Re-edited
Copyright © 2000 Giyatmi
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor
Dosen: Prof Dr Ir Rudy C
Tarumingkeng
PROSPEK HIDROLISAT PROTEIN IKAN
SEBAGAI PEMERKAYA NUTRISI MAKANAN
Oleh :
G I Y
A T M I
(1PN
09600006)
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara maritim yang
memiliki luas wilayah laut mencapai 3.116.000 km2, ditambah dengan
landasan kontinental sekitar 1 juta km2, serta ZEE 200 mil sekitar 3
juta km2, mengandung sumber daya alam yang sangat besar yang
mempunyai potensi produksi ikan sebesar 6.6 juta ton tiap tahunnya (Ditjen
Perikanan, 1994).
Meskipun potensi sumber daya ikan
begitu besar, namun pola konsusmsi makanan sebagian besar masyarakat Indonesia
masih bercirikan pola agraris yang bertumbu pada beras dan hewan ternak
darat. Tercapainya target produksi ikan
laut pada akir PJP II (1998), yaitu penyediaan ikan 6 juta ton unntuk konsumsi
202 juta jiwa penduduk, tidak banyak memberikan pengaruh pada asupan protein
hewani dari ikan. Tingkat konsumsi ikan
relatif masih rendah. Pada tahun 1990
konsumsi lauk hewani dari ikan baru sekitar 7.0 g/kapita/hari yang merupakan
15.4 % dari total konsumsi protein hewani sehari (BPS, 1992). Rendahnya tingkat konsumsi ikan mungkin
disebabkan ikan sulit diperoleh dalam keadaan segar, baunya amis, dan tulangnya
banyak sehingga mengurangi kenikmatan saat makan, atau kesulitan dalam pengolahan.
Cara yang dapat ditempuh untuk peningkatan
konsumsi ikan adalah dengan meningkatkan ragam pengolahannya, sehingga produksi
ikan yang melimpah mempunyai arti sosial ekonomi yang penting bagi nelayan,
petani ikan, pengolah dan pedagang ikan, serta konsumen.
Salah satu alternatif yang diharapkan
dapat mengatasi masalah peningkatan tingkat konsumsi produk perikanan akibat
ketidaksukaan ikan dan penyebaran produk ikan adalah pengolahan ikan dalam
bentuk hidrolisat protein. Hidrolisat
protein ikan merupakan sari pati protein dari ikan yang dapat digunakan sebagai
makanan suplemen dan bahan fortifikasi untuk berbagai makanan.
APAKAH HIDROLISAT
PROTEIN IKAN
Hidrolisat protein ikan adalah produk
cairan yang dibuat dari ikan dengan penambahan enzim proteolitik untuk
mempercepat proses hidrolisis dalam kondisi terkontrol dengan hasil akhir
berupa campuran komponen protein (Pigott dan Tucker, 1990).
Berbagai
sumber protein, baik protein nabati maupun protein hewani dapat digunakan
sebagai bahan mentah untuk pembuatan protein hidrolisat. Kelebihan penggunaan daging ikan sebagai
bahan baku pembuatan hidrolisat protein adalah dagingnya berserat seperti hewan
mamalia darat, tetapi seratnya lebih halus dan lebih pendek ukurannya, serta
komposisi proteinnya cukup lengkap, sehingga dapat meningkatkan mutu produk
akhir HPI (Hadiwiyoto, 1993).
Hidrolisat protein ikan
(HPI) merupakan pengembangan dari proses pembuatan konsentrat protein ikan dan
silase. Dimana pada kedua produk
tersebut protein yang diperoleh mempunyai sifat fungsional yang sangat rendah,
sehingga pada umumnya produk yang dihasilkan hanya sebatas digunakan untuk
pakan ternak. Untuk itu, pengolahan ikan
menjadi HPI diharapkan dapat memperbaiki sifat-sifat tersebut, sehingga dapat
dimanfaatkan untuk produk pangan manusia.
