Re-edited
Copyright
© 2000 PRIJANTO PAMOENGKAS
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana - S3
Institut Pertanian
Dosen: Prof Dr Ir Rudy C
Tarumingkeng
(KAJIAN FALSAFAH SAINS)
PRIJANTO PAMOENGKAS
IPK 14600003
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2000
1. PENDAHULUAN
Hutan tropika
basah merupakan salah satu ekosistem yang banyak membangkitkan minat orang
untuk mempelajarinya dan juga sekaligus ancaman. Oleh karena itu pengelolaan hutan tropika
menjadi sorotan dunia baik melaui pemberitaan popular press maupun scientific
press.
Intervensi manusia dalam pemanfaatan dan manipulasi terhadap hutan baik
pada masa silam maupun sekarang merupakan pengalaman yang konsekuensinya tidak
dapat dihindarkan, yaitu berupa kerusakan baik biologi (vegetasi) maupun fisik
(tanah dan iklim).
Data aktual tentang laju konversi hutan tropis sangat sulit diperoleh
karena datanya sangat beragam. FAO
(1992) memperkirakan bahwa laju deforestasi hutan tropis sekitar 17 juta ha per
tahun. Dari angka tersebut menurut USP
et al. (1990) sebagian besar dikonversi menjadi lahan pertanian, padang rumput
(areal penggembalaan) dan hutan tanaman.
Kurang lebih 5.1 juta ha berupa hutan sekunder tanpa pengelolaan dan
perlakuan silvikultur yang memadai.
Deforestasi hutan tropis tidak hanya berpengaruh pada produksi kayu
(timber) tetapi juga lingkungan secara global.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka
Jordan (1985) menyatakan bahwa ada tiga level tingkat kerusakan (disturbance), yaitu rendah, sedang dan
tinggi. Kategori pertama mencakup skala
kecil seperti pohon tumbang secara alami yang kemudian membentuk gap
(celah). Sedangkan yang termasuk
kategori kedua adalah tebang pilih dan perladangan berpindah. Adapun yang tergolong kelompok ketiga yaitu
tebang habis yang digunakan untuk tujuan lain seperti hutan tanaman dan
perkebunan.
Dengan mengacu pada kategori kedua seperti di atas, intervensi manusia
terhadap hutan tropis melalui tebang pilih telah menyebabkan kerusakan baik
vegetasi maupun lapisan tanah atas.
Dalam hubungannya dengan dampak penebangan terhadap vegetasi, yaitu
semakin banyak jenis tumbuhan yang terancam punah. Sedangkan yang berkaitan dengan kerusakan
tanah menyangkut dua aspek yaitu kerusakan fisik (pemadatan) dan kimia
(pencucian hara). Kapan proses kerusakan
ini (disturbance) berubah menjadi
kondisi degradasi (degradation) ?.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mencoba membahas aspek ontologis,
epistemologis dan aksiologis degradasi dan rehabilitasi hutan tropis. Melalui ketiga landasan ini diharapkan
pertanyaan yang berkaitan dengan degradasi dan rehabilitasi hutan dapat
dikenali.
2. KAJIAN ONTOLOGIS dan
EPISTOMOLOGIS
DEGRADASI dan REHABILITASI HUTAN
2.1. Pengertian Degradasi Hutan
Definisi degradasi agak bersifat subjective (Lamb, 1994), memiliki arti
yang berbeda tergantung pada suatu kelompok masyarakat. Rimbawan memiliki persepsi yang bervariasi
terhadap arti degradasi. Sebagian
mengatakan bahwa hutan yang terdegradasi adalah hutan yang telah mengalami
kerusakan sampai pada suatu point/titik dimana penebangan kayu maupun non kayu
pada periode yang akan datang menjadi tertunda atau terhambat semuanya. Sedangkan sebagian lainnya mendefinisikan
hutan yang terdegradasi sebagai suatu keadaan dimana fungsi ekologis, ekonomis
dan sosial hutan tidak terpenuhi.
