Re-edited
Copyright
© 2000 Teti Arabia
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana - S3
Institut Pertanian
Dosen: Prof Dr Ir Rudy C
Tarumingkeng
Oleh :
Puji
dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT , karena atas izinNya penulis dapat
menyelesaikan pembuatan makalah mata kuliah Pengantar ke Falsafah Sains. Penulisan ini dikaitkan antara Ilmu Tanah
dengan Falsafah Sains, khususnya proses pembentukan (pedogenesis) tanah
Spodosol. Penulisan ini didasarkan pada
beberapa penelitian tentang tanah Spodosol.
Pada
kesempatan ini penulisan mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Rudy C.
Tarumingkeng, Ph.D., selaku dosen mata kuliah Pengantar Ke Falsafah Sains yang
telah banyak memberikan bekal pengetahuan, bimbingan dan pengarahan selama
berlangsungnya mata kuliah.
Penulis
menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu
masukan dan kritikan yang membangun sangat penulis harapkan untuk lebih
menyempurnakan penulisan dan dimasa yang
akan datang. Akhir kata semoga makalah
ini bermanfaat adanya, khususnya bagi penulis maupun bagi mereka yang
membacanya.
Sebelum
ilmu pengetahuan tentang tanah berkembang, sistem klasifikasi tanah masih
bersifat sederhana. Tanah hanya
dibedakan atas dasar baik buruknya bagi pertumbuhan tanaman. Semakin berkembang ilmu tanah, semakin
kompleks sistem klasifikasinya.
Kadang-kadang sistem klasifikasi dapat dijadikan sebagai suatu indiktor
untuk menilai telah sejauh mana tingkat pengetahuan suatu bangsa terhadap suatu
objek. Kubiena (1948, dalam Hardjowigeno, 1993) seorang ahli fisika Ampere
menyatakan ; tunjukkan sistem
klasifikasimu agar saya dapat menunjukkan sejauh mana kamu mendalami
masalah-masalah penelitianmu.
Perkembangan
klasifikasi secara umum sangat dipengaruhi oleh konsep dasar pemahaman tentang
tanah, disamping tingkat pengetahuan yang telah dicapai. Konsep tersebut nampaknya berhubungan erat
dengan pengetahuan manusia tentang tanah, dan perkembangan ilmu tanah yang
menonjol pada masanya. Oleh karena itu,
konsep tanah yang telah dianut dalam sejarah kebudayaan manusia merupakan deret
waktu yang cukup panjang, lebih menyerupai evolusi. Wirjodiharjo (1953 dalam Rachim, 2000)
menyimpulkan ada empat konsepsi dasar pemahaman tanah yaitu : konsep manfaat,
kimia, geologi dan pedologi.
Konsep Manfaat
Konsep
ini memandang tanah dari sudut manfaatnya.
Tanah dipandang sebagai : media pertumbuhan tanaman, tempat tinggal,
penghasil sandang, pangan dan papan, serta tempat memelihara ternak.
Sejak
sebelum penanggalan tahun masehi, konsep tanah terkait pada pertanian
praktis. Berdasarkan catatan, peradaban
bangsa-bangsa seperti Yunani, Romawi, Mesopotamia, Mesir dan Cina telah
memanfaatkan tanah untuk pertanian, terutama disekitar daerah dataran aliran
sungai .
Konsep Kimia
Konsep
ini berkembang pada awal abad 19 di Eropa Barat, setelah di abad sebelumnya
ilmu kimia berkembang pesat. Dalam
konsep ini tanah dipandang sebagai laboratorium kimia, terjadi reaksi
pembongkaran dan penyusunan secara tersembunyi (tidak dapt dilihat langsung
oleh mata). Konsep ini mula-mula
dikembangkan oleh Julius von Liebig pada tahun 1861 di Jerman,
kemudian diikuti oleh Albrecht von Thaer,
dan Knop
Pemahaman
konsep ini menciptakan budaya para petani yng selalu membuang sisa-sisa makanan
ternak yang telah tercemar kotorannya ke lahan pertanian mereka. Sehingga menghasilkan horison permukaan yang
sekarang disebut : epipedon plagen.
