Re-edited 20 December, 2000
Copyright © 2000 Armen Zulham
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana
Institut Pertanian
Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
FALSIFIKASI STATISTIK PERIKANAN
IMPLIKASINYA TERHADAP
PENGELOLAAN
Oleh :
ARMEN ZULHAM
SPL
995018
PENGANTAR
Falsafah
sain merupakan landasan keilmuan penting untuk mempelajari berbagai bidang ilmu.
Pemahaman falsafah sain dalam koridor ontologi, epistemologi maupun aksiologi
dapat mengantarkan kita pada wawasan berpikir yang lebih luas, dan kritis serta
membentuk pribadi yang dapat menghargai pendapat orang lain (Suriasumantri,
1998).
Makalah
ini, memilih statistik perikanan sebagai topik bahasan, karena statistik perikanan
sampai saat ini digunakan sebagai indikator penting dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan. Perkembangan
pencatatan statistik perikanan diawali oleh pakar biologi perikanan sesuai dengan kebutuhan
pengelolaan sumberdaya perikanan pada saat itu. Namun, dalam perkembangannya pencatatan
statistik perikanan jauh tertinggal dibandingkan dengan perkembangan ilmu
pengelolaan sumberdaya perikanan.
Menurut Gordon (1954), ilmu pengelolaan sumberdaya perikanan pertama
kali dikembangkan oleh pakar biologi perikanan, pada tahun 1957. Schaefer mengembangkan model untuk mengelola
perikanan tuna (Schaefer, 1957) dan kemudian disempurnakan lagi oleh kelompok
pakar ekonomi perikanan seperti Anderson (1977) dan Hannesson, (1978). Seiring dengan semakin kompleksnya masalah
pengelolaan sumberdaya perikanan karena perkembangan teknologi, dan populasi
manusia, maka paradigma ilmu pengelolaan sumberdaya perikanan mulai berubah
pada tahun 1990-an dengan diperkenalkannya konsep ilmu INTEGRATED COASTAL ZONE
AND OCEAN MANAGEMENT (ICZM). Konsep ini
pertama kali telah dipersiapkan oleh negara-negara maju yang tergabung dalam
OECD pada tahun 1987, dan kemudian ditindaklanjuti lagi pada konperensi United
Nation Conference on Environment and Development – UNCED – di Brazil pada Juni
1992. (informasi lebih jauh tentang ICZM dapat di lihat pada Cicin-Sain and
Knecht, (1998).
Salah
satu aspek penting dari ICZM adalah pengelolaan potensi laut (seperti
ikan). Berkaitan dengan tulisan ini,
pengelolaan sumberdaya perikanan memerlukan akurasi data statistik perikanan
agar potensi tersebut dapat dimanfaatkan
secara sustainable. Tulisan ini akan
membahas masalah statistik perikanan dan
pengelolaan sumberdaya perikanan (ikan) dalam koridor logika falsafah sain.
Statistik
perikanan merupakan publikasi resmi dari pemerintah tentang potensi sumberdaya
perikanan yang terdapat pada negara tersebut, serta menyediakan juga informasi
tentang berbagai aktifitas yang terdapat di dalamnya. Di Indonesia format pencatatan statistik
perikanan relatif belum berubah sejak tahun 1968 sampai sekarang. Statistik perikanan masih dipercaya sebagai
salah satu sumber data yang sangat intensif penggunaannya untuk masalah
pembangunan perikanan.
Jika
kita telusuri lebih jauh tentang statistik perikanan ini, terdapat dua hal yang
mendorong meluasnya penggunaan statistik perikanan di dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan. Pertama, statistik perikanan merupakan “record” data potensi perikanan
serta aktivitas yang ada didalamnya. Kedua,
“record” data di dalam statistik perikanan tersebut umumnya digunakan
sebagai landasan di dalam menyusun berbagai kebijaksanaan pengelolaan
sumberdaya perikanan.
