Copyright © 2000 Program Pasca Sarjana IPB
Re-edited
Makalah
Kelompok 4
Falsafah
Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana – S3
Institut Pertanian
Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
HUTAN MANGROVE SEBAGAI OBYEK SAINS
Oleh:
Abdurrani Muin, Bambang Dwi Hartono, Cornelis F.T.Mandey, Farah Diba, Fransine B. Manginsela, Moh. Rasyid Ridho, Rine Kaunang, Sadarun B, Sudirman, Suharto, St. Aisyah Farhum, Waluyo Subagyo dan Yudi Rismayadi
Filsafat adalah induk dari segala
macam jenis ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa pada mulanya ilmu
pengetahuan itu hanya satu yaitu
filsafat (Suhartono, 1994). Akan tetapi karena filsafat semakin tidak mampu mejawab
persoalan hidup yang semakin konkrit, praktis dan pragmatis
maka muncullah berbagai jenis ilmu pengetahuan baik yang teoritis maupun praktis.
Ilmu pengetahuan dan
teknologi dikembangkan secara inter disipliner dan diamalkan secara etis, tidak
bebas nilai. Upaya pengembangan dan pengamalan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang demikian itu terarah kepada dua sasaran pokok yaitu untuk mengatasi krisis
moral dan untuk menghindari terjadinya krisis lingkungan hidup dan sumberdaya
alam, sebagai sumber hidup dan kehidupan. Terhadap perkembangan plularitas ilmu
pengetahuan dan teknologi, filsafat ilmu pengetahuan mengigatkan dan menunjukan
jalan yang benar untuk mengembangkan dan mengamalkan iptek itu secara etis –
manusiawi, ontologi interdisipliner serta epistemologis – fungsional
(Suhartono, 1994)
Sistem ekonomi kapitalis dengan orientasi yang
materialistis sudah hampir menyelimuti dunia ini, salah satu dampaknya adalah lingkungan
hidup kini sedang sakit parah dan sumberdayanya juga dalam keadaan krisis. Kini
krisis alam lingkungan sedang menglobal seolah dunia terbagi dua yaitu mereka
yang berebut kemewahan dan mereka yang menahan lapar dahaga. Kedua belah pihak
kini sedang berperang dan bersama–sama saling berlomba–lomba mengeksploitir
sumberdaya alam dan mencemari lingkungan hidup.
Salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang
seharusnya dapat bersifat berkelanjutan (sustainable) adalah sumberdaya
alam yang dapat diperbaharui (renewable resources). Diantara begitu banyak sumberdaya alam yang
dapat pulih, hutan mangrove merupakan sumberdaya yang sangat potensial untuk
menunjang pembangunan, khususnya pembangunan nasional.
Pada tulisan ini akan diuraikan tinjauan
filsafat ilmu, baik secara ontologi (apa dan bagaimana hutan mangrove), epistemologi
(bagaimana metode mempelajarinya) dan aksiologis (manfaatnya bagi kehidupan manusia), mengenai
sumber daya alam hayati (biological natural resources) hutan mangrove.
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ta onta berarti
“yang berada”, dan logi berarti “ilmu pengetahuan atau ajaran”. Dengan demikian ontologi adalah ilmu
pengetahuan atau ajaran tentang yang berada (Sudarsono, 1993). Secara ontologi, sebuah kajian selalu
mempertanyakan “apa dan bagaimana” terhadap suatu obyek. Demikian pula halnya dengan ekosistem
mangrove yang akan dibahas di bawah ini.
2.1. Pengertian Hutan Mangrove
Mangrove merupakan formasi-formasi tumbuhan pantai yang
khas di sepanjang pantai tropis dan sub tropis yang terlindung. Formasi mangrove merupakan perpaduan antara
daratan dan lautan. Mangrove tergantung
pada air laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu (silt)
dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Air pasang memberi makanan bagi hutan dan air
sungai yang kaya mineral memperkaya sedimen dan rawa tempat mangrove tumbuh. Dengan demikian bentuk hutan mangrove dan
keberadaannya dirawat oleh pengaruh darat dan laut (FAO, 1994).
