DUNIA KEHIDUPAN RAYAP

Re-edited  20 December, 2000

Copyright © 2000 Yudi Rismayadi

Makalah  Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana - S3

Institut Pertanian Bogor

 

Dosen:  Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng

 

 

 

DUNIA KEHIDUPAN RAYAP

 

Oleh:

 

Yudi Rismayadi

 

 

Welcome to The World of Termites  itulah yang ditulis oleh Prof. Grace (1997) untuk mengantarkan para pembaca kepada sebuah buku  Termite Biology and Pest Management” (Pearce, 1997).   Kalimat tersebut ditulis dalam gaya bahasa hiperbolis superlatif;  sehingga  merangsang dan menggugah penulis atau siapa saja untuk mejelajahi dunia kehidupan rayap.    Maka,   inilah sebagian dari  dunia kehidupan rayap,  Welcome !

 

Kehidupan  rayap dapat diverifikasi secara empiris, diindera oleh panca indera sehingga ia merupakan objek pengetahuan.  Berbagai peneliti (Kofoid, (1946); Krisna dan Weesner (1969); Harris (1961); Howse (1970); Tarumingkeng (1971), Nandika (1980); dan lain-lain) telah mengumpulkan sebagian dari fakta-fakta empiris kehidupan rayap   secara sistematis melalui metode keilmuan (epistomologi) sehingga kini dikenal/lahir cabang ilmu mengenai rayap (Termitologi).  Sebagai sebuah cabang ilmu, Termitologi haruslah memenuhi persyaratan bahwa  didalamnya  mempunyai korelasi ontologis yang positif  dengan objeknya.  Artinya bahwa setiap objek dari cabang ilmu itu diakui dan diyakini keberadaannya.  Pengakuan terhadap status ontologis, objek ilmu yang bersangkutan pada akhirnya akan membawa pada pengakuan status keilmuan dari cabang-cabang ilmu yang bersangkutan.  Itulah sebabnya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat meta-empirik diragukan keilmiahan-nya,  karena keraguan terhadap status ontologis  objek-objek ilmunya yang tidak dapat dibuktikan secara empiris melalui kaidah-kaidah metode keilmuan(epistomologi rasionasistik-empiritikal)

 

Tulisan itu merupakan hasil proses berpikir yang diarahkan untuk mengupas dunia kehidupan rayap sedalamnya-dalamnya.  Walaupun tidak lengkap ingin dicoba  menyajikan landasan-landasan ontologis, epistomologis, dan axiologis-nya.

 

Semoga memberikan manfaat betapapun kecilnya.

 

Rayap ada jauh sebelum manusia ada.  Pearce (1997) menyatakan kurang lebih 100 juta tahun yang lalu.   Rayap mengapa tetap ada ?.  Kelestarian kehidupan rayap didukung oleh cara hidupnya yang memberikan keuntungan besar baginya.  Rayap hidup dalam satu masyarakat yang ter-organisasi.  Dengan  cara itu, rayap hidup berkelompok (koloni) dalam jumlah yang besar sehingga terbentuk pertahanannya. Organisasi komunal bertambah effisien dengan adanya spesialisasi (kasta).  Sebagian individu dari koloni itu  ditugaskan untuk membuat sistem pertahanan, melawan musuh, dan melindungi individu lainnya.  Itulah Kasta  Prajurit.  Individu-individu  lain bekerja terus tanpa henti, memelihara telur dan rayap muda, serta memindahkannya pada saat terancam ke tempat yang lebih aman,  memberi makan dan memelihara ratu, mencari sumber makanan, menumbuhkan jamur dan memeliharanya. Itulah Kasta Pekerja.  Bahkan kadang-kadang mereka memakan rayap lain yang lemah sehingga hanya individu-individu yang kuat saja yang dipertahankan.  Semua ini merupakan mekanisme pengaturan keseimbangan energi di dalam koloni rayap.   Organisasi komunal rayap itu, dipimpin oleh Kasta Reproduktif (ratu).  Munculnya spesialisasi menuntut sistem komunikasi yang baik.  Misalnya suatu tanda yang memberitahukan adanya bahaya, sumber makanan dan atau tanda bagi proses penunjukan ratu baru.  Sistem komunikasi itu hadir dalam kehidupan rayap dalam berbagai bentuk (bunyi, sentuhan, feromon, dll).    Organisasi, spesialisasi1), dan komunikasi yang baik dalam dunia kehidupan mendukung kelestariannya.

