Makalah perorangan Pengantar Falsafah Sains

 

 

Re-edited  20 December, 2000

Copyright © 2000 Kusumo Nugroho    

Makalah  Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana - S3

Institut Pertanian Bogor

 

Dosen:  Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng

 

 

PANDANGAN FILSAFAT ILMU TERHADAP PENGGUNAAN SATUAN HIDROLOGI DALAM

PROSEDUR EVALUASI LAHAN DI DAERAH PASANG SURUT

 

 

Oleh:

 

KUSUMO NUGROHO

(TNH 995034)

 

 

 

PENDAHULUAN

 

Latar Belakang

 

Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Suriasumantri (1999) menyatakan bahwa filsafat ilmu merupakan telaah secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan seperti objek penelaahan, cara menimba pengetahuan, dan untuk apa ilmu itu dapat dipergunakan.

Tulisan ini membahas tentang suatu objek pengetahuan yang menyangkut tentang pembatasan atau delineasi menurut satuan hidrologi dalam evaluasi lahan.  Objek ini belum pernah digunakan dalam kaitan dengan area spesifik seperti daerah pasang surut Indonesia, walaupun keperluaannya telah menjadi bagian yang krusial dalam suatu perencanaan pengelolaan lahan, terutama di lahan rawa pasang surut (Pusat penelitian Tanah dan Agroklimat, 1994; Rossiter D.G. 1994). Kita tahu bahwa persoalan di lahan rawa adalah permasalahan yang kompleks. Pada kondisi sekarang, evaluasi lahan selalu dikaitkan analisis keputusan yaitu seperangkat prosedur yang sistematis untuk menganalisa masalah pengambilan keputusan yang kompleks. Strategi dasar untuk melaksanakannya adalah dengan membagi masalahnya menjadi lebih kecil, bagian-bagian yang dapat dimengerti, kemudian menganalisanya tiap bagian, dan mengintegrasikan bagian-bagian tersebut dengan cara yang logis untuk menghasilkan penyelesaian yang berharga. Analisis spasial akan menjadi bagian integral untuk menyelesaikannya (Malczewski, 1999). Bagian yang logis dari permasalahan di lahan pasang surut adalah masalah pengelolaan air. Perbaikan dan pengelolan lahan rawa pasang surut di Indonesia makin menjadi penting dewasa ini. Hal ini terutama karena potensi lahan rawa (pasang surut) makin terlihat terutama dalam menunjang perluasan areal pertanian produktif di luar Jawa, serta kontribusinya untuk mempertahankan tingkat produktivitas pangan nasional. Di Indonesia, luas lahan rawa mencapai 33,4 juta ha (Nugroho et al, 1992) atau sekitar 17% dari luas daratan Indonesia, yang terdiri dari 20,1 juta ha lahan rawa pasang surut dan 13,3 juta ha rawa non pasang surut (lebak). Sekitar 9 juta ha diantaranya tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Lahan ini terdiri atas rawa pasang surut air payau, pasang surut air tawar, dan rawa non pasang surut atau lebak. Tanah gambut dan sulfat masam merupakan tanah yang berpenyebaran luas di lahan rawa. Sebagian tanah ini sudah diusahakan sebagai lahan pertanian. Akibat pengelolaan yang kurang memadai dan tanpa memperhatikan sebaran berdasarkan karakteristiknya, pemanfaatan lahan di luar P. Jawa kurang optimal, terutama pada lahan rawa, sehingga kebanyakan menjadi terdegradasi dan lahan tidur. Lahan tidur tersebut dikelompokkan menjadi dua, yaitu lahan tidur bongkor dan lahan tidur matisuri. Lebih lanjut diuraikan bahwa pemanfaatannya kembali diperlukan tindakan reklamasi, yang secara spesifik disesuaikan menurut sebaran spasial tipologi lahan dan tipe luapannya. Namun demikian spesifikasi karakteristiknya perlu diinventarisasi untuk menentukan tindakan reklamasi yang akan diterapkan.

Pandangan bahwa pengelolaan air menjadi bagian yang penting dalam penataan penggunaan lahan, terutama adanya isu tentang kekeringan atau kekurangan air dan kebakaran di daerah pasang surut, bisa jadi hanya merupakan solipsistik (hanya benar dalam kerangka pemikiran tertentu yang berada dalam benak orang yang berpikir tersebut), jika tanpa dibuktikan di lapangan. Hal ini berpegangan pada situasi bahwa selama ini daerah pasang surut dianggap merupakan daerah yang berlebihan air.  Tetapi hal itu menjadi jelas bila kita melihat secara keseluruhan bagian-bagian tertentu (yang nyata dalam pandangan spasial) yang tidak terairi, dan menjadi sangat kering atau sampai terbakar (untuk tanah gambut atau bergambut).

Pada saat ini, zonasi dari tingkat pengelolaan air di lahan pasang surut dalam perencanaan penggunaan lahan di daerah pasang surut sering menggunakan klasifikasi kesesuaian lahan yang didasarkan tipe luapan, yaitu tipe lahan didasarkan pengaruh pasang terhadap suatu lahan (AARD-LAWOO, 1992; Widjaja-Adi et al, 1993). Penetapannya belum kuantitatif, hanya berdasarkan perkiraan tanpa data. Pengaruh dari tipe luapan ini terhadap penggunaan lahan sangat jelas dan telah digunakan sebagai acuan dalam pemanfaatan lahan dengan sistem pengelolaan air tertentu, baik makro dan mikro. Secara jelas perbaikan dalam metoda zonasi dari tipe luapan dalam hubungannya dengan kesesuaian lahan  dapat memberikan nilai tambah dalam perencanaan pengelolaan air baik secara makro maupun secara mikro, dalam rangak peningkatan produktivitas lahan.

