Re-edited
Copyright ©
2000 TRIYONO PUSPITOJATI
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana - S3
Institut
Pertanian Bogor
Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
SISTEM
PEMANTAUAN PRODUKSI DAN PEREDARAN
KAYU
DI ERA OTONOMI
DAERAH
Oleh:
IPK/P14600006
A.
Latar Belakang
Provisi
sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR) merupakan penerimaan negara
bukan pajak yang berasal dari sektor Kehutanan. DR dipergunakan untuk
pembangunan kehutanan yang terkait dengan kegiatan reboisasi hutan dan
rehabilitasi lahan serta kegiatan lain yang mendukung kelestarian hutan.
Sedangkan PSDH dipergunakan untuk pembangunan nasional dan pembangunan daerah.
Penerimaan PSDH-DR hasil hutan berasal dari baik kayu dan non kayu, tetapi
sebagian besar berasal dari kayu.
Nilai
PSDH-DR tergantung pada tingkat produksi dan tarif untuk setiap jenis kayu.
Semakin tinggi produksi hasil hutan semakin tinggi PSDH-DR yang dapat dipungut.
Selama ini penerimaan negara dari PSDH-DR belum optimal karena banyaknya hasil
hutan yang diproduksi secara ilegal. Hal ini antara lain disebabkan sistem
pemantauan produksi dan peredaran kayu tidak efektif mengatasi kayu ilegal.
Krisis sosial ekonomi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini juga
menyebabkan maraknya peredaran kayu ilegal sehingga penerimaan PSDH-DR tidak
optimal.
Dengan
berlakunya otonomi daerah, sistem pemantauan ini seharusnya sudah diganti
karena apabila tetap diberlakukan akan makin tidak efekrif. Hal ini karena
efektivitas sistem pemantauan ini sangat tergantung pada efektivitas pemantauan
yang dilakukan di daerah tujuan pemasaran kayu. Di era otonomi, kegiatan
pemantauan tampaknya tidak dapat dibebankan
pada daerah tujuan kayu karena daerah tujuan kayu tidak memperoleh bagian
PSDH-DR atas kayu yang dipantaunya. Penerimaan PSDH-DR hanya untuk daerah
penghasil kayu dan pemerintah pusat.
Penelitian
sistem pemantauan produksi dan peredaran kayu dilakukan dengan maksud untuk
mengumpulkan data dan informasi bagi penyusunan petunjuk teknis pemantauan di daerah (kabupaten) sesuai
dengan kewenangan yang dimiliki daerah di era otonomi. Penelitian ini akan
dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama mengevaluasi biaya dan intensitas
pemantauan, tahap kedua menyusun petunjuk teknis pemantauan, dan tahap ketiga
mengukur efektivitas pemantauan. Penelitian tahap kedua dan ketiga dilakukan
setelah sistem pemantauan yang berlaku selama ini dirubah dan disesuaikan
dengan ketentuan yang tecantum dalam undang undang otonomi daerah.
B. Tujuan Penelitian
1. Mengevaluasi intensitas, frekuensi, dana, sarana dan prasarana yang
diperlukan untuk melaksanakan pemantauan.
2. Menyusun pedoman kerja kegiatan pemantauan
di daerah asal kayu
3. Mengukur dan meningkatkan efektivitas
kegiatan pemantauan
1. Mekanisme Pemantauan
Sampai saat ini kegiatan peemantauan produksi dan peredaran kayu di
Indonesia masih didasarkan pada Kepmenhut No 402/KPTS-IV/1990 jo No
525/KPTS-II/1991, Kepmenhut No. 486/Kpts-II/95 jo. No 532/Kpts-II/96.
Berdasarkan peraturan ini, pelaksanaan pemantauan produksi dan peredaran kayu
dilakukan secara self assessment.
Dalam sistem ini, pemantauan dititik beratkan pada pemeriksaan silang
dokumen produksi dan peredaran kayu. Pemeriksaan fisik kayu yang diproduksi
hanya dilakukan pada saat pengesahan laporan hasil penebangan (LHP). Sedangkan
pemeriksaan fisik terhadap kayu yang diedarkan hanya dilakukan pada saat kayu
sampai di industri pengolahan kayu hulu (IPKH). Sementara itu, penerbitan
dokumen produksi dan peredaran kayu dilakukan oleh petugas perusahaan yang
ditunjuk oleh Kanwil Kehutanan.