Produk
hidrolisat protein dari bahan baku ikan ditentukan oleh jenis ikan yang
digunakan. Pemanfaatan ikan yang
mengandung banyak lemak akan menghasilkan hidrolisat dengan kandungan lemak
tinggi, sehingga akan memperpendek masa simpan.
Hal lain yang berpengaruh adalah jenis katalis yang digunakan. Hidrolisat protein yang dibuat dari ikan
berlemak rendah (non fatty fish),
mengandung protein 85 – 90%, lemak 2 – 4% dan abu 6 7% berdasarkan berat kering
(Pigot dan Tucker, 1990).
Teknologi pengolahan
untuk memproduksi hidrolisat protein merupakan teknologi murah dan mesin
pengolahnya telah tersedia komersial.
Salah satu keuntungan terbesar dari produk ini adalah semua jenis hasil
samping perikanan dan ikan-ikan rucah (bernilai ekonomis rendah) dapat
digunakan untuk memproduksi hidrolisat dibanding produk-produk perikanan
lainnya yang hanya dapat diproduksi dengan jenis-jenis ikan tertentu.
MANFAAT HIDROLISAT PROTEIN IKAN
Hidrolisat protein
mempunyai peranan penting di dalam fortifikasi makanan dan minuman untuk memperkaya
protein dan nilai gizi makanan, sehubungan dengan tingginya tingkat kelarutan
dan kecernaan. Dari beberapa penelitian diketahui bahwa penggunaan hidrolisat
protein ikan secara luas digunakan sebagai bahan tambahan makanan dalam sup,
kuah daging, rasa daging, makanan diet, penyedap sosis, biskuit, crackers, dan
mayonaise. Hidrolisat protein ikan juga
berguna sebagai bahan fortifikasi untuk memperkaya nilai gizi produk makanan
suplemen terutama untuk anak-anak dan bahan pengganti albumin telur pada proses
pembuatan es krim, agar-agar, serta secara fungsional dapat dikatakan sebagai
bahan pengemulsi, pengembang dan bahan pengisi (Pigot dan T ucker, 1990).
Dalam
perkembangannya, hidrolisat protein juga digunakan sebagai diet medis khusus
seperti pada kasus pancreatitis, sindrom akibat kesulitan buang air besar,
penyakit Crohn, dan alergi akibat makanan.
Dengan demikian juga diharapkan hidrolisat protein ini nantinya akan
dikembangkan untuk menggantikan protein susu sapi yang pada sebagian orang/bayi
menimbulkan alergi (Schimidi et al., 1994).
Hidrolisat
protein yang dibuat secara komersial sebagai penyedap makanan dapat menggunakan
asam, basa atau enzim sebagai bahan penghidrolisisnya. Pada umumnya protein akan terhidrolisis
dengan sempurna selama 16 sampai 24 jam dengan menggunakan asam atau basa kuat
pada tekanan atmosfir. Meskipun demikian
hidrolisis asam tidak menguntungkan, karena triptofan, asparagin, glutamin dan
sejumlah asam amino lain hancur. Apabila
menggunakan enzim, hidrolisis baru sempurna setelah beberapa hari pada kondisi
yang terpilih dan terkontrol dengan baik (Johson dan Peterson, 1974).
Pada
pembuatan hidrolisat protein, beberapa faktor sangat berpengaruh terhadap
kecepatan hidrolisis dan kekhasan produk, yaitu suhu, waktu hidrolisis, dan
konsentrasi enzim yang ditambahkan, sedangkan tingkat kerusakan asam amino
dipengaruhi oleh kemurnian protein dari bahan awal, serta kondisi dan jenis
bahan penghidrolisis yang digunakan.
Lama proses hidrolisis merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap
mutu hidrolisat yang dihasilkan. Waktu
hidrolisis yang berlebih menyebabkan jumlah peptida dan asam amino menurun dan
jumlah padatan tidak fungsional meningkat (Pigot dan Tucker, 1990). Bila hidrolisis dilakukan dengan sempurna
maka akan diperoleh hidrolisat dengan 18 sampai 20 macam asam amino. Produk akhir hidrolisat protein dapat berupa
cair, pasta atau bubuk yang bersifat higroskopis.