                                 

Kini rayap telah menyebar tidak saja di daerah tropika dan sub tropika, namun cenderung meluas  ke daerah-daerah temprate dengan batas-batas 50o Lintang Utara dan Lintang Selatan.  Mengapa bisa? padahal rayap adalah  serangga yang berukuran kecil, sangat lemah, mempunyai kemampuan terbang yang terbatas, sayapnya mudah tanggal, dan serangga ini   pun (laron) sangat disukai predator.  Berkaitan dengan masalah itu, maka muncullah beberapa hipotesis yang berkaitan dengan perkembangan daratan sebagai tempat penyebaran rayap;

1.            Terdapat daratan yang menjembatani Selat Bering  di daerah tropika  yang memungkinkan rayap dari daerah Amerika Selatan bermigrasi ke daerah Australia, Daerah Oriental, dan Ethiopia demikian juga sebaliknya.

2.            Amerika belahan selatan dan utara dihubungkan dengan Isthmus, pada Periode Eocene dan sesudah/akhir periode Cretaceus;

3.            Australia dihubungkan dengan Daerah Oriental pada saat Periode Cretaceus; dan Madagaskar kemungkinan berdampingan dengan daratan Afrika pada Periode Eocene atau lebih awal lagi.   

 

 

 

 


1)     Bagaimana spesialisasi itu terjadi ? Pertanyaan ini telah mengundang banyak peneliti  seperti  Grassi dan Sandias (1893), E.M. Miller (1969), Charles Noirot (1969), Luscher (1969), dan lain-lain.  Grassi dan Sandias pada tahun 1896 menemukan fakta (pengamatan yang telah diverifikasi secara empiris) bahwa di dalam koloni yang kehilangan kasta reproduktif primer maka dalam waktu empat sampai tujuh hari koloni tersebut akan membentuk neoten (kasta reproduktif sekunder).   Sebaliknya pada koloni rayap  yang masih memiliki kasta reproduktif primer maka koloni tersebut tidak dapat membentuk neoten.   Berdasarkan hasil penelitian Grassi dan Sandias, demikian juga Escherich dan Holmgren, akhirnya disampaikan satu teori yang disebut Teori Ekstrensik.  Teori tersebut menyatakan bahwa semua rayap memiliki potensi untuk berkembang menjadi kasta prajurit, kasta pekerja, atau kasta reproduktif dan pembentukannya dipengaruhi oleh faktor nutrisi dan faktor lingkungan yang terjadi pada saat itu.  Di pihak lain,  Imms (1919) menyebutkan adanya  faktor intrinsik yang mengendalikan pembentukan kasta. Imms menyatakan bahwa pembentukan kasta tersebut setara dengan proses segregasi mendelian.  Perkembangan penelitian ilmiah selanjutnya, menyimpukan bahwa kasta reproduktif primer memproduksi suatu bahan kimia yang spesifik, yang dapat menghambat perkembangan nimfa betina menjadi neoten (Pickens, 1932).   Hal ini diperkuat oleh penemuan Castle (1934)  yang menunjukkan bukti adanya penghambatan oleh suatu bahan kimia yang disebut feromon. Feromon ini dikeluarkan oleh kasta reproduktif primer, yang selanjutnya disebut feromon dasar (primer pheromone).  Menurut Tarumingkeng (1993) feromon dasar juga berperan  dalam pembentukan kasta pekerja dan kasta prajurit. Di samping feromon,  Luscher dan Springhetti (1960); serta  Luscher (1969); menyimpulkan bahwa terdapat beberapa hormon, yaitu; hormon ecdisone dan hormon juvenil yang mempengaruhi  pembentukan kasta pada rayap tingkat rendah.  Ketika hormon ecdysone, diberikan pada nimfa instar kedua maka akan terbentuk beberapa seri hormon yang dapat membantu nimfa untuk berkembang menjadi kasta reproduktif.  Sebaliknya pemberian hormon juvenil akan menghambat perkembangan nimfa atau pseudoworker  menjadi kasta reproduktif.