Dokumen produksi dan peredaran kayu yang dipantau antara lain adalah
dokumen laporan hasil cruising (LHC), dokumen laporan hasil produksi (LHP) dan
surat angkutan kayu bulat (SAKB). Dokumen LHC adalah dokumen rencana produksi
yang diperoleh dari kegiatan survei potensi tegakan. LHC antara lain memuat
informasi tentang nama pohon, diameter, tinggi dan volume pohon yang
direncanakan untuk ditebang.
Dokumen LHP memuat
informasi kegiatan penebangan antara lain nomor batang (nomor petak, nomor
pohon dan nomor batang), ukuran diameter, ukuran panjang, jenis kayu dan volume
dari masing-masing batang. Nomor pohon dan jenis kayu yang tercantum dalam LHP
harus sesuai seperti yang tercantum dalam LHC. Pemeriksaan silang LHC dan LHP
dilakukan oleh P2LHP pada saat pengesahan LHP. Canag Dinas Kehutanan (CDK),
Dinas dan Kanwil Kehutanan juga melakukan pemeriksaan silang dokumen LHC dan
LHP.
Peredaran kayu bulat
dari perusahaan HPH ke perusahaan IPKH dapat dilakukan setelah LHP kayu
disahkan. Pengangkutan kayu bulat wajib disertai Surat Angkutan Kayu bulat
(SAKB). SAKB diperoleh perusahaan HPH dari CDK atau Dinas Kehutanan setempat.
SAKB diberikan secara bertahap yang jumlahnya disesuaikan dengan volume
produksi, alat angkut dan frekuensi pengangkutan.
SAKB dibuat rangkap
enam oleh petugas perusahaan yang ditunjuk Kanwil Kehutanan. SAKB lembar
pertama dan kedua menyertai peredaran kayu bulat sampai ke IPKH. Lembar ketiga
dikirim ke CDK asal kayu dan lembar keempat untuk P2LHP. Sementara itu lembar
kelima dikirim ke Kanwil Kehutanan tujuan kayu, dan lembar keenam sebagai arsip
penerbit SAKB (perusahaan HPH). Secara skematis arus peredaran kayu bulat dari
HPH ke IPKH antar propinsi dan pelaporan dokumen SAKB dapat dilihat pada Gambar
1.
Pemeriksaan fisik terhadap peredaran kayu di daerah asal kayu biasanya
tidak dilakukan sehingga petugas kehutanan asal kayu tidak mengetahui apakah
fisik kayu yang diedarakan sama dengan fisik kayu yang tercantum dalam SAKB
(lembar ke 3 dan keempat) yang dilaporkan. Pemantauan hanya dilakukan melalui
evaluasi dokumen, dan ini sesuai dengan Surat Edaran Menteri Kehutanan No. 1682
tahun 1990 dimana pemeriksaan peredaran kayu selama pengangkutan tidak
dianjurkan. Surat edaran ini dimaksudkan untuk memperlancar peredaran kayu.
Pemeriksaan terhadap kayu yang diedarkan dilakukan setelah kayu sampai di
IPKH oleh petugas pemeriksa penerimaan kayu bulat (P3KB). P3KB kemudian
melakukan pemeriksaan kayu bulat yang masuk, baik secara administrasi maupun
secara fisik. Hasil pemantauan dicatat dalam buku register. SAKB lembar pertama
disimpan oleh P3KB dan lembar kedua diserahkan kembali kepada IPKH.
Gambar 1. Arus
peredaran kayu bulat dari HPH ke IPKH antar propinsi
Lembar pertama SAKB
tersebut oleh P3KB setiap bulan dikirim ke CDK tujuan kayu. Setelah dicatat dan
direkap, lembar pertama SAKB tersebut oleh CDK dikirim ke Dinas Kehutanan
tujuan kayu dan dari Dinas Kehutanan tujuan kayu SAKB lembar pertama dikirim ke
Kanwil Kehutanan tujuan kayu. Selain itu, Dinas Kehutanan tujuan kayu setiap
bulan juga mengirim laporan penerimaan kayunya kepada Dinas Kehutanan asal
kayu.
