Re-edited
Copyright
© 2000 Ening Wiedosari
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana
Institut
Pertanian Bogor
Dosen: Prof Dr Ir Rudy C
Tarumingkeng
METODE ILMIAH DALAM
PERKEMBANGAN IMUNOLOGI
Oleh:
(Research
Institute for Veterinary Science)
Imunologi
ialah, ilmu yang mempelajari sistem imunitas tubuh manusia maupun hewan,
merupakan disiplin ilmu yang dalam perkembangannya berakar dari pencegahan dan
pengobatan penyakit infeksi. Keberhasilan dalam perkembangan imunologi telah
dapat memberantas penyakit polio di hampir semua negara dan menghilangkan
penyakit cacar yang sangat menakutkan dari dari bumi ini. Sejak tahun 1960
imunologi sudah merupakan disiplin yang lebih luas lagi yang tidak hanya
terbatas pada pemberantasan penyakit infeksi saja. Disfungsi sistem imun yang berperanan
dalam patogenesis berbagai penyakit semakin banyak diketahui, misalnya AIDS
atau Sindrom defisiensi imun didapat.
Dalam 20 terakhir ini terlihat
perkembangan yang sangat pesat dalam bidang imunologi seluler dan
molekuler. Penemuan-penemuan berbagai molekul yang berperanan dalam inflamasi
dan respons imun seperti mediator, sitokin dan lain sebagainya
telah dapat menjelaskan berbagai mekanisme respon imun/inflamasi.
Pengetahuan imunologi yang
maju telah dapat dikembangkan untuk menerangkan patogenesis serta menegakkan
diagnosis berbagai penyakit yang sebelumnya masih kabur. Kemajuan dicapai dalam
pengembangan berbagai vaksin dan obat-obat yang digunakan dalam memperbaiki
fungsi sistem imun dalam memerangi infeksi dan keganasan, atau sebaliknya digunakan
untuk menekan inflamasi dan fungsi sistem imun yang berlebihan pada penyakit
hipersensitivitas.
Pemikiran lain yang timbul
dari kemajuan dalam bidang imunologi yaitu terapi gen. Dengan menyisipkan gen
yang defisien atau tidak ditemukan dalam tubuh, diharapkan akan dapat
memberikan responnya terutama dalam menanggulangi penyakit defisiensi imun.
Tulisan ini bertujuan
untuk menunjukkan bahwa imunologi sabagai salah salah satu ilmu yang tumbuh dan
berkembang dengan cepat, berbagai penemuan dan hasil penelitian telah banyak
yang diterima sebagai konsep baru untuk mempelajari imunologi selanjutnya ,
sehingga menyebabkan hal-hal yang semula dianggap benar menjadi tidak sesuai
lagi. Tetapi tentu saja untuk mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu yang dalam
hal ini adalah imunologi harus tetap melalui prosedur yang disebut metode
ilmiah.
Yang dimaksudkan dengan ” sistem
imun ialah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhan
tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai
bahan dalam lingkungan hidup”. Berbagai bahan organik dan anorganik, baik
yang hidup maupun yang mati asal hewan, tumbuhan, jamur, bakteri, virus,
parasit, berbagai debu dalam polusi, uap, asap dan lain-lain iritan, ditemukan
dalam lingkungan hidup sehingga setiap saat bahan-bahan tersebut dapat masuk ke
dalam tubuh dan menimbulkan berbagai penyakit bahkan kerusakan jaringan. Selain
itu, sel tubuh yang menjadi tua dan sel yang bermutasi menjadi ganas, merupakan
bahan yang tidak diingini dan perlu disingkirkan.
Kemampuan tubuh untuk menyingkirkan
bahan asing yang masuk ke dalam tubuh tergantung dari kemampuan sistem imun
untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen yang terdapat pada permukaan
bahan asing tersebut dan kemampuan untuk melakukan reaksi yang tepat untuk
menyingkirkan antigen. Kemampuan ini dimiliki oleh komponen-komponen sistem
imun yang terdapat dalam jaringan limforetikuler yang letaknya tersebar di
seluruh tubuh, misalnya di dalam sumsum tulang, kelenjar limfe, limpa, timus,
sistem saluran nafas, saluran cerna dan organ-organ lain. Sel-sel yang terdapat
dalam jaringan ini berasal dari sel induk dalam sumsum tulang yang
berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel, kemudian beredar dalam tubuh
melalui darah, sistem limfatik, serta
organ limfoid yang terdiri dari timus dan sumsum tulang (organ limfoid primer
), dan limpa, kelenjar limfe dan mukosa ( organ limfoid sekunder ), dan
dapat menunjukkan respons terhadap suatu rangsangan sesuai dengan sifat dan
fungsi masing-masing ( GAMBAR 1).