Di Indonesia, mangrove telah dikenal sebagai hutan pasang
surut dan hutan mangrove, atau hutan bakau.
Akan tetapi, istilah bakau sebenarnya hanya merupakan nama dari istilah
satu jenis tumbuhan yang menyusun hutan mangrove, yaitu Rhizophora spp.
2.2. Karakteristik Hutan Mangrove
Karakteristik hutan mangrove dapat dilihat dari berbagai
aspek seperti floristik, iklim, temperatur, salinitas, curah hujan,
geomorphologi, hidrologi dan drainase.
Secara umum, karakteristik habitat hutan mangrove
digambarkan sebagai berikut (Bengen, 2000):
·
Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya
berlumpur, berlempung atau berpasir.
· Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove.
· Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat.
· Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau (2-22 permil) hingga asin (hingga 38 permil).
Menurut Walter (1971), ekosistem mangrove terutama didapatkan di 3 (tiga) wilayah iklim berikut ini: (1) Zona khatulistiwa antara ±10 LU dan 5-10 LS.;
(2) Zona kering hujan tropika, zona sebelah utara dan selatan khatulistiwa, sampai ±25-30 LU dan LS; (3) Wilayah yang beriklim sedang (ugahari) yang pada musim dingin tidak terlalu dingin dan hanya tedapat di belahan batas tertimur dari benua pada zona ini.
2. 3. Struktur Vegetasi Hutan Mangrove
Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan
dan semak yang terdiri dari 12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia,
Rhizophora, Bruguiera,
Ceriops, Xylocarpus,
Lumnitzera, Laguncularia,
Aegiceras, Aegiatilis,
Snaeda dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam delapan
famili (Bengen, 2000).
Selanjutnya,
menurut Bengen (2000) bahwa vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Paling tidak
di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis
tumbuhan sejati penting/dominan yang termasuk ke dalam empat
famili: Rhizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera
dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia),
Avicenniaceae (Avicennia)
dan Meliaceae (Xylocarpus).
2.4. Fauna Hutan Mangrove
Fauna yang hidup di ekosistem mangrove, terdiri dari berbagai
kelompok, yaitu: mangrove
avifauna, mangrove mammalia, mollusca,
crustacea, dan fish fauna (Tomascik et al., 1997).
Komunitas
fauna hutan mangrove membentuk
percampuran antara dua
kelompok: (1) Kelompok
fauna daratan/terestrial yang umumnya
menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas insekta,
ular primata dan burung. Kelompok ini tidak mempunyai sifat adaptasi khusus untuk hidup di
dalam hutan mangrove, karena mereka melewatkan
sebagian besar hidupnya di luar
jangkauan air laut pada bagian pohon
yang tinggi, meskipun mereka dapat mengumpulkan
makanannya berupa hewan lautan pada
saat air surut. (2) Kelompok fauna perairan/akuatik, yang terdiri atas dua tipe,
yaitu: yang hidup di kolom
air, terutama berbagai jenis ikan dan
udang ;
yang menempati substrat baik keras (akar
dan batang pohon mangrove) maupun lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang dan berbagai
jenis invertebrata lainnya.
2.5. Hubungan Saling Bergantung Antara Berbagai
Komponen Ekosistem
Hutan Mangrove
Ekosistem merupakan satu
atau serangkaian komunitas beserta lingkungan fisik dan kimianya yang hidup
bersama-sama dan saling mempengaruhi (Nybakken, 1988).
Tumbuhan
mangrove mengkonversi cahaya matahari dan zat hara (nutrien) menjadi jaringan
tumbuhan (bahan organik) melalui proses fotosintesis. Tumbuhan mangrove merupakan sumbe makanan
potensial, dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup di ekosistem
mangrove. Berbeda dengan ekosistem
pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem mangrove
bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, tapi serasah yang berasal dari tumbuhan
mangrove (daun, ranting, buah, batang dan sebagainya).
Sebagian
serasah mangrove didekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi zat hara
(nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, algae
ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis; sebagian lagi
sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting
sebagai makanannya. Proses makan memakan
dalam berbagai kategori da tingkatan biota membentuk suatu rantai makanan (Gambar
1).