Pemantauan dokumen di daerah tujuan kayu dilakukan oleh Kanwil Kehutanan
yaitu dengan melakukan pemeriksaan silang dokumen SAKB lembar pertama dan
lembar kelima (diterima dari HPH pengirim kayu). Sedangkan pemantauan dokumen
di daerah asal kayu dilakukan dengan pemeriksaan silang antara SAKB lembar ke
tiga dan LHP, dan antara SAKB lembar ketiga dan laporan Dinas Kehutanan tujuan
kayu..
2. Efektivitas Pemantauan
Pemantauan produksi dan
peredaran kayu yang dilakukan secara self assessment tidak efektif mengatasi
kayu ilegal karena adanya kelemahan sistem dan pelaksanaan pemantauan serta
tidak seimbangnya pasokan dan kebutuhan kayu bulat.
a. Kelemahan sistem pemantauan
Sistem pemantauan
peredaran kayu secara self assessment mengandung paling tidak dua kelemahan
utama. Pertama, di daerah asal kayu tidak ada pemeriksaan fisik terhadap kayu
yang diedarkan. Hal ini menyebabkan peredaran kayu ilegal (baik yang dilakukan
melalui manipulasi dokumen, tanpa dokumen atau dengan menggunakan dokumen palsu)
tidak terpantau di daerah asal kayu. Sebagai akibatnya kayu ilegal mengalir ke
daerah tujuan kayu (Triyono dan Haryatno, 1996; Triyono dan Sylviani, 1999;
Haryatno dan Triyono, 2000).
Kedua, koordinasi
pemantauan antara Dinas Kehutanan asal dan tujuan kayu tidak memadai atau tidak
ada. Komunikasi yang ada hanya satu arah dan sangat terbatas, yaitu dari Dinas
Kehutanan tujuan kayu ke Dinas Kehutanan asal kayu. Terbatasnya koordinasi juga
menyebabkan Kanwil Kehutanan tujuan kayu sulit untuk memantau peredaran kayu di
wilayahnya, karena tidak adanya informasi awal tentang pengiriman kayu
tersebut. Kelemahan ini dapat dimanfaatkan oleh perusahaan HPH, misalnya, untuk
melakukan ekspor kayu bulat secara ilegal. (Triyono dan Haryatno, 1996; Triyono
dan Sylviani, 1999; Haryatno dan Triyono, 2000;
Silviani dan Triyono, 2000).
b. Kelemahan pelaksanaan pemantauan
Pemantauan produksi dan
peredaran kayu tidak dapat dilakukan dengan baik karena terbatasnya jumlah
petugas, sarana dan prasarana. Hal ini paling tidak tercermin dari kegiatan
pemantauan yang dilakukan oleh P2LHP, P3KB dan Dinas Kehutanan.
1). Pelaksanaan Pemantauan oleh P2LHP dan P3KB
P2LHP melaksanakan tugasnya mensahkan LHP sebulan
3 kali. Dalam melaksanakan tugas tersebut memerlukan sarana dan biaya transportasi
tetapi sarana ini tidak tersedia. Perusahaan HPH harus menyediakan sarana agar
produksi kayunya dapat disahkan. Hal ini menyebabkan P2LHP tidak mandiri dalam
menjalankan tugasnya. Kasus
yang sama juga terjadi pada petugas P3KB.
P3KB seharusnya berada di IPKH selama 24 jam untuk mengawasi kayu bulat yang
masuk pada IPKH. Hal tersebut tidak dapat dilaksanakan karena terbatasnya
jumlah petugas P3KB lebih sedikit daripada jumlah IPKH. Pada umumnya. P3KB juga menggunakan fasilitas
yang diberikan oleh perusahaan dalam menjalankan tugasnya (Triyono dan
Haryatno, 1996).
