Re-edited
Copyright © 2000 Yudi
Rismayadi
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana - S3
Institut Pertanian
Dosen: Prof Dr Ir Rudy C
Tarumingkeng
DUNIA
KEHIDUPAN RAYAP
Oleh:
Welcome
to The World of Termites itulah yang ditulis oleh
Prof. Grace (1997) untuk mengantarkan
para pembaca kepada sebuah buku Termite
“Biology and
Kehidupan rayap dapat diverifikasi secara empiris, diindera oleh panca
indera sehingga ia merupakan objek
pengetahuan. Berbagai peneliti (Kofoid,
(1946); Krisna dan Weesner (1969); Harris (1961); Howse
(1970); Tarumingkeng (1971), Nandika (1980); dan lain-lain) telah mengumpulkan sebagian dari fakta-fakta empiris kehidupan rayap secara sistematis melalui metode keilmuan (epistomologi) sehingga kini dikenal/lahir cabang ilmu mengenai
rayap (Termitologi). Sebagai sebuah cabang ilmu,
Termitologi
haruslah memenuhi persyaratan bahwa didalamnya mempunyai korelasi ontologis yang positif dengan objeknya. Artinya bahwa setiap objek dari cabang
ilmu itu diakui dan diyakini
keberadaannya.
Pengakuan terhadap
status ontologis, objek ilmu yang bersangkutan pada akhirnya akan membawa pada pengakuan status keilmuan dari cabang-cabang
ilmu yang bersangkutan. Itulah sebabnya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat meta-empirik diragukan keilmiahan-nya, karena keraguan terhadap status ontologis objek-objek ilmunya yang tidak dapat dibuktikan
secara empiris melalui kaidah-kaidah metode keilmuan(epistomologi rasionasistik-empiritikal)
Tulisan itu merupakan
hasil proses berpikir yang diarahkan untuk mengupas dunia kehidupan rayap sedalamnya-dalamnya. Walaupun
tidak lengkap ingin dicoba menyajikan
landasan-landasan ontologis, epistomologis, dan axiologis-nya.
Semoga memberikan manfaat betapapun
kecilnya.
Rayap ada
jauh sebelum manusia ada. Pearce (1997) menyatakan kurang
lebih 100 juta tahun yang lalu. Rayap mengapa tetap ada ?. Kelestarian kehidupan rayap didukung oleh
cara hidupnya yang memberikan keuntungan besar baginya. Rayap hidup dalam satu masyarakat yang ter-organisasi. Dengan
cara itu, rayap hidup berkelompok (koloni) dalam jumlah yang besar
sehingga terbentuk pertahanannya. Organisasi komunal bertambah effisien dengan
adanya spesialisasi (kasta). Sebagian individu dari koloni itu ditugaskan untuk membuat sistem pertahanan,
melawan musuh, dan melindungi individu lainnya.
Itulah Kasta Prajurit. Individu-individu lain bekerja terus tanpa henti, memelihara
telur dan rayap muda, serta memindahkannya
pada saat terancam ke tempat
yang lebih aman,
memberi makan dan memelihara ratu, mencari sumber makanan, menumbuhkan jamur dan memeliharanya. Itulah Kasta Pekerja. Bahkan kadang-kadang mereka memakan rayap lain yang lemah sehingga hanya individu-individu yang kuat saja yang dipertahankan. Semua ini merupakan
mekanisme pengaturan keseimbangan energi di dalam koloni rayap. Organisasi komunal rayap itu,
dipimpin oleh Kasta Reproduktif (ratu). Munculnya spesialisasi menuntut sistem komunikasi yang baik. Misalnya suatu tanda yang memberitahukan adanya bahaya,
sumber makanan dan atau tanda bagi proses penunjukan ratu baru. Sistem komunikasi itu hadir dalam kehidupan
rayap dalam berbagai bentuk (bunyi, sentuhan, feromon, dll). Organisasi,
spesialisasi1), dan komunikasi yang baik dalam dunia kehidupan
mendukung kelestariannya.
Kini rayap telah
menyebar tidak
saja di daerah tropika dan sub tropika, namun cenderung meluas ke daerah-daerah temprate dengan batas-batas
50o Lintang Utara dan Lintang Selatan. Mengapa
bisa? padahal rayap adalah serangga
yang berukuran kecil, sangat lemah, mempunyai kemampuan terbang yang terbatas,
sayapnya mudah tanggal, dan serangga ini
pun (laron) sangat disukai predator.