Gambar 1. Hubungan
Saling Bergantung antara Berbagai Komponen (Rantai Makanan)
dalam Ekosistem Mangrove (Nontji, 1993).
Epistemologi berasal dari kata episteme yang
berarti “pengetahuan” dan logos yang berarti “teori”. Dalam rumusan yang lebih rinci, disebutkan
bahwa epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara
mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan struktur, metode dan validitas pengetahuan (Sudarsono,
1993). Dalam tulisan ini akan
diuraikan beberapa metode untuk mempelajari karakteristik lingkungan dan
struktur komunitas hutan mangrove.
3.1. Karakteristik Tanah Hutan Mangrove
Karakteristik tanah merupakan
satu dari berbagai faktor lingkungan penting yang secara langsung mempengaruhi
produktivitas dan struktur mangrove.
Metode untuk mempelajari karakteristik tanah dikonsentrasikan pada
sifat-sifat fisik dan kimia tanah seperti pH, Eh, salinitas dan ukuran
partikel. Ukuran partikel tanah dapat
diketahui melalui metode hydrometer method, yaitu menentukan prosentase
pasir, debu dan liat dari tanah mangrove dengan menggunakan perbedaan rata-rata
endapan dari partikel tanah dari suspensi di air (English et.al, 1994).
3.2. Struktur Komunitas Hutan Mangrove
Untuk mempelajari struktur komunitas hutan
mangrove dilakukan dengan cara pengamatan secara konseptual berdasarkan
keterwakilan lokasi kajian. Dalam kajian
ini dilakukan pengambilan data mengenai jenis, jumlah tegakan dan diameter
pohon yang dicatat pada Table Form Mangrove, yang kemudian dianalisis
lebih lanjut untuk memperoleh kerapatan
jenis, frekuensi jenis, luas area penutupan dan nilai penting jenis (Bengen,
2000).
Analisis biota laut khususnya
keberadaannya pada hutan mangrove dapat dilakukan dengan beberapa metode
seperti pada Tabel 1.
Tabel 1.
Metode Pengambilan Contoh dan Analisis Biota Laut
Kelompok |
Metode |
||
Pengambilan Contoh |
Pengawetan Contoh |
Analisis Data |
|
Nekton |
- Jaring - Bubu |
- Dengan formalin - Diberi es dan ditempat- |
- Kelimpahan - Keanekaragaman - Keseragaman |
Benthos |
- Ekman Dredge |
- Diberi alkohol - Diberi formalin |
-Kelimpahan - Keanekaragan - Keseragaman |
Plankton |
- Plankton net |
- Diberi Lugol - Diberi Formalin |
- Kelimpahan - Keanekaragaman - Keseragaman |
Untuk mengetahui lebih dalam suatu ekosistem mangrove maka beberapa
ilmu yang sangat berkait antara lain biologi, ekologi, hidrologi, oceonografi,
dan sosiologi perlu dijadikan landasan.
4.2. Permasalahan Hutan Mangrove di Indonesia
Pertambahan
penduduk yang demikian cepat terutama di daerah pantai, mengakibatkan adanya
perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan,
hutan mangrove dengan cepat menjadi semakin menipis dan rusak di seluruh daerah
tropis.
Barangkali, dari semua ancaman yang serius bagi mangrove
adalah persepsi di kalangan masyarakat umum dan sebagian besar pegawai
pemerintah yang menganggap mangrove merupakan sumberdaya yang kurang berguna
yang hanya cocok untuk tempat pembuangan sampah atau dikonversikan untuk
keperluan lain. Sebagian besar pendapat
untuk mengkonversi mangrove berasal dari pemikiran bahwa lahan mangrove jauh
lebih berguna bagi individu, perusahaan dan pemerintah daripada hanya sebagai
lahan yang berfungsi secara ekologi.
Apabila persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan mangrove
Indonesia dan juga di dunia akan menjadi sangat suram.
4.3. Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia
Mangrove menggambarkan suatu sumber kekayaan dan
keanekaragaman kehidupan. Pada suatu
negara dimana tekanan penduduk dan ekonomi terhadap zona pantai cukup tinggi,
seperti halnya Indonesia, hutan mangrove dikenal sebagai pelindung utama
lingkungan pantai dan sumber ekonomi nasional yang sangat berharga.