Dampak dari ketidak mandirian P2LHP dan P3KB sulit
diketahui. Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa kayu yang LHP-nya telah disahkan dan kayu yang telah
diperiksa dinilai legal oleh P3KB sebagian besar tidak beridentitas lengkap
atau bahkan tidak mempunyai identitas sama sekali. Hal ini membuat sulit untuk
membedakan antara kayu legal dan ilegal (Triyono dan Haryatno, 1996).
2). Pelaksanaan pemantauan oleh Dinas Kehutanan
Dinas Kehutan tujuan
kayu pada umumnya tidak memberikan perhatian yang serius terhadap koordinasi
pemantauan. Triyono dan Sylviani (1997) melaporkan bahwa Dinas Kehutanan DKI
Jakarta setiap bulan menerima sekitar 480 dokumen SAKB/SAKO dari 17 propinsi
pengirim kayu. Penerimaan kayu ini tidak dilaporkan ke Dinas kehutanan pengirim
kayu (asal kayu) karena tidak ada pegawai yang secara khusus menangani hal
tersebut. Hal ini menyebabkan, pemeriksaan silang dokumen di daerah asal kayu
tidak berjalan baik.
c, Penawaran
dan Permintaan Kayu
Pasokan dan permintaan kayu menunjukkan ketidak
seimbangan. Pasokan kayu dari hutan alam, hutan tanaman dan hutan rakyat
sekitar 33 juta m3 per tahun, sedangkan permintaan kayu untuk industri adalah 63
juta m3 per tahun (Dirjen PHP, 2000). Kekurangan pasokan adalah 30 juta m3 per
tahun. Hal ini mendorong berbagai tindakan yang mengancam kelestarian hutan
seperti tebangan di luar blok tebangan, penebangan liar, penebangan berlebihan
(over cutting) serta pemalsuan dan manipulasi dokumen. Dalam peredarannya kayu
ilegal tersebut bercampur dengan kayu legal sehingga mengacaukan kegiatan
pemantauan peredaran kayu.
3. Upaya Untuk Meningkatkan Efektivitas
Pemantauan
Upaya untuk
meningkatkan efektivitas pemantauan telah banyak dilakukan. Ada kecenderungan
bahawa upaya ini dilakukan dengan meningkatkan pemeriksaan fisik terhadap kayu
yang diedarkan. Secara nasional, upaya mengatasi kayu ilegal dilakukan dengan
membentuk Tim Pengamanan Hutan Terpadu (TPHT) yang melibatkan banyak inststansi
non kehutanan. TPHT yang membutuhkan biaya operasi besar ini dibubarkan pada
tahun 1998 karena tidak mampu mengatasi kayu ilegal. Dalam banyak kasus,
keterlibatan TPHT justru melemahkan kemampuan aparat kehutanan melaksanakan pemantauan.
Akhir-akhir
ini, disinyalir SAKB diperjual belikan dan digunakan untuk mengedarkan kayu
ilegal sehingga aparat kehutanan sulit untuk membedakan kayu legal dan kayu
ilegal. Banyaknya SAKB yang berada di tangan pengedar kayu ilegal ini mendorong
pemerintah, melalui Kepmenhutbun No. 132 tahun 2000, mengganti dokumen SAKB
dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dimana penerbitan SKSHH
dilakukan secara official assessment (penerbitan dokumen dilakukan oleh aparat
kehutanan). Dengan berlakunya otonomi daerah sejak Januari 2001, banyak
perubahan tampaknya harus dilakukan untuk menyesuaikan dengan kebijakan otonomi
daerah..
B. Otonomi
Daerah
Kebijakan otonomi daerah yang terkait dan dapat
mempengaruhi efektivitas pemantauan peredaran kayu tercantum pada pasal 63 UU
No. 22 Tahun 1999, pasal 12 UU No. 22 tahun 1999 yang rinciannya tercantum
dalam PP No. 25 tahun 2000 khususnya pasal 2 ayat 3 butir 4 (bidang kehutanan
dan perkebunan) dan pasal 3, serta pasal 6 ayat 5 dan pasal 8 ayat 4 UU No. 25
tahun 1999.