Konsep Geologi
Julius
von Liebig tahun 1843 mengemukakan ide bahwa tanaman hanya mengabsorpsi zat-zat
mineral dari dalam tanah. Ide ini sangat
berpengaruh terhadap pendirian sekolah agrogeologi sebagai implementasi konsep
geologi. Konsep geologi di Jerman oleh Albert Fallow (dianggap sebagai pendiri
pedologi) dan Von Richtopen. Konsep ini memahami tanah lebih menekankan
asal geologinya. Albert Fallow tahun
1862 telah membuat klasifikasi tanah atas dasar bahan induknya terdiri dari dua
kelas yaitu : tanah residual dan
tanah aluvial.
Konsep
ini selanjutnya dirasakan tidak memuaskan, setelah dijumpai tanah-tanah yang
beragam pada suatu daerah yang kompleks baik iklim maupun topografinya,
walaupun bahan induknya seragam. Para
penganut konsep geologi di Jerman mulai berpaling kepada konsep baru yang
dikembangkan ahli tanah Rusia yaitu konsep pedologi.
Konsep Pedologi
Menurut konsep ini, tanah dipandang sebagai benda
alam bebas yang komplek yang dihasilkan oleh sejumlah proses pedogenesis
(pembentuk tanah). Pencetus ide ini
adalah Vasilii Dokuchaev (1846-1903)
seorang ahli geologi yang dianggap sebagai “Bapak Ilmu Tanah Dunia” yang sangat
banyak pengalamannya di lapangan. Ia
menemukan filosofi tentang sejumlah hubungan dan interaksi yang banyak
bentuknya diantara batuan, geomorfologi, tanah, air permukaan, air tanah, iklim
mikro, flora, fauna dan manusia. Tanah
pada hakekatnya mirip dengan mahluk hidup (organisme) dalam arti fungsi dan
sifatnya yang berubah menurut ruang dan waktu.
Tanah adalah hasil kerja interaksi faktor-faktor pembentukan tanah.
Konsep
ini setelah tahun 1914 baru menyebar ke Dunia Barat, yang dikembangkan oleh
murid Dokuchaev terutama Sibirtzev
dan Glinka. Di Amerika Serikat konsep ini dikembangkan
dan dimodifikasi terutama sekali oleh Marbut. Konsep pedologi merupakan dasar pengembangan
ilmu tanah hingga sekarang. Dalam
perkembangan konsep ini selanjutnya ahli-ahli dari Amerika Serikat lebih
memegang peranan. Bersamaan dengan
perkembangan survei dan klasifikasi tanah pengertian tentang tanah terus
berubah dan diperbaiki, hingga terakhir tahun 1998 (Soil Survey Staff, 1999)
definisi tanah diperluas pengertiannya hingga mencakup tanah-tanah yang tidak
mampu menyokong pertumbuhan tanaman secara aktual, disebabkan oleh pengaruh
iklim saat sekarang yang sangat keras, seperti didaerah kutub dan gurun yng
sangat panas.
Dalam
hal ini definisi tanah adalah : tubuh
alam yng tersusun dari bahan padatan (bahan mineral dan bahan organik), cairan
dan gas, terjadi pada permukaan lahan menutupi ruang, dan dicirikan oleh salah
satu atau kedua hal berikut : horison-horison atau lapisan lapisan yang dapat
dibedakan dari proses penambahan, kehilangan transfer, dan perubahan bentuk
dari energi dan bahan, atau kemampuan menyokong tanaman berakar dalam lingkungan alami. Dengan definisi tersebut tanah di Antartika
yang sebelumnya tidak dapat dikatakan sebagai tanah karena tidak mampu
menyokong pertumbuhan tanaman, sekarang dapat dikatakan sebagai tanah. Hingga sekarang dikenal ada 12 ordo tanah, salah satunya tanah Spodosol.
Faktor
pembentuk tanah merupakan faktor yang menentukan dalam pembentukan jenis-jenis
tanah. Adapun faktor-faktor pembentukan
tanah pada mulanya dikemukakan oleh Dokuchaev (1883) dengan persamaan : T= f
(i, o, b) wo, dimana T= tanah, i= iklim, o= organisme, b= bahan
induk, dan wo=umur tanah.
Oleh Jenny (1941) menyatakan sebenarnya banyak faktor pembentuk tanah
tetapi yang terpenting adalah selain iklim, organisme, bahan induk, dan waktu
juga faktor relief (topografi), sedangkan faktor lain seperti gravitasi, gempa
bumi dll. Sehingga hubungan antara tanah
dengan faktor pembentuk tanah ditulis : T= f (i, o, r, b, w).
