ikan laut hampir seluruhnya dilakukan oleh pemerintah di sekitar 5 lokasi. Hal ini juga perlu mendapat perhatian, apabila kegiatan pembesaran ikan dilaut berkembang dengan baik, maka kebutuhan benih ini harus dapat dipenuhi.
Perencanaan yang dilakukan oleh Ditjen Perikanan (1999), pengembangan budidaya Kerapu sampai tahun 2003 di lakukan di areal seluas 18 ha atau 3.600 unit melalui (1) intensifikasi seluas 13 ha atau 2.600 unit di 5 propensi yaitu Riau, Sumatera Utara, Sumatera Barat, D.I Aceh dan Sumatera Selatan dan (2) ekstensifikasi seluas 5 ha atau 1.000 unit di propensi yang sama. Melalui budidaya tersebut diharapkan dapat mencapai produksi ikan Kerapu 8.640 ton.
Pengembangan budidaya Kakap putih akan dilaksanakan di areal seluas 29 ha atau 5.800 unit melalui intensifikasi seluas 21 ha atau 4200 unit di propensi Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Lampung dan Jawa Timur. Budidaya ekstensifikasi seluas 8 ha atau 1.600 ha di propensi yang sama. Target produksi dari dua kegiatan tersebut sebanyak 19,575 ton.
Budidaya Rumput laut sampai 2003 diharapkan menghasilkan produksi sebanyak 2.934.000 ton dengan areal seluruhnya 8.150 ha atau 285.250 unit, dilakukan intensifikasi seluas 3.900 ha atau 136.500 unit dan ekstensifikasi 4.250 ha atau 148.750 unit. Budidaya laut dilakukan di propensi Riau, Lampung, DKI Jakarta, Bali, NTT, NTB, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Irian Jaya.
Budidaya Mutiara sebanyak 87 unit dengan hasil 3.2 ton, dilakukan di Lampung, Sulawesi Tenggra, NTB, NTT, Maluku dan Irian Jaya. Saat ini beberapa budidaya mutiara dilakukan oleh investor dari Jepang.
Budidaya komoditas biota laut yang diuraikan diatas, realisasi di lapangan masih sangat rendah. Untuk itu perlu kerja keras dari semua pihak, baik pemerintah maupun swasta. Biasanya swasta dapat menjadi lokomotif pengembangan budidaya laut dan perlu ditunjang kemudahan berusaha.
Arimoto, T. (2000) Capture Fisheries and Cage in Japan. Proceeding of the 4 th JSPS International Seminar on Fisheries Science in Tropical Area, 40-54. Jakarta
Bardach, J. E., Ryther, J. H. & MclLarney, W. O. (1972) Aquaculture. The Farming and Husbandary of Freshwater and Marine Organisms. John Wiley, New York.
Cholik, F. (1997) Prospek Pengembangan Usaha Perikanan. Seminar Agribisnis Pembangunan Pertanian Menyongsong Era Globalisasi. Bogor
Direktorat Jenderal Perikanan. (2000) Statistik Perikanan Indonesia. No. 28, 1998. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perikanan (1999) Program Peningkatan Eksport Hasil Perikanan 2003. Departemen Pertanian.
FAO. (1977) Fishery Statistics. Vol. 84.
Lawson, R. !984) Economic of Fisheries Development. London.
Meaden,
G. J. & Kepetsky, J. M. (1991) geographical Information Systems and Remote
Sensing in Inland Fisheries and Aquaculture. In Beveridge, M. C. M
(1996) Cage Culture. Fishing News Books.
Nurdjana,
M. L (2001) Prospek Sea Farming di Indonesia, p 1-9 dalam Departemen Kelautan dan Perikanan & JICA. Teknologi
Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming di Indonesia.