Pasal 63 UU No. 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa
penyelenggaraan wewenang yang dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Gubernur
selaku wakil pemerintah dalam rangka dekonsentrasi dilaksanakan oleh Dinas
Propinsi. Dengan berlakunya UU ini maka Kantor Wilayah Kehutanan dihapus dan
tidak lagi terlibat dalam pemantauan produksi, peredaran dan pembayaran
PSDH-DR. Kegiatan pemantauan sepenuhnya ditangani oleh aparat kehutanan di
daerah..
Pasal 2 dan 3 PP No. 25 tahun 2000 antara lain
menyebutkan bahwa pemasaran dan peredaran hasil hutan merupakan kewenangan
pemerintah pusat. Kewenangan pusat dalam mengatur pemasaran dan peredaran kayu
ini diperkirakan hanya diarahkan pada penyusunan pedoman dan standar kegiatan
pemantauan sehingga menungkinkan kerjasama pemantauan antar daerah dapat
dilakukan. Sementara itu, teknis pelaksanaan pemantauan diperkirakan diserahkan
kepada daerah.
Pasal 6 ayat 5 UU No.25 Tahun 1999 menyebutkan
bahwa Penerimaan Negara dari sumberdaya alam sektor kehutanan dari Iuran Hak
Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dibagi dengan
imbangan 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk Daerah. Sedangkan pasal 8
ayat 4 UU No. 25 Tahun 1999 menyebutkan bahwa penerimaan negara dari dana
reboisasi (DR) dibagi dengan imbangan 40% untuk Daerah dan 60% untuk Pemerintah
Pusat (Tabel 1). Dalam peraturan sebelumnya, 100% DR dan 80% PSDH dikelola oleh
Pemerintah Pusat (20% PSDH untuk Daerah).
Tabel 1.
Perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah sektor kehutanan (%)
|
|
|
Daerah |
||
Sumber |
Dasar bagi |
Pusat |
Propinsi |
Kabupaten/kota |
|
|
hasil |
|
|
Penghasil |
Lainnya dalam propinsi |
IHPH |
Total penerimaan |
20 |
16 |
64 |
- |
PSDH |
Total penerimaan |
20 |
16 |
32 |
32 |
DR |
Total penerimaan |
60 |
40 |
- |
- |
Perubahan ini menyebabkan daerah asal kayu
mempunyai dana untuk pemantauan sedangkan daerah tujuan kayu tidak
mempunyai dana atau mendapat sedikit
dana yang dikelola Pemerintah Pusat untuk memantau kayu yang berasal dari daerah lain. Sebagai konsekuensinya, pemantauan akan difokuskan pada daerah asal kayu.
Koordinasi pemantauan dengan daerah lain
diperkirakan hanya sebagai pendukung dan dilakukan melalui
pemantauan dokumen.
A.
Pendekatan Masalah
Sistem pemantauan
produksi dan peredaran kayu secara self assessment mempunyai kerangka pemantauan yang baik.
Sistem ini memungkinkan setiap kegiatan perusahaan yang terkait dengan produksi
dan peredaran kayu dapat dipantau melalui dokumen. Akan tetapi, sistem ini
gagal mengatasi kayu ilegal karena rendahnya intensitas pemantauan fisik dan
karena perusahaan tidak melaporkan kegiatannya dengan benar. Kegagalan ini juga
disebabkan pemantauan tidak dilaksanakan dengan baik sebagai akibat terbatasnya
dana, sarana dan prasarana pemantauan.
Upaya meningkatkan
efektivitas sistem pemantauan dapat dilakukan dengan meningkatkan
intensitas/frekuensi pemantauan fisik kayu dimana upaya semacam ini telah
banyak dilakukan. Bedanya, upaya yang selama ini dilakukan (seperti yang
dilakukan TPHT) bertujuan untuk mengeliminir dampak atau bersifat sementara.
Sedangkan, dalam penelitian ini peningkatan intensitas pemantauan fisik
merupakan bagian dari upaya untuk memperbaiki sistem pemantauan atau bertujuan
untuk mengeliminir penyebab terjadinya peredaran kayu ilegal.