Statistik
perikanan Indonesia misalnya, yang antara lain mencatat jenis ikan hasil
tangkapan nelayan, jumlah maupun jenis alat tangkap dan sebagainya. Penggunaan statistik perikanan akan
menimbulkan permasalahan jika statistik perikanan tersebut digunakan untuk
menyusun kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan, hal ini terkait dengan
sistem penyajian data di dalam statistik tersebut. Jika kita pelajari data statistik hasil
tangkapan perikanan laut misalnya (pada Tabel 1), penjumlahan vertikal
merupakan penjumlahan hasil tangkapan nelayan per jenis ikan menurut wilayah
penangkapan ikan. Sedangkan penjumlahan
horizontal merupakan penjumlahan berbagai jenis ikan pada setiap wilayah (saat
ini teridentifikasi 53 jenis ikan). Dari
sisi logika induksi, penjumlahan vertikal dapat diterima secara ilmiah, karena
yang dijumlahkan adalah volume dari jenis ikan yang sama yang terdapat pada
berbagai wilayah penangkapan. Namun,
dari sisi logika induksi muncul pertanyaan, apakah penjumlahan berbagai jenis
ikan (secara horizontal pada Tabel 1) dapat diterima secara ilmiah ? Pertanyaan
kritis ini jawabannya menjadi benar jika kita membenarkan analogi penjumlahan
dua ekor sapi dengan empat ekor domba menjadi enam ekor ternak. Jika demikian halnya maka kita membenarkan
penjumlahan volume antara ikan Tuna dengan Ikan Belanak, padahal ikan Tuna
merupakan ikan yang harganya tinggi sedangkan ikan Belanak merupakan ikan yang
harganya sangat murah. Penjumlahan
berbagai jenis ikan - (dengan nilai
ekonomis yang berbeda) – inilah yang terjadi di dalam statistik perikanan
kita. Penjumlahan yang demikian oleh
Bell (1975) disebut sebagai “dilemma apple and orange”, tulisan ini menyebutnya
sebagai falsifikasi statistik perikanan.
No. |
Wilayah Penangkapan |
Total Ikan Hasil Tangkapan |
Jenis Ikan1) |
||
Sebelah |
Kakap |
Tuna |
|||
1. |
Barat Sumatera |
245.512 |
605 |
6.339 |
12.487 |
2. |
Selatan Jawa |
131.600 |
239 |
859 |
1.564 |
3. |
Selat Malaka |
520.469 |
6.076 |
6.445 |
1.575 |
4. |
Timur Sumatera |
278.667 |
2.173 |
3.295 |
46 |
5. |
Utara Jawa |
750.114 |
4.539 |
5.548 |
18.366 |
6. |
Bali-Nusa Tenggara |
295.497 |
45 |
2.478 |
10.217 |
7. |
Selatan/Barat
|
110.444 |
151 |
1.826 |
- |
8. |
Timur Kalimantan |
174.643 |
990 |
3.631 |
- |
9. |
Selatan Sulawesi |
418.752 |
132 |
6.388 |
14.311 |
10. |
Utara Sulawesi |
212.522 |
3 |
1.626 |
26.007 |
11. |
Maluku/Irian |
474.531 |
122 |
17.497 |
31.641 |
|
|
3.612.961 |
15.075 |
55.942 |
116.214 |
Sumber : Statistik
Perikanan
Keterangan : 1) yang ditampilkan sebagai contoh hanya 3 jenis ikan dari 53
jenis ikan yang teridentifikasi
Bagi
birokrasi pemerintah, statistik perikanan itu merupakan panduan dan menjadi
acuan didalam merekomendasikan aktivitas di dalam mengeksploitasi sumberdaya
perikanan. Berdasarkan data statistik
perikanan, para analis misalnya merekomendasikan pada suatu wilayah
penangkapan, effort penangkapan harus dibatasi.
Keputusan ini ternyata sangat keliru karena masih terdapat berbagai
jenis ikan yang pemanfaatannya masih di bawah Maximum Sustainable Yield
(MSY). Dan ini artinya effort
penangkapan masih layak ditingkatkan.
Kesalahan di dalam mengambil keputusan ini disebut sebagai TYPE II
ERROR, yaitu kesalahan yang terjadi karena kita menerima HO ,
padahal HO adalah salah. Dimana HO adalah membatasi
kegiatan penangkapan ikan. Ini merupakan
rekomendasi yang tidak tepat.
Falsifikasi
statistik perikanan ini ditunjukkan juga oleh data FAO pada Tabel 2. Data tersebut merupakan data agregasi hasil penjumlahan berbagai jenis
ikan pada setiap negara. Jika kita
mengambil dua titik ekstrim dari data pada tahun 1971 misalnya, hasil tangkapan
ikan di Australia pada tahun tersebut adalah 102, 6 juta ton ikan sedangkan
Peru adalah 12.612,9 juta ton. Dengan demikian kita cenderung
menyimpulkan Peru adalah negara perikanan penting di dunia. Kesimpulan tersebut sangat keliru, karena 90
persen hasil tangkapan ikan di Peru adalah ikan anchovies yang harganya relatif
murah. Sedangkan Australia yang jumlah
hasil tangkapannya 124 kali lebih rendah dari Peru, ternyata hasil tangkapannya
70 persen adalah Lobster yang harganya cukup tinggi. Jadi berdasarkan perbandingan antara
Australia dan Peru, maka Australia sebenarnya merupakan salah satu negara
perikanan penting di dunia.