Berkaitan dengan masalah itu,
maka muncullah beberapa hipotesis yang berkaitan dengan perkembangan daratan
sebagai tempat penyebaran rayap;
1.
Terdapat daratan yang menjembatani Selat Bering di daerah tropika yang memungkinkan rayap dari daerah Amerika
Selatan bermigrasi ke daerah Australia, Daerah Oriental, dan Ethiopia demikian
juga sebaliknya.
2.
Amerika belahan selatan dan utara dihubungkan dengan Isthmus, pada Periode
Eocene dan sesudah/akhir periode Cretaceus;
3.
Australia dihubungkan dengan Daerah Oriental pada saat Periode Cretaceus;
dan Madagaskar kemungkinan berdampingan dengan daratan Afrika pada Periode
Eocene atau lebih awal lagi.
1) Bagaimana spesialisasi itu
terjadi ? Pertanyaan ini
telah mengundang banyak peneliti seperti Grassi dan Sandias (1893), E.M. Miller (1969), Charles Noirot (1969), Luscher (1969),
dan lain-lain.
Grassi dan Sandias pada tahun 1896 menemukan fakta (pengamatan yang telah diverifikasi secara empiris) bahwa di dalam koloni yang kehilangan kasta reproduktif primer maka dalam waktu empat
sampai tujuh hari koloni tersebut
akan membentuk neoten (kasta reproduktif sekunder). Sebaliknya pada koloni rayap yang masih memiliki kasta reproduktif primer maka koloni tersebut tidak dapat membentuk
neoten. Berdasarkan hasil penelitian Grassi dan Sandias, demikian juga Escherich dan Holmgren, akhirnya disampaikan satu teori yang disebut Teori Ekstrensik. Teori tersebut menyatakan bahwa semua rayap memiliki potensi untuk berkembang
menjadi kasta prajurit, kasta pekerja, atau kasta
reproduktif dan pembentukannya
dipengaruhi oleh faktor nutrisi dan faktor lingkungan yang terjadi pada saat
itu. Di pihak lain, Imms (1919) menyebutkan adanya faktor intrinsik yang mengendalikan pembentukan kasta. Imms menyatakan bahwa
pembentukan kasta tersebut setara dengan proses segregasi mendelian. Perkembangan penelitian ilmiah selanjutnya,
menyimpukan bahwa kasta reproduktif primer memproduksi suatu bahan kimia yang
spesifik, yang dapat menghambat perkembangan nimfa betina menjadi neoten
(Pickens, 1932). Hal ini diperkuat oleh
penemuan Castle (1934) yang menunjukkan
bukti adanya penghambatan oleh suatu bahan kimia yang disebut feromon. Feromon
ini dikeluarkan oleh kasta reproduktif primer, yang selanjutnya disebut feromon
dasar (primer pheromone). Menurut Tarumingkeng (1993) feromon dasar
juga berperan dalam pembentukan kasta
pekerja dan kasta prajurit. Di samping feromon,
Luscher dan Springhetti (1960); serta
Luscher (1969); menyimpulkan bahwa terdapat beberapa hormon, yaitu;
hormon ecdisone dan hormon juvenil yang mempengaruhi pembentukan kasta pada rayap tingkat
rendah. Ketika hormon ecdysone,
diberikan pada nimfa instar kedua maka akan terbentuk beberapa seri hormon yang
dapat membantu nimfa untuk berkembang menjadi kasta reproduktif. Sebaliknya pemberian hormon juvenil akan
menghambat perkembangan nimfa atau pseudoworker
menjadi kasta reproduktif.
Di dalam biosfera, rayap merupakan penghubung rangkaian siklus
biogeochemical (dekomposer bahan
organik) yang sangat penting , seperti; siklus karbon, oksigen, nitrogen,
sulfur, dan fospor (Waller dan La Fage, 1987).
Peran tradisional rayap
tersebut telah dinyatakan dalam pengkabaran Tuhan; Kematian Solomon (Sulaeman) terjadi ketika ia
berdiri memegang tongkatnya, pada saat itu tak satu makhlukpun mengetahui bahwa
Solomon telah meninggal, hingga suatu peristiwa menunjukkan kematiannya;
Solomon jatuh tersungkur akibat tongkat yang menopangnya hancur dimakan rayap
(Q.S. 34:14). Sebagai organime pemakan kayu (selulosa) 2, itulah misi keberaadaan
rayap. Namun, perkembangan ilmu
pengetahuan telah memperluas potensi pemanfaatan rayap selain peranannya
sebagai dekomposer bahan organik.