Sedangkan menurut Oldeman (1992) mengatakan bahwa degradasi adalah suatu proses dimana terjadi
penurunan kapasitas baik saat ini maupun masa mendatang dalam memberikan hasil
(product).
2.2. Pengertian Rehabilitasi Hutan
Terdapat
beberapa pendekatan untuk mengatasi degradasi dan mempercepat proses pemulihan
ekosistem (recovery). Pendekatan pertama adalah restorasi (restoration) yang didefinisikan sebagai upaya untuk memulihkan
kembali (recreate) ekosistem hutan aslinya melalui penanaman dengan jenis
tanaman asli yang ada pada kawasan atau lahan tersebut sebelumnya. Pendekatan kedua melalui rehabilitasi yang diartikan sebagai penanaman hutan dengan jenis
asli dan jenis exotic. Dalam hal ini
tidak ada upaya untuk merecreate ecosistem asli. Tujuannya hanya untuk mengembalikan hutan
pada kondisi stabil dan produktif. Oleh
karena itu ekosistem hutan yang terbentuk adalah campuran termasuk jenis
asli. Alternatif terakhir adalah reklamasi yang berarti penggunaan
jenis-jenis exotic untuk menstabilkan dan meningkatkan produktivitas ekosistem
hutan. Dalam hal ini tidak ada sama
sekali upaya perbaikan biodiversitas asli dari suatu areal yang terdegradasi.
2.3. Fakta dan Permasalahan
Seperti telah diuraikan sebagian pada pendahuluan bahwa saat ini dan pada
masa-masa mendatang hutan tropis banyak memperoleh perhatian dari kalangan ahli
lingkungan tau kehutanan dunia. Alasan utamanya
adalah bahwa, 1). Hutan tropis merupakan komunitas yang paling banyak
mengabsorpsi energi matahari yang sangat berpengaruh terhadap iklim bumi
melalui evapotranspirasinya. 2). Hutan tropis memainkan peranan yang sangat
penting dalam mempertahankan keseimbangan Carbon global. 3). Sebagai
daerah/kawasan dengan laju pertambahan populasi penduduk tinggi maka hutan
tropis akan semakin terancam keberadaannya dimasa mendatang (Uchijima, 1991).
Pada bab terdahulu disebutkan bahwa berubahnya lingkungan diawali oleh
adanya penebangan hutan. Dampaknya dapat berakibat pada degradasi lahan,
menurunnya suplai air, erosi, pemadatan tanah dan pencucian hara, kerusakan
vegetasi dan emisi gas rumah kaca. Diperkirakan bahwa pertumbuhan dan laju
regenerasi menurun pada areal yang terkena kerusakan yang diantaranya
disebabkan oleh rusaknya hutan dan menurunnya produktivitas lahan yang terjadi
setelah penebangan. Penebangan hutan baik selective
maupun clear cutting, dan kebakaran
hutan merupakan faktor utama yang menyebabkan
rusaknya ekosistem seperti dijelaskan pada Gambar1 berikut ini.
Hutan primer
Permudaa alam
Dinamika Gap
Hutan sekunder
Tebang Pilih
Tebang habis
Slash and burn
Hutan tanaman Padang rumput Perladangan
berpindah
1.
Permudaan alam
2.
Penanaman
Gambar1. Rehabilitasi Ekosistem Hutan yang
Terdegradasi
2.4. Hipotesis
Analisis
ilmiah yang didasarkan pada materi pengetahuan dibutuhkan dalam mendukung tindakan
rehabilitasi hutan sehingga sasaran yang ingin dicapai yaitu sustainable development of forest resources
sesuai dengan rencana yang diharapkan.
Pada tahap ini maka peranan ilmuwan sangat esensial dalam memberikan
informasi ilmiah pada proporsi yang sebenarnya dan memprediksi apa yang akan
terjadi.
Alur pikir dalam metoda ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang
mencerminkan tahapan kegiatan ilmiah.