Beberapa metoda untuk memproduksi
hidrolisat protein telah tersedia.
Teknologi yang umum digunakan adalah sebagai berikut (Gopakumar, 1998):
(a) Hidrolisis asam
Ikan
dibersihkan dari lendir dan kotoran lainnya, kemudian digiling. Ikan yang telah digiling tersebut selanjutnya
dimasak dengan 2 – 6 N larutan asam kuat pada suhu 90 - 100°C selama 12 - 24 jam sampai semua
produk terlarut sempurna. Kelemahan dari
proses ini adalah produk yang dihasilkan menjadi sangat asam, sehingga perlu
dinetralkan dengan alkali sampai pH 7.
Tahap ini menyebabkan hidrolisat protein mengandung sejumlah besar
garam. Selain itu, beberapa jenis asam amino menjadi rusak
sehingga produk kehilangan nilai gizi.
(b) Hidrolisis enzimatis
Di dalam industri, proses untuk memproduksi hidrolisat protein menggunakan
proses enzimatis. Proses ini dipandang
lebih sesuai dan lebih murah. Proses
pengolahan juga lebih cepat dan memberikan hidrolisat protein tanpa kehilangan
banyak asam amino esensial. Akan tetapi,
enzim harus dipilih yang sesuai dengan proses tersebut. Pemilihan enzim tergantung kepada beberapa
faktor seperti stabilitas, harga dan lain-lain.
Hidrolisat
kemudian disaring dan dikeringkan dengan pengering vakum dan/atau spray drier sehingga produk yang
dihasilkan berupa bubuk. Bagan pembuatan
hidrolisat protein ikan disajikan pada Gambar 1. Sedangkan prosentase hasil hidrolisat dari
beberapa jenis ikan disajikan pada Tabel 1 (Gopakumar, 1998).
Penelitian
yang berkembang mengenai pengolahan HPI adalah
menggunakan proses enzimatis.
Enzim proteinase dapat diperoleh dari tumbuh-tumbuhan seperti papain,
bromelin atau fisin, dari mikroorganisme, atau dari mamalia seperti pepsin dan
tripsin. Kebanyakan hidrolisat protein memiliki rasa pahit. Sehingga beberapa jenis flavor digunakan
dalam proses fortifikasi makanan untuk menutupi rasa pahit tersebut.
Ikan
Cacah atau giling
Air Tangki
Kontrol pH
Reaksi
Enzim
Tulang, kulit, padat
bagian yang Penyaringan
tidak
terhidrolisis
cairan
Cairan yang Sentrifuse
Tidak berminyak
Pengeringan vakum
Pengeringan semprot
Hidrolisat Protein Ikan
Gambar 1. Bagan
proses pembuatan hidrolisat protein ikan
Jenis Ikan |
Nama Latin |
Yield hidrolisat
(g/100g) |
Lizard Fish |
Saurida tumbil |
13.3 |
Large spined flat
head |
Platycephalus macracanthus |
11.0 |
Ribbon Fish |
Trchiurus sp |
9.9 |
Barracuda |
Sphyraena sp |
11.9 |
Jew fish |
Johnius sp |
9.9 |
Threadfin bream |
Nemipterus japonicus |
12.0 |
Cat fish |
Taehysurus sp |
10.9 |
Anchovies |
Thrissocles sp |
9.7 |
Sole |
Cynoglossus sp |
8.6 |
Teknologi pengolahan hidrolisat protein ikan masih relatif baru,
sehingga produk yang dihasilkan ditinjau dari yield, mutu dan
penerimaan organoleptik masih belum optimal. Seperti tercantum pada Tabel 1 terlihat bahwa yield masih sangat rendah. Hal ini bisa menyebabkan harga produk akan menjadi tinggi, sehingga tujuan peningkatan penggunaan produk perikanan dari HPI tidak akan tercapai. Dari segi mutu HPI juga masih
mempunyai permasalahan diantaranya bubuk HPI yang dihasilkan bersifat higroskopis, sehingga akan membutuhkan
metode penyimpanan tersendiri. Dari segi organoleptik, HPI juga masih mempunyai
kendala seperti warna produk akhir
yang kecoklatan serta mempunyai rasa pahit dan bau
amis. Untuk mengatasi warna produk selama ini
baru diupayakan penggunaannya disesuaikan dengan makanan yang akan diperkaya
dengan HPI tanpa merugikan penampakan awal makanannya. Sedangkan untuk menutupi rasa pahit dan bau amis, maka
dikombinasikan dengan berbagai flavor.