 

 

ONTOLOGI  (hakikat apa yang dikaji)

 

Secara utuh, kita dapat mengerti bahwa pembatasan satuan hidrologi merupakan suatu yang secara fisik dapat dilihat dengan tehnik tetapi beberapa bagian merupakan suatu yang sulit dilihat (sebaran air di dalam tanah).  Oleh karena itu untuk memahaminya kita perlu mempunyai banyak asumsi yang digunakan untuk mendekatkan cara pendekatan ilmiah (teori) dengan realita. Bentuk metafisik seperti citra (image satelit) digunakan dan dipelajari untuk mendapatkan hubungan dengan prilaku air dalam bentuk satuan hidrologi.  Asumsi-asumsi yang perlu disepakati dalam pemahamanannya, seperti diuraikan pada aliniea berikut ini.

1.       Evaluasi atau kesesuaian lahan selalu berkaitan dengan keragaan penggunaan lahan pada saat ini, terutama dalam situasi bahwa penggunaan lahan tersebut perlu dirubah atau akibat perubahan pada karakteristiknya. Tipe penggunaan lahan merupakan satuan yang dievaluasi dalam suatu prosedur evaluasi lahan dan ditentukan oleh tingkat pengelolaan yang diinginkan. Klas kesesuaian lahan terhdap suatu tipe penggunaan lahan tergantung kepada tingkat pengelolaan yang diinginkan. Pada suatu lahan pasang surut, kesesuaian lahannya sering difokuskan kepada faktor pengelolaan air. Pengelolaan air menjadi bagian paling sentral dari suatu tingkat kesesuaian lahan dan tingkat prediksi dari produktivitas suatu lahan pasang surut.

2.       Dalam hal spasialisasi evaluasi lahan yang dikaitkan dengan survei dan pemetaan tanah, tingkat pengelolaan ini dapat disejajarkan antara tingkat makro dengan pemetaan tinjau dan tingkat mikro dengan pemetaan tingkat detil. Tingkat petak tersier setara dengan tingkat semi detil.

3.       Pengelolaan air di tingkat tersier berada antara pengelolaan air makro dan pengelolaan air mikro. Sistem saluran drainase dapat dinilai kurang efektif karena adanya pendangkalan. Juga dalam hal fungsi dari saluran irigasi di beberapa tempat kurang efektif, karena adanya pendangkalan. Kondisi ini yang menjadikan banyak lahan sawah kering tidak ada genangan air, walaupun dalam musim hujan. Adanya sempadan pantai dan sungai, telah diperhatikan dalam pengembangan lahan rawa, tetapi perlunya kawasan retarder dan saluran intersepsi belum banyak dimanfaatkan , demikian pula fungsi dari kawasn tampung hujan belum dimasukkan sebagai aspek penting dalam pengelolaan air makro di kawasan reklamasi. Pengelolaan air mikro dimulai dari tingakt saluran tersier sampai kuarter serta di petakan petani. Dari pengaturan air di terseir, di saluran kuarter biasanya dibangun untuk dua petakan. Letak saluran berada di antaranya. Sistem saluran satu arah (one way flow) diterapkan. Kuarter digunakan sebagai saluran pemasukan dari saluran tersier irigasi, dan kuarter lain digunakan untuk saluran pembuangan/drainase. Penggunaan stoplog dan Flap gate sering dilakukan untuk sistem pengelolan mikro. Saluran dangkal dibuat sepanjang pematang mengelilingi petakan, berfungsi untuk pengumpul dan penyalur. Ditengah petakan dibuat saluran dangkal internsif pada j yang efektif untuk mencuci asam damn zart racun dari lahan, terutama lahan baru dibuka dan direklamasi, atau lahan yang terintrusi air garam/payau.

 

 

AKSIOLOGI ( Nilai kegunaan ilmu)

 

            Secara jelas suatu penelitian atau penggalian ilmiah perlu dilandasi pola berpikir yang mengarah pada pemanfaatan atau kegunaan hasilnya.  Manfaat atau kegunaan ini ada yang dapat terasa langsung, sebagai dampak langsung dari perubahan yang terjadi karena penerapan ide atau konsep atau hasil penelitian yang dilakukan, dan ada yang tidak terasa langsung.  Secara umum perbaikan dalam prosedur evaluasi lahan, baru terasa setelah adanya implementasi dan evaluasi (monitoring) perubahan tingkat produktivitas atau efisiensi penggunaan lahan.

1.       Menurut Beek (1978) dengan perubahan yang diantisipasi oleh evaluasi lahan perbaikannya dalam kondisi/tingkat produktivitas, kesejahteraan pengguna lahan, kelestarian dalam penggunaan. Hal ini perlu dibarengi oleh optimalisasi penggunaan lahan dari tiap tipe penggunaan lahan (Land utilization type).

2.       Pengelolaan air mengatur pemanfaatan sumberdaya lahan secara optimal untuk mendapatkan hasil atau manfaat yang maksimal, serta sekaligus mempertahankan kelestarian sumberdaya lahan tersebut. Pengelolaan air dapat memberikan kualitas lahan yang terbaik bagi penggunaan lahan. Kualitas lahan yang baik antara lain dicirikan oleh hal berikut 1) air yang cukup dengan memanfaatkan air pasang; 2) hilangnya zat toksik dan akumulasi garam pada daerah perakaran; 3) suasana reduktif menghindari oksidasi pirit; 4) stabilitas tanah gambut/pematangan tanah  yang tidak terlalu cepat.