No. |
Negara |
1967 |
1970 |
1. |
Jepang |
7.906,6 (248) |
9.366,4 (290) |
2. |
|
5.645,2 (226) |
6.868,0 (292) |
3. |
|
2.405,5 (183) |
2.776,5 (221) |
4. |
|
92,1 (540) |
102,6 (632) |
5. |
|
10.198,6 (12) |
12.612,9 (15) |
Sumber : FAO yearbook of
Fishery Statistics
Keterangan : angka dalam kurung adalah nilai produksi per ton (US $)
Kesalahan
interpretasi karena falsifikasi statistik, terhadap data agregasi hasil
tangkapan ikan pada Tabel 1 dan Tabel 2, sangat fatal akibatnya dalam proses
pengambilan keputusan. Falsifikasi
penyajian statistik perikanan ini belum disadari penuh oleh birokrasi yang
terkait dengan penyediaan data tersebut.
Kesalahan ini dapat mendorong terjadinya kerugian pada sumberdaya
perikanan dan masyarakat nelayan.
Pada
kasus statistik perikanan Indonesia, yang menyajikan agregasi hasil tangkapan
nelayan ataupun jumlah kapal nelayan, agregasi ini memunculkan fenomena menarik
dalam eksploitasi sumberdaya perikanan.
Fenomena ini dapat mendorong terjadinya “Social Calamity” pada
masyarakat. Dorongan ini semakin kuat
karena sifat dari sumberdaya perikanan adalah “Open Access”- semua orang
mempunyai hak menangkap ikan di perairan – sehingga malapetaka di lautan tidak
dapat dielakkan seperti yang diungkapkan Hardin (1968) dalam tulisannya “Tragedy
of The Commons”.
Terdapat
dua fenomena dalam eksploitasi sumberdaya perikanan. Fenomena pertama terkait dengan interaksi
antar populasi ikan. Fenomena ini
menunjukkan adanya hubungan antar spesies (hubungan ini dikenal sebagai
interaksi langsung di dalam dinamika perikanan multi species). Interaksi antar spesies ini terkait dalam
rantai makanan. Hal ini berarti populasi
dari satu jenis ikan merupakan makanan bagi populasi jenis ikan lainnya. Fenomena kedua berkaitan dengan dinamika pada
setiap populasi ikan. Fenomena kedua ini,
merupakan interaksi tak langsung – yaitu interaksi merebut makanan (plankton),
ruang dan oksigen. Untuk menjelaskan
fenomena kedua tersebut, sementara kita asumsikan nelayan belum melakukan
aktivitas penangkapan ikan, maka secara sederhana dinamika dari setiap populasi
ikan di lautan ditentukan oleh tiga unsur, yaitu : recruits (lahir), growth
(pertumbuhan), natural death (kematian alami). Apabila hal ini, dibiarkan secara alami maka
setiap populasi ikan yang ada di dalam laut akan mencapai keseimbangan. Namun, hal yang perlu dicatat adalah laju
kelahiran, pertumbuhan, dan kematian bervariasi antara satu populasi dengan
populasi ikan lain yang ada di lautan tersebut.
Sekarang
jika asumsi di atas kita abaikan, hal ini berarti nelayan mulai menangkap ikan
di laut, sehingga stock ikan di laut selain ditentukan oleh tiga hal yang
disebut di atas, juga mulai dipengaruhi oleh catch (hasil tangkapan)
nelayan. Hasil tangkapan inilah yang
dicatat di dalam statistik perikanan.
“Record” data hasil tangkapan ikan ini
misalnya, merupakan salah satu dari sekian jenis data yang digunakan
untuk merumuskan kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan di lautan.
