I

 

Re-edited  20 December, 2000

Copyright © 2000 RINY KUSUMAWATI    

Makalah  Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana - S3

Institut Pertanian Bogor

 

Dosen:  Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng

 

 

 

 

ANALISIS PENGARUH NILAITUKAR RUPIAH/DOLLAR
TERHADAP USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG
 DAN PERDAGANGAN  DAGING SAPI DI
KOTA BOGOR

 

 

 

 

Oleh:

 

 

RINY KUSUMAWATI

 

NRP : P 016000016

 

 

 

 

 

I.                   Pendahuluan

 

A.                 Latar Belakang (Ontologi)

 

Dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (PJPT II) salah satu tujuan utama adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Untuk mengahasilkan kualitas sumber daya manusia yang tinggi maka peran pendidikan dan gizi sejak kecil sangat menentukan. Gizi yang baik antara lain dapat diperoleh dari kecukupan akan konsumsi protein nabati dan protein hewani. Menurut Saragih (1998) terdapat korelasi yang tinggi antara kecukupan konsumsi protein hewani dengan tingkat kemajuan suatu bangsa. Sebagai gambaran, tingkat konsumsi protein asal ternak per kapita penduduk Indonesia pada tahun 1993 baru sekitar 3.74 gram/kapita/hari yang terdiri dari daging 2.45 gram, telur 0.82 gram dan susu 0.47 gram/kapita/hari. Sementara itu Singapura, Jepang dan Amerika Serikat pada tahun 1987 masing-masing telah mencapai 22.69 gram, 53.50 gram dan 73 gram/kapita/hari. Di Indonesia, konsumsi daging sapi tertinggi secara berurutan terdapat pada Propinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta dan Bali seperti digambarkan pada tabel berikut ini :

 

 

Tabel 1. Konsumsi Daging sapi Tertinggi / Propinsi Tahun 1995-1999

 

Propinsi :

1995 :

1996 :

1997 :

1998 :

1999 : (Estimasi )

Jatim

214.983

243.610

265.064

297.229

306.216

Jabar

197.065

202.490

215.579

243.006

232.775

Jateng

145.094

150.867

156.856

214.838

247.063

Jakarta

130.900

148.950

160.518

139.500

121.050

Bali

  74.178

  77.713

  84.593

  92.349

  95.679

            Sumber : Statistika Peternakan BPS, 1998

 

            Konsumsi daging sapi yang rendah disebabkan oleh harga yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan produk yang sejenis sehingga tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat Indonesia yang sebagian besar berpenghasilan menengah ke bawah. Harga yang relatif tinggi ini antara lain disebabkan oleh produksi lokal sapi potong yang semakin langka sehingga Indonesia terpaksa mengimpor sapi potong ataupun daging sapi beku dari negara-negara tetangga khususnya Australia guna mencukupi kebutuhan daging sapi dalam negeri.

            Jumlah produksi lokal yang semakin terbatas disebabkan motivasi peternak untuk berusaha di bidang penggemukan sapi potong masih rendah, tidak intensif, skala kecil dan berpencar-pencar. Pada tabel berikut dipaparkan data mengenai jumlah rumah tangga peternak sapi potong per propinsi di Indonesia berdasarkan hasil sensus pertanian BPS yang menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan/permintaan masyarakat akan daging sapi.

 

 

Tabel 2. Jumlah Rumah Tangga Peternak sapi Potong per Propinsi

Tahun 1963, 1973, 1983 dan 1993

Propinsi :

1963 :

1973 :

1993 : (Sementara)

Jatim

1.311.646

1.301.426

1.180.000

Jabar

     59.097

     57.622

     53.000

Jateng

   578.127

   412.597

   473.000

Jakarta

          560

          821

            0

Bali

            --

       2.346

     32.000

Indonesia

2.759.631

2.980.220

2.976.000

Sumber : Sensus Pertanian BPS Tahun 1963, 1973, 1983 dan 1993

 

            Pada saat krisis ekonomi saat dimana kurs dollar Amerika terhadap Rupiah naik 3 x lipat dibandingkan sebelumnya (Juni 1997), menyebabkan harga daging sapi menjadi mahal dan semakin tidak terjangkau oleh daya beli penduduk Indonesia. Untuk itu sebenarnya peluang usaha penggemukan sapi potong di Indonesia terbuka lebar dan menunggu dukungan pemerintah untuk menyediakan kemudahan impor sapi bakalan/pedet sehingga dalam 3-5 tahun ke depan masalah kelangkaan sapi potong di Indonesia dapat teratasi dan harga daging sapi telah berada pada tingkat yang wajar sesuai dengan keseimbangan antara permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar.

            Jawa Barat sebagai penyangga kota Jakarta (Ibu Kota Negara) menjadi pasar potensial terbesar kedua setelah Jawa Timur bagi konsumsi produk sapi potong. Hal ini terlihat dari peningkatan konsumsi daging sapi setiap tahun dan jumlah sapi yang dipotong sejak tahun 1993-1997 selalu meningkat dari tahun ke tahun seperti disajikan pada tabel berikut ini.