 

 

Di dalam biosfera, rayap merupakan penghubung rangkaian siklus biogeochemical (dekomposer bahan organik) yang sangat penting , seperti; siklus karbon, oksigen, nitrogen, sulfur, dan fospor (Waller dan La Fage, 1987).   Peran tradisional rayap tersebut telah dinyatakan dalam pengkabaran Tuhan; Kematian Solomon (Sulaeman) terjadi ketika ia berdiri memegang tongkatnya, pada saat itu tak satu makhlukpun mengetahui bahwa Solomon telah meninggal, hingga suatu peristiwa menunjukkan kematiannya; Solomon jatuh tersungkur akibat tongkat yang menopangnya hancur dimakan rayap (Q.S. 34:14).   Sebagai organime pemakan kayu (selulosa) 2, itulah misi keberaadaan rayap.  Namun, perkembangan ilmu pengetahuan telah memperluas potensi pemanfaatan rayap selain peranannya sebagai dekomposer bahan organik.  Pemanfaatan mikroorganisme  dalam usus rayap secara invitro sebagai sumber energi alternatif dan agensia dalam proses fiksasi nitrogen dari udara merupakan potensi manfaat rayap  yang dikembangkan akhir-akhir ini.     Manfaat lain dari rayap yang dapat dikembangkan adalah sebagai penghasil senyawa antimikroba.  Preswich (1983) menyebutkan bahwa eksudat dari fontanel rayap kasta prajurit khususnya dari genus Nasutitermes dan Coptotermes diduga bersifat sebagai antimikroba.  Sementara itu, Pearche (1997) menyatakan bahwa eksudat dari fontanel rayap tanah mampu menghambat perkembangan dan pertumbuhan bakteri dan jamur patogen.  Antimikroba tersebut dihasilkan sebagai mekanisme pertahanan kimiawi terhadap berbagai jenis jamur dan bakteri patogen  yang hidup bersama-sama dengan rayap tanah di bawah permukaan tanah.  Berkaitan dengan itu, diagram alur  metode penelitian yang dapat dikembangkan disajikan pada Gambar 1.

 

Sebagian masyarakat memiliki pengetahuan yang terbatas terhadap peran dan manfaat rayap.  Masyarakat awam lebih cenderung menganggap rayap sebagai musuh (hama) karena tingkahlakunya dianggap membatasi/menimbulkan kerugian bagi manusia.   Bahkan pada lingkungan permukiman rayap merupakan hama bangunan yang sangat penting.  Berdasarkan serangkaian penelitian menunjukkan bahwa  intensitas serangan dan kerusakan pada bangunan gedung akibat serangan rayap secara totalitas sangat besar.  Rata-rata persentase serangan rayap pada bangunan perumahan di  kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Batam mencapai lebih dari 70%.  Laporan penelitian terakhir menyatakan bahwa kerugian ekonomis akibat serangan rayap pada bangunan perumahan pada tahun 1995 mencapai 1,67 trilyun rupiah.  Kapan, mengapa, dan bagaimana rayap berubah statusnya menjadi hama adalah hal yang menjadi perhatian penulis pada saat ini, khususnya terkait dengan perlindungan bangunan; di samping pengembangan manfaat keberaadaan rayap. 

 

 


2.       Bagaimana Rayap Mampu Makan Kayu (Selulosa) ? Selulosa merupakan produk dari mesin hayati (tumbuhan); tersusun dari unit-unit anhidroglukopiranosa yang bersambungan membentuk rantai molekul.  Unit-unit itu terikat dengan ikatan glikosidik ß.  Sebagai polimer, selulosa melimpah keberadaanya di dunia sekitar 26,5 x 1010 ton.  Manusia memanfaatkannya dalam berbagai bentuk penggunaan (kertas, kain, dll) tetapi tak mampu menggunakannya sebagai sumber nutrisi.  Sebaliknya rayap mampu mencerna selulosa sebagai sumber nutrsinya.  Tarumingkeng (2000) menyatakan  semula agak mengherankan bahwa rayap mampu melumatkan dan meyerap selulosa.  Keadaan menjadi jelas setelah ditemukanya protozoa flagelata atau bakteri dalam ususnya yang menghasilkan enzime selulase untuk membantu rayap memanfaatkan selulosa.

 

Peremajaan Mikroorganisme

 

Pemeliharaan Rayap

 
    

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 1. Diagram Alur Metode Penelitian

 

Laju kerusakan bangunan gedung oleh serangan rayap  ditentukan oleh beragam faktor, dantaranya dipengaruhi oleh karakteristik rayap, bangunan dan karakteristik lingkungan.