Hasil
tangkapan nelayan yang tercatat sebagai statistik perikanan tersebut terdiri
dari berbagai jenis ikan dari populasi yang berbeda. Pada populasi yang satu dapat saja terjadi
laju kelahiran, laju kematian, dan laju pertumbuhan yang tinggi, namun pada
populasi jenis ikan yang lainnya laju kelahiran, laju kematian dan laju
pertumbuhan adalah sangat rendah. Dan
umumnya ikan yang laju pertumbuhan, laju kelahiran yang cepat merupakan ikan
yang nilai ekonomisnya rendah, sebaliknya ikan yang bernilai ekonomis tinggi
laju kelahiran, dan pertumbuhannya relatif lambat. Karena setiap populasi mempunyai karakteristik
yang berbeda, maka penjumlahan antar spesies tidak dapat hanya didasarkan pada
satuan berat, tetapi harus didasarkan pada karakteristik populasi ikan yang
disebutkan di atas. Penjumlahan yang
didasarkan pada satuan berat ini terdapat dalam statistik perikanan kita. Dengan demikian, jika hasil tangkapan nelayan
dari berbagai spesies itu digabungkan, seperti yang tercatat di dalam statistik
perikanan dan angka-angka statistik tersebut digunakan untuk pengelolaan sumberdaya
perikanan, misalnya penentuan jumlah kapal yang diizinkan menangkap ikan atau
jumlah quota ikan yang diizinkan dapat ditangkap, maka akan terjadi kerumitan
di dalam mengelola sumberdaya perikanan tersebut. Hal ini terjadi karena falsifikasi dari statistik
perikanan. Falsifikasi ini sekurang-kurangnya
mempunyai dua implikasi :
Implikasi
pertama, terdapat beberapa populasi ikan yang akan terdeplesi, karena
data statistik secara agregasi menunjukkan potensi ikan dalam perairan cukup
besar. Hal ini terjadi karena fenomena
pertama. Sehingga nelayan cenderung
menambah alat tangkap. Populasi ikan
yang terdeplesi adalah populasi ikan yang mempunyai laju pertumbuhan, laju
kelahiran yang lambat.
Implikasi
kedua, adalah penambahan alat tangkap ini, berarti effort untuk
menangkap ikan bertambah, dan ini berarti jumlah hasil tangkapan per effort
dapat konstan atau akan menurun. Jika
kita kaitkan dengan teori ekonomi, maka penambahan effort ini secara agregate
akan menambah suplai ikan di pasaran, penambahan ini menyebabkan harga ikan
pada tingkat nelayan akan rendah dan akhirnya pendapatan nelayan akan rendah
pula. Hal ini diperkirakan merupakan
salah satu penyebab terjadinya kemiskinan pada nelayan.
Falsifikasi
statistik perikanan terjadi karena mengagregasi volume hasil tangkapan nelayan
yang terdiri dari berbagai jenis ikan.
Agregasi ini dilakukan berdasarkan pada kesamaan unit ukuran berat,
yaitu ton. Agregasi ini mengabaikan
komponen penting dari dinamika setiap populasi, seperti : laju pertumbuhan,
laju kematian dan tingkat kematian.
Falsifikasi
pada statistik perikanan dapat membuat kekeliruan di dalam proses pengambilan
keputusan di dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Kekeliruan yang sangat fatal adalah jika data statistik
tersebut digunakan untuk merekomendasikan penambahan effort penangkapan pada
suatu wilayah perairan, dimana tingkat eksploitasi penangkapan ikan pada
wilayah perairan tersebut telah melampaui batas MSY.
Penggunaan
data statistik perikanan di dalam mengelola sumberdaya perikanan, memerlukan
informasi/pengetahuan tambahan agar tidak terjadi kekeliruan di dalam
interpretasi data. Oleh sebab itu,
diperlukan kepiawaian dan pengalaman di dalam memanfaatkan data tersebut.
Penggunaan
data agregasi yang cermat (memperhatikan karakteristik populasi ikan multi
spesies – bukan satuan berat dari berbagai hasil tangkapan), dapat
mengendalikan deplesi sumberdaya serta mampu pula menjelaskan perilaku
pendapatan nelayan.
Anderson, L. G. 1977. The Economics of Fisheries Management.
The
Cicin-Sain, B and R.W. Knecht. 1998. Integrated Coastal and
Ocean Management, Concept and Practices.
Island Press.
Gordon, H.S. 1954.
The Economic Theory of a Common Property Resource: The Fishery. J. Polit. Econ., 62(2).
Hannesson, R.
1978. Economics of
Fisheries. Universitetsforlaget.
Hardin, G. 1968.
The Tragedy of the Commons.
Science 162(3859): 1243 – 1248.
Nasoetion, A. H. 1988. Pengantar ke Filsafat
Sains. Litera Antar Nusa.
Schaefer, M.B. 1957. Some
Considerations of Population Dynamics and Economics in Relation to Management
of the Commercial Marine Fisheries. ITTC.
Suriasumantri, J.S. 1988. Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer. Sinar Harapan.
--------------------, 1992. Ilmu dalam Persfektif. Yayasan Obor