3.       Pengelolaan air makro ditujukan untuk mengelola a) jaringan drainae irigasi termasuk jaringan untuk navigasi-primer-sekunder-tersier b) kawasan retarder, kawasan sempadan dan bila diperlukan pada kawasan intersepsi; serta c) kawasan tampung hujan.

4.       Pengelolaan air mikro berfungsi untuk a) mencukupi kebutuhan evapotranspoirasi tanaman dan dengan demikian cukup air untuk penyerapan hara optimum, b) mencegah pertumbuhan gulma, khususnya dalam budidaya sawah, c) mencegah keadaan air dan tanah toksik bagi tanamn melalui pengeloontoran dan pencucian, d) mengatur tinggi air di sawah dan tinggi air tanah dan e) menjaga kualtias air di lahan dan di saluran.

 

 

PERMASALAHAN

 

1.       Umumnya rekomendasi yang dilakukan untuk lahan pasang surut tidak memberikan gambaran spasial, seperti posisi (letak/kedudukan), dan luas. Sedangkan pada kenyataanya gambaran tentang skim (scheme) saluran pada skala makro dan kelembaban (tinggi muka air tanah di lahan) pada tingkat skala mikro, memerlukan perhitungan luasan dan tingkatan pengaruh terhadap muka air tanah dan kelembaban untuk dapat memberikan kondisi yang optimal untuk pertumbuhan tanaman. Pola tanam dalam skala spasial atau ruang, harus mempertimbangkan adanya kecukupan air. Kondisi ini yangmemerlukan suatu kajian tentang pengaruh spasial terhadap sistem pengelolaan air. Pada langkah berikutnya, pola pertanaman, akan membuat aglomerasi atau konglomerasi menjadi suatu pola penggunaan lahan. Secara fisik, maka pengaruh dari pengelolaan air sangat besar dan menjadi penggunaan lahan yang spesifik, serta juga menentukan tingkat kesesuaian lahan untuk berbagai komoditas alternatif yang akan diujikan dalam suatu aprosedur evaluasi lahan yang memberikan alternatif terbaik untuk suatu lahan bagi penggunaan lahan tertentu.

2.       Pada implementasi pengelolaan lahan di lahan pasang surut, pengaruh dari pengelolaan air ini, tidak didekati dari perubahan pola penggunaan lahan, serta perubahan dalam kelembaban baik dari performance (seadanya dari gambaran dan pengukuran lapang serta secara tidak langsung dari perhitungan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kelembaban atau kedalaman air tanah pada suatu bidang lahan). Model spasial ini dapat dikaji lebih lanjut mengenai tingkat akurasinya dibandingkan dengan model perhitungan yang diterapkan kepada citra landsat.

3.       Lahan rawa merupakan sumberdaya alam yang memiliki ekosistem yang marginal serta fragile. Karena itu dalam pengembangannya memerlukan perencanaan yang teliti, penerapan teknologi yang sesuai dan pengelolaan yang tepat. Hal ini dikemukakan pula oleh Ismail et al (1993) yang menyatakan bahwa selain merupakan lahan marginal, lahan rawa juga memiliki berbagai kendala fisik, biologis dan sosial ekonomi, sehingga pengembangannya memerlukan perencanaan dan penanganan yang cermat.

4.       Dalam pengembangan lahan rawa menjadi lahan pertanian yang produktif, ada tiga hal yang menjadi perhatian utama dalam masalah pengelolaan air dan hidrologi lahan rawa. Pertama keterbatasan sumber air untuk tanaman terutama pada musim kemarau. Hal ini disebabkan kurangnya atau tidak terperhatikannya kawasan tampung hujan yang berperan tidak saja sebagai sumber air bagi tanaman tetapi juga bagi keperluan sehari-hari masyarakat di sekitarnya. Kedua adalah masalah genangan yang dapat terjadi karena belum efektifnya saluran irigasi yang menurut Widjaja-Adhi et al (1993) dan berbagai sifat lain seperti pori tanah lapisan bawah, spesifikasi dan jarak saluran, serta ada tidaknya sumber air. Ketiga adalah masalah yang timbul karena karakteristik hidrologi lahan rawa, seperti pencemaran atau emisi gas ke udara.

5.       Masalah zonasi pengelolaan air, muncul setelah diketahui bahwa daerah tampung hujan telah dikemukakan banyak orang, sebagai daerah yang penting. Banyak lahan persawahan di daerah pasang surut, kini hanya berupa sawah kering walaupun pada musim hujan. Hal ini disebabkan oleh belum efektifnya saluran irigasi atau kurangnya sumber air. Oleh karena itu, pengalokasian atau zonasi kawasan tampung hujan yang merupakan bagian dari model/pola pemanfaatan suatu lahan rawa perlu dipertimbangkan untuk menanggulangi masalah kekurangan air tersebut. Walupun demikian kajian mendalam mengenai pola pemanfaatan lahan dengan pengalokasian kawasan tampung hujan di lahan rawa belum banyak dilakukan. Oleh karena itu penelitian sifat fisik lingkungan kawasan tampung hujan melalui pengumpulan data dasar keadaan tanah (jenis dan penyebarannya), kondisi hidrologi, dan sifat fisik lingkungan lainnya sebagai tahap awal studi perlu dilaksanakan untuk memberikan arahan pola pemanfaatan lahan yang lebih terarah dan efektif.