Pada umumnya ada keterbatasan pemahaman tentang nilai dan
fungsi mangrove diantara penentu kebijakan dan masyarakat umumnya, dan
akibatnya hutan mangrove seringkali dipandang sebagai areal-areal kritis/rusak
serta tidak berharga, yang perlu dipakai untuk kegunaan pemanfatan lain yang
produktif. Meskipun demikian, nilai
hakiki ekosistem mangrove sangat besar dan hanya akan disadari ketika investasi
besar diperlukan untuk melindungi pantai dan bangunan-bangunan treatment
air, sehingga dilakukan upaya untuk merehabilitasi kembali fungsi alami hutan
mangrove.
Pada dasarnya terdapat tiga pilihan untuk pengelolaan dan
pengembangan mangrove: (1) Perlindungan ekosistem dalam bentuk aslinya; (2)
Pemanfaatan ekosistem untuk menghasilkan berbagai produk dan jasa yang
didasarkan pada prinsip kelestarian; (3) Pengubahan (atau perusakan) ekosistem
alami, biasanya untuk suatu pemanfaatan tertentu.
Dalam
kenyataannya, pertimbangan ekonomi dan ekologis tidak dapat dipisahkan dalam
mengevaluasi berbagai alternatif
pengelolaan mangrove. Pernyataan ini
mencerminkan tumbuhnya apresiasi makna ekonomi ekosistem mangrove. Karenanya,
konservasi dan pemanfaatan mangrove tergantung sepenuhnya pada perencanaan yang
terintegrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan ekosistem mangrove. Usulan
pengembangan dan kegiatan insidential yang mempengaruhi ekosistem mangrove
hendaknya mencerminkan perencanaan dan pengelolaan sebagai berikut (Dahuri dkk., 1996):
·
Peliharalah dasar dan karakter substrat hutan dan
saluran-saluran air.
·
Jaga kelangsungan pola-pola
alamiah; skema aktivitas siklus pasang surut serta limpasan air tawar.
· Peliharalah pola-pola temporal dan spasial alami dari salinitas air permukaan dan air tanah.
· Peliharalah keseimbangan alamiah antara pertambahan tanah, erosi dan sedimentasi.
· Tetapkan batas maksimum untuk seluruh hasil panen yang dapat diproduksi.
· Pada daerah-daerah yang mungkin terkena tumpahan minyak dan bahan-bahan beracun lainnya, harus memiliki rencana penanggulangan.
·
Hindarkan semua kegiatan yang mengakibatkan pengurangan (impound)
areal mangrove.
Mangrove mewakili sumberdaya hayati yang kaya dan
beragam. Bagi Indonesia dengan tekanan
penduduk dan ekonomi yang tinggi di kawasan pantai, hutan mangrove terbukti sebagai
sumberdaya alam yang mendukung dan menjaga keseimbangan ekologis dan sumberdaya ekonomi nasional yang
berharga. Berdasarkan kenyataan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa masalah pengelolaan hutan mangrove secara
lestari adalah bagaimana menggabungkan antara kepentingan ekologis (konservasi
hutan mangrove) dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan
mangrove. Dengan demikian, strategi yang
diterapkan harus mampu mengatasi masalah sosial ekonomi masyarakat selain
tujuan konservasi hutan mangrove tercapai.
1.
Bengen,
D.G. 2000. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. PKSPL-IPB.
2.
Dahuri, R., dkk. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita.
3. English, S., C.Wilkinson and V.Baker (editors). 1994. Survey Manual For Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science. Townsville.
4.
FAO.
1994.
5.
Nybakken,
J.W. Biologi Laut: Suatu Tinjauan
Ekologis (Terjemahan). Gramedia.
6.
Sudarsono. 1993.
Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar.
PT Rineka Cipta. Jakarta.
7.
Suhartono, S. 1994.
Filsafat Ilmu Pengetahuan. Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.
8.
Tomascik, T., et
al. 1997. The Ecology of
9. Walter, H. 1971. Ecology of Tropical and Subtropical Vegetation. Van Norstrand-Reinhold. NewYork.