Pemanfaatan mikroorganisme dalam
usus rayap secara invitro sebagai sumber energi alternatif dan agensia dalam
proses fiksasi nitrogen dari udara merupakan potensi manfaat rayap yang dikembangkan akhir-akhir ini. Manfaat lain dari rayap yang dapat
dikembangkan adalah sebagai penghasil
senyawa antimikroba. Preswich (1983)
menyebutkan bahwa eksudat dari fontanel rayap kasta prajurit khususnya dari
genus Nasutitermes dan Coptotermes diduga bersifat sebagai antimikroba. Sementara itu, Pearche (1997) menyatakan
bahwa eksudat dari fontanel rayap tanah mampu menghambat perkembangan dan
pertumbuhan bakteri dan jamur patogen.
Antimikroba tersebut dihasilkan sebagai mekanisme pertahanan kimiawi
terhadap berbagai jenis jamur dan bakteri patogen yang hidup bersama-sama dengan rayap tanah di
bawah permukaan tanah. Berkaitan dengan
itu, diagram alur metode penelitian yang
dapat dikembangkan disajikan pada Gambar 1.
Sebagian masyarakat memiliki pengetahuan
yang terbatas terhadap peran dan manfaat rayap. Masyarakat awam lebih cenderung menganggap
rayap sebagai musuh (hama) karena tingkahlakunya dianggap membatasi/menimbulkan
kerugian bagi manusia. Bahkan pada
lingkungan permukiman rayap merupakan hama bangunan yang sangat penting. Berdasarkan serangkaian penelitian
menunjukkan bahwa intensitas serangan
dan kerusakan pada bangunan gedung akibat serangan rayap secara totalitas
sangat besar. Rata-rata persentase
serangan rayap pada bangunan perumahan di
kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Batam mencapai
lebih dari 70%. Laporan penelitian
terakhir menyatakan bahwa kerugian ekonomis akibat serangan rayap pada bangunan
perumahan pada tahun 1995 mencapai 1,67 trilyun rupiah. Kapan, mengapa, dan bagaimana rayap berubah
statusnya menjadi hama adalah hal yang menjadi perhatian penulis pada saat ini,
khususnya terkait dengan perlindungan bangunan; di samping pengembangan manfaat
keberaadaan rayap.
2. Bagaimana Rayap Mampu Makan Kayu
(Selulosa) ? Selulosa merupakan
produk dari mesin hayati (tumbuhan); tersusun dari unit-unit
anhidroglukopiranosa yang bersambungan membentuk rantai molekul. Unit-unit itu terikat dengan ikatan
glikosidik ß. Sebagai polimer, selulosa
melimpah keberadaanya di dunia sekitar 26,5 x 1010 ton. Manusia memanfaatkannya dalam berbagai bentuk
penggunaan (kertas, kain, dll) tetapi tak mampu menggunakannya sebagai sumber
nutrisi. Sebaliknya rayap mampu mencerna
selulosa sebagai sumber nutrsinya.
Tarumingkeng (2000) menyatakan
semula agak mengherankan bahwa rayap mampu melumatkan dan meyerap
selulosa. Keadaan menjadi jelas setelah
ditemukanya protozoa flagelata atau bakteri dalam ususnya yang menghasilkan
enzime selulase untuk membantu rayap memanfaatkan selulosa.
Peremajaan Mikroorganisme Pemeliharaan Rayap
Gambar 1. Diagram Alur Metode Penelitian
Laju kerusakan bangunan gedung oleh
serangan rayap ditentukan oleh beragam
faktor, dantaranya dipengaruhi oleh karakteristik rayap, bangunan dan
karakteristik lingkungan.