6.       Hasil penelitian sebelumnya (Nugroho et al, 1996), di daerah tampung hujan Sakalagun, Kalimantan Selatan, jelas menunjukkan bahwa daerah tampung hujan Sakalagun, mempunyai pola konsentris. Air untuk pertanian di desa-desa sekitar daerah tampung tergantung dari air hujan. Fungsi daerah tampung sudah tidak efisien. Dari hasil analisa kebutuhan air dan prospek pengembangan daerah ini, pengalokasian daerah ini sebagai daerah hutan masih mungkin untuk mempertahankan daerah ini sebagai daerah sumber air. Pemanfaatan lain akan merusak daerah tampung hujan disini, yang kemudian akan menjadikan perubahan suplesi air ke daerah sekitarnya.

7.       Perubahan areal tersebut menjadi lahan pertanian juga mempunyai konsekuensi perubahan penutupan lahan (land cover). Masalah lain bahwa adanya masalah teknis yang menjadikan lahan tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara baik. Data luas lahan rawa di Indonesia menunjukkan angka yang berbeda-beda, sehingga cukup sulit untuk mengambil kebijakan secara tepat/baik dalam masalah pengembangan pertanian dan tingkat pengelolaan lahan yang tepat untuk tiap daerah di Indonesia. Untuk itu diperlukan data yang benar, mutakhir,dan dapat dipertanggung jawabkan.

8.       Rehabilitasi dan penanggulangan perluasan lahan tidur bongkor tersebut memerlukan data karakterisasi selain data distribusinya. Teknik penanganan yang telah banyak digunakan adalah dengan menggunakan dasar tipologi lahan atau peta tanah. Untuk memprediksi daerah yang merupakan suatu tipologi lahan tertentu di suatu wilayah/kawasan, data hidrologis dari kawasan tersebut diperlukan untuk memperhitungkan tingkat pengelolaan air dan tanah yang paling tepat untuk mengembangakan daerah tersebut sebagai darah pertanian atau penggunaan lahan lain. Perubahan sifat hidrologis (iklim), yang dikaitkan dengan perubahan penggunaan lahan di darah tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kondisi berbagai usaha secara umum, dan usaha pertanian pada khususnya, Untuk itu, tersedianya data citra penginderaan jauh (remote sensing) dari satelit saat ini secara terus-menerus (a.l. citra radar ERS, NOAA, Radarsat, JERS dan citra optik SPOT dan Landsat), diharapkan dapat memecahkan masalah-masalah tersebut dengan baik dan cepat.

9.       Dengan cara pemantauan (monitoring) terhadap luas dan penyebaran lahan rawa menurut satuan hidrologi dan tipologinya berbagai hal yang berkait dengan masalah produktivitas lahan pertanian dalam kaitannya dengan kebutuhan air dan pupuk, serta diversifikasi usaha tani dapat diketahui secara tepat kedudukan dan tingkatnya, sehingga kemudian dapat dilaksanakan beberapa hal seperti meningkatakan produktivitas lahan sesuai dengan tipologi dan tipe luapannya terutama untuk tanaman pangan padi. Pemberian input sesuai dengan kondisi hidrologis akan lebih efisien, yang akan menunjang kebijakan pemerintah dalam penyaluran saprodi, dan kredit usaha tani.

10.   Tipe luapan dan kondisi hidrologi-iklim akan mengarahkan dalam penanggulangan hama-penyakit tanaman dan bencana (banjir, kekeringan, dll). Alih fungsi lahan rawa yang potensial menjadi penggunaan sawah dapat dikendalikan.

11.   Berbagai tehnik yang digunakan dan dikembangkan telah dapat memberikan pandangan tentang cara peningkatan produktivitas, di lahan pasang surut. Salah satu teknik yang telah mumpuni dalam menanggapi berbagai permasalahan dalam peningkatan produktivitas lahan adalah pengelolaan air. Pengelolaan air di daerah pasang surut telah menjadi bagian yang penting dalam penanganan lahan pasang surut (Widjaja-Adhi et al, 1993).

12.   Kebanyakan dari program penelitian di daerah pasang surut , diarahkan kepada site yang spesifik, atau dalam kondisi spasial berupa titik pengamatan tertentu, dan difokuskan kepada cara pengelolaan dan peningkatan produktivitas, yang dilakukan dengan menerapkan berbagai tehnik atau tehnologi pengelolaan tanah dan air. Beberapa penelitian juga lebih kepada rehabiltisasi dari lahan di daerah ini. Sedangkan aspek yang sangat penting dalam penanganan daerah pasang surut, selain aspek tehnologi adalah aspek spasial, variabilitas karakteristik (tanah) dan berbagai permasalahan lain yang menyangkut tingkat produktivitas (lahan pertanian) per satuan luas.

13.   Perencanaan pengelolaan air menentukan produktivitas lahan dan pengelolaan air memerlukan informasi geografis berupa satuan hidrologi. Oleh karena itu, pemahaman aspek geografis dan aspek spasial ini penting untuk melihat sejauh mana, kondisi geografis akan mempengaruhi tingkat produktivitas secara khusus, dan karakteristik lahan secara umum. Dari berbagai hasil pemetaan di daerah ini, jelas bahwa adanya ketidak seragaman dalam pola penggunaan lahan yang disebabkan oleh perbedaan karakteristik lahan. Kondisi ini, secara implisit dapat diketahui dari berbagai peneltian terdahulu yang berkatian dengan daerah pasang surut, yang memberikan indikasi adanya phenomena tersebut. Antisipasi dari berbagai permasalahan dalam kaitan dengan pemanfaatan lahan, mendorong untuk membuat berbagai pola.