 

Karakteristik rayap, meliputi  ukuran populasi, daya jelajah, dan perilaku.  Hingga saat ini di Indonesia ditemukan tidak kurang dari 200 jenis rayap (Tarumingkeng, 1973).  Namun diantara rayap-rayap itu, yang  paling menimbulkan masalah pada bangunan gedung adalah jenis Coptotermes curvignathus.   Kemampuannya dalam menyerang bangunan sangat ditunjang oleh kemampuan jelajahnya yang tinggi baik para arah jelajah horisontal maupun vertikal;   mampu membuat sarang antara (secondary nest) pada tempat-tempat yang tidak secara langsung bersentuhan dengan tanah;  dan ukuran populasinya yang tinggi.   Namun beruntung dibandingkan jenis rayap lain, khususnya Schedorhinotermes  javanicus, Macrotermes gilvus, maupun Microtermes inspiratus,  sebaran rayap C. curvigntahus jauh lebih terbatas dan diduga pola sebaran spatialnya berbeda.  Jika Pulau Jawa menjadi wilayah pembatas bagi populasi rayap tanah yang akan diteliti, dan  wilayah administratif kota/kabupaten dijadikan unit sampel, maka berdasarkan pengalaman selama ini,  kuat dugaan untuk menyatakan bahwa rayap tanah; M. gilvus atau M. inspiratus   secara statistik akan mengikuti pola sebaran frekuensi binomial sedang rayap tanah C. curvignathus akan mengikuti pola sebaran binomial negatif. 

 

Apapun bentuk  konstruksi  bangunan gedung: “slab”, “basement” atau “crawl space”, rayap dapat  menembus lubang terbuka atau celah sekecil satu per enam puluh empat inci pun.  Baik celah pada “slab”  di  sekitar celah kayu atau pipa ledeng, shaf, ducting AC, celah antara pondasi dan tembok, maupun pada kuda-kuda atap. Rayap juga dapat membuat lubang di atas pondasi, terus ke atas hingga mencapai kuda-kuda dan di seluruh permukaan tembok.   Kaitannya dengan karakteristik bangunan, umur bangunan tampaknya menentukan tingkat serangan oleh rayap tanah (Leicester, 1998). 

 

Berdasarkan uraian di atas, model laju kerusakan bangunan dapat diilustrasikan, sebagimana disajikan pada Gambar 2.  Berdasarkan ilustrasi model tersebut dapat  dilakukan pengembangan model, dengan terlebih dahulu menentukan asumsi-asumsi model tersebut.

 

Karakteristik rayap

 

Penurunan Kinerja bangunan

 

Laju Kerusakan

Bangunan

 

Karakteristik Lingkungan

 

Karakteristik Bangunan

 
    

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2.  Ilustrasi Model Kerusakan Bangunan

 

Untuk mengendalikan serangan rayap pada bangunan gedung dikembangkan berbagai sistem perlindungan bangunan.  Sistem perlindungan bangunan tidak saja dilakukan  melalui rekayasa rancang bangun bangunan yang merupakan lingkup pekerjaan civil teknik tetapi  juga perlu  implementasi teknologi pengendalian rayap oleh  profesional  yang tahu sifat kehidupan rayap sebagai bentuk terapan dari termitologi.   Oleh karena itulah muncul berbagai teknologi pengendalian rayap, yang dikelompokan menjadi teknologi   penghalang fisik (physical barrier), penghalang kimia (chemical barrier) dan yang terbaru adalah teknologi pengumpanan (baiting).

Tidak sedikit hal-hal yang terkait dengan kehidupan rayap belum sepenuhnya dipahami.  Ilmuwan bertugas mengungkapkannya.  Popper (1935)  tujuan ilmuwan adalah mendeskripsikan alam semesta atau menemukan teori (terutama menemukan keteraturan-keteraturannya atau hukum-hukumnya); teori yang baik menyajikan esensi atau realitas.  Teori-teori   yang telah ada hanya tertolak atau termodifikasi oleh fakta-fakta baru yang telah sangat teruji (Feyeraband, 1965).

 

 

Daftar Pustaka

 

Haris, W.V.  1961.  Termites. Their Recognition and Control.  Longmans Green and Co. Ltd. London

 

Howse, P.E.  1970.  Termites. A Study in Social Behavior. Hutchinson Univ. Library. London

 

Kofoid, C.A.  1946.  Termites and Termite Control. Univ. California.  Barkeley

 

Krisna, K dan F.M. Weesner.  1969.  Biology of Termites. Vol 1.  Academic Press.  New York

 

Leicester, R.H. 1998.  Durability Analysis of Timber Construction.  Forest Research Bulletin N0 212. CSIRO-Australia 

 

Popper, K. 1935. http://www.eeng.dcu.ie/~tkpw/

 

Pearce, M.J.  1997. Termite: Biology and Pest Management.  Cab International.  New York 1997

 

Waller, D.A dan J.P. La Fage. 1987.  Nutritional Ecology of Termites.  Jon Willey and Sons.  New York

 

Tarumingkeng, R.C. 1971.   Biologi dan Pengenalan Rayap Perusak Kayu Indonesia.  Lap. LPH.  Bogor