Pembagian Sistem Imun
Terdapat 2 sistem imun yaitu sistem imun nonspesifik dan spesifik yang
mempunyai kerja sama yang erat dan yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain,
sistem imun ini semuanya terdiri dari
bermacam-macam sel leukosit ( sel
darah putih ). Sistem imun nonspesifik, disebut demikian karena telah ada
dan berfungsi sejak lahir dan merupakan
pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme,
serta dapat memberikan respon langsung terhadap antigen. Sel-selnya terdiri
dari sel makrofag, sel NK ( Natural Killer ) dan sel mediator. Sedang sistem imun spesifik membutuhkan waktu
untuk mengenal antigen terlebih dahulu
sebelum dapat memberikan responnya atau dengan kata lain sistem ini
dapat menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi tubuh yang sudah dikenal
sebelumnya ( spesifik ). Sel-selnya terdiri dari sel-sel limfosit T dan B.
Sistem imun spesifik terdiri dari
sel limfosit , merupakan kunci pengontrol sistem imun. Sebetulnya sistem
ini dapat bekerja sendiri tanpa bantuan sistem imun nonspesifik. Terdapat 2
macam yaitu: sistem imun spesifik
humoral ( sel B ), menghasilkan antibodi
yang berfungsi
sebagai pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler virus dan bakteri, sedangkan sistem imun spesifik seluler ( sel T )
untuk pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, parasit
dan keganasan.
Lintas Arus Sel Limfosit
Sel limfosit berdiferensiasi dan
menjadi matang di organ limfoid primer untuk kemudian masuk dalam sirkulasi
darah. Sel B diproduksi dan menjadi matang dalam sumsum tulang sebelum masuk
dalam darah dan organ limfoid sekunder. Prekusor sel T meninggalkan sumsum
tulang, menjadi matang dalam timus sebelum bermigrasi ke organ limfoid
sekunder.
Limfosit yang sudah ada dalam organ
limfoid sekunder tidak tinggal di sana, tetapi bergerak dari organ limfoid yang
satu ke organ limfoid yang lain, saluran dalam sistem limfatik dan darah (
GAMBAR 1). Dari sirkulasi limfosit memasuki organ limfoid sekunder atau
rongga-rongga organ dan kelenjar limfe. Resirkulasi tersebut terjadi terus
menerus. Keuntungan dari resirkulasi limfosit tersebut ialah bahwa sewaktu
terjadi infeksi alamiah, akan banyak limfosit berpapasan dengan antigen asal
mikroorganisme. Keuntungan lain dari resirkulasi limfosit ialah bahwa bila ada
organ limfoid misalnya limpa yang defisit limfosit karena infeksi, radiasi atau
trauma, limfosit dari jaringan limfoid lainnya melalui sirkulasi akan dapat
dikerahkan ke dalam organ limfoid tersebut dengan mudah. Hanya iradiasi yang
mengenai seluruh tubuh akan dapat menghentikan pertumbuhan sel sistem imun
seluruhnya.
Pada keadaan normal ada lintas arus
limfosit aktif terus menerus melalui kelenjar limfe, tetapi bila ada antigen
masuk, arus limfosit dalam kelenjar limfe akan berhenti sementara. Sel yang
spesifik terhadap antigen ditahan dalam kelenjar limfe untuk menghadapi antigen
tersebut dan hal ini akan menimbulkan kelenjar bengkak yang sering terjadi pada
infeksi.
Sitokin atau Interleukin
Pada reaksi imunologik banyak substansi yang bekerja serupa hormon yang dilepaskan oleh sel leukosit, yang
berfungsi sebagai sinyal interseluler yang mengatur respon imunologi lokal
maupun sistemik terhadap rangsangan dari luar. Substansi tersebut secara umum
dikenal dengan nama sitokin, yang
kemudian pada tahun 1979 nama yang disepakati adalah interleukin ( IL ) yang berarti adanya komunikasi antar sel
leukosit.
Sitokin yang diproduksi dan bekerja sebagai mediator
pada imunitas nonspesifik misalnya IFN (
interferon ), TNF ( Tumor Necrotic Faktor ) dan IL-1 sedang yang lainnya
terutama berperanan pada imunitas spesifik. Pada yang akhir sitokin bekerja
sebagai pengotrol aktivasi, proliferasi dan diferensiasi sel. Produksi sel
sistem imun dikontrol oleh sitokin yang juga mengatur hematopoiesis yang secara
kolektif disebut Colony Stimulating
Factor ( CSF ). Sitokin merupakan messenger
kimia atau perantara dalam komunikasi interseluler yang sangat poten.