14.   Program penelitian di daerah rawa pasang surut di Indonesia telah berjalan sejak dari zaman sebelum perang dunia kedua. Pengetahuan tentang pengelolaan lahan di daerah ini pun telah tumbuh berkembang dari penelitian krakteristik, sampai ke rehabilitasi lahan yang rusak di daerah ini. Jelas dengan adanya tekanan terhadap kebutuhan lahan yang potensi untuk produksi pangan maka daerah ini terus menjadi incaran untuk pengembangan dan tentunya perbaikan setelah diketahui bahwa tanah-tanah ini tidak mampu lagi mendukung produksi pangan yang layak. Pengetahuan yang meliput ilmu tanah, teknik (pengelolaan tanah dan air) memberikan dampak baik posiutif dan negatif terhadap peningkatan produksi tanaman (pangan) dan tanaman lain. Tetapi secara nyata masih ada beberapa kendala dalam penanganannya seperti masalah : variability in karakteristik tanah (kimia fisik), pengelolaan air yang khas daerah pasang surut, ukuran dari petakan sawah di daerah pasang surut, perubahan penggunaan lahan di daerah pasang surut.

15.   Perubahan penggunaan lahan dapat dilihat dari sebab dan pengaruhnya. Pada penggunaan lahan di daerah pasang surut, pembukaan hutan untuk pengembangan lahan untuk tanaman pangan (padi sawah), umumnya tidak secara menyeluruh berhasil. Pada kenyataannya terdapat banyak daerah yang menjadikan lahan tersebut pada akhirnya lahan untuk tanaman tahunan seperti kelapa dan kelapa sawit atau tanaman palawija. Ditinjau dari segi akibat, perubahan ini tentu erat kaitannya dengan ketersediaan air (berkualtias) di tempat tersebut, dan kemampuan dari tanaman pangan (padi) untuk dapat beradaptasi dengan kondisi setempat yang terbentuk oleh proses pembukaan lahan tersebut sebagai lahan tanaman pangan. Variabilitas dari tiap lahan akan memberikan pola penggunaan yang tertentu.

16.   Dari kondisi yang telah banyak diperhatikan timbulnya mosaik dalam penggunaan lahan, disebabkan faktor-faktor yang berkaitan dengan evaluasi lahan :

·         Perubahan penggunaan lahan ke suatu penggunaan lahan ditentukan oleh alternatif yang terbaik yang diputuskan oleh pengguna lahan untuk menggunakan lahan tersebut dari berbagai alternatif,

·         Alternatif penggunaan lahan dapat dilihat dari berbagai aspek, baik fisik maupun nonfisik.

17.   Ada beberapa kendala yang penting dalam menangani daerah pasang surut untuk mencapai tingkat produktivitas tipe penggunaan lahan tertentu. Tingkat produktivitas dalam hal dipertimbangkan pada tingkat yang dianggap berkelanjutan. Konsekuensi dari kurangnya data dan informasi untuk mengelola suatu lahan perlu ditanggapi secara sistematis, apalagi bila penggunaan lahan yang diperhitungkan pada usaha pengelolaan ini menyangkut bagian yang krusial dari sutau program pengembangan lahan untuk penyediaan pangan. Kondisi yang dipersyraratkan oleh suatu prosedur evaluasi lahan, untuk mendapatkan suatu keputusan yang didasari pertimbangan pembandingan berbagai syarat dengan kualtias lahan, perlu dipenuhi. Salah satu hal yang penting adalah kemudian mempertimbangkan kondisi spasial, baik dari segi luasan dari satuan lahan, maupun keterkaitan dari satu satuan lahan dengan atribut didalamnya serta keterkaitan spasial antar satuan lahan yang berdekatan. Pada keadaan ini diusulkan suatu penggunaan lahan untuk pertanian yang mempertimbangkan beberapa aspek yang dikemukakan di atas. Di daerah pasang surut, kondisi ini perlu dipelajari secara detil. Hubungan kausal antar satuan lahan perlu memperhatikan tingkat atau skala pemetaan yang digunakan dalam memperhitungkan spasial dalam evaluasi lahan yang dilakukan. Penggunaan tanah-tanah di daerah pasang surut seperti tanah sulfat masam meerlukan pertimbangan khusus, terutama dalam kaitan dengan kendala khusus yang dapat dipelajari dari salah satu kualitas lahan seperti toksisitas karena adanya pengasaman akibat oksidasi pirit. Keadaan ini dianggap krusial dalam mencapai suatu ttingkat produktivitas lahan tertentu. Walaupun kebanyakan dari tanah-tanah atau lahan ini digunakan untuk tanaman padi sawah, tetapi berbagai alternatif, yang dapat dilihat dari keragaman penggunaan lahan di daerah pasang surut ini, menunjukkan perhatian juga diarahkan pada penggunaan untuk tanaman keras seperti kelapa sawit dan palawija. Pada mulanya pada lahan pasang surut ini, titik berat dari pengembangan tanaman pangan sangat ditekankan.

 

HIPOTESA

 

            Dalam membangun hipotesa, diperlukan pengetahuan-pengetahuan yang telah didapatkan sebelumnya.  Berbagai penelitian telah mendasari pendekatan yang akan dilakukan dalam penelitian ini, terutama dari hasil kajian mengenai daerah penelitian Delta pulau Petak (AARD-LAWOO, 1992; van den Bosch et al, 1998).