Kegiatan yang perlu
ditingkatkan intensitas pemantauan fisiknya adalah pemantauan peredaran kayu.
Hal ini dilakukan dengan membangun pos-pos pemeriksaan.kayu di lokasi-lokasi
yang banyak dilalui kayu. Jumlah pos dan tenaga pemantau disesuaikan dengan
volume peredaran kayu dan tingkat kerawanan daerah. Sedangkan intensitas
pemantauan kegiatan seperti cruising dan produksi kayu di HPH dan penerimaan
kayu di IPKH tampaknya sudah memadai. Peningkatan intensitas pemantauan fisik
peredaran kayu dan kegiatan pemantauan lainnya perlu ditunjang tenaga kerja,
biaya, sarana dan sarana yang memadai.
Pemantauan dengan
intensitas pemeriksaan fisik yang tinggi ini mungkin sudah mengarah ke
perubahan sistem dari sistem self assessment ke sistem official assessment.
Sistem pemantauan ini tampaknya memadai diterapkan di era otonomi daerah dimana
kegiatan dan biaya pemantauan menjadi tanggung jawab masing-masing daerah dan
tepat diterapka dalam kondisi dimana pasokan dan kebutuhan kayu tidak seimbang.
Uji coba pemantauan perlu dilakukan sehingga pemantauan dapat dilakukan secara
efektif dan efisien.
B.
Hipothesis
Ho: Pemantauan produksi
dan peredaran kayu yang dilakukan secara official dimana kegiatannya difokuskan
di daerah asal kayu dan pelaksanaan pemantauannya ditunjang dana, sarana dan
prasarana pemantauan yang memadai tidak lebih efektif dan efisien dibanding
sistem pemantauan self assessment yang berlaku saat ini.
Hi: Pemantauan produksi dan peredaran kayu yang
dilakukan secara official dimana kegiatannya difokuskan di daerah asal kayu dan
pelaksanaan pemantauannya ditunjang dana, sarana dan prasarana pemantauan yang
memadai lebih efektif dan efisien dibanding sistem pemantauan self assessment
yang berlaku saat ini
C. Pengumpulan
Data
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data
sekunder di dilakukan di kota kabupaten dan kota propinsi penghasil kayu bulat
dan di Departemen Kehutanan. Data primer yang dikumpulkan meliputi intensitas,
frekuensi, biaya, dana, sarana dan prasana pemantauan yang diperlukan untuk
memantau kegiatan perusahaan HPH seperti cruising, penebangan dan peredaran
kayu, dan kegiatan IPKH seperti penerimaan kayu bulat, produksi dan peredaran
kayu olahan. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode wawancara dengan
pihak-pihak terkait terutama dengan petugas yang bekerja di lapangan. Data
sekunder yang dikumpulkan meliputi laporan-laporan perusahaan, laporan-laporan
kehutanan dan peraturan-peraturan yang terkait dengan kegiatan pemantauan
produksi dan peredaran kayu.
D.
Pengolahan Data dan Pembuktian Hiphothesis
1.
Intensitas, biaya, sarana dan prasarana pemantauan
Data yang terkumpul dipilah berdasarkan jenis
kegiatan pemantauan (cruising, produksi, peredaran kayu dsb) dan daerah
pemantauan (wilayah Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan-BKPH) dan kemudian diolah
dengan menggunakan metode tabulasi. Dengan pemilahan ini dapat ditentukan
standar pemantauan (intensitas, biaya, dan prasarana) yang tepat untuk setiap
kegiatan dan lokasi pemantauan.
2. Menyusun
Pedoman Kerja Kegiatan Pemantauan
Pedoman
kerja kegiatan pemantauan merupakan penjabaran dari Petunjuk Pelaksanaan yang
ditetapkan oleh Keputusan Menteri Kehutanan dan Petunjuk Teknis yang ditetapkan
oleh Dirjen PHP (saat ini Petunjuk pelaksanaan dan teknis pemantauan tersebut
belum mengacu pada UU No 22 dan 25 tahun 1999). Selama ini, pedoman kerja hanya
memuat rincian kegiatan. Dengan adanya informasi tentang intensitas dan biaya
pemantauan, rincian kerja dapat disusun dan dilengkapi dengan rincian biaya
pemantauan.