Adapun langkah-langkah ilmiah tersebut seperti ditampilkan pada Gambar 2
berikut.
Gambar 2. Langkah-langkah dalam Kajian
Ilmiah
(Suriasumantri, J. 1999)
Dari permasalahan yang dikumpulkan maka langkah berikutnya adalah menyusun
jawaban sementara atas permasalahan yang sedang dihadapi atau yang dikenal
dengan hipotesis. Dasar materinya adalah
kesimpulan yang diambil dari kerangka berpikir yang dikembangkan. Berikutnya adalah pengujian hipotesis untuk
memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis yang
diajukan atau tidak. Sedangkan langkah
terakhir adalah penarikan kesimpulan untuk menerima atau menolak hipotesis.
Hipotesis yang muncul adalah sebagai berikut :
1.
Ho : Penebangan hutan yang tidak terencana secara
baik tidak berpengaruh terhadap kerusakan vegetasi dan tanah (degradasi hutan).
H1 : Penebangan hutan yang tidak terencana secara baik berpengaruh
negatif terhadap kerusakan vegetasi dan tanah (degradasi hutan).
2.
Ho :
Rehabilitasi hutan yang tidak berdasarkan pada kajian ilmiah tidak berpengaruh terhadap pemulihan kondisi hutan
yang rusak.
H1 : Rehabilitasi hutan yang tidak berdasarkan
pada kajian ilmiah berpengaruh negatif terhadap pemulihan kondisi hutan yang
rusalk.
Rehabilitasi hutan adalah suatu ilmu maka oleh karena itu, didasarkan pada
suatu pengertian bahwa kejadiannya terjadi oleh hubungan sebab dan akibat. Sebagai suatu ilmu maka keempat hal diatas
(Gambar 2) harus dilakukan secara berurutan.
Dalam usaha menguji hipotesis yang muncul maka dilakukan kajian ilmiah
terhadap rehabilitasi/restorasi
ekosistem hutan yang rusak yang menggunakan prinsip-prinsip silvikultur,
ekologi dan ilmu tanah sebagai ilmu dasar agar tujuan rehabilitasi yaitu
terbentuknya kondisi lingkungan yang stabil dan produktif dapat tercapai.
3. KAJIAN AKSIOLOGIS REHABILITASI HUTAN
Kajian terakhir sebagai usaha untuk mengenali suatu pengetahuan adalah sistem
nilai dari pengetahuan tersebut atau secara ringkas untuk apa pengetahuan
tersebut dipergunakan (aksiologis).
Dengan mengenali nilai manfaat suatu pengetahuan maka pengetahuan
tersebut akan dapat digunakan secara maksimal.
Dalam kaitannya dengan bahasan rehabilitasi maka manfaatnya dapat diuraikan
sebagai berikut (Brown and Lugo, 1994) :
1.
Rehabilitasi merubah dari lahan yang tidak produktif menjadi suatu
ekosistem yang lestari.
2.
Rehabilitasi mencegah kerusakan ekosistem di bagian hilir (downstream).
3.
Rehabilitasi mencegah tekanan pada hutan primer dengan demikian mengurangi
laju deforestasi.
4.
Rehabilitasi dapat memfasilitasi keterlibatan masyarakat yang tinggal di
sekitar hutan dalam kegiatan penanaman, penyediaan tenaga kerja dan training
(fungsi sosial).
Brown, S. and
FAO.
Jordan, F. 1985.
Nutrient Cycling in
Lamb, D.
1994. Reforestation of Degraded
Tropical Forest Lands in the Asia-Pasific
Region. Journal of
Oldeman, L.R.
1992. The Global Extent of Soil
Degradation. In
Suriasumantri, J.S.
1999. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer. Pustaka Sinar Harapan.
Uchijima, Z.
1991. Monitoring Tropical
Forests. In The United Nations University ed., Global Environmental Forum,
USP, IBAMA, and USEPA.
1990. Tropical Forestry Response
Options to Global Climate Change. IPCC, AFOS.