1.       Satuan hidrologi merupakan bagian dari satuan lahan yang diturunkan dari satuan peta tanah, maka deleneasi satuan hidrologi dapat dilakukan baik pada skala pengelolaan makro maupun mikro dengan ditunjang pengamatan perubahan tingkat kelembaban tanah di petakan petani.

2.       Satuan hidrologi tidak ditunjukkan oleh analisa citra, serta tidak ada hubungan dengan kondisi kelembaban lapang, dengan demikian tidak berhubungan dengan kelembaban dan pertumbuhan tanaman, yang dilihat dari hubungan antara sifat fisik kimia tanah dengan pembatasan satuan hidrologi sehingga fungsi alih sifat tanah tidak berlaku.

3.       Pengaruh keragaan iklim dan penggunaan lahan untuk pembatasan satuan hidrologi tidak dapat di prediksi, sehingga pengaruh kekeringan ataupun pengaruh banjir tidak dapt ditunjukkan oelh simulasi dan interpretasi model, dan citra.

4.       Tingkat kesesuaian lahan di daerah pasang surut tidak mempunyai hubungan kausal dengan zona pengelolaan air.

 

 

TUJUAN PENELITIAN

 

1.       Pembatasan satuan evaluasi sebagai satuan hidrologi di daerah dengan ekosistem spesifik yang memerlukan penaganan dan tehnologi yang khusus pula, serta mengkaji penggunaannya dalam sistem informasi geografi untuk mengevaluasi sebaran kelembaban tanah dalam hubungannya dengan tingkat kesesuaian lahan di daerah pasang surut. Pada skala tinjau dengan bantuan citra Landsat, sedangkan pada tingkat petakan petani dengan membuat model spasial tersendiri dengan memperhatikan aspek fisik tanah dan regionalisasi.

2.       Membuktikan bahwa pola penggunaan lahan di daerah pasang surut menentukan pengelolaan air di daerah pasang surut

3.       Membuktikan bahwa aplikasi Sistem Informasi Geografi dapat digunakan untuk perencanaan pengelolaan air di daerah pasang surut, kemudian sistem ini merupakan tehnologi yang mumpuni untuk membawa lahan tsb ke arah penggunaan yang bijak.

4.       Zone hidrologi atau satuan hidrologi yang diperlukan dalam menerapkan berbagai tehnologi yang berkenaan dengan air dapat diwujutkan dengan menerapkan pembatasan berdasar model hidrologi standard untuk melihat status air, yang kemudian dapat diaplikasi sebagai input untuk SMASS (AARD-LAWOO, 1992a), untuk memprediksi jumlah pirit, kemasaman, dan berbagai perubahan sifat kimia .

5.       Mempelajari implementasi untuk skenario pengelolaan air tian satuan hidrologi yang dapat mengantisipasi berbagai pengaruh kekeringan maupun banjir untuk memenuhi persyaratan pertumbuhan tanaman, secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

6.       Penggunaan tehnik fungsi alih pedo (sifat tanah) yang dapat digunakan untuk mengekstrapolasi berbagai parameter dan peubah untuk dapat dipakai sebagai input dan parameter (konstanta) yang merupakan bagian dalam suatu model hidrologi secara spasial, sehingga batas secara tiga dimensi dari perubahan kelembaban dan sifat lain dapat diperhitungkan.

 

 

EPISTOMOLOGI (cara mendapatkan pengetahuan yang benar)

 

Pengetahuan yang benar secara hakiki sulit didapatkan, tetapi yang benar menurut pengujian sering dilakukan.  Pengujian yang jelas mengkaitkan pandangan pendekatan dan teori dengan realita atau fakta.  Evaluasi lahan selalu berkaitan dengan fakta berupa keragaan penggunaan lahan pada saat ini, terutama dalam situasi bahwa penggunaan lahan tersebut perlu dirubah atau akibat perubahan pada karakteristiknya (FAO, 1976). Dalam hubungan antara pengelolaan air di lahan pasang surut dengan penggunaan lahan, beberapa arahan yang perlu dijawab :

1.       Membuka suatu wahana dan wawasan dikarenakan perlunya suatu perubahan penggunaan lahan, yang diwujutkan dengan perencanaan penggunaan lahan yang di dasari oleh perlunya perencanaan pengeloaan air di lahan pasang surut.

2.       Identifikasi dari tujuan, dari pengelolaan air tersebut untuk mewujutkan tingkat produktivitas penggunaan lahan tertentu, yang ditentukan dalam suatu Land Utilization Type.

3.       Formulasi dari usulan dan rencana termasuk dari alternatif penggunaan lahan dan persyaratan penggunaan lahannya, dalam kaitannya dengan pengelolaan air.

4.       Mengenali dan membatasi berbagai tipe lahan yang ada di daerah tersebut dalam menentukan tingkat pengelolaan airnya

5.       Membandingkan dan mengevaluasi tiap tipe lahan untuk berbagai penggunaan lahan dengan memperhatikan input pengelolaan airnya

6.       Seleksi dari penggunaan yang paling diminati untuk tiap bagian lahan, dengan memperhatikan potensi air dan pengelolaan air yang ada/akan ada.

7.       Mendesain proyek atau analisis yang lebih detil untuk tiap alternatif yang dipilih untuk bagian tertentu dari daerah tersebut.