Mengenai
jenis faktor pembentuk tanah yang berpengaruh pada proses pembentukan tanah,
tampaknya berbeda disetiap tempat. Tanah
Spodosol merupakan tanah tua (senile) yang berkembang dari bahan induk
berpasir, dengan tingkat kesuburan rendah sehingga perlu diketahui kendala-kendala
usaha pengelolaannya.
Dalam
kaitannya dengan Falsafah Sains maka tulisan ini dapat ditelaah melalui empat
pendekatan :
1. Epistemologi : bagaimana/mencari
cara-cara untuk mempelajari dalam suatu kerangka berpikir yang logik dan
rasional ® Apa itu tanah Spodosol ?
2. Ontologi : ilmu tentang
kejadian/keberadaan (genesis/existing) ® syarat, proses, faktor dan sifat-sifat
serta penyebaran tanah spodosol.
3. Aksiologi
: ilmu
yang mempelajari tentang nilai-nilai ® penggunanaan tanah Spodosol.
4. Teleologi : ilmu yang mempelajari
tentang penyebab/tujuan akhir (cause/purpose final) ® pengelolaan tanah Spodosol.
PENGERTIAN
TANAH SPODOSOL
Spodosol
berasal dari kata spodos dan sol. Spodos
berasal dari bahasa Yunani yang berarti abu,
sedangkan sol (solum) berasal dari bahasa Latin yang berarti tanah.
Spodosol adalah tanah yang
memiliki horison spodik pada
kedalaman kurang dari 2 m.
Horison
tanah adalah : lapisan yang kira-kira sejajar dengan permukaan tanah. Ia memiliki sekumpulan sifat yang dihasilkan
oleh proses pembentukan tanah, dan memiliki beberapa sifat yang tidak terdapat
dilapisan atas ataupun dibawahnya.
Horison Spodik adalah : horison
penimbunan (iluviasi) dengan ³ 85% bahan spodik, tebal ³ 2,5 cm.
Bahan Spodik adalah : bahan tanah mineral yang didominasi
oleh bahan amorf aktif yang bersifat iluvial yang tersusun oleh bahan organik
Al, dengan atau tanpa Fe ; pH H2O £ 5,9 : C-organik ³ 0,6.
Mempunyai nilai ODOE (optical density of oxalate exctract) sebesar ³ 0,25 dan nilai tersebut biasanya minimal
2 kali lipat dari nilai ODOE didalam horison eluvial (pencucian) diatasnya.
Dari
penjelasan diatas dapat di buat hipotesis sebagai berikut:
Ho : proses
pembentukan horison spodik tidak menyebabkan terbentuknya tanah Spodosol
H1 : proses pembentukan horison
spodik menyebabkan terbentuknya tanah Spodosol.
SIFAT-SIFAT
DAN PENYEBARAN SPODOSOL
Syarat-syarat Terbentuknya Spodosol
Tanah
Spodosol dicirikan oleh adanya lapisan pasir masam berwarna putih abu-abu
(horison albik/putih) diatas lapisan lempung berpasir yang berwarna gelap. Terbentuknya tanah ini pada bahan induk pasir
kursa dipercepat oleh adanya vegetasi yang menghasilkan serasah masam. Senyawa-senyawa organik dipermukaan tercuci
kebawah bersama air perlokasi sehingga permukaan tanah berwarna terang,
sedangkan horison bawah menjadi berwarna gelap karena terjadinya selaput
organik pada butir-butir tanah. Walaupun
demikian berdasarkan atas banyaknya variasi tanah Spodosol dan penyebarannya
diberbagai zone iklim, proses yang sebenarnya terjadi tampaknya tidak begitu
sederhana (Hardjowigeno, 1993).
Proses Pembentukan Tanah
Horison
penciri Spodosol adalah adanya horison spodik yang berwarna gelap dibawah
horison albik. Pada horison spodik
menghasilkan suatu akumulasi Fe, Al dan/atau bahan organik (podsolisasi).
Faktor-faktor Pembentukan Tanah
Faktor-faktor
pembentukan tanah yang mempengaruhi pembentukan Spodosol adalah :
1.