Dewasa ini lebih dari 100 jenis sitokin
yang sudah diketahui.
III. PERKEMBANGAN IMUNOLOGI
Konsep baru sistem imun
Pandangan sekarang: “ sistem imun tidak hanya berfungsi sebagai pertahanan tubuh tetapi
sistem imun juga sebagai organ sensor seperti susunan saraf pusat ,yang bekerja
sama dengan sistem neuroendokrin untuk mempertahankan homeostasis”. Sebelum menjadi konsep baru teori ini dinyatakan
dalam bentuk hipotesis oleh Husband (1995 ). Hal ini disebabkan adanya
fakta-fakta yang menunjang /mendukung hipotesis tersebut yaitu, bahwa sekitar
100 tahun yang lalu ilmuwan fisiologi
dari Perancis yaitu Claude Bernard mengobservasi tentang “ La fixite du milieu interieur est la condition de la vie libre”.
Selanjutnya oleh ilmuwan fisiologi dari Amerika yaitu Walter B Cannon ( 1939 ),
diterjemahkan sebagai homeostasis yang kemudian didefinisikan sebagai suatu
proses fisiologi di dalam tubuh yang diperantarai oleh sistem saraf pusat untuk
mengontrol pergerakan dan komposisi cairan, pertumbuhan dan perbaikan jaringan,
pemanfaatan energi dan menjaga agar suhu tubuh tetap konstan, yang kemudian
sering disebut sebagai aktivitas untuk bertahan atau “cybernetics”.
Untuk menguji kebenaran dari
hipotesis tersebut di atas maka ditetapkan 3 kriteria yang harus dipenuhi,
yaitu:
1. Harus ada regulasi antara sistem imun dan
sistem saraf pusat, karena sistem saraf pusat ini merupakan mediator pada
proses homeostasis.
2. Interaksi antara ke 2 sistem tersebut
harus berlangsung 2 arah.
3. Regulasi dari sistem imun juga harus berpengaruh pada proses fisiologi lainnya
Ada
bukti-bukti yang menunjukkan Susunan Saraf Pusat berpengaruh atas fungsi sistem
imun baik langsung atau tidak langsung melalui sistem endokrin atau hormon (
GAMBAR 1 ), yaitu:
-
Inervasi jaringan limfoid: Timus, limpa dan kelenjar limfe menerima inervasi simpatetik non adrenergik yaitu mengontrol aliran darah
melalui jaringan limfoid, jadi pasti akan mempengaruhi arus lintas limfosit
(sistem imun spesifik).
-
Pituitrin/aksis Adrenal: Stres dapat mempengaruhi penglepasan hormon adrenokortikotropik ( ACTH ) dari pituitrin. Hal ini akan melepas
glukokortikoid yang bekerja imunosupresif. Juga limfosit memproduksi steroid
sebagai respon terhadap corticotrophin-releasing
factor, dan medula adrenal melepas katekolamin
yang dapat mengubah gambaran migrasi leukosit dan respon limfosit.
-
Endokrin dan regulasi neuropeptida: limfosit memiliki reseptor terhadap banyak hormon
seperti insulin, tiroksin, growth hormon dan somastostatin. Hormon-hormon
tersebut dilepas selama stres, memodulasi fungsi sel T dan B yang kompleks yang
tergantung dari kadar mediator.
Ad 2. Interaksi
antara sistem imun dan neuroendokrin harus berlangsung 2 arah.
Hormon dan
neurotransmiter merupakan messenger molekul dari sistem neuroendokrin ke sistem imun apabila ada perubahan dari
lingkungan misalnya stres, sebaliknya sitokin
berfungsi serupa pada sistem imun terhadap sistem neuroendokrin apabila ada
infeksi mikroorganisme ( antigen ), buktinya:
-
Tikus C57/BL
adalah jenis yang resisten terhadap
infeksi parasit protozoa Leishmania major,
untuk itu diperlukan sistem imun spesifik seluler berupa dikeluarkanya
substansi sitokin berupa IL-2 (Interleukin 2 ) dan IFN-g ( Interferon g ) oleh sel
limfosit T. Dan ternyata tikus ini adalah jenis yang menunjukkan respon yang
rendah terhadap hormon kortikosteroid.
-
Sebaliknya
tikus BALB/c sangat peka terhadap infeksi
parasit ini karena ternyata jenis tikus ini menunjukkan respon yang tinggi
terhadap hormon kortikosteroid. Padahal hormon ini justru menyebabkan
tertekannya sistem imun seluler, sehingga tidak terbentuk substansi sitokin (
IL-2 dan IFN-g ) .