Berdasarkan
patent yang telah terdaftar di Amerika Serikat ada dua metode yang mengklaim
bahwa produk yang dihasilkan tidak berasa pahit atau berbau amis (Gildberg, 1993).
Metode pertama, enzim yang digunakan adalah bromelin dan dengan kondisi proses
yaitu suhu inkubasi 55 C selama 15 menit.
Sebelum dan sesudah proses enzimatis, dilakukan pasteurisasi pada suhu
80 C untuk menginaktifkan enzim.
Hidrolisat selanjutnya dikeringkan dengan pengering semprot. Produk yang dihasilkan mengandung 70%
protein dan 25% lemak, mudah dilarutkan dalam air dan emulsinya stabil sampai
beberapa hari.
Metode
kedua menggunakan 2 tahap hidrolisis, yaitu setelah ditambahkan air dengan jumlah
yang sama dengan daging ikan, kemudian dipanaskan sampai diatas 60 C untuk
menginaktifkan enzim endogenus. Sesudah
15 menit, suhu diturunkan kembali sampai 60 C, pH diatur sampai 9 dan
ditambahkan enzim proteinase yang stabil pada pH tinggi. Setelah inkubasi selama 1 jam, pH diatur
sampai 5.5 dan ditambahkan enzim proteinase yang aktif pada pH rendah selama 1
jam. Selanjutnya hidrolisat disentrifuse
untuk memisahkan cairan minyanya, dan dikeringkan dengan pengering vakum.
Proses
hidrolisis yang singkat ditujukan untuk menghindari terbentuknya peptida yang
menghasilkan rasa pahit. Beberapa metode
juga telah dicoba diaplikasikan untuk menghilangkan rasa pahit selama proses
hidrolisis, yaitu penambahan asam orthofosforat sebanyak 0.3 % (Venugol dan Lewis,
1981 dikutip oleh Yean, 1998).
Dengan demikian fokus penelitian saat ini untuk memproduksi HPI secara
komersial adalah optimalisasi proses dengan mutu dan citarasa yang baik. Hal ini perlu diupayakan secara
sungguh-sungguh mengingat kegunaan HPI yang cukup luas, serta HPI dapat
diproduksi dari berbagai jenis ikan terutama dalam upaya pemanfaatan hasil
samping pengolahan perikanan dan jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis
rendah.
BPS. 1992.
Konsumsi dan Kalori Protein Penduduk Indonesia dan Propinsi 1990. BPS, Jakarta.
Direktorat Jendral
Perikanan. 1994. Buku Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut
(Jenis-Jenis Ikan Ekonomis Penting). Departemen
Pertanian,
Gildberg, A. 1993.
Enzyme Processing of Marine Raw Materials :
Review. J. of Process Biochemistry 28 : 1-15
Gopakumar,
K. 1998.
Utilization of Bycath and Low-Value Fish in
Hadiwiyoto, S. 1993.
Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid I.
Pigot, G.M. dan B.W.
Tucker. 1990. Utility Fish Flesh Effectively While Maintainaing Nutritional Qualities. Seafood Effects of
Technology on Nutrition. Marcel Decker, Inc.,
Schimidi,
M.K., S.L. Taylor, dan J.A. Nordlee. 1994.
Use of Hydrolisate-Based Products in Special
Medical Diets. J. of Food Technology,
October 1994, p. 77-85
Yean, Y.S.
1998. Technological Approaches to
Utilizing Bycatch in Low Cost Products for Human
Consumption. Proceedings of the APFIC Symposium : Fish Utilization in