 

 

Tabel 3. Pemotongan Sapi per Propinsi Tahun 1993-1997

Propinsi :

1993 :

1994 :

1995 :

1996 :

1997 : (Sementara )

Jatim

415.383

420.256

435.679

450.466

456.322

Jabar

334.020

187.825

215.474

267.104

310.434

Jateng

164.374

162.488

163.886

168.391

173.026

Jakarta

262.961

262.961

256.917

239.956

243.000

Bali

  49.636

  44.870

  41.435

  40.873

  40.873

Indonesia

1.685.896

1.551.375

1.590.382

1.766.919

1.841.1845

Sumber : Statistika Peternakan BPS, 1998

 

B.                 Identifikasi Masalah

 

Menurut Saragih (1998), kondisi peternakan sapi potong di Indonesia terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok pertama adalah peternakan rakyat yang jumlahnya besar 90-95 % dari total peternakan sapi potong yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

v           Skala usaha kecil (kurang dari 1 ha)

v           Letaknya tersebar (terpisah satu dengan yang lain)

v           Tidak intensif dimana curahan waktu kerja peternak tidak banyak (kurang dari 8 jam per hari)

v           Bersifat sambilan (sebagai usaha sampingan petani)

Sedangkan kelompok kedua adalah feedloter yaitu perusahaan yang khusus bergerak dibidang penggemukan sapi potong yang jumlahnya 5% di Indonesia.

Kondisi demikian menyebabkan sulitnya pengembangan industri dalam hal geografis wilayah, motivasi peternak dan kebiasaan yang terjadi turun menurun. Pemerintah sebaiknya cepat tanggap melihat fenomena ini karena apabila dibiarkan maka produksi lokal akan semakin terbatas dan sulit diperoleh, di sisi lain konsumsi masyarakat semakin meningkat. Pada masa lalu pemerintah mengandalkan pada impor sapi potong maupun daging sapi guna mencukupi kebutuhan dalam negeri, namun hal ini berakibat buruk kerana sangat menyerap devisa negara dan dengan adanya kurs dollar yang meningkat nilai rupiah mengakibatkan banyak perusahaan penggemukan sapi potong bangkrut akibat tidak sanggup lagi mengimpor.

Kenyataan ini mendorong indusri peternakan rakyat untuk bangkit menjadi andalan konsumsi daging dalam negeri, namun karena tidak dipersiapkan dengan baik maka produksi sapi lokal akan cepat habis dan menimbulkan kelangkaan. Akibat terjadi kekurangan supply sapi potong mengakibatkan harga melonjak naik sehingga tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat ditambah lagi dengan krisis moneter yang melanda Indonesia.

 

 

C.                 Perumusan Masalah (Epistomologi)

 

Dari latar belakang dan indentifikasi masalah yang telah dijabarkan sebelumnya dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini, antara lain adalah :

1.      Bagaimana hasil yang diperoleh dari berbagai pola usaha penggemukan sapi potong impor di Indonesia ?

2.      Bagaimana hasil yang diperoleh dari berbagai pola usaha perdagangan sapi potong baik di tingkat perdagangan perantara, pemotong maupun pedagang pengecer yang terjadi di Kota Bogor ?

 

D.        Tujuan dan Kegunaan Penelitian (Aksiologi)

 

Tujuan penelitian antara lain adalah :

1.      Membuat simulasi pola usaha penggemukan sapi potong impor yang mencakup hubungan antara harga beli sapi impor, lama penggemukan, nilai tukar Rupiah/USD dan persentase marjin kotor usaha yang dihasilkan

2.      Membuat simulasi pola usaha perdagangan sapi potong baik di tingkat pedagang perantara, pemotong maupun pengecer dan tren marjin kotor usaha yang dihasilkan di Kota Bogor

                 

                  Penelitian ini memiliki beberapa manfaat antara lain :

1.            Bagi pengusaha : mengetahui hubungan antar nilai tukar yang terjadi dengan harga pokok produk dan laba kotor dari sapi hidup, karkas maupun daging dan analisis kelayakan usaha di bidang sapi potong

2.            Bagi perguruan tinggi : sebagai bahan pustaka dan bahan studi

3.            Bagi pemerintah : dapat mengetahui tingkat harga yang wajar dibandingkan dengan suku bunga yang berlaku dan komponen biaya dari produk sapi antara konsumen (masyarakat) dengan produsen maupun pedagang

4.            Bagi peneliti : menambah wawasan dan mencari alternatif pemecahan masalah

 

 

E.                 Ruang Lingkup Penelitian

 

Ruang lingkup penelitian memfokuskan pada simulasi hubungan tingkat kurs dengan kelayakan pada usaha penggemukan sapi potong impor dan perdagangan sapi/daging sapi di pasar tradisional Kota Bogor. Kajian dibatasi pada rekomendasi penetapan harga jual untuk setiap jenis produk sapi potong baik di tingkat importir, perdagangan pemotong maupun pedagang pengecer dan faktor-faktor yang mempengaruhi penetapan harga produk sapi potong seperti nilai tukar dan biaya-biaya yang terjadi pada usaha penggemukan dan perdagangan sapi potong dan implementasi di serahkan ke pengusaha.

 

 

Daftar Pustaka

 

Biro Pusat Statistik. 1999.  Statistik Peternakan. Direktorat Jendral Peternakan. Departemen Pertanian.  Jakarta.

 

Dewanto, H.  1993.  Analisis Penentuan Harga Pokok dan Implikasinya terhadap Strategi Penetapan Harga Ikan Tuna untuk Ekspor.  Tesis Magister Manajemen Agribisnis IPB.  Bogor.

 

Dewi, M. 1994. Pola Konsumsi Daging Sapi dan Kerbau pada Konsumen Rumah Tangga di Kotamadya Pekanbaru. Skripsi Fakultas Peternakan IPB. Bogor.