Adanya respon akut yang ditunjukkan
berupa kerusakan jaringan setelah terjadinya infeksi sebetulnya merupakan
manifestasi dari tubuh dalam rangka mencapai homeostasis. Setelah infeksi maka
sistem imun akan teraktivasi dan akan melepaskan substansi sitokin
seperti IL-1, IL-6 dan Interferon.Ternyata
sitokin-sitokin ini dengan sistem saraf pusat sebagai mediator, menghasilkan
gejala klinis yang bersifat fisiologis. Misalnya IL-1 dan IL-6 menyebabkan
demam dan tidak ada nafsu makan, bahkan IL-6 menyebabkan kelumpuhan dan
depresi, begitu juga dengan interferon dapat menyebabkan demam. anoreksia dan
vomiting. Semua jenis respon tersebut di atas sering disebut “ sickness behaviour”, dan sesungguhnya karena gejala-gejala seperti
inilah yang menyebabkan imunoterapi menggunakan sitokin sering dihindari.
Dari penjelasan diatas yang didukung oleh data empiris
,maka hipotesis itu diterima sebagai konsep baru dari sistem imun. Tetapi dalam
hal ini konsep yang lama tentang sistem imun tidak ditinggalkan, karena pada
dasarnya konsep baru tersebut hanya sebagai pengembangan konsep lama. Kemudian
sesuai dengan ciri-ciri spesifik dari pengetahuan maka dari hasil penelitian
tersebut manusia berusaha untuk memanfaatkannya, atau sering dikatakan bahwa dengan ilmu manusia mencoba
memanipulasi dan menguasai alam,
yaitu dengan cara memanipulasi sistem imun dengan pemberian hormon atau
sitokin untuk pengobatan atau imunoterapi.
Dengan teknik rekombinan DNA, sitokin dapat diproduksi
dalam jumlah besar. Sesuai dengan peranan biologiknya, maka sitokin dapat
digunakan sebagai sebagai pengganti komponen sistem imun yang defisien atau
untuk mengerahkan sel-sel yang diperlukan dalam menanggulangi defisiensi imun,
merangsang sel sistem imun dalam respons terhadap tumor, infeksi virus atau
bakteri yang berlebihan. Antisitokin telah digunakan untuk mengontrol penyakit
autoimun dan pada keadaan dengan sistem imun yang terlalu aktif. Terapi hormon
juga banyak dilakukan pada manusia, tetapi untuk hewan hal ini sering
memberikan efek samping tidak baik bagi manusia, terutama ternak yang dagingnya dikonsumsi manusia
berupa residu hormon.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa imunologi yang merupakan salah
satu dari ilmu yang mempelajari tentang alam/isinya, maka dalam penyusunnannya
harus didasarkan sepenuhnya pada kombinasi metode deduktif-induktif, melalui suatu jembatan
berupa proses pengembangan hipotesis. Yang oleh John Jewey digolongkan sebagai “reflective thinking”. Bahkan akhirnya
dianut sebagai metode ilmiah modern yang dikenal sebagai metode “logico-hypotetico-verifikatif”.
Terlihat disini hakekat keilmuan
dari imunologi, bahwa ilmu tidak bertujuan untuk mencari kebenaran absolut
melainkan kebenaran yang bermanfaat bagi manusia dalam tahap perkembangan
tertentu. Hipotesis yang sampai saat ini tidak ditolak kebenarannya, dan
mempunyai manfaat bagi kehidupan, dianggap sebagai pengetahuan yang sahih dalam
keluarga keilmuan. Bahwa hipotesis ini kemudian hari ternyata tidak benar, itu
tidak terlalu penting selama mempunyai kegunaan. Seperti ucapan bahwa dalam ilmu sekiranya ditemukan kebenaran
baru tidak lalu menyalahkan yang terdahulu, melainkan hanya mengucapkan selamat
jalan.
V. DAFTAR PUSTAKA
Husband,A.J.1995. The immune system and integrated homeostasis. Immunology and Cell Biologi, 73:377-382.
Roit, I.M.1991. Essential
Immunology, 7nd ed. Blackwell Scientific Publication.
London.
Suriasumantri, J,S.
1998. Filsafat Ilmu:Sebuah
Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan.
Tizard,
Ening
Wiedosari (P18600001/sains veteriner)
Balai
Penelitian Veteriner
(Research Institute for Veterinary Science)
Jl. RE. Martadinata No. 30
Bogor 16114
Telepon : 62 + 0251 - 334456
Fax : 62 + 0251 - 336425
E-mail : balivet@indo.net.id