8.       Keputusan untuk mengimplementasikan tingkat pengelolaan dan penggunaan lahan untuk mencapai tingkat produksi yang diharapkan.

9.       Implementasi

10.   Monitor dari pelaksanaan itu.

Salah satu pendekatan untuk mendapatkan hubungan antar tangkapan nalar (impresi), melalui interpretasi ke pembuktian adanya pembatasan satuan hidrologi adalah melalui klasifikasi satuan spasial hidrologi dengan tehnik tertentu. Teknik yang sekarang dikembangkan adalah teknologi penginderaan jauh. Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) memungkinkan suatu aspek dan obyek tertentu (termasuk kawasan lahan rawa gambut) pada daerah yang luas dapat diteliti tanpa penjelajahan lapangan di seluruh area. Dengan demikian akan dapat menghemat waktu dan biaya bila dibanding dengan cara konvensional/pemetaan teristis di lapangan.

Dalam zonasi pengelolaan air, ada beberapa fenomena yang diambil di daerah penelitian Delta Pulau Petak yaitu fenomena yang berhubungan dengan kendala bawah yang dipengaruhi oleh muka air tanah di lapangan, selain dari pengaruh pasang surut. Di daerah seperti Delta Pulau Petak (Kalimantan Selatan), diketahui proses yang mengendalikan kondisi di daerah yang bertopografi hampir datar tersebut, yang diwujutkan dalam naik turunnya muka air tanah di daerah tersebut. Kondisi ini penting dalam memperhitungkan pengaruh pasang surut di suatu daerah, terhadap pengelolaan airnya. Pada saat ini secara khusus belum diketahui pengaruh dari naik turunnya muka air tanah terhadap produktivitas secara langsung, tetapi pada kenyataannya daerah dengan fenomena ini mempunyai tingkat pertumbuhan tanaman yang berbeda dengan tanaman yang tidak dipengaruhi paang surut. Selain pengaruh dari paang surut maka yang juga penting dalam memperhitungkan kondisi kualitas ketersediaan air pada suatu daerah adalah sistem saluran di daerah tersebut, yang secara makro dikenal dengan sistem garpu. Sistem ini secara mikro dapat dilihat dari ukuran dan arah dari saluran yang menentukan juga secara umum masuknya air ke lahan petani atau petakan petani secara umum. Tinggi muka air di saluran secara langsung mempengaruhi tinggi muka air di lahan petani.

Penelaahan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar (epistemologi) perlu mendapat landasan untuk melaksanakannya, yaitu dengan melihat :

1.       Tempat dan waktu penelitian/percobaan akan dilakukan di Delta Pulau Petak, yang diajukan karena merupakan lokasi lahan pasang surut sesuai dengan ketersediaan citra Landsat. Lokasi tersebut harus didominasi oleh penggunaan lahan sebagai sawah pasang surut.

2.       Ketersediaan bahan berupa peta topografi, berbagai peta tematik, kapasitas komputer, perangkat lunak, printer, plotter dan GPS (Global Positioning System), serta ketersediaan data iklim sebagai peubah dari atmosfir dan data fisik tanah.

3.       Cara analisa citra dengan runtun waktu dengan menggunakan data Landsat TM dilakukan dengan mengkompilasi berbagai referensi lapang di daerah tersebut; identifikasi dan klasifikasi tiap satuan sebagai bagian bentang lahan menurut sifat kebasahannya, drainase, vegetasi (alamiah), lereng dan litologi serta identifikasi dan klasfikasi kondisi kelembaban permukaan (tanah) berdasarkan pada keragaan penutup lahan-indikasi dari komposisi beberapa band atau jalur citra Landsat TM.

4.       Analisis Digital dimaksudkan untuk

1.       Mendapatkan informasi spasial tentang penutupan lahan

2.       Memperkirakan kerapatan vegetasi

3.       Perkiraan tentang pengaruh air atau genangan terhadap keragaan penutupan lahan

4.       Runtunan menurut waktu perubahan penutupan lahan

5.       Pembatasan atau delineasi penutupan lahan dan tingkat kebasahan

5.   Pengamatan Lapang dilakukan dengan menggunakan GPS (Global Positioning System), pemeriksaan dominansi, density tajuk dan tegakan secara visual lapang untuk mengetahui hubungan antara keragaan citra (supervised) dengan bentuk keragaan di lapang dilihat dari pertumbuhan alami dan vegetasi pionir, kompilasi data dan informasi terutama berkatian dengan sejarah penggunaan lahan. Untuk data iklim diragakan oleh kondisi suhu yang panas yang dapat menjadikan terjadinya kebakaran hutan yang dapat dihubungkan dengan data NOAA.

6.       Dari data 6 band citra Landsat TM ( band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7) diekstrak untuk mendapatkan nilai brightness (kecerahan), greenness (kehijauan) dan wetness (kebasahan atau kelembaban). Brightness mencirikan tipe tanah dari lahan terbuka. Greenness mencirikan penutupan oleh vegetasi. Wetness mencirikan kandungan kelembaban atau air dari tanah dan vegetasi penutup.

7.       Untuk penilaian sifat fisik tanah, contoh tanah diambil dengan menggunakan ring. Contoh tanah diambil pada lapisan I dan II sesuai dengan ketebalan horison pada profil pewakil, dan dengan memperhatikan keadaan fisiografi. Contoh tanah untuk analisa kimia diambil termasuk contoh air di daerah tampung tersebut, untuk mengetahui kualitas dari air.