Bahan induk : umumnya berlempung sampai berpasir
2.
Iklim : umumnya
boreal (dingin) atau iklim lain
3.
Topografi : datar
4.
Vegetasi : conifer (berdaun
jarum), atau campuran conifer dan deciduous (berdaun lebar)
5.
Waktu : 200-2000
tahun (Hardjowigeno, 1993)
Sifat-sifat
Spodosol
Sifat-sifat Spodosol umumnya
mempunyai reaksi tanah (pH) masam, miskin basa-basa dapat dipertukarkan, unsur
hara dan kapasitas tukar kation rendah, teksturnya kasar berdebu - berpasir
yang tidak mempunyai muatan umumnya didominasi pasir kuarsa yang miskin, bulk density Fe dan Al di horison
spodik, dan daya memegang air rendah, serta kesuburan yang rendah.
Penyebaran Tanah Spodosol
Penyebaran Spodosol terdapat pada
berbagai iklim mulai dari dataran
rendah pantai (coastal low land) sampai ke pegunungan tinggi. Spodosol pada dataran rendah coastal terdapat
pada beach ridge (punggung
pantai). Di Indonesia Spodosol yang
terdapat didaerah ini disebut sebagai : podsol
air tanah, sedangkan menurut Soil Taxonomy US. Setara dengan Aquad (Spodosol yang mempunyai regim
kelembaban akuik/air). Sedangkan pada daerah
pegunungan tinggi seperti di Nepal (Guggenberger, Baumler dan Zech, 1998)
dinamai dengan Cryod (Spodosol dengan
regim temperatur cryik/sangat dingin).
Adapun bahan induk umumnya berlempung sampai berpasir, tetapi ada juga
Spodosol yang berkembang dari tekstur berdebu seperti di Sabuk Alpine Rondane
Norwegia, walaupun demikian dia mempunyai kapasitas sangga yang rendah seperti Sparagmite (Stutzer, 1999).
Pembentukan tanah dipegunungan
Khumbu Himal Nepal dalam suatu profil tanah terdapat lebih dari satu bahan
induk yang disebut dengan diskontinuitas
litologi yaitu : perubahan yang nyata dalam distribusi besar butir
atau susunan mineralogi (Guggenberger etal.,
1998).
Disamping itu tanah spodosol
mempunyai sifat yang khas yaitu adanya bisequum
yaitu : dalam suatu profil terjadi dua proses yang berbeda. Sequum I terjadi karena proses pelapukan
bahan induk, sedangkan sequum II terbentuk dari tanah yang sudah ada secara
suksesif. Dalam penelitian di daerah
Bacho Thailand dijumpai Spodosol dengan bisequum (Yonebayashi dan Nomura dalam Kyuma, Vijarnsorn dan Zakaria,
1992).
Di Suriname ditemukan giant podsol dengan horison albik
setebal 3 m, dan di dataran pantai North Carolina US, ditemukan Spodosol dengan
horison Spodik setebal 9 m (Hardjowigen, 1993).
Pada Spodosol vegetasi yang tumbuh umumnya tanaman berdaun jarum, disamping itu
dijumpai juga semak kerdil, lichen dan bercampur dengan tanaman berdaun
lebar. Menurut penelitian Stutzer (1999)
dipegunungan Rondane Norwegia dengan nama Orthod
(true Spodosol) pada sabuk alpine rendah dengan ketinggian 1100 m dpl.
didominasi oleh tanaman berdaun jarum, alpine tengah dengan ketinggian 1260 m
dpl. didominasi dengan belukar kerdil seperti Birch, Crowberry, Heath, dan Rush Family, sedangkan pada alpine
tinggi dengan ketinggian 1600 m dpl. didominasi oleh lichen (jamur kerak).
Sedangkan menurut Kyuma dan
Vijarnsorn (dalam Kyuma etal., 1992)
di propinsi Narathiwat Thailand yang terdapat didaerah beach ridge dengan nama Tropaquod (Spodosol yang dipengaruhi air
tanah) vegetasinya didominasi oleh Melaleuca
leucadendrom (Myrtle Family).