Karakteristik rayap, meliputi ukuran populasi, daya jelajah, dan
perilaku. Hingga saat ini di Indonesia
ditemukan tidak kurang dari 200 jenis rayap (Tarumingkeng, 1973). Namun diantara rayap-rayap itu, yang paling menimbulkan masalah pada bangunan
gedung adalah jenis Coptotermes
curvignathus. Kemampuannya dalam
menyerang bangunan sangat ditunjang oleh kemampuan jelajahnya yang tinggi baik
para arah jelajah horisontal maupun vertikal;
mampu membuat sarang antara (secondary
nest) pada tempat-tempat yang tidak secara langsung bersentuhan dengan
tanah; dan ukuran populasinya yang
tinggi. Namun beruntung dibandingkan
jenis rayap lain, khususnya Schedorhinotermes javanicus,
Macrotermes gilvus, maupun Microtermes inspiratus, sebaran rayap C. curvigntahus jauh lebih terbatas dan diduga pola sebaran spatialnya berbeda. Jika Pulau Jawa menjadi wilayah pembatas bagi
populasi rayap tanah yang akan diteliti, dan
wilayah administratif kota/kabupaten dijadikan unit sampel, maka
berdasarkan pengalaman selama ini, kuat
dugaan untuk menyatakan bahwa rayap tanah; M.
gilvus atau M. inspiratus secara statistik akan mengikuti pola sebaran
frekuensi binomial sedang rayap tanah C.
curvignathus akan mengikuti pola sebaran binomial negatif.
Apapun bentuk konstruksi
bangunan gedung: “slab”,
“basement” atau “crawl space”,
rayap dapat menembus lubang terbuka atau
celah sekecil satu per enam puluh empat inci pun. Baik celah pada “slab” di sekitar celah kayu atau pipa ledeng, shaf, ducting AC, celah antara pondasi dan tembok, maupun pada
kuda-kuda atap. Rayap juga dapat membuat lubang di atas pondasi, terus ke atas
hingga mencapai kuda-kuda dan di seluruh permukaan tembok. Kaitannya dengan karakteristik bangunan,
umur bangunan tampaknya menentukan tingkat serangan oleh rayap tanah
(Leicester, 1998).
Berdasarkan uraian di atas, model laju
kerusakan bangunan dapat diilustrasikan, sebagimana disajikan pada Gambar
2. Berdasarkan ilustrasi model tersebut
dapat dilakukan pengembangan model, dengan
terlebih dahulu menentukan asumsi-asumsi model tersebut.
Karakteristik rayap Penurunan Kinerja bangunan Laju Kerusakan Bangunan Karakteristik Lingkungan Karakteristik Bangunan
Gambar 2. Ilustrasi
Model Kerusakan Bangunan
Untuk mengendalikan serangan rayap
pada bangunan gedung dikembangkan berbagai sistem perlindungan bangunan. Sistem perlindungan bangunan tidak saja dilakukan melalui rekayasa rancang bangun bangunan yang
merupakan lingkup pekerjaan civil teknik tetapi juga perlu
implementasi teknologi pengendalian rayap oleh profesional
yang tahu sifat kehidupan rayap sebagai bentuk terapan dari termitologi. Oleh karena itulah muncul berbagai teknologi
pengendalian rayap, yang dikelompokan menjadi teknologi penghalang fisik (physical barrier), penghalang kimia (chemical barrier) dan yang terbaru adalah teknologi pengumpanan (baiting).
Tidak sedikit hal-hal yang terkait
dengan kehidupan rayap belum sepenuhnya dipahami. Ilmuwan bertugas mengungkapkannya. Popper (1935)
tujuan ilmuwan adalah mendeskripsikan alam semesta atau menemukan teori
(terutama menemukan keteraturan-keteraturannya atau hukum-hukumnya); teori yang
baik menyajikan esensi atau realitas.
Teori-teori yang telah ada hanya
tertolak atau termodifikasi oleh fakta-fakta baru yang telah sangat teruji
(Feyeraband, 1965).
Haris, W.V. 1961. Termites. Their Recognition and Control. Longmans Green and Co. Ltd.
Howse, P.E.
1970. Termites. A Study in Social Behavior.
Krisna, K dan F.M.
Weesner. 1969. Biology of Termites. Vol 1. Academic Press.
Popper, K. 1935. http://www.eeng.dcu.ie/~tkpw/
Pearce, M.J. 1997. Termite:
Biology and
Waller, D.A dan J.P. La
Fage. 1987. Nutritional Ecology
of Termites. Jon
Willey and Sons.
Tarumingkeng, R.C.
1971. Biologi dan Pengenalan Rayap
Perusak Kayu Indonesia. Lap. LPH.