8.       Data iklim yang sangat diperlukan untuk menunjang penelitian ini diambil dari data di daerah setempat (curah hujan dari beberapa stasiun di daerah penelitian, dan suhu dari landasan Ulin)

9.       Pentahapan dari percobaan dilakukan sebagai berikut :

·         Tahap awal terdiri analisis di laboratorium, untuk analisis digital citra yang ada, serta interpretasi sampai kepada klasifikasi penggunaan lahan dan land cover (dimulai awal September 2000 - Januari 2001) dengan citra yang ada (tahun 1997) dantahun 1995. Pemilihan daerah A key area.

·         Tahap penelitian di lapangan, meliputi berbagai kegiatan antara lain, membuat skim dari pengamatan tinggi muka air di key area dari tiap penggunaan lahan yang dibandingkan, membuat model tiga dimensi untuk memperhitungkan pengaruh dari saluran, penggunaan lahan dan faktor iklim (dalam model neraca air- termasuk fluks air keluar masuk dari sistem petakan petani). Perhitungan dapat dilakukan untuk pertama didekati dari tinggi muka air saluran (sampai kuarter), kemudian dikembangkan sampai ke petakan petani.

·         Pada penelitian ini dicoba dibuat model spesifik untuk daerah tersebut, prediksi dan perhitungan kelembaban di saluran berdasarkan skim saluran. Kemudian perhitungan berdasarkan tinggi muka air di saluran terhadap tinggi muka air di petakan, dicari hubungan antara kondisi atau satuan peta selang kelembaban dengan satuan peta pola penggunaan lahannya. Tahap analisis kedua, membuat model untuk memberikan gambaran sebaran dari kelembaban tanah berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan di lapang. Dari perhitungan ini maka dapat dibuat model penyebaran spasial dari satuan yang mempunyai sifat hidrologis yang sama.

·         Perhitungan kelembaban tanah untuk tiap satuan hidrologi, digunakan sebagai dasar perhitungan proses pemasaman sebagai interaksi dari pengelolaan air dan kondisi karakteristik tanah yang menentukan proses pemasaman tiap satuan lahan homogen (kombinasi satuan hidrologi dan satuan tanah). Perhitungan dengan model spasial mengenai proses pemasaman untuk tanah sulfat masam menggunakan model SMASS (van den Bosch et al, 1998), akan membuktikan bahwa proses pemasaman dapat dilihat pola spasialnya dikaitkan dengan cara pengelolaan air dan penggunaan lahannya.

 

 

Daftar Pustaka

 

AARD&LAWOO, 1992a. Acid Sulphate Soils in the Humid tropics: Guidelines for soil surveys. Water management. Acid Sulphate Soil in th Humid Tropics Research Program AARD, Jakarta, Indonesia.

AARD&LAWOO, 1992b. Acid Sulphate Soils in the Humid tropics: Water Management and Soil Fertility. Acid Sulphate Soil in th Humid Tropics Research Program. AARD, Jakarta, Indonesia.

AARD&LAWOO, 1992c. Acid Sulphate Soils in the Humid tropics: Simulation model of physical and chemical processes to evaluate water management strategies. Acid Sulphate Soil in th Humid Tropics Research Program. AARD, Jakarta, Indonesia.

AARD-LAWOO, 1992a. Simulation Model. Acid Sulphate Soil in th Humid Tropics Research Program.  AARD-LAWOO.

Beek K.J. 1978. Land Evaluation.  International Traing Cource in Earth Sciences, Enschede, The Netherlands.

Food and Agricultural Organization.  1976.  A framework for Land Evaluation. Soil Bulletin No. 32.  FAO Rome, Italy.

Ismail I.G., T. Alihamsyah, IPG Widjaja-Adhi, Suwarna, T. Herawati, R. Thahir, dan D.E. Sianturiet . 1993. Sewindu Penelitian Pertanian di Lahan Rawa, Kontribusi dan Prospek Pengembangan.  Proyek Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa-Swamps II. Departemen Pertanian.

Malczewski J. 1999.  GIS and Multicriteria Decision Analysis.  John Wiley & Sons Inc. Canada. 392pp + xvi.

Nugroho, K., Alkasuma, Paidi, Wahyu Wahdini, Abdurochman, H. Suhardjo dan IPG. Widjaja-Adhi. 1992.  Peta Areal Potensial untuk Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut, Rawa dan Pantai.  Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.  Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.  Departemen Pertanian.

Nugroho, K., Supardi Ardjakusumah, Abdul Rochman dan Achmad Rachman, 1996.  Penelitian Karakterisasi daerah Sakalagun.  Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.  Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.  Departemen Pertanian.

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1994.  Rencana Induk Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat PELITA VI.  Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Rossiter D.G. 1994.  Land Evaluation. College of Agriculture and Life Sciences, Cornell University, Ithaca New York.

Suriasumantri J.S., 1999.  Filsafat Ilmu sebuah pengantar populer.  Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.  384p

Van den Bosch H., Ho Long Phi, J. Michaelsen, Kusumo Nugroho. 1998. Evaluation of water management strategies for sustainable land use of acid sulphate soils in coastal low lands in the tropics.  Agricultural Research Department. Winand Staring Centre for Integrated land, Soil and Water Research.  Report no. 157. The Netherlands.

Widjaja-Adhi I.P.G, K. Nugroho, Didi Ardi dan A. Syarifuddin Karama. 1993. Sumberdaya Lahan Pasang Surut, Rawa dan  Pantai : Potensi. Keterbatasan dan Pemanfaatannya.  Makalah utama, disajikan dalam Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa. Bogor, 3-4 Maret 1992.