Pada daerah Alger County Michigan
(US) terjadinya deforestasi akibat
penebangan pohon Oak selama seabad (100 tahun), sehingga tinggal Stump-praire,
sehingga terjadi penurunan proses podsolisasi (depodsolisasi) pada tanah
spodosol (Barrett dan Schaetzl, 1998)
Tanah Spodosol tropika seperti di
Indonesia, Malaysia dan Thailand terbentuk pada dune dan deposit teras marin
berpasir. Vegetasi alaminya miskin,
kerdil dan jarang yang terdiri dari tanaman campuran yang disebut : kerangas. Setelah tanah dibuka tumbuh Melaleuca leucadendron, di Indonesia dan
Malaysia disebut gelam, sedang di
Thailand disebut samet yang relatif
tahan terhadap kondisi tanah yang jelek.
Di Malaysia pada tanah ini ditanami dengan jambu mete (Cashew nut) dan
kelapa (Kyuma dan Vijarnsorn dalam Kyuma
etal., 1992)
Selain menurut Hardjowigeno (1993)
Spodosol banyak digunakan sebagai hutan dan untuk daerah rumput makanan ternak
(pasture)serta tempat rekreasi. Tanaman
yang biasa ditanam di daerah ini adalah kentang, jagung, apel, strowberi,
rasberi dan lain-lain.
Kendala utama dalam penggunaan tanah
Spodosol di Thailand adalah kekurangan air, ini disebabkan karena kapasitas
memegang air dari tanah berpasir sangat rendah.
Beberapa ameliorasi dicobakan untuk memperbaiki kekurangan air selama
musim kering pada daerah Narathiwat yang sebagian besar tidak mempunyai sistem
irigasi (Nagano etal., 1992)
Dari data curah hujan yang ada
menunjukkkan kekurangan air hujan merupakan problema yang serius untuk
manajemen pertanian pada musim kering, maka penting untuk menjaga permukaan
tanah tetap basah pada musim kering.
Usaha-usaha yang mereka pakai adalah : dengan menggunakan vynil chloride film yang diatasnya
diberi mulsa seperti sekam dan jerami yang berguna untuk :
a.
Memotong pergerakan kapilaritas ke atas dari kualitas air yang jelek
b.
Memungkinkan penggunaan dari presipitasi musim kering
c.
Melindungi hara terbawa aliran permukaan
d.
Memperpendek kontrol air pada lapisan bajak.
Pada daerah ini ditanami jagung manis,
kacang-kacangan, semangka, lobak dan tomat.
Disamping
vynil digunakan juga polymer buatan
dengan absorpsi air tinggi yang dapat merubah kapasitas memegang air dari tanah
selama musim kering (Mei, Juni, Juli dan Agustus)
1. Proses pembentukan horison Spodik
menyebabkan terbentuknya tanah Spodosol.
Ho ditolak, Hi diterima.
2. Sifat-sifat Spodosol mempunyai
tingkat kesuburan tanah rendah dengan kendala pH tanah masam, miskin basa-basa
dapat dipertukarkan, kapasitas tukar kation dan unsur hara rendah, daya
memegang air rendah.
3. Penyebaran Spodosol terdapat pada berbagai iklim
dari coastal low land sampai
pegunungan tinggi dengan vegetasi tanaman berdaun jarum, semak kerdil, lichen,
serta mempunyai bahan induk berdebu-berpasir.
4. Pegunungan
tanah untuk hutan, daerah rekreasi dan pastura.
5. Pengelolaan tanah untuk menjaga
permukaan tanah tetap basah pada musim kering dengan menggunakan film vynil chloride yang diatasnya
diberi mulsa, serta polymer buatan.
Barrett, L.R., J.S. Randall. 1998. Regressive Pedogenesis Following a Century of Deforestation
: Evidence for Depodzolization. Soil Science 163 :
482-497.
Guggenberger, G., R. Baumler, and Zech. 1998. Weathering of Soil Developed in Eolian
Material Overlying
Glacial Deposit in
Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi tanah dan Pedogenesis.
Akapres.
Kyuma, K., P. Vijarnsorn, and A. Zakaria.
1992. Coastal
Rachim, D. A. 2000. Pengenalan Taksonomi Tanah. Diklat Kuliah Jurusan Tanah Fakultas
Pertanian IPB, Bogor.
Soil
Survey Staff. 1999. Kunci Taksonomi Tanah. USDA, Ed.2 Cet.1. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian, Bogor.
Stutzer, A. 1999. Podzolisation as a Soil Forming Process in the Alpine Belt of