3. Mengukur Efektivitas Pemantauan (Pembuktian
Hipothesis)
Untuk
mengetahui efektivitas pemantauan maka dilakukan kegiatan uji coba pemantauan.
Efektivitas pemantauan idealnya diukur dengan cara membandingkan biaya yang
dikeluarkan dengan volume kayu ilegal yang beredar dan tidak terpantau. Semakin
besar biaya dan semakin besar volume kayu ilegal yang tidak terpantau, semakin
tidak efektif kegiatan pemantauan. Tetapi kayu ilegal yang tidak terpantau
tidak diketahui volumenya.
Karena itu,
efektivitas pemantauan hanya dapat diukur melalui suatu pendekatan. Efektivitas
diukur dengan cara mengukur perbedaan antara harga kayu dipasaran dengan biaya
pengelolaan hutan (termasuk biaya produksi dan peredaran kayu) ditambah dengan
biaya PSDH-DR. Semakin besar perbedaan harga (harga kayu di pasaran lebih
rendah dari biaya yang dikeluarkan perusahaan) semakin besar kayu ilegal yang
beredar atau semakin tidak efektif efektivitas pemantauan.
Pembuktian
hipothesis dilakukan dengan cara membandingkan efektivitas pemantauan di daerah
penelitian dengan efektivitas pemantauan di daerah lainnya (diasumsikan
kegiatan pemantauan di daerah lainnya tidak banyak mengalami perubahan). Ho
diterima apabila pemantauan di daerah penelitian tidak seefektif dan seefisien
pemantauan di daerah lainnya. Hi diterima apabila sebaliknya.
Penelitian sistem
pemantauan produksi dan peredaran kayu di era otonomi daerah dilakukan oleh Badan
Litbang Kehutanan. Penelitian ini direncanakan dapat diselesaikan selama 2
tahun dan memerlukan biaya Rp 150 juta.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim, 2000. Bahan Paparan dan Diskusi Direktur Jendral Pengelolaan Hutan
Produksi. Rakernas 2000 Departemen Kehutanan dan perkebunan. Dirjen PHP,
Jakarta.
______, 1992. Peraturan-Peraturan di Bidang Tata
Usaha Kayu. Keputusan menteri Kehutanan No 402/KPTS-IV/1990 jo No 525/KPTS-II/1991. Dirjen Pengusahaan
Hutan, Departement Kehutanan,
Jakarta.
______, 1997. Peraturan-Peraturan di Bidang Tata
Usaha Kayu. Keputusan Menteri Kehutanan No. 486/Kpts-II/95 jo. No 532/Kpts-II/96. Dirjen Pengusahaan
Hutan, Departement Kehutanan,
Jakarta.
______, 2000. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun
2000 tentang Pemerintah Daerah.
______, 1990. Surat Edaran Menteri Kehutanan No.
1682 tahun 1990 tentang Pos Pemeriksaan Kayu. Dirjen Pengusahaan Hutan,
Departemant Kehutanan, Jakarta.
______, 1999. Undang Undang Otonomi Daerah: UU No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintanhan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sinar Grafika, Jakarta
Haryatno dan Triyono, 2000. Kajian Kasus Pemantauan
Peredaran Kayu dan Pengenaan PSDH-DR di Jawa Tengah. Info Hasil Hutan Vol 6 No 2, 2000. Pusat penelitian Hasil Hutan, Bogor.
Sylviani dan Triyono, 2000. Dampak Pengamanan Hutan
Terhadap Peredaran Kayu Ilegal. Info Hasil Hutan Vo. 7 No. 1, 2000.
Pusat Penelitian Hasil Hutan, Bogor.
Triyono dan Haryatno, 1996. Pemantauan Produksi dan Peredaran Kayu Bulat.
Buletin Penelitian Hasil Hutan Vol No. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil
Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan, Bogor.
Triyono dan Sylviani, 1999. Kajian Pemantauan
Peredaran Kayu di Jakarta. Majalah Kehutanan Indonesia Edisi
1/XIII/, 1